Sabtu, 25 Desember 2010

Humanistik dalam pndangan Fiqh

PLURALISME, DEMOKRASI DAN KEADILAN SOSIAL
DALAM KONSEPSI FIQH HUMANISTIK ABOU EL FADL
Abstract: To make connection between fiqh and humanism is often judged as a subversive. Religion, in other word Islam, is convinced the only source of morality, then rationality tendency to discover morality – such as humanism – never get a proportional place. Whereas at a certain point religioun is meaned totalitarianly by his follower, there’s potency to exploit religion for political and partisan interest that will kill humanistic values. In this context, the existence of religion is important to be reflected in a humanization process, namely a process to place and treat human being more human.
From the above frame work, this assignment will explain the Abou El Fadl’s conception of humanistic fiqh related to pluralism, democracy, and social justice. These three conceptions are “par excellence” humanistic values that often being campaigned by Abou El Fadl. Abou El Fadl is a scholar who has great attention to establish link between Islam, fiqh and morality.

Keywords: Humanisme, Pluralisme, Demokrasi, Keadilan Sosial.

PENGANTAR
Dalam perjalanan sejarah agama-agama (history of relegions) terdapat dua wajah keagamaan yang kontradiktif. Satu sisi agama telah banyak berperan dalam mempelopori perdamaian, kasih sayang antar sesama dan hal lain yang bersifat kemanusiaan. Akan tetapi di sisi lain, atas nama agama juga telah tertoreh radikalisme dan kejahatan-kejahatan kemanusiaan yang mengerikan, bisa disebut dalam konteks Islam misalnya serentetan aksi teror dalam berbagai bentuknya yang menelan banyak korban jiwa, klaim-klaim kebenaran pemahaman keagamaan, eksklusifitas dalam bentuk pemurtadan atau takfi>r terhadap kelompok lain, pendegradasian perempuan dan tekhnis hukuman syari’ah yang tidak manusiawi. Hal tersebut diyakini sebagai imbas pola keberagamaan yang bersifat teosentris dan mengabaikan visi humanistik agama. Hal tersebut kontradiktif dengan klaim bahwa beragama adalah untuk kemaslahatan manusia sebagaimana ia diturunkan untuk merealisasikan rah}mah li al-‘a>lami>n.
Fiqh sebagai set panduan tata laku yang bersifat praktis sering kali dijadikan alat legitimasi eksklusifitas dan radikalisme sebagaimana dilakukan kelompok puritan. Hal ini bersifat kontra-produktif bagi penyemaian dan penyuburan fiqh sebagai alat transformasi sosial sebagaimana didengungkan oleh proyek reformasi fiqh (Islamic legal reform). Fiqh sebagai transformative tool mengisyaratkan adanya karakter egaliter, humanis dan kosmopolit pada disiplin ini. Meminjam kerangka ilmu sosial profetik Kuntowijiyo, keilmuan sosial – termasuk di dalamnya keilmuan agama dan hukum – tidak boleh berpuas diri dengan memahami dan menjelaskan realitas sosial-keagamaan kemudian memaafkannya, akan tetapi lebih jauh dari itu; mengemban tugas transformasi menuju cita-cita yang diidealkan masyarakat. Karena itu, kemudian ia membagi wilayah penelitian ilmu sosial profetik menjadi tiga; persoalan humanisme (al-‘amr bi al-ma’ru>f) selain persoalan liberasi (al-nahy ‘an al-munkar) dan transendensi.[1] Salah satu persoalan yang menghadang humanisme sebagai bagian dari ISP adalah agresivitas dan aksi-aksi yang bersifat dehumanistik dalam segala bentuknya.
Dalam kerangka pemikiran di atas, penting untuk mempertautkan disiplin fiqh dengan wacana humanisme. Humanism dalam terminologi renaissance sering kali dideskripsikan dalam terma etis; penekanan pada manusia dan martabatnya. Menurut Aulus Gellius, humanisme dalam pengertian umum berarti philantropia, yakni kecendrungan pada spirit persahabatan dan rasa nyaman terhadap semua manusia tanpa pembedaan.[2] Pemaduan antara aspek fiqh dengan humanism tersebut telah diprakarsai antara lain oleh sosok Abou El Fadl. Abou El Fadl adalah pemikir dan praktisi yang banyak mendekati hukum Islam dari perspektif moralitas dan humaniti.
Karenanya, makalah ini akan mencoba menguak bagaimana konsepsi fiqh humanistik Abou El Fadl berkaitan dengan nilai pluralisme, demokrasi dan keadilan sosial. Setelah itu juga akan ditelusuri lebih jauh bagaimana pengaruh setting sosial budaya yang mengitari Abou El Fadl terhadap pemikiran dan konsepsi fiqhiyyahnya. Di dalam wacana sosiologi pengetahuan, pemikiran dan ide selalu berkelindan dengan kondisi sosial budaya di mana pemikiran dan ide diproduksi.[3] Pemikiran dan pengetahuan juga selalu mengisyaratkan kepentingan; kepentingan untuk mendobrak dominasi atau, bahkan melanggengkan dominasi.
