Sabtu, 01 Januari 2011

Rekonstruksi Nalar Fikih dalam Perspektif Studi Islam Kontemporer

(Pemikiran Jama>l Al-Banna>)
Mukhammad Zamzami∗
Abstract: Beside known as a brother of the Hasan al-Banna of Ikhwan al-Muslim, Jama>l al-Banna> is also a controversial yet respected scholar of Islam. He is a prolific writer with 100 book titles bearing his name. He writes on Islamic theme as well other themes such as democracy and politics. He also engages in civil society activities.
One of his thoughts is about reforming classical Islamic law which he elucidates in one of his book entitled Nah}w Fiqh Jadi>d; (Towards New Islamic Law). In that book he asserts that medieval legal methodology, especially about istidlal (interpretation) is no longer applicable nowadays.
Kata kunci: konstruksi, nalar fikih, Jama>l al-Banna>, istidla>l.
A. Pendahuluan
Sebuah pencerahan! Barangkali itulah usaha yang dilakukan oleh pemikir Arab modern dalam rangka menghadapi geliat peradaban Barat yang begitu digdaya menguasai belantara negeri Timur-Islam. Para pemikir Islam melihat Islam sudah sedemikian jauh tertinggal dengan Eropa. Eropa yang pada masa modern sudah berbenah diri dan tak lagi hidup seperti kehidupan abad pertengahan, sebagai abad ketakmandirian manusia, secara gegap gempita mendeklarasikam sebuah pencerahan lewat nilai-nilai humanisme dan pluralisme. Pola pikir masyarakat Eropa yang begitu dibuat independen juga menempatkan eksistensi masyarakatnya sebagai individu yang bertanggung jawab atas masa depannya sendiri. Hal itu justru menandai kebangkitan Eropa, “sebuah kebebasan dari doktrin”.1 Oleh karena itu, melihat cara hidup dan pola pikir muslim yang terlalu konvensional diduga sebagai salah satu hambatan untuk bisa berdiri sejajar
∗Penulis adalah Dosen pada Fakultas Usuluddin IAIN Sunan Ampel Surabaya.
1‘Aqy, al-‘Aql wa al-Tanwi>r fi> al-Fikr al-‘Araby al-Mu‘a>s}ir (Beirut: al-Muassasah al-Jam’iyyah li al-Dira>sa>t wa al-Tauzi>’, 1995), h. 12.
Rekonstruksi Nalar Fikih dalam Perspektif Studi Islam ...
Al-Qānūn, Vol. 11, No. 2, Desember 2008
258
dengan kemajuan Eropa. Revolusi seolah-olah diteriakkan di berbagai sudut kota-kota Islam.
Salah satu isu sentral yang berusaha dijawab oleh umat Islam pada masa modern adalah berkaitan dengan mengangkat kembali wacana pembaharuan fikih, khususnya di Mesir. Hal ini tentu sangat lebih menarik dibandingkan dengan kajian-kajian lain yang bertaburan di negeri (Islam) lainnya. Ini disebabkan oleh proses transformasi intelektual yang ada di negeri Piramid ini selalu hidup dan serta didukung oleh setting dan tradisi masyarakat yang selalu berubah dan berkembang, selain gesekan-gesekannya yang cukup alot. Oleh sebab itu, beberapa konstruksi baru pemikiran Islam tampil mewarnai wacana pemikiran keislaman, dan hampir mempengaruhi seluruh belahan dunia Islam. Dari proses lahirnya teologi pembebasan, alias Islam Kiri-nya Hasan Hanafi pada awal dekade 80-an, sebagai magnum opus pemikiran yang kontroversial di zamannya, disusul dengan kritik hermeneutik al-Qur’an yang dilakukan oleh Nas}r H{a>mid Abu> Zaid pada periode awal 90-an, yang tak kalah gemparnya dengan gagasan sebelumnya. Kemudian hal itu direspon dengan konstruksi fikih baru yang dikaji dengan serius dan intens oleh Jama>l al-Banna> dan Yu>suf al-Qard}a>wy sejak awal 90-an sampai sekarang. Belum lagi jika kita meruntut kesejarahan dinamika reformasi Islam di bawah sang arsitektur Jama>luddi>n al-Afgha>ny dan Shaikh Muh}ammad ‘Abduh. Dari sekelumit catatan ini dirasa cukup representatif untuk menyatakan bahwa para intelektual Mesir banyak mewarnai pemikiran Islam kontemporer yang paradigmatik.
Tulisan ini berusaha menampilkan secercah ulasan di balik isu rekonstruksi fikih yang diinisiasikan oleh Jama>l al-Banna> yang mendongkrak trend pembaharuan fikih di Mesir. Bagi penulis, pada periode inilah wacana pembaharuan fikih mulai membuka haluan dan orientasinya ke depan.2 Satu khazanah ilmu yang menurut Jama>l al-Banna> sebagai ilmu yang paling berpengaruh besar akan kejumudan stagnasi umat Islam saat ini.
2Di samping karena pemikiran Jama>l al-Banna> kurang banyak dikaji secara intensif dalam konteks ke-Indonesia-an.
Mukhammad Zamzami
Al-Qānūn, Vol. 11, No. 2, Desember 2008
259
B. Sketsa Biografi Jama>l al-Banna>
Nama lengkapnya adalah Ah}mad Jama>luddi>n Ah}mad Abd al-Rah}ma>n. Ia lahir pada bulan Desember 1920 di sebuah desa yang masih asri dan cukup terkenal di propinsi Bukhairah, yakni desa Mah}mu>diyah, sekitar 50 kilometer dari kota wisata Alexandaria, Mesir.3 Ayahnya bernama Ah}mad ibn Abd al-Rah}ma>n ibn Muh}ammad al-Banna> al-Sa‘aty4 atau yang biasa dipanggil Syekh al-Banna. Sedangkan ibunya bernama Ummu Sa‘ad S}aqar.5 Orang tuanya memberi nama Jama>l agar setelah besar kelak anaknya akan menjadi sosok revolusioner besar seperti Jama>luddi>n al-Afgha>ny.
Jama>l al-Banna> adalah pemikir prolifik yang karyanya mencapai 100 buku. Selain tema-tema keagamaan, Jama>l juga intens membahas tentang demokrasi dan juga politik. Jama>l juga aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial. Banyak LSM-LSM yang Ia pelopori bersama dengan tokoh-tokoh lain. Misalnya, Pada 1953, ia mendirikan Asosiasi Mesir untuk Bantuan Narapidana. Di umurnya yang mendekati 88 tahun, Jamal masih produktif dalam menulis.6 Bukan hanya itu, dari sekian banyak karangannya tidak sedikit yang membuat geram ulama Mesir, khususnya al-Azhar. Bahkan bukunya yang berjudul Mas’u>liyyah Fas}l al-Daulah al-Isla>miyah (Tanggung Jawab Kegagalan Negara Islam) yang terbit 14 tahun lalu sempat dibredel pihak Majma’ al-Buhu>th, Kairo. Yang terakhir, Jama>l juga mendapat kecaman keras dari ulama
3http://ar.wikipedia.org/wiki/Jamal_al_Banna, diakses 07 Agustus 2007.
4Ayah Jama>l al-Banna> adalah pengarang kitab al-Fath} al-Rayya>n fi> Tarti>b al-Musnad al-Ima>m Ah}mad ibn H{anbal al-Shaiba>ny sebanyak 24 jilid.
5Lihat Ensiklopedi tokoh yang memuat profil ibunda H{asan al-Banna> dalam www.egyptwindow.net/nafidatumasr, diakses 07 Agustus 2007
6Di antara karya-karyanya: Hijab (al-H{ija>b), Jihad (al-Jiha>d), Pluralisme dalam Masyarakat Islam (al-Ta’addudiyyah fi> al-Mujtama’ al-Isla>my), Kebebasan Berpikir dalam Islam (H{urriyyah al-Fikr fi> al-Isla>m), Islam adalah Agama dan Umat Bukan Agama dan Negara (al-Isla>m Di>n wa Ummah wa Lais Di>n wa Daulah), Neo-Demokrasi (Di>muqrat}iyyah Jadi>dah), Merevolusi al-Qur’an (Tat}wi>r al-Qur’a>n), Perempuan Muslimah antara Pembebasan al-Qur'an dan Pemasungan Ahli Fikih (al-Mar’ah al-Muslimah bain Tah}ri>r al-Qur’a>n wa Taqyi>d al-Fuqaha>’), dan lain-lain.
Rekonstruksi Nalar Fikih dalam Perspektif Studi Islam ...
Al-Qānūn, Vol. 11, No. 2, Desember 2008
260
Azhar sehubungan dengan pendapat kontroversialnya yang tidak mewajibkan jilbab dan menghalalkan nikah mut‘ah.
Jama>l al-Banna> selain dikenal sebagai adik kandung H{asan al-Banna>, pendiri Ikhwa>n al-Muslimi>n, juga dikenal sebagai pemikir kontroversial dan disegani. Di antara gagasan pembaharuannya adalah mengenai reformasi fikih klasik. Hal ini tertuang dalam karya tulisnya Nah}w Fiqh Jadi>d; sebuah karya yang berusaha mengikis habis fase-fase dan rangkaian istidla>l dalam fikih yang disusun oleh ulama klasik.7
Dari pemikiran progresif ala Jama>l al-Banna>, Ha>shim S}a>lih, spesialis penerjemah karya-karya Muh}ammad Arkoun, sangat terkesan oleh ide-ide Jama>l al-Banna>, di Paris. Dalam tulisannya di surat kabar al-Sharq al-Ausat}, Ha>shim membandingkan Jama>l al-Banna> dengan tokoh reformis Protestan, Martin Luther. Pasalnya, menurut Ha>shim, Jama>l al-Banna> mampu menggali rasionalitas, pencerahan, dan reformasi agama dari akar ajaran Islam, al-Qur’a>n.8
C. Kritik Metode Tafsir
Menurut Jama>l al-Banna>, dasar pengambilan hukum fikih selama ini berorientasi pada al-Qur’an, hadis, dan Fuqaha>’. Retorikanya, posisi al-Qur’an dan hadis masih yang terdepan dalam percaturan pemikiran fikih yang ada. Namun dalam kenyataannya, kajian-kajian fikih yang mencapai ratusan jilid
7Sa’duddi>n Ibra>hi>m, “Pengantar”, Dalam Jamal al-Banna, al-Isla>m; Kama> Tuqaddimuh Da’wah al-Ihya>’ al-Isla>my (Kairo: Da>r al-Fikr al-Isla>my, 2004), h. 18.
8Menurut Ha>shim, proyek Jama>l tersebut merupakan lompatan jauh ke depan karena mampu menegaskan hanya al-Qur’an yang satu-satunya wajib diikuti. Dalam bahasa Jama>l yang menjadi judul salah satu karyanya adalah, al-‘Audah ila> al-Qur'a>n (1983). Ide tersebut juga mampu membebaskan umat Islam dari kungkungan akumulasi tradisi yang acap kali mengekang kebebasan. Ha>shim S{a>lih juga menempatkan proyek pemikiran Jama>l al-Banna> setara dengan proyek para pemikir Islam kontemporer yang lain, seperti Muh}ammad al-T{alaby, ‘Abd al-Maji>d al-Sharafy, H{asan H{anafy, Muh}ammad Arkoun, Muh}ammad ‘Abiry, ‘Abd al-Kari>m Shoroush dan lain-lain. Lihat: Ha>shim S{a>lih, Jama>l al-Banna> bain al-Is}la>h ad-Di>ny wa al-Tanwi>r, htpp://www.syarqulawsat.net, diakses 20 Mei 2004.