MENGENAL ABOU EL FADL
Khaled Abou El Fadl yang disebut-sebut sebagai an enlightened paragon of liberal Islam[4] adalah pemikir sekaligus aktivis terkemuka era modern dalam bidang hukum Islam, Imigrasi, HAM dan hukum keamanan nasional dan internasional. Abou El Fadl dilahirkan di Kuwait pada tahun 1963 dari kedua orang tua yang berasal dari Mesir. Ia tumbuh besar di Mesir, akan tetapi kemudian ia hijrah ke Amerika bahkan selanjutnya ia dinaturalisasikan menjadi warga negara Amerika. Abou El Fadl kecil dikenal sebagai anak yang cerdas, Usia 12 tahun sudah hafal al-Qur`an. Semasa kecil selain aktif mengikuti kelas al-Qur`an dan Syariah di masjid Al-Azhar dia juga melahap habis semua koleksi buku orang tuanya yang berprofesi sebagai pengacara. Dia juga tekun belajar kepada para shaykh, diantaranya Muhammad al-Ghazali (w.1995). Dalam pengakuannya ia sempat menjadi pengikut setia faham puritan Wahabi semasa di Mesir. Bayang-bayang puritanisme tetap melekat pada dirinya hingga dia menyelesaikan Barchelor of Art-nya dengan yudicium cum laude di Yale University pada 1986.[5]
Abou El Fadl adalah profesor hukum Islam di UCLA (University of California Los Angeles) School of Law. Ia juga pernah mengajar hukum Islam di Texas University, Yale Law School dan Princeton University. Selain itu ia adalah American lawyer, Dewan Pengurus Human Right Watch, dan ditunjuk Presiden Bush sebagai anggota komisi International Religious Freedom.[6] Di sela-sela kesibukannya, Abou El Fadl menyempatkan dirinya memberikan fatawa terkait isu-isu hukum Islam dan HAM.[7]
Riwayat akademisnya dimulai dari Yale University (B.A.), University of Pennsylvania Law School (J.D.) dan Princeton University (M.A./Ph. D.). Abou El Fadl adalah mahasiswa berprestasi, di program doktornya umpamanya, ia mendapatkan nilai kumulatif yang tinggi dan memenangkan disertasi terbaik “Rebellion and Violence in Islamic Law”. Sebelumnya ia juga pernah mendalami studi keislaman di Mesir dan Kuwait. Pengetahuannya tentang tradisi klasik dan perjumpaannya dengan tradisi intelektual Amerika yang concern pada kebebasan, toleransi, HAM, dan humanitas menjadikan Abou El Fadl kritis terhadap interpretasi keagamaan yang bersifat dehumanistik. Grand wacananya tentang sisi moralitas Islam sebelum peristiwa 11 September dianggap hanya sebagai wacana esoteris Islam belaka. Akan tetapi setelah peristiwa tersebut, lewat artikelnya “What become tolerance in Islam”?ide-idenya mendapat banyak apresiasi.[8]
Senjata utama Abou El Fadl adalah buku. Buku-bukunya[9] menunjukkan betapa luas dan dalam tradisi intelektual Islam[10], dan itu cukup membentuk pribadi Abou El Fadl ketika berhadapan dengan persoalan toleransi dan pluralisme. Ia pernah mengatakan bahwa ia tidak jatuh cinta dengan pengetahuan dan pemikiran analitis bahkan setelah tiba di Barat. Akan tetapi spiritnya terhadap pengetahuan, buku dan penelitian berasal dari jantung Islam sendiri.[11]
Abou El Fadl juga merupakan penulis yang produktif. Tulisan-tulisannya berkisar tentang tema universal moralitas dan kemanusiaan. Karya-karyanya dalam bentuk buku adalah ; Speaking in Go’d Name: Islamic Law, Authority and Women (Oneworld Press, Oxford, 2001); Rebellion and Violence in Islamic Law (Cambridge University Press, 2001); And God Knows the Soldiers: The Authoritative and Aunthoritarian in Islamic Discoursees (UPA/Rowman and Littlefield, 2001); Islam and the Challenge of Democracy (Princeton University Press, 2004); The Place of Tolerance in Islam (Beacon Press, 2002); Conference of the Books: The Search for Beauty in Islam (University Press of Amerika/Rowman and Littlefield, 2001).[12]
Dalam tulisan-tulisannya, ia piawai menguraikan nilai-nilai Islam klasik dalam konteks modern.Tulisan-tulisan dan gagasan-gagasan Abou El Fadl yang kritis dan membongkar otoritarianisme tafsir keagamaan membuat kebanyakan Ayatullah, Shaykh dan para pengikutnya “gerah” dan menganggapnya sebagai koruptor dari Amerika yang paling berbahaya terhadap Islam. Tidak heran bila buku-bukunya dilarang masuk Saudi Arabia, sebagaimana Mesir, negara asalnya, juga menolak aplikasi visanya.
KONSEPSI HUMANISME
Humanism secara etimologis mempunyai dua kisaran makna; pertama, sistem pemikiran yang bercorak rasional dan lebih berorientasi pada human being daripada yang bersifat divine atau supernatural. Kedua, humanism juga mengacu pada gerakan budaya renaissance yang mempunyai interest pada tradisi pemikiran Yunani dan Romawi dan berseberangan dengan paham skolastik abad pertengahan.[13] “Humanisme” adalah salah satu konsep dalam sejarah intelektual yang sering digunakan dalam berbagai bidang, khususnya filsafat, pendidikan dan literature. Berdasar makna etimologis yang longgar di atas dan penerapannya dalam berbagai bidang, ‘humanisme’ mempunyai varian makna sesuai bidang masing-masing, dan konteks historis yang melatarbelakanginya. Pada masa pencerahan (mulai pertengahan pertama abad ke-15) misalnya, humanisme lebih banyak dipahami sebagai proyek membangun kehidupan manusia dan masyarakat berdasar tatanan dan aturan akal budi. Walaupun begitu, variasi makna humanisme disatukan oleh benang merah persamaan, yaitu konsen pada nilai-nilai kemanusiaan dan harkat martabat manusia.[14]
Humanisme biasanya dipertentangkan dengan skolatisisme. Paham yang terakhir ini lebih mengarah pada ajaran positivism-Aristotelian abad pertengahan. Sementara humanism adalah gerakan literer dan program budaya, bukan sebuah system filosofis. Walaupun program ini pada akhirnya mempunyai implikasi dan paham filosofis. Titik tekan kajian filsafat kaum humanis era renaissance adalah etika.[15]
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa humanisme tidaklah bertentangan dengan agama sebagaimana klaim kelompok puritan Islam. Humanisme tidak bersifat religious atau antireligius, melainkan sebuah orientasi literer dan akademik yang dipelajari untuk menyokong keyakinan dan agenda religious. Dalam konteks Islam, humanisme juga dicurigai sebagai bias Barat dan ditiupkan untuk menggoyahkan keyakina Islam, karena humanism dianggap menafikan agama. Ini tidak berbeda dalam konteks Kristen. Giovanni Dominici, seorang Imam Dominikan, pernah mengecam studi yang diakukan oleh orang-orang Kristen terhadap literature kuno atau filsafat karena hal tersebut dianggap sebagai kemerosotan ruhani. Sebaliknya, Jacques Letevre dan Desiderius melihat studi humanistik sebagai bagian dari pembaharuan religious yang terfokus pada karya-karya klasik sebagai inspirasi.[16] Ya, agama tidak selalu bertentangan dengan humanisme. Ajaran keagamaan yang dimaknai secara humanis dan rasional akan melapangkan citra positif bagi peran agama yang apresiatif dengan konteks kemanusiaan. Demikian halnya hubungan antara Islam dan humanisme. Ali Syari’ati memasukkan agama (termasuk Islam) sebagai salah satu madhab atau aliran humanisme.[17]
John L. Kraemer menuliskan bahwa sejarah Islam mengalami renaissance lebih awal, yakni abad ke-9 sampai ke-10 M. Renaissance dalam masyarakat Islam juga juga memunculkan gerakan humanisme dan skolatisisme. Mirip dengan humanisme di Barat, humanisme Islam mempunyai karakter-karakter sebagai berikut:[18]