Mukhammad Zamzami
Al-Qānūn, Vol. 11, No. 2, Desember 2008
261
kitab selama ini didominasi oleh fiqh al-Fuqaha>’ semata bukan merupakan fiqh al-Qur’a>n maupun fiqh al-H{adi>th.9
Al-Qur’an sendiri, menurut Jama>l, memiliki kekuatan sendiri untuk melakukan reformasi kejiwaan (al-taghyi>r al-nafsy) demi mempersiapkan umat manusia untuk selalu menyempurnakan keimanannya,10 yakni dengan mengupayakan kebebasan berekspresi. Ibarat pohon, dia menjadikan kebebasan berkeyakinan (h}urriyyat al-‘aqi>dah), sebagai pokok (al-as}l) yang memiliki cabang-cabang (al-furu>‘) kebebasan lainnya: kebebasan berpikir, kegiatan pers, penerbitan dan lain sebagainya.11
Dengan demikian, jika kekuatan al-Qur’an tersebut secara ekstensif masih dioptimalkan, maka hegemoni segala bentuk interpretasi yang selama ini memenuhi khazanah tura>th Islam dengan sendirinya terdestruksi.12 Bagaimanapun, hasil tafsir klasik adalah upaya kita membaca kerangka baca outsider. Setiap mufassir akan selalu dikenai status sebagai outsider al-Qur’an karena berbagai aspek-aspek retorik yang dialaminya.
Menurut Jama>l, dalam menafsirkan al-Qur’an tidak cukup dengan melakukan pendekatan lingusitik. Kata mubi>n dalam ayat bi lisa>n ‘arabiy mubi>n adalah salah satu karakteristik turunnya al-Qur’an. Kata mubi>n atau al-iba>nah dengan begitu adalah usaha demonstratif seorang outsider dalam menarik kesimpulan bacaan berdasarkan premis-premis yang benar dan pasti. Premis tersebut adalah rasionalisasi dari unsur ilmu klasik dan atau berbagai disiplin keilmuan modern seperti psikologi, sosiologi, filsafat, dll.13 Dalam arti yang lebih luas, demonstrasi terhadap makna-makna al-Qur’an merupakan segala bentuk pemikiran yang
9Jama>l al-Banna>, Nah}w Fiqh Jadi>d: al-Sunnah wa Dauruha> fi> al-Fiqh al-Jadi>d, Vol. 3, (Kairo: Da>r al-Fikr al-Isla>my, 1997), h. 10.
10Ibid., Vol. I, h. 196.
11Jama>l al-Banna>, Kalla> Thumm Kalla>: Kalla> li Fuqaha>’ al-Taqli>d wa Kalla> li Du’a>h al-Tanwi>r (Kairo: Da>r al-Fikr al-Isla>my, 1994), h. 80 dan h. 249-250.
12Jama>l al-Banna>, Nah}w Fiqh Jadi>d, Vol. I, h. 197.
13Ibid., h. 199. Jama>l juga memberikan batasan bahwa upaya destruktif terhadap al-Qur’an itu sendiri sangat ditolaknya, seperti upaya seorang reparasi jam ketika membongkar jam-nya
Rekonstruksi Nalar Fikih dalam Perspektif Studi Islam ...
Al-Qānūn, Vol. 11, No. 2, Desember 2008
262
menyingkap realitas yang diragukan, entah pasti atau probable melalui penggunaan proses yang lain dari inferensi.14
Sebagai mukjizat Islam, ayat-ayat al-Qur’an, menurut Jama>l al-Banna>, mempunyai unsur-unsur penting seperti musikalitas, nilai seni dan psikologis, di mana unsur-unsur tersebut juga menjadi watak manusia pada umumnya. Dengan demikian, unsur yang terdapat dalam al-Qur’an tersebut dengan sendirinya akan mempersiapkan keimanan manusia dari bentuk keberpikiran, kebebasan, toleransi, keadilan dan lain-lain, yang dengan begitu akan tercipta pekerti yang baik; yaitu Iman dan Islam.15
Oleh sebab itu, al-Qur’an selalu berdialektika dengan karakter zamannya dengan selalu berevolusi sesuai dengan kebutuhannya.16 Bagi Jama>l, apa yang sudah dilakukan oleh ulama klasik seperti at-T{abary, al-Qurt}uby, Ibn Kathi>r, al-Ra>zy adalah secara simplisit punya corak tersendiri dalam mendekati teks. Bahkan proses pendekatan pemahaman al-Qur’an dengan memakai parameter asba>b al-nuzu>l, nasakh mansu>kh adalah upaya kebuntuan dari para penafsir dalam memahami teks-teks al-Qur’an.17 Seperti hadis yang pernah dituturkan Nabi: man qa>l fi> al-Qur’a>n al-Kari>m bi ra’yih fa as}a>b, faqad akht{a’.18 Oleh sebab itu,
14Oleh karena itu Jama>l selalu menolak keterkungkungan terhadap satu metode saja, karena baginya, metode adalah jalan yang ditempuh oleh peneliti tertentu, seperti metode Marxisme yang digagas Karl Mark, metode sosial Emile Durkheim, Wahabisme yang didirikan oleh Abdulla>h ibn Wahha>b, Salafisme yang didirikan oleh Ah}mad ibn H{anbal dan menjadi genre pemikiran Ibn Taimiyyah. Beberapa metode tersebut tidak lantas diikuti secara absolut. Jama>l adalah seorang yang berusaha mempelajari sesuatu dengan akal sehat. Karena kalau kita mengkaji sesuatu terikat dengan salah satu metode, maka kita tidak bisa bebas, terbelenggu, dan sama saja kita terjebak pada sebuah taqli>d seperti dalam penggalian hukum.
15Jama>l al-Banna>, Nah}w Fiqh Jadi>d, Vol. 3, h. 258.
16Ibid.
17Jama>l al-Banna>, Ma> Ba‘d al-Ikhwa>n al-Muslimi>n??? (Kairo: Da>r al-Fikr al-Isla>my, 1996), h. 126-127.
18Artinya: barang siapa yang berbicara (memahami) tentang al-Qur’an dengan pendapatnya dan benar, maka dia benar-benar salah. Hadis ini pernah dibahas oleh Sahl ibn ‘Abdulla>h ibn Abi> H{azm, Ah}mad, al-Bukha>ry, al-Nasa>’iy. Hadis ini oleh pengarang kitab Faid} al-Qadi>r (vol. 6, cet. al-Tija>riyyah, 1938, h. 190) sebagai hadis h}asan. Lihat: Jama>l al-Banna>, Ma> Ba‘d al-Ikhwa>n al-Muslimi>n???, h. 127.
Mukhammad Zamzami
Al-Qānūn, Vol. 11, No. 2, Desember 2008
263
menyebut tafsir tertentu sebagai cara memahami al-Qur’an an sich adalah sebuah kesalahan fatal karena tafsir yang ada hanya bersifat mendekati saja.
Setidaknya Jama>l al-Banna> menegasi obyektifikasi khazanah tafsir Islam dikarenakan:
• Mufassir tidak mempunyai inspirasi seperti Muhammad dengan wahyu ilahinya. Oleh sebab itu, interpretasi mufassir adalah sebuah prasangka.
• Tafsir yang hakiki adalah tafsi>r al-Qur’a>n bi al-Qur’a>n; bahwa keglobalan dalam satu ayat tertentu akan diperinci pada ayat lain, dan ayat yang tampak samar, maka pada ayat lain hal itu akan menjadi jelas.
• Al-Qur’an diturunkan sebagai petunjuk bagi umat manusia dan unsur kejiwaan bagi manusia untuk menciptakan budi pekerti yang baik. Hal itu juga menjadi eksperimen pada masa kenabian di mana tidak ada tafsir-tafsir ataupun komentar-komentar terhadap-nya toh Nabi dan para sahabatnya hidup dalam kedamaian.19
D. Diskualifikasi Hadis: Sebuah Problem Arkeologis-Genealogis
Sama seperti kebanyakan pemikir yang concern dengan studi ilmu hadis, usaha Jama>l di sini berusaha menjadi bagian dari di antara dua mainstream, al-Qur’a>niyyu>n dan al-Sunniyyu>n. Di satu sisi, al-Qur’a>niyyu>n yang coba menegasi sunnah qauliyyah dan hanya menerima sunnah fi‘liyyah al-mutawa>tirah. Di sisi lain, al-Sunniyyu>n berusaha tidak mengeliminir kedua sumber hukum Islam, al-Qur’an dan Sunnah. Karena keduanya merupakan elemen penting dari Islam itu sendiri.
Alasan al-Qur’a>niyyu>n mewataki penegasian sunnah qauliyyah sebagai dasar hukum Islam, karena kualitasnya sudah terkonstruk oleh aksi kepentingan yang ada, baik kepentingan
19 Di sini, bukan berarti Jama>l mengharamkan segala bentuk kajian-kajian tafsir yang ada, baik itu pada zaman klasik atau masa modern, namun ia hanya menegasi bahwa segala bentuk penafsiran tadi sebagai referensi utama terhadap problematika umat Islam yang selalu berevolusi. Lihat: Ibid., h. 128.
Rekonstruksi Nalar Fikih dalam Perspektif Studi Islam ...
Al-Qānūn, Vol. 11, No. 2, Desember 2008
264
yang terlahir dari golongan-golongan Islam dalam pembentukan fikih,20 misalnya, atau kepentingan agama lain yang ingin merusak citra Islam dari dalam.21
Jama>l pun banyak mengiyakan pendapat sekte al-Qur’a>niyyu>n jikalau merujuk pada fakta sejarah yang ada, bahkan dalam kategori kitab hadis al-mu’tabarah seperti S{ah}i>h} al-Bukha>ry dan Muslim, ada ratusan hadis yang perlu dipertanyakan standar keabsahannya.22 Namun ia menambahkan, seandainya kategori sunnah qauliyyah masih bersinergi dengan al-Qur’an, rasio, dan tidak menyelewengkan periwayatannya, maka sunnah tersebut masih bisa menempati posisinya sebagai bagian dari h}ujjah Islam.23
Apa yang telah diverifikasi oleh para ahli hadis klasik guna menyelamatkan hadis serta meletakkan dasar-dasarnya ternyata belum berhasil menyelamatkan hampir separuh hadis yang ada.24
Sunnah Nabi saw, bagi Jama>l, bisa dikenali melalui tiga bagian: sunnah h}aya>tiyyah (konsep perilaku kehidupan) Nabi dalam kapasitasnya sebagai manusia biasa seperti menjadi ayah, suami atau lelaki biasa yang dengan itu merupakan sebuah hukum tingkah laku dan hukum moral yang bersifat normatif; sunnah ‘iba>diyyah, di mana di dalamnya praktek aktual ibadah Nabi terkonstruk; sunnah siya>siyyah, sebagai pemimpin umatnya yang selalu menyesuaikan sikap, bimbingan dan petunjuknya sesuai dengan kondisi dan masyarakat yang beliau temui.25
20Jama>l al-Banna>, Nah}w Fiqh Jadi>d, h. 22-32.
21Permusuhan terhadap Islam dan untuk menjelekkannya; yaitu upaya yang ditempuh oleh orang-orang zindi>q, lebih-lebih oleh keturunan bangsa-bangsa yang dikalahkan oleh umat Islam. Adapula yang mengatakan bahwa hadis yang sudah dipalsukan oleh orang-orang zindi>q kurang lebih 14.000 hadis, bahkan Abd al-Kari>m ibn Abi> Auja>’ mengaku telah memalsukan sebanyak 4000 hadis. Lihat: Subh}y S{a>lih}, Ulu>m al-H{adi>th wa Must}alah}uh (Beirut: Da>r al-‘Ilm al-Mala>yi>n, 1959), h. 270.
22Jama>l al-Banna>, Qur’a>niyyu>n wa Muh}ammadiyyu>n Aid}a>n, www.middleeasttransparent.com, diakses 22 Pebruari 2005.