1. Pengadopsian filsafat klasik sebagai cita-cita pendidikan dan kebudayaan.
2. Konsepsi tentang persaudaraan dan kesatuan seluruh umat manusia
3. Keramahan dan cinta kasih sesama umat
4. Keyakinan bahwa al-‘ulu>m al-awa>`il adalah warisan bersama.
Kuntowijoyo menegaskan bahwa humanisme merupakan perspektif di mana seseorang dihormati sebagai persona, sebagai manusia seutuhnya. Humanisme berkeyakinan bahwa “hal paling buruk yang kita lakukan terhadap orang lain adalah kekejaman”. Kekejaman dalam bentuk apapun tak pernah dibenarkan oleh agama. Dus, inti sikap humanis adalah menolak untuk bertindak kejam atas nama apapun, termasuk atas nama agama. Seorang yang humanis adalah seorang yang solider dengan orang-orang miskin, lemah dan tertindas dan ia menentang segala bentuk ketidakadilan.[19] Inti sikap humanis tersebut sebenarnya bukan sesuatu yang baru dalam Islam. Banyak teks-teks keagamaan dalam Islam yang mempunyai spirit humanistik sebagaimana dinyatakan Kuntowijoyo. Dan semua agama tentu mempunyai klaim menyuarakan nilai humanisme. Akan tetapi kelemahannya adalah bahwa spirit moralitas dalam agama belum ditarik dalam wacana filsafat etik sehingga spirit tersebut terkesan mandeg vis a vis dinamika kehidupan manusia yang kompleks. Etika menurut Kuntowijoyo sangat diperlukan oleh tokoh keagamaan untuk merespon peristiwa-peristiwa hukum baru yang belum ter-cover dalam teks yang membutuhkan solusi hukum. Di sisi yang lain ia menegaskan perlunya objektifikasi Islam, yakni penerjemahan nilai-nilai internal ke dalam kategori-kategori objektif. Objektifikasi tambahnya, adalah perbuatan rasional-nilai yang diwujudkan dalam bentuk perbuatan rasional sehingga orang luar pun (non-muslim) dapat menikmatinya tanpa harus setuju dengan nilai-nilai asal; kesetiakawanan nasional misalnya, merupakan objektifikasi dari nilai ukhuwwah.[20]
Humanisme pada akhirnya menawarkan kesalehan yang bersifat universal, tidak bersifat formal akan tetapi kosong. Tindakan dan simbol-simbol keagamaan harus mempunyai koherensi dengan realitas batin dan ruhani. Hal ini pararel dengan Abou El Fadl ketika mengkaji tema autoritatif dan authoritarianism menyatakan bahwa ketaatan dan kesalehan bukan bagian dari criteria otoritas dalam bidang hukum Islam.[21] Ia menyatakan bahwa criteria otoritas dalam penelitian hukum Islam meng-cover unsur-unsur moralitas; kejujuran (henesty),[22] kesungguhan (diligence),[23] kemenyeluruhan (comprehensiveness),[24] rasionalitas (reasonableness),[25] dan pengendalian diri (self-restraint).[26]
MEMPERTAUTKAN FIQH DAN HUMANISME; BELAJAR DARI ABOU EL FADL
Nilai-nilai humanisme par excellence paling tidak dapat didekodifikasikan menjadi tiga; pluralisme, demokrasi dan keadilan sosial.[27] Tiga nilai ini menurut penulis relevan untuk ditarik dalam konteks pemikiran fiqh Abou El Fadl. Izetbegovic mengatakan bahwa humanisme pada intinya merupakan pengakuan terjadap eksistensi dan kebebasan orang lain.[28] Pluralisme, demokrasi dan keadilan sosial ketiganya merupakan ekspresi dari pengakuan terhadap eksistensi dan kebebasan tersebut.
1. Pluralisme
Pluralisme adalah kesediaan untuk menjunjung pluralitas, yakni kesediaan untuk menerima kenyataan bahwa dalam masyarakat ada cara hidup, budaya, dan keyakinan yang berbeda serta kesediaan untuk hidup dan bergaul bersama (ko-eksistensi) serta bekerja sama (ko-operasi). Pluralisme sering kali hanya diwacanakan dalam sikap dan konsepsi teologis dan belum beranjak ke arah tataran praktis,[29] karena itu gap antara idealita dan realita tetap menganga. Dalam konteks ini, maka kajian pluralisme dari aspek fiqh menemukan relevansinya.
Mengembangkan nilai pluralisme tradisi fiqh bagaimanapun mengisyaratkan kesediaan untuk melakukan interpretasi ulang terhadap khazanah fiqh klasik yang dirumuskan dalam setting sosial budaya yang sama sekali berlainan dengan konteks kekinian. Batu sandungan penerapan nilai pluralisme yang utama adalah berkaitan dengan fiqh interaksi dengan pemeluk agama lain (non-muslim), utamanya konsep fiqh tentang jizyah dan jihad. [30] Dalam wacana global, bagaimana Islam sering kali dicitrakan sebagai keras dan tidak menghargai eksistensi pemeluk agama lain dengan konsepsi fiqhiyyah tradisionalnya yang cenderung mensubordinasikan kelompok agama lain. Menurut Ebrahim Moosa, konsepsi tradisional fiqh berkaitan dengan interaksi muslim dan non-muslim memang tidak dijadikan hokum positif di kebanyakan Negara Islam kontemporer, akan tetapi pandangan bahwa non-muslim merupakan warga negara kelas dua telah menjadi praktek kebudayaan tak tertulis.[31] Fiqh tradisional bagaimanapun telah menjadi mindset para ulama tradisional dan kelompok puritan kontemporer.
Menurut Abou El Fadl, kebanyakan yuris memilah wilayah menjadi dua kategori; wilayah Islam (da>r al-Isla>m) dan wilayah perang/kufr (da>r al-h}arb/da>r al-kufr).[32] Pembagian ini menunjuk pada teritori atau yurisdiksi kekuasaan muslim berhadapan dengan teritori dan yurisdiksi non-muslim. Pembagian yang bersifat dikotomis ini membawa pada konsekuensi psikologis; perasaan perang dan bermusuhan dengan kelompok agama lain. Tiga opsi yang diberikan para Yuris klasik – dan ini menjadi pegangan erat kelompok puritan kontemporer – terhadap non muslim berkisar pada tiga hal; masuk Islam, membayar pajak (jizyah) dengan status ahl al-dhimmah, atau perang.[33]
Tiga opsi tersebut jelas merupakan implikasi dari perasaan superior dan arogansi teologis kelompok puritan yang membawa pada sikap intoleran dan eksklusif. Jizyah yang menurut Paul Heck dikembangkan dari tradisi pajak masyarakat Sassanian bagi muslim puritan merupakan bukti material ketundukan non muslim terhadap mereka.[34] Menurut mereka “jalan lurus” (s}ira>t al-mustaqi>m) menuju Tuhan sudah fix dengan sistem syari’ah (divine law) sebagaimana diinterpretasikan para Yuris klasik. Sistem syari’ah tersebut dipedomani tanpa menghiraukan impact-nya terhadap “yang lain”, termasuk dalam hal ini aplikasi jizyah.[35]
Kritik Abou El Fadl terhadap konsepsi jizyah tidak hanya terbatas pada penerapannya yang bersifat spesifik terhadap non muslim, akan tetapi juga karena pada dasarnya konsepsi tersebut merendahkan kemanusiaan dan hukum alam. Jelas ia secara demonstratif merupakan wujud pelembagaan inferioritas dan humiliasi satu kelompok terhadap kelompok yang lain. Jizyah secara kondusif gampang melahirkan sikap arogan dan tidak respek terhadap potensi kemanusiaan non muslim. Sikap arogan ini bila ‘dibumbui’ dengan pesan normatif teks bisa melahirkan radikalisme dan agresifitas.[36] Menurut Abou El fadl, konsepsi ahl al-dhimmah dengan kewajiban membayar pajak adalah bersifat ahistoris bila diterapkan pada era kontemporer yang umumnya banyak wilayah menganut sistem negara bangsa. Konsep ahl al-dhimmah hanya relevan pada saat konsepsi ini dirumuskan, era pertengahan. Pada era pertengahan ini, galibnya minoritas agama atau etnis membayar jizyah atas biaya administrasi, penerapan adat istiadat dan UU mereka.[37] Jizyah juga merupakan konsesi yang diberikan pihak minoritas yang berdiam di teritori Islam atas perlindungan yang diberikan oleh Pemerintah Islam.[38] Sebagai justifikasinya mereka mengutip makna literal dan temporal al-Qur’an yang memerintahkan untuk memerangi non muslim hingga mereka membayar jizyah sebagai simbol ketundukan.[39] Padahal menurut Abou El Fadl konsepsi jizyah al-Qur’an hanya bisa dipahami dengan melibatkan sisi historis yang mengelilingi revelasi teks dan tentunya pesan moralitas al-Qur’an.