23Jama>l al-Banna, Al-Qur’aniyyu>n, vol. 1, www.3almani.com, diakses 25 Juli 2007.
24Jama>l al-Banna>, Nah}w Fiqh Jadi>d, h. 162.
25Ibid., h. 170.
Mukhammad Zamzami
Al-Qānūn, Vol. 11, No. 2, Desember 2008
265
Adapun sunnah ‘iba>diyyah, bagi Jama>l, merupakan ruang privat fuqaha>’ an sich yang tidak memberikan ruang gerak bagi sarjana Islam untuk berkontribusi. Demikian pula dengan fenomena sunnah siya>sah, yang oleh penerus kepemimpinan Nabi setelah era al-Khila>fah al-Ra>shidah tidak banyak mengaktualisasikan seperti era Nabi, namun, justru banyak ekploitasi kekuasaan yang banyak dilakukan dan banyak mengakibatkan umat Islam terpecah-belah.26
Toh, walaupun ada pola dasar dari visi kenabian Muhammad yang ditegaskan dalam al-Qur’an yang berbunyi wa ma> yant}iq ‘an al-hawa> in huw illa> wahy yu>h}a> bukan berarti seluruh kualitas kehidupan Nabi sebagai reperesentasi citra kenabian, karena posisi Muhammad sebagai Nabi, pemimpin umat, atau manusia biasa sudah sedemikian terbagi dalam wilayah-wilayahnya.27
Fenomena penolakan penulisan hadis pada zaman Nabi pun sepertinya juga menjadi satu mindset bagi aliran al-Qur’a>niyyu>n untuk menegasi mutualisme hadis. Jama>l al-Banna> juga memberikan proposisi mengenai hal tersebut, di antaranya:
1. Nabi melarang keras penulisan hadis. Adapun dalam salah satu riwayat yang diperbolehkan hal itu merupakan pengecualian terkecil karena ada sebab-sebab tertentu,
2. al-Khulafa>’ al-Ra>shidu>n juga melarang hal serupa.
3. Pembakaran teks hadis yang dilakukan oleh Abu> Bakr.
4. Penegasian ‘Umar berkenaan dengan kapasitas hadis sebagai media interpretator sehingga tidak campur-aduk antara keduanya.
5. Pengarahan ‘Uthma>n untuk mengambil hadis-hadis yang sudah diketahui kebenarannya pada masa Abu> Bakr dan ‘Umar ibn al-Khat}t}a>b.
6. Ancaman ‘Aly ibn Abi> T{a>lib bagi orang yang menelusuri jejak-jejak hadis dan mengajak mereka untuk kembali kepada al-Qur’an.
7. Penolakan sebagian sahabat terhadap periwayatan hadis yang dilakukan oleh beberapa sahabat agar tidak
26Ibid., h. 180-182.
27Ibid., h. 194-5.
Rekonstruksi Nalar Fikih dalam Perspektif Studi Islam ...
Al-Qānūn, Vol. 11, No. 2, Desember 2008
266
menjadikannya sebagai mus}h}af yang utuh, walaupun mereka masih diperbolehkan meriwayatkan hadis jika mereka mendengarnya.28
Maka dari itu, dapat dijadikan sebuah preseden bahwa baik Nabi maupun al-Khulafa>’ al-Ra>shidu>n juga tidak berkeinginan mengabadikan sunnah-sunnah Nabi yang walaupun demikian para sahabat senantiasa menjaganya.29 Tujuan Nabi saw, kiranya hal itu tidak menjadi sebuah kesulitan jika harus mengodifikasinya sedari awal atau bahkan malah merancukan kodifikasi antara al-Qur’an dan hadis.
Jadi, kalaulah melihat terjadi fenomena pengkafiran yang dilakukan oleh ulama al-Azhar dengan membangun hukumnya melalui standarisasi sunnah, maka itu ditolak Jama>l dikarenakan Sunnah tidak bisa independen dalam membangun sebuah hukum karena kapasitasnya hanya diperbantukan kepada al-Qur’an semata. Menjadi salah kalau fuqaha>’ selama ini mentahbiskan fatwa-fatwanya, karena seperti yang diungkap Ra>shid Rid}a> bahwa soal independensi sunnah sebagai sebuah dalil hukum tertentu adalah kesalahan fatal. Baginya, sunnah tidak bisa menjadi agama baru, karena sahabat sendiri tidak berkeinginan mengabadikannya.30
Inilah potret fikih klasik yang cenderung mendeskriditkan Sunnah sebagai sebuah qaul atau hadis dengan membuka peluang bagi terciptanya penyimpangan dan pelbagai kepentingan.
Dengan demikian, jika terminologi sunnah diartikan sebagai konstruksi ideal model kehidupan Nabi dan apa yang ditinggalkannya dijadikan sebagai doktrin global sebagai sebentuk pengejawantahan nilai-nilai esensial bagi terciptanya kemaslahatan umat, maka al-Qur’a>niyyu>n dapat mempraktekannya.31
Dalam perbincangan mengenai diskursus kehujjahan hadis sebagai sebuah problem arkeologis-genealogis, penulis sengaja mengambil pisau analisis Michael Foucault tentang kedua
28Ibid., h. 200-1.
29Ibid., h. 202.
30Ibid., h. 225-7.
31Ibid., h. 268.
Mukhammad Zamzami
Al-Qānūn, Vol. 11, No. 2, Desember 2008
267
teorinya: arkeologi pengetahuan32 dan genealogi kekuasaan.33 Barangkali, ketika Jama>l melihat problematika kuasa dalam masa kodifikasi hadis adalah beroperasinya kekuasaan dan disiplin dalam penjaringan hadis, termasuk kontruksi subyek (terpecahnya umat Islam) sebagai efek diskursus. Oleh karena itu, bagi penulis ketika membaca pemikiran Jama>l al-Banna> mengenai hadis ini, dalam pembacaan dua metodologi ini adalah bahwa kondisi hadis pasca meninggalnya Nabi merupakan bagian dari strategi kuasa, sehingga dengan sendirinya bersifat subyektif. Jama>l berusaha menelanjangi penyingkapan kedok autentisitas hadis dengan segala perwujudannya dalam relasinya dengan sakralitas al-Qur’a>n.
Pemikiran Jama>l, dengan begitu, menggerakkan diskursus hadis pada ilmu kemanusiaan. Semakin cara kerja rasio dalam melihat kecenderungan hadis yang menjadi anti-tesis dari sumber
32Foucault mendefinisikan arkeologi sebagai eksplorasi sejumlah kondisi historis nyata dan spesifik dimana berbagai pernyataan dikombinasikan dan diatur untuk membentuk atau mendefinisikan suatu bidang pengetahuan/obyek yang terpisah serta mensyaratkan adanya seperangkat konsep tertentu dan menghapus batas rezim kedalaman tertentu. Arkeologi menekankan pada penggalian (excavation) masa lalu di tempat tertentu. Foucault berusaha mencari jejak-jejak yang ditinggalkan dari sebuah ritus atau monumen diskursif. Baginya setiap obyek historis yang berubah, tidak boleh ditafsirkan dalam perpektif yang sama. Sehingga dalam hal ini, diskursus senantiasa bersifat diskontiniu. Pemahaman ini dibuktikan akan kenyataan bahwa selalu saja terjadi keterputusan historis, antara bagaimana suatu obyek dikonseptualisasikan dan dipahami. Selalu saja ada jarak, dalam menafsirkan obyek. Lihat: Chris Barker, Culture Studies (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005), h. 146-147.
33Kajian Foucault mengenai genealogi menunjukkan relasi kontinuitas-diskontiuntitas dalam sebuah diskursus. Jadi dalam hal ini, geneanologi mengambil bentuk berupa pencarian kontinuitas dan diskontinuitas dari diskursus. Geneanologi tidak mencari asal-usul, melainkan menelusuri awal dari pembentukan diskursus yang dapat terjadi kapan saja. Foucault dalam kerangka metodelogis ini, tidak menggunakan verstehen (pemahaman) melainkan destruksi dan pembongkaran hubungan-hubungan historis yang disangka ada antara sejarawan dengan obyeknya. Jika dalam arkeologi, proyek metodologi diarahkan untuk menggali situs lokal praktik diskursif, maka geneanologi beranjak lebih jauh yaitu untuk menelaah bagaimana diskursus berkembang dan dimainkan dalam kondisi historis yang spesifik dan tak dapat direduksi melalui operasi kekuasaan. Ibid., 148.
Rekonstruksi Nalar Fikih dalam Perspektif Studi Islam ...
Al-Qānūn, Vol. 11, No. 2, Desember 2008
268
utama, al-Qur’an, maka obyektifikasi pada keberadaan hadis sebagai sumber hukum akan selalu difilter dari relasi-relasi kuasa.
Oleh sebab itu, pantas jika Jama>l menegasi keberadaan hadis qauliyyah sebagai sebuah pranata hukum. Ia justru melegal-formalkan kualitas hadis fi‘liyyah al-mutawa>tirah karena interkoneksinya dengan umat Islam sepanjang sejarah amaliyahnya.
E. Rekonstruksi Fikih: Sebuah Landasan Epistemologis
Penegasian Jama>l al-Banna> terhadap dasar-dasar istidla>l pemikiran Islam selama ini tak pelak menimbulkan kontroversi. Baik disiplin keilmuan tafsir, hadis maupun fikih yang diwariskan oleh ulama klasik tidak membawa dampak positif bagi umat Islam saat ini. Keberanian untuk menyuarakan pembaharuan lewat rumusan ijtihad benar-benar dibutuhkan untuk menegaskan eksistensi manusia dalam kehidupan ini. Rasionalisme ijtiha>diyyah benar-benar menjadi pranata penting dalam memahami teks-teks suci.
1. Sumber Hukum Islam: Akal, al-Qur’an, Sunnah, al-‘Urf.
Langkah progresif pertama yang dilakukan Jama>l al-Banna> adalah mendestruksi sumber hukum Islam.34 Bagi Jama>l, urutan legal formal dalam membaca teks-teks suci dimulai dari (1) Akal, (2) al-Qur’a>n35 (3) Sunnah36 dan (4) al-‘Urf.
Memfungsikan akal, dengan demikian, adalah upaya obyektifikasi (tamaud}u’) reader terhadap teks-teks yang ada sekaligus upaya menghindari monopoli pemahaman. Secara otomatis, hal ini menghantarkan kebebasan berpikir mutlak menjadi starting point dalam karateristiknya. Apapun upaya interpretasi seorang reader, validitas sebuah pemikiran mutlak merupakan otonomi manusia semata. Bahkan dalam kategori
34Di mana gagasan yang ditelorkan Imam Sha>fi’iy adalah menempatkan al-Qur’an, hadis, ijma’ dan qiyas sebagai urutan standar hukum Islam
35Lihat pada pada sub Kritik Metode Tafsir di atas.
36Lihat pada tulisan sebelumnya pada sub Diskualisfikasi Hadis: Sebuah Problem Genealogis
Mukhammad Zamzami
Al-Qānūn, Vol. 11, No. 2, Desember 2008
269
beriman ataupun tidak, beberapa ayat al-Qur’an37 menegaskan hal tersebut sebagai wilayah privat, bukan persoalan publik yang menuntut intervensi kekuasaan dalam beragam bentuknya, tak terkecuali kuasa rija>l al-di>n atau jamaah kesalehan. Hanya Tuhan pemegang hak prerogatif untuk vonis pengadilan-Nya.38
Yang menarik dari pemikiran Jama>l al-Banna> adalah menempatkan al-‘urf dalam kategori sumber hukum Islam. Al-‘urf adalah satu tradisi yang ada di satu tempat atau daerah tertentu. Al-Jurja>ny mengartikannya sebagai sesuatu yang telah diterima oleh akal dan meresap dalam jiwa manusia. Sinonim terminologis al-‘urf adalah al-‘a>dah, sebagaimana yang disimpulkan dalam satu kaidah us}u>l al-fiqh yang berbunyi al-'a>dah muhakkamah (suatu tradisi adalah sesuatu yang harus diterima dengan bijak). Kaidah ini telah populer digunakan oleh ulama fikih dan dijadikan sandaran hukum, tapi mereka tak sampai kepada kesimpulan bahwa al-'urf adalah bagian penting dalam tegaknya sebuah hukum. Al-Qur’an mengungkapkannya dengan khudh al-‘afw wa’mur bi al-‘urf wa a'rid} ‘an al-ja>hili>n. Makna al-‘urf dalam ayat di atas adalah “kebaikan”. Dan ternyata ulama fikih terdahulu telah sepakat dengan statemen “al-tha>bit bi al-‘urf, th>abit bi dali>l shar‘iy”.