Hal di atas dikuatkan, menurut Abou El Fadl, sinyalemen Al-Qur’an bahwa jizyah bukanlah institusi yang harus dimainkan secara absolut. Al-Qur’an mengabsahkan jizyah sebagai respon terhadap sebagian kecil kelompok masyarakat Arab yang bersikap hostile terhadap masyarakat muslim awal.[40] Pada kenyataannya Nabi saw tidak menerapkan jizyah terhadap setiap non muslim yang mengakui eksistensi dan kedaulatan masyarakat Islam, dan bahkan Nabi kadang kala memberikan sejumlah uang atau bingkisan kepada mereka. Nabi menyebut mereka dengan “mereka yang hatinya telah tunduk”. Lebih jauh, ‘Umar ketika mengikat perdamaian dengan suku Kristen Arab mengizinkan mereka membayar pajak tahunan (zakat) dan bukan jizyah. Walaupun mereka menolak memeluk Islam, akan tetapi mereka lebih memilih membayar zakat karena merasakan bahwa jizyah mendegradasikan mereka, dan kenyataannya ‘Umar mengakomodasi permintaan mereka.[41]
Opsi yang ketiga terhadap non muslim – setelah menolak untuk masuk Islam atau membayar jizyah – adalah perang (fight) atau jihad dalam bahasa muslim puritan. Jihad lebih menunjuk pada doktrin yang bersifat legal (fiqh). Dalam kitab-kitab fiqh klasik biasanya ada bab khusus tentang Book of Jihad, atau dengan nama lain Book of Siyar (law of war) atau Book of Jizyah. Subtansi dari bab-bab ini umumnya sama. [42] Karenanya berbicara tentang jihad adalah berbicara tentang doktrin fiqh.
Jihad menurut Abou El Fadl adalah doktrin yang paling banyak disalahpahami baik oleh umat Islam sendiri ataupun the other dan sering kali menciderai ide pluralisme. Jihad sebagaimana dapat dipahami dari Abou El Fadl sejatinya kaya makna. Jihad yang secara etimologis bermakna “bekerja keras”, “tekun bekerja”, “berjuang” dan “mempertahankan” pada dasarnya lebih merujuk pada etika kerja yang kuat secara spiritual dan material. Karena itu tidak bisa dipahami adanya kesalehan, pengetahuan, kebenaran, kesejahteraan dan keadilan tanpa adanya spirit jihad. Dalam hal ini mirip dengan etika kerja protestan.[43] Akan tetapi menurut Abou El Fadl, jihad utamanya bagi kelompok puritan lebih dipahami sebagai ide “perang suci” (holy war), walaupun memang perang adalah salah satu makna dari konsep jihad.
Persoalannya, menurut Abou El Fadl, ide perang suci tidak dikenal dalam Islam. Tidak ada otoritas kelembagaan dalam Islam yang bisa memberikan justifikasi bahwa sebuah perang bernilai suci atau tidak. Dalam teologi Islam, perang tidak pernah bernilai suci secara mutlak – ia bisa dibenarkan atau tidak – dan bila dibenarkan, mereka yang terbunuh dianggap sebagai shuhada`. Akan tetapi, penentuan status shuhada` berada dalam wilayah eksklusif Tuhan. Manusia sama sekali tidak bisa mengukur kedalaman motif dan niat seseorang.[44] Ibn Khaldun sebagaimana dikutip oleh Bonner, mengklasifikasikan perang menjadi empat macam; pertama, perang antar suku dan famili yang bertetangga; kedua, perang yang dipicu karena kejahatan dan kedengkian sebagaimana suku-suku padang pasir memerangi suku lain untuk motif property; ketiga, perang yang dalam fiqh disebut dengan jihad; keempat; perang Dinasti terhadap para pembelot dan penghianat. Dari keempat model perang ini, dua yang pertama bukan perang yang absah dan legal, sementara dua yang terakhir adalah perang jihad dan keadilan (h}uru>b al-jiha>d wa al-‘adl).[45]
Karena itu dalam al-Qur’an ada pembedaan antara jihad dan qita>l. Berbeda dengan qita>l yang lebih bermakna fisik, jihad lebih berorientasi pada spirit dan nilai etis sebagaimana ia dipararelkan dengan etika protestan. Nuansa fisik jihad terbentuk karena setting sejarah para Yuris abad pertengahan, khususnya abad ke-9 dan ke-10. Sejarah pada era ini mempengaruhi cara baca dan tafsir para Yuris terhadap teks. Sebagaimana penuturan sejarah, pada abad-abad ini – dengan tidak adanya pakta perdamaian – bangsa-bangsa dan dinasti diselimuti perasaan dan situasi perang terus menerus. Untuk menghindarkan invasi, bangsa yang lemah secara militer biasanya melakukan kontrak damai dengan bangsa yang kuat dengan membayar upeti. Dan seandainya ada kontrak perdamaianpun, ia dengan mudah bisa dilanggar oleh penguasa yang ambisius.[46] Intinya, perang adalah bagian dari kehidupan era itu dan berpengaruh terhadap pemaknaan mereka pada konsep jihad.
Menurut Abou El fadl, jihad tidak pernah bermakna jihad dalam artian yang sesungguhnya bila tidak dikaitkan dengan “sebab moral”. Sebab moral tersebut adalah “menghalangi orang lain melakukan korupsi terhadap agama kita”.[47] Agama adalah eksistensi yang bersifat asasi bagi manusia, dan karenanya tidak boleh untuk dilecehkan. Karena itulah Abou El Fadl memaknai wilayah Islam (da>r al-Isla>m) sebagai wilayah manapun di mana keadilan ditegakkan (da>r al-‘adl) atau wilayah manapun umat Islam bisa dengan merdeka menjalankan agama mereka. Karena itu menurutnya, sejumlah Yuris Klasik telah membagi; wilayah Islam yang sifatnya formal dengan wilayah Islam yang sebenarnya. Wilayah formal Islam menunjuk pada wilayah Islam yang dikendalikan oleh pemimpin yang tidak adil, sedang wilayah Islam sebenarnya menunjuk pada wilayah yang terbebas dari kontrol penguasa zalim dan masyarakat bisa melakukan praktek keagamaan dengan bebas.[48]
2. Demokrasi
Demokrasi selama ini diyakini sebagai sistem politik dan pemerintahan yang elegan dibandingkan dengan sistem yang lain. Ideologi-ideologi politik yang bersifat totaliter – baik itu yang sekuler maupun yang religious – terbukti telah mendiskreditkan sisi-sisi kemanusiaan manusia. Ada dua unsur khas yang dikandung ideologi totaliter; pertama, ketaatan tanpa reserve dan kedua mesin psikologi ideologi, yakni yang mendorong pengikut ideologi tersebut adalah kebencian sebagaimana tercermin dalam ideologi komunisme dan nazisme dan ideologi agamis yang mewujud dalam fundamentalisme. Ideologi yang terakhir ini telah menyerobot hak dan kebebasan orang lain karena kebenaran menurut mereka harus ditaati secara mutlak dan merekalah pemilik kebenaran karena klaim bahwa mereka berbicara atas nama Tuhan.[49]
Sementara itu kekuatan moral demokrasi terletak pada ide bahwa penduduk suatu bangsa atau masyarakatlah pemilik kedaulatan yang dalam konteks negara modern mereka mengekspresikan kedaulatan tersebut dengan memilih wakil-wakil yang duduk di dewan atau pemerintahan. Dalam sistem demokrasi, masyarakat adalah sumber hukum. Hukum yang dimaksud adalah yang menyokong hak-hak yang bersifat fundamental yang menjamin eksistensi dan kepentingan individu sebagai bagian dari masyarakat pemilik kedaulatan. Isu kedaulatan inilah, menurut Abou El Fadl, yang bersifat sentral dalam wacana demokrasi. Yuris klasik sebagaimana kelompok puritan berkeyakinan bahwa prinsip kedaulatan dalam sistem demokrasi adalah tidak legitimate, karena Tuhan-lah satu-satunya pemilik kedaulatan dan sumber hukum. Demokrasi dalam hal ini dianggap telah menduakan Tuhan.[50] Menghadapi tension kedaulatan dalam sistem demokrasi dan Islam ini, Abou El Fadl menampilkan beberapa pendapat yang bersifat rekonsiliatif. Pertama, benar bahwa kedaulatan adalah milik Tuhan, akan tetapi kedaulatan tersebut telah didelegasikan kepada manusia secara total. Kedua, kedaulatan adalah di tangan manusia sepanjang berkaitan dengan masalah-masalah kemanusiaan. Ketiga, manusia adalah pemegang kedaulatan, karena urusan-urusan manusia diserahkan pada manusia dan urusan-urusan Tuhan diserahkan pada Tuhan. Pendapat yang terakhir ini menurut Abou El Fadl, lebih dekat dengan pandangan sekuler.[51]
Demokrasi adalah tantangan dan obyek perdebatan, tidak saja antara dunia Islam dan Barat, akan tetapi internal dunia Islam sendiri. Menurut Esposito, paling tidak ada tiga kelompok yang saling berhadapan terkait dengan wacana demokrasi ini, yakni kelompok sekular, rejeksionis dan kelompok pembaharu. Kelompok sekular menuntut pemisahan agama dan persoalan negara, kelompok rejeksionis (baik moderat atau puritan) menyatakan bahwa bentuk pemerintahan Islam tidak sesuai dengan sistem demokrasi, sementara kelompok pembaharu mencoba merekonsiliasikan Islam dan demokrasi dengan melakukan reinterpretasi terhadap konsep-konsep kunci dalam tradisi Islam, shura (lembaga konsultasi antara rakyat dan pemerintah), Ijma` (konsensus masyarakat), ijtihad (reinterpretasi) dan maslahah (kesejahteraan publik).[52]
Konsep shu>ra> misalnya, adalah konsep yang terbuka untuk dipikirkan dan dikembangkan ke arah konsep demokrasi dalam pengertian sekarang ini sesuai dengan kebutuhan masyarakat muslim kontemporer.[53] Perintah shu>ra> dalam al-Qur’an menurut Abou El Fadl merupakan bentuk penandasan tentang tidak dibenarkannya penindasan dan kesewenangan oleh elit despotik. Keputusan – mengacu pada konsep ini – merupakan hasil interaksi demokratis di antara banyak orang.[54] Dalam sejarah yurisprudensi Islam konsep shu>ra> (konsultasi) ini dilembagakan dalam bentuk ahl al-h}all wa al-‘aqd. Embrio lembaga ini bermula dari kreasi ‘Umar b. Khattab ketika memilih beberapa tokoh yang berasal dari varian kelompok untuk duduk dalam suatu lembaga khusus. Lembaga ini berfungsi sebagai pemerintahan sementara pada masa transisi pasca ‘Umar dan selanjutnya memilih Khalifah ke-3. Pada perkembangan selanjutnya, lembaga ini berfungsi sebagai lembaga konsultatif bagi khalifah.[55] Sedangkan konsep ijma’ lebih diorientasikan pada upaya menopang ide demokrasi. Selama ini Yuris klasik banyak menggunakan konsep ini dalam konteks yurisprudensi yang eksistensinyapun secara detail masih diperselisihkan. Menurut kaum Moderat sebagaimana diamini Abou El Fadl, ijma’ seharusnya tidak dimaknai sebagai konsensus (kebulatan suara), akan tetapi diartikan adanya kelompok mayoritas dalam pengertian yang sederhana.[56] Sedang konsep ijtihad dan maslahah (kesejahteraan publik) lebih bersifat umum. Konsep dan aplikasi ijtihad serta kemaslahatan ini menjadi basis cita-cita demokrasi dalam Islam.
Menurutnya, Persoalan demokrasi dan Islam pada dasarnya adalah persoalan nilai dan moralitas. Jika fokusnya adalah nilai dan moralitas, tegas Abou El Fadl, tradisi pemikiran politik Islam kaya akan potensi praktis dan interpretatif bagi pengembangan sistem demokrasi. Akan tetapi, tanpa adanya komitmen moral potensi tersebut tidak akan tersentuh atau tidak akan pernah ada sistem demokrasi dalam Islam. Demokrasi hendaknya dipandang sebagai seperangkat etika kebaikan dan untuk menggapai etika yang baik tersebut tidak harus menafikan Islam.[57]
Al-Qur’an tidak pernah menentukan secara spesifik bentuk pemerintahan, walaupun para Yuris masih saja berdebat tentang bentuk sistem politik Islam. Tetapi al-Qur’an memberikan seperangkat nilai dalam bidang politik dan kemasyarakatan yang bersifat sentral bagi umat Islam. Nilai-nilai tersebut adalah: menggapai keadilan dengan kerjasama sosial dan tolong menolong (al-Hujurat, 49: 13; Hud, 11: 119), menegakkan pemerintahan yang non-autokratik dan pelembagaan rasa kasih sayang, simpati dan empati dalam interaksi sosial (al-An’am, 6: 12, 54; al-Anbiya, 21: 107; al-Naml, 27: 77; al-Qasas, 29: 51; al-Jathiyah, 45: 20).[58]
Pada intinya, menurut Abou El fadl, Islam dan demokrasi bisa berko-eksistensi. Akan tetapi hal tersebut tergantung bagaimana umat Islam menginterpretasikan teks keagamaan. Partai Demokrat Kristen di German misalnya, dengan interpretasi teks yang bersifat progresif dengan basis moralitas, menyatakan bahwa konsep demokrasi pararel dengan nilai kristiani. Akan tetapi bila umat mengatakan kedaulatan ada di tangan Tuhan dan kami memerintah atas nama Tuhan, maka demokrasi hanya akan menjadi utopia. Bila seseorang berpretensi menjadi Tuhan, maka demokrasi akan terkebirikan. Demokrasi dalam Islam mengandaikan bahwa tak seorangpun yang bisa merepresentasikan sebagai Tuhan.[59]
Pertanyaannya kemudian adalah, apa peran yang dimainkan oleh syari’ah dalam sistem demokrasi. Syari’at dalam konteks negara demokratis menurut Abou El fadl sebatas menjadi panduan moral dan etika. Abou El Fadl berkeyakinan bahwa bimbingan Tuhan kepada manusia tidak diwujudkan dalam bentuk simbol-simbol dan institusi yang tidak tersentuh oleh akuntabilitas dan perubahan. Sapaan Tuhan kepada manusia, tambah Abou El fadl, lebih ditujukan pada hati manusia, bukan institusi mereka yang justru institusi tersebut terkadang bisa melukai Tuhan.[60]
3. Keadilan Sosial
Keadilan merupakan salah satu ekspresi dan tujuan hak-hak asasi manusia. Karena itu berbicara tentang keadilan sosial berarti berbicara tentang pemenuhan hak-hak fundamental manusia secara individual tanpa pembedaaan. Menurut Abou El Fadl, wacana dan penerapan hak asasi manusia dalam masyarakat muslim mempunyai tantangan yang serupa dengan demokrasi. Sistem demokrasi menurutnya mengandaikan perlindungan dan penguatan HAM.
Dalam wacana al-Qur’an, adil merupakan sifat wajib Tuhan dan kewajiban manusia dalam berinteraksi dengan sesamanya. Keragaman penciptaan manusia dari sisi jenis kelamin, ras, agama dan kebangsaan dimaksudkan agar manusia membutuhkan kerja sama sosial dalam rangka menegakkan dan memperoleh keadilan. Kemajemukan dalam penciptaan bukan untuk saling mendominasi dan menyatakan diri sebagai superior atas yang lain.[61]
Persoalan mendasar dalam wacana keadilan dan fiqh adalah apakah hukum yang mendefinisikan keadilan atau sebaliknya keadilan yang mendefinisikan hukum. Jika yang pertama, maka apapun yang dianggap sebagai hukum Tuhan adalah bernilai dan bersubtansikan keadilan. Dan jika yang kedua, maka apapun tuntutan keadilan, itulah hukum Tuhan. Pada kenyataannya, masyarakat muslim mempunyai cita-cita menerapkan hukum Tuhan.[62]
Menurut Abou El Fadl, mengimplementasikan aturan hukum yang bersifat legal, walaupun aturan tersebut merupakan produk dari interpretasi terhadap teks yang bersifat divine, tidaklah cukup untuk memperoleh persepsi yang jenuin terhadap the other, terhadap kasih sayang atau terhadap keadilan. Karenanya diperlukan perubahan paradigma, bahwa prinsip-prinsip kasih sayang dan keadilan seharusnya menjadi subtansi primer aturan hukum yang diderivasi dari teks. Menurut paradigma ini, Tuhan adalah pemilik kedaulatan yang merupakan sumber dan pusat autoritas, akan tetapi kemudian dalam konteks kemanusiaan, Tuhan mendelegasikannya kepada manusia untuk menggali cita keadilan Tuhan untuk diterapkan dalam realitas kebumian.[63]
Dalam wacana para Yuris, tidak mungkin untuk memperoleh keadilan kecuali setiap pemilik hak (haqq) diberi jaminan atas haknya tersebut. Pada prinsipnya Tuhan mempunyai hak tertentu, manusia juga mempunyai hak dan keduanya sharing dalam beberapa hak tertentu. Karena itu penting dalam hal ini mengakui akan adanya hak (eksistensi hak), memahami siapa pemilik hak tersebut dan akhirnya memberi kebebasan kepada pemilik hak untuk menikmati dan mendayagunakan haknya tersebut.[64]
Di antara isu sensitif terkait dengan permasalahan keadilan sosial dalam tradisi Islam adalah tentang hak-hak minoritas dan perempuan. Berkaitan dengan dengan pertama, Abou El Fadl menegaskan bahwa tidak boleh ada tirani mayoritas terhadap minoritas, baik minoritas agama, etnis dan yang lainnya. Ketika berbicara tentang demokrasi dan HAM, ia mengatakan bahwa harus ada sistem konstitusi sebagai parameter tidak adanya tirani. Dalam hal ini suara mayoritas dihormati sejauh tidak melanggar sistem konstitusi. Sistem konstitusi yang menjamin hak minoritas ini hendaknya dikembalikan pada prinsip-prinsip etis dan moral Islam.[65]
Abou El Fadl juga mempunyai concern terhadap ketimpangan relasi laki-laki dan perempuan, khususnya dalam budaya masyarakat puritan. Dalam hal ini ia secara khusus menjadikan persoalan penafsiran bias gender dalam fatwa-fatwa keagamaan yang dikeluarkan oleh CRLO (Council for Scientific Reseach and Legal Opinion), lembaga resmi Arab Saudi yang diberi mandat mengeluarkan fatwa sebagai obyek studinya. Fatwa-fatwa terkait dengan persoalan wanita[66] dinilai mendegradasikan harkat wanita dan diklaim sebagai kehendak teks. Karena itulah dalam studinya tersebut Abou El Fadl merasa berkepentingan untuk mengkaji dan mensosialisakan signifikansi hermeneutika dalam studi keislaman. Fiqh pada dasarnya adalah upaya menemukan dan menetapkan makna teks dan hermeneutika bermaksud melakukan humanisasi terhadap penetapan makna teks dengan membuat kontruksi yang berimbang antara Pengarang, teks dan pembaca serta lebih mempertimbangkan moralitas.
Sebagaimana pembedaan antara syari’at yang bersifat ideal/abadi dan fiqh sebagai upaya menggapai yang ideal tersebut, relasi laki-laki dan wanita dalam cita-cita syari’at adalah bercorak moralitas, yakni keadilan. Keadilan menuntut kesederajatan dalam hal nilai, kelayakan dan kesempatan.[67]
MENIMBANG KONSEPSI FIQH HUMANISTIK ABOU EL FADL
Ibn Khaldu>n, lewat teori sosiologinya menyatakan bahwa “Al-Rajul ibn bi>’atih” yang artinya “Seseorang adalah anak zaman dari lingkungannya”. Itu maknanya bahwa karakteristik pemikiran manusia tak terlepas dari kondisi sosial budaya yang melingkupinya, ia menjadi background bagi lahirnya frame pemikiran seseorang. Pikiran manusia selalu dipengaruhi oleh sikap dan emosi personal, pada level pertama, afiliasi kelas dan internalisasi budaya sekitar pada level kedua dan ketiga. [68]
Sebagaimana terpotret dalam biografinya, Abou El Fadl besar dan mengenyam pendidikan tingginya, meniti karir dan berdomisili di Amerika Serikat, sebuah negara yang konsen terhadap kebebasan, demokrasi dan hak asasi manusia. Dengan basis sosial dan budaya tersebut berpengaruh terhadap mental production Abou El Fadl, dalam hal ini pemikiran fiqhnya yang bersifat humanistik. Pengalaman budaya, perjalanan intelektual dan riwayat kehidupan personalnya mempunyai relasi yang bersifat kausal dengan pemikirannya. Karena itu sebagian pihak memberikan klaim bahwa pemikirannya “bias”, budaya dan nilai Barat. Persoalan yang subtansial sebenarnya tidak terletak pada apakah pemikirannya bias Barat atau tidak. Karena memang dalam konteks sosiologi pengetahuan semua ide, pemikiran, keyakinan, dan dogma tidak terlepas dari bias. Barry Barnes dan David Bloor menyatakan: “there are no context-free or super-cultural norms of rationality”.[69] Dalam hal ini konteks sosial dan rasionalitas tidak perlu untuk dipertentangkan.
Pertanyaan subtansial terhadap pemikiran keagamaan dan fiqh era kontemporer adalah apakah ia pro-human atau tidak. Ketika pemikiran dan doktrin keagamaan dalam aplikasinya dinilai tidak manusiawi dipastikan telah terjadi deviasi dari cita ideal agama. Abou El Fadl gelisah dengan deviasi tersebut yang mewujud dalam fenomena fundamentalisme dan radikalisme kelompok Puritan. Kelompok ini dipenuhi dengan perasaan utopis tentang kelompok terbaik dan klaim mewakili otoritas Tuhan justru dengan melakukan praktek kekerasan dan menindas hak asasi manusia.
Konsepsi-konsepsi fiqh humanistik Abou El Fadl pada dasarnya juga usaha harmonisasi doktrin dan praktek fiqhiyyah dengan tuntutan era global. Sebagaimana pengakuannya sendiri, pendekatan Abou El Fadl terhadap hukum lebih ditekankan pada dinamik antara hukum dan masyarakat – fokus bahwa hukum merefleksikan pencarian identitas dan definisi kedirian.[70] Era kontemporer yang sering kali disebut dengan global village menuntut adanya perubahan paradigma fiqh ke arah yang lebih progresif. Pola berfiqh yang hanya mengidealisasikan masa lalu akan bersifat a-historis dan tidak peka terhadap problem kemanusiaan kontemporer. Global village adalah realitas yang tak bisa dihindari. Ketika kehidupan manusia sudah tidak lagi tersekat-sekat dalam bingkai geografis, kebangsaan, ras dan agama, maka konsekuensinya muncul fenomena global ethic. Etika global dianggap lebih bisa menyatukan manusia dan mengayomi persona manusia di tengah iklim kemajemukan dan pluralisme. Etika model inilah yang penulis sebut dengan humanisme. Ia bukan agama baru, tapi ia bisa bersandar pada nilai, moralitas, dan tradisi Islam. Hal ini merupakan titik temu (kalimat al-sawa>`) agama-agama. Humanisme berusaha menarik konsep kemaslahatan dalam konteks yang lebih luas dan tidak terjebak pada internal komunitas agama Islam saja. Dalam tradisi fiqh dikenal konsep al-adamiy, yakni konsep kesatuan manusia yang dirujukkan pada Nabi Adam. Al-Adamiy adalah manusia baik dalam pengertian insan, bashar dan s}akhs}. Menariknya adalah bahwa para Yuris berkonsensus terhadap wajibnya penghormatan kepada al-adamiy dalam kapasitasnya sebagai manusia tanpa melihat perbedaan jenis kelamin, agama dan yang lainnya sebagaimana teks menyatakan “wa laqad karramna> bani> a>dam”..[71]
Sebagimana pemikiran tidak bersifat value-free, ide-ide Abou El fadl mempunyai fungsi-fungsi baik yang bersifat manifest atau latent. Sebagaimana yang dinyatakan secara lantang, apa yang dilakukan adalah counter-jihad terhadap praktek-praktek dehumanistk kelompok puritan. Counter-jihad tersebut dilakukan untuk merebut kembali dimensi Islam yang hilang dalam kekuatan dan gerakan kelompok puritan. Kelompok puritan menurutnya telah kehilangan otentisitas dan mereduksi kekayaan khazanah intelektual Islam klasik demi kepentingan-kepentingan yang bersifat ideologis. Otentisitas dan kekayaan tradisi tersebut menurutnya adalah dinamika intelektual, pengakuan terhadap ikhtila>f dalam fiqh, dan kedalaman spiritualitas yang bersenyawa dengan praktek-praktek ritual. Abou El Fadl mengajak harkening back to tradition untuk selanjutnya menuju pada nilai-nilai moderat dalam Islam.[72] Khazanah tradisi pada masa masa lalu terbukti telah memarjinalkan kelompok puritan. Pada dasarnya fiqh mempunyai ethos yang progresif, dinamis dan egaliter. Akan tetapi ethos yang sebelumnya dimediasi oleh ahli fiqh klasik mandek karena direbut oleh kaum puritan yang lebih mengedepankan kemapanan (status quo), stabilitas dan kesatuan. Ini terjadi karena, menurut Abou El Fadl, semakin terpusatnya kekuasaan negara,[73] diadopsinya sistem hukum perdata civil law,[74] birokrasi negara yang hegemonik[75] dan pengalaman kolonialisme yang tidak mengenakkan.[76]
Jadi yang dikampanyekan Abou El fadl adala pola berfiqh yang moderat tanpa tercerabut dari akar tradisi fiqh masa lalu. Abou El Fadl sendiri dipercaya mempunyai otoritas dalam bidang fiqh karena penguasaannya pada tradisi dan literatur klasik. Ia belajar teks dan tradisi keislaman selama 30 tahun, dan hari-harinya dipakai untuk membaca koleksi literatur dan manuskrip Islam klasiknya yang berjumlah 20. 000 judul.[77] Selain itu ia ingin mendobrak dominasi. Kelompok puritan dengan pola ber-fiqh yang tekstual memang minoritas dari sisi kuantitas. Akan tetapi suara mereka terbukti lebih menggema dan dominan dari kelompok silent majority.
Pemikiran fiqh Abou El fadl sebagaimana terbaca dalam tulisan-tulisannya memang tidak memberikan alternatif baru metodologi istinba>t} hukum baru. Akan tetapi paradigmanya yang bersifat humanistik dalam mengkaji fiqh patut mendapatkan apresiasi tersendiri. Komitmen terhadap moralitas dalam studi fiqh bagaimanapun lebih signifikan dari pada sekedar terjebak dalam mekanisme dan tekhnikalisme perangkat metodologi hukum, bukankah pepatah mengatakan the man behind the gun?
PENUTUP
Fiqh adalah the epitome of Islamic sciences. Pengaruh keilmuan ini terhadap perilaku umat tidak bisa diragukan lagi. Sebagaimana poros keilmuan fiqh disandarkan pada teks, maka studi terhadap keilmuan ini dengan melibatkan keilmuan yang relevan adalah kebutuhan yang sangat mendasar, termasuk dalam hal ini adalah hermeneutika. Fiqh sebagai bagian dari ilmu sosial tidak bisa didekati dengan positivistik, karena itu selain dukungan keilmuan yang relevan terhadap studi fiqh, paradigma humanis perlu dikembangkan. Ini dilakukan dalam rangka merespon tuntutan perkembangan dunia yang semakin menglobal dengan realitas kemanusiaan yang majemuk.
Humanisme sebagai sebuah gerakan literer dan program budaya sangat relevan sebagai perspektif dalam studi fiqh sebagaimana Islam juga tidak bisa lepas dari teks dan program budaya humanisme yang bersifat etis sesuai dengan ideal-moral Islam.
Humanisme dalam pemaknaan di atas telah dengan cerdas dicangkokkan oleh Abou El Fadl dalam kajian Fiqhnya. Kajian fiqhnya bermuara pada ide pluralisme, demokrasi dan keadilan sosial sebagaimana ide-ide ini secara par excellence diusung oleh proyek humanisme. Kerja Abou El Fadl dalam hal ini menunggu follow up dari sarjana-sarjana lain dalam rangka menyemaikan dan merawat harmoni kehidupan. Semoga!
Dimuat dalam Jurnal Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya, Islamica, Vol. 4, No. 1, September 2009.

BIBLIOGRAPHY

Sumber Buku dan Majalah
Al-Jabiri, ‘Abid. Syuro; Tradisi, Partikularitas dan Universalitas. Yogyakarta: LKiS, 2003.
Baali, Fuad dan Ali Wardi. Ibn Khaldun And Islamic Thought-Styles; A Social Perspective. Massachusetts: G.K. Hall and Co. Boston, 1981.
Bonner, Michael. Jihad in Islamic History. Princeton: Princeton University Press, 2006.
El Fadl, Abou. “The Human Rights Comitment in Modern Islam”, dalam Runzo et.al., Human Rights and Responsibilities in the World Religions.
________________. Atas Nama Tuhan; dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif. Pent. R. Cecep Lukman Yasin. Jakarta: Serambi, 2004.
________________. Cita dan Fakta Toleransi Islam, terj. Heru Prasetia. Bandung: Mizan, 2003.
________________. Islam and the Challenge of Democracy. Princeton: Princeton University Press, 2004. (sample chapter).
________________. Selamatkan Islam dari Muslim Puritan. terj. Helmi Mustofa. Jakarta: Serambi, 2006.
Hambali, M. Ridlwan. “Hasan Hanafi ; Dari Islam “kiri”, Revitalisasi Tura>th,, hingga Oksidentalisme”. Dalam Islam Garda Depan; Mosaik Pemikiran Timur Tengah. Bandung: Mizan, 2001
Husnayn, Mustafa Muhammad. al-Siyasah al-Jina`iyyah fi al-Tashri’ al-Islami. Mekah: Jami’ah al-imam Muhammad b. Sa’ud al-Islamiyyah, 1984.
Izetbegovic, Alija ‘Ali. ‘The Meaning of Humanism’ dalam Marcel A. Boisard, Humanism in Islam. Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2003.
John L. Esposito, a respon to The Place of Tolerance in Islam (Originally published in the February/March 2002 issue of Boston Review).
Kraemer, John L. Renaissance Islam. Terj. Asep Saifullah. Bandung: Mizan, 2003.
Kuntowijoyo. Islam sebagai Ilmu; Epistemologi, Metodologi dan Etika. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006.
Levine, Peter. Nietzsche and the Modern Crisis of the Humanities. New York: State University of New York Press, 1995.
Magnis-Suseno, Franz. Etika Kebangsaan Etika Kemanusiaan. Yogykarta: Kanisius, 2008.
Moosa, Ebrahim. Islam Progresif; Refleksi Dilematis tentang HAM, Modernitas dan Hak-Hak Perempuan di dalam Hukum Islam. Yogyakarta: LKiS, 2004.
Smith, Tony. Concise Oxford English Dictionary Eleventh Edition. Software atau digital dictionary berdasar text: Oxford University Press, 2004
Teresa Watanabe, “Battling Islamic Puritans,” Dalam Los Angeles Times (2 Januari 2002).
Tjaya, Thomas Hidya. Humanisme dan Skolatisisme; Sebuah Debat. Yogyakarta: Kanisius, 2004.
UCLA School Of Law; The Magazine of School of Law (Vol. 25, N0. 1, Fall 2001), 24.
Zeitlin, Irving M. Ideology and Development of Sociological Theory. London: Prentice-Hall, 1981.
Sumber Web
http://en.wikipedia.org/wiki/Jizya (akses 3 Juni 2008)
http://www.motherjones.com/mojoblog/archives/2007/11/6173_tancredo_go_boo.html
http://bostonreview.mit.edu/BR26.6/elfadl.html
http://www.scholarofthehouse.org