Para ahli fikih sepakat bahwa al-‘urf sebagai kategori yang bisa diambil dalil dengan syarat bahwa ia berkorespondensi dengan teks-teks al-Qur’an. Stressing-nya ialah bagaimana
37Lihat: QS. al-Baqarah (2): 256; Yu>nus (10): 108; al-Isra>’ (17): 15; al-Kahf (18): 29; al-Naml (27): 91-93; al-Ru>m (30): 44; QS. Fa>t}ir (35): 39; al-Zumar (39): 41.
38Jama>l al-Banna>, al-Isla>m wa H{urriyyah al-Fikr (Kairo: Da>r al-Fikr al-Isla>my, 1999), h. 31-32. Atau lihat: Jama>l al-Banna>, Ma> Ba‘d al-Ikhwa>n al-Muslimi>n???, h. 188. Jama>l menambahkan tuturannya, bahwa munculnya kasus pemurtadan yang dicetuskan oleh beberapa kalangan agamawan terhadap Nas}r H{a>mid Abu> Zaid, bagaimanapun konstruk berpikirnya tidak lantas label kafir bisa disematkan kepadanya. Pertentangan ideologi demikian memang seyogyanya tidak masuk dalam wilayah fikih, namun oleh kalangan agamawan perbedaan tersebut dipaksakan masuk dalam wilayah privat Tuhan yang mempunyai justifikasi tunggal perihal iman dan kafir hambanya. Visi saling menyalahkan ini tentunya sangat dilematis mengingat Islam memberikan satu wadah berupa kebebasan bagi setiap orang untuk hidup dengan kebebasannya yang autentik. Lihat: Jama>l al-Banna>, Mat}labuna> al-Awwal Huw: al-H{urriyyah (Kairo: Da>r al-Fikr al-Isla>my, 2000), h. 8-9.
Rekonstruksi Nalar Fikih dalam Perspektif Studi Islam ...
Al-Qānūn, Vol. 11, No. 2, Desember 2008
270
mengadaptasikan al-‘urf sebagai bagian dari sumber hukum yang dilegalkan, mengingat setiap masyarakat mempunyai al-‘urf yang benar-benar independen satu sama lain. Di situlah kebebasan berpikir dan berekspresi akan muncul sebagai nilai autentik dalam setiap muslim.39 Kategori ini biasa dialami oleh individu atau masyarakat seperti model berpakaian seperti yang terjadi pada seorang perempuan.
2. Hukum Takli>f: H{ala>l, H{ara>m dan Mant}iqa>t al-‘Afw (Medan Netral)
Jama>l al-Banna> mengkritisi sikap fikih selama ini mengenai al-bara>’ah al-as}liyyah (kebebasan mutlak), di mana wilayah ini dipolitisir oleh kalangan ahli fikih sebagai wilayah syariah. Padahal, seperti yang diutarakan oleh Ibn Taymiyah bahwa kategori kehidupan manusia terbagi menjadi dua: satu sisi yang berhubungan dengan wawasan eskatologis dan agamanya, dan di sisi lain adalah orientasi keduniawian semata. Dan menjadi kesepakatan bahwa dalam wilayah keagamaan ada syariah yang memayunginya seperti yang tertuang dalam QS. al-Shu>ra> (42): 21. Sedangkan orientasi keduniaan mutlak mantiqat al-‘afw (medan netral) seperti yang tertuang dalam QS. Yu>nus (10): 59.40
Adapun yang ada dalam khazanah keilmuan fikih saat ini wilayah halal dan haram terbagi menjadi dua. Pertama, yaitu yang sudah dijelaskan oleh Allah melalui al-Qur’an. Kedua adalah hasil analogi para ahli fikih dari bias interpretasinya terhadap al-Qur’an dan Sunnah.41 Menurut al-Banna>, bahwa kategori yang kedua di atas adalah tidak bisa dijamin kebenarannya karena kapasitas manusia dalam memahami teks sangat terbatas. Oleh karena itu sangat rancu ketika harus mengkategorisasikan hukum al-tah}ri>m al-munazzal dari Allah dengan al-tah}ri>m al-fiqhy dari fuqaha>’, menurut al-Banna> sebagai tindakan syirik seperti yang tertuang dalam al-Qur’an ittakhadhu> ah}ba>rahum wa ruh}ba>nahum arba>ban min du>n Alla>h”.42
39Jama>l al-Banna>, Nah}w Fiqh Jadi>d, vol III, h. 295.
40Ibid., vol. I, h. 17.
41Ibid., h. 16.
42Ibid., h. 17.
Mukhammad Zamzami
Al-Qānūn, Vol. 11, No. 2, Desember 2008
271
“Medan netral” tersebut nantinya dijustifikasi sebagai wilayah kebebasan mutlak yang mencakup wilayah hukum interaksi (mu‘a>malah) dan kebiasaan. Di mana tidak ada keharaman di dalamnya selama tidak ada teks yang menjelaskan keharamannya. QS. al-An’a>m (6): 119 menjelaskan keterperincian dari wilayah halal dan haram, maka, jika wilayah tersebut tidak bisa begitu saja dieksploitir oleh para ahli fikih.
Dalam sebuah hadis disebutkan al-h}ala>l ma> ah}all Alla>h fi> kita>bih wa al-h}ara>m ma> h}arram fi> kita>bih, wa ma> sakat ‘anh fahuw minma> ‘afa> lakum. Hal ini mempertegas bahwa standarisasi hukum Islam sesuai kehendaknya masuk dalam tiga wilayah, halal, haram dan mant}iqat al-’afw. Namun, oleh para ahli fikih, diperluas dengan sunnah, makruh, mubah.43
Hal-hal baru yang coba diusung oleh Jama>l al-Banna> dalam fikih barunya antara lain:
• Al-bara>’ah al-as}liyyah adalah satu pondasi penting dalam Us}u>l al-Fiqh karena hal ini berimplikasi kepada hukum halal kecuali memang terdapat nas}s} yang mengharamkannya.
• Halal dan haram adalah wilayah privat Tuhan melalui al-Qur’an, dalam hal ini kapasitas sunnah al-nabawiyyah dalam membuat kontradiksi dengan al-Qur’an harus dicurigai sebagai sunnah yang lemah periwayatannya. Dan para ahli fikih tidak boleh membuat ta’wi>l di dalamnya.
• Paradigma fikih sadd al-dhari>‘ah berbeda dengan pendekatan yang termaktub dalam al-Qur’an yaitu al-maqa>s}ah (kompensasi) yang lebih diutamakan keberadaannya daripada sadd al-dhari>‘ah.
Yang paling urgen untuk diangkat pada dataran proses rekonstruksi fikih ala Jama>l al-Banna> di atas adalah adanya satu kepedulian yang sangat tinggi untuk tetap kembali membuka pintu ijtihad yang fair, obyektif, menjunjung tinggi pluralisme dan berkeadilan jender. Tujuan intinya adalah bagaimana fikih Islam bisa berjalan berdampingan dan berkelindan dengan tuntutan modernitas yang sangat mendesak.
43Ibid., h. 20.
Rekonstruksi Nalar Fikih dalam Perspektif Studi Islam ...
Al-Qānūn, Vol. 11, No. 2, Desember 2008
272
F. Penutup
Salah satu motto Jama>l al-Banna> adalah not to believe in faith, but to believe in the human being (janganlah beriman untuk agama [saja], tapi berimanlah [juga] kepada manusia) dan Islam targeted the human being, but the Muslim scholars targeted Islam (sasaran Islam adalah manusia, sedangkan sasaran para intelektual adalah Islam). Pada tataran ini Jama>l menginginkan Islam mengabdi kepada manusia. Karena misi awal agama diturunkan untuk membawa kemaslahatan bagi manusia. Maka dari itu Jama>l tidak setuju jika keberagamaan yang berkembang di tengah umat, hanya “keberagamaan eskatologis”, dan mengenyampingkan “keberagamaan duniawi”.44
Di sini, sikap utopis ataupun sentemen terhadap nilai-nilai modernitas hanya akan menempatkan Islam dalam kategori agama yang stagnan. Diperlukan usaha keras dalam publisitas epitemik agar kerangka pengetahuan yang progresif selalu dikomunikasikan, dibagikan dan dapat dijangkau oleh masyarakat Islam luas.
Daftar Pustaka
‘Aqy, al-‘Aql wa al-Tanwi>r fi> al-Fikr al-‘Araby al-Mu‘a>s}ir, Beirut, al-Muassasah al-Jam’iyyah li al-Dira>sa>t wa al-Tauzi>’, 1995.
Chris Barker, Culture Studies (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005.
Ha>shim S{a>lih, Jama>l al-Banna> bain al-Is}la>h ad-Di>ny wa al-Tanwi>r, htpp://www.syarqulawsat.net.
Jama>l al-Banna, Al-Qur’aniyyu>n, vol. 1, www.3almani.com.
--------------->, al-Isla>m wa H{urriyyah al-Fikr, Kairo, Da>r al-Fikr al-Isla>my, 1999
---------------, An Experiment of Islamic Renovation The Call for Islamic Revival, http://www.islamiccall.org.
---------------, Kalla> Thumm Kalla>: Kalla> li Fuqaha>’ al-Taqli>d wa Kalla> li Du’a>h al-Tanwi>r, Kairo, Da>r al-Fikr al-Isla>my, 1994.
44Jama>l al-Banna>, An Experiment of Islamic Renovation The Call for Islamic Revival, http://www.islamiccall.org, diakses 25 Juli 2007.
Mukhammad Zamzami
Al-Qānūn, Vol. 11, No. 2, Desember 2008
273
---------------, Ma> Ba‘d al-Ikhwa>n al-Muslimi>n???, Kairo, Da>r al-Fikr al-Isla>my, 1996.
---------------, Mat}labuna> al-Awwal Huw: al-H{urriyyah, Kairo, Da>r al-Fikr al-Isla>my, 2000.
---------------, Nah}w Fiqh Jadi>d: al-Sunnah wa Dauruha> fi> al-Fiqh al-Jadi>d, Vol. 3, Kairo, Da>r al-Fikr al-Isla>my, 1997.
---------------, Qur’a>niyyu>n wa Muh}ammadiyyu>n Aid}a>n, www.middleeasttransparent.com.
---------------, al-Isla>m; Kama> Tuqaddimuh Da’wah al-Ihya>’ al-Isla>my (Kairo: Da>r al-Fikr al-Isla>my, 2004.
Sa’duddi>n Ibra>hi>m, “Pengantar”, Dalam Jamal al-Banna, al-Isla>m; Kama> Tuqaddimuh Da’wah al-Ihya>’ al-Isla>my (Kairo: Da>r al-Fikr al-Isla>my, 2004.
Subh}y S{a>lih}, Ulu>m al-H{adi>th wa Must}alah}uh, Beirut, Da>r al-‘Ilm al-Mala>yi>n, 1959.
http://ar.wikipedia.org/wiki/Jamal_al_Banna.
http://www.egyptwindow.net/nafidatumasr.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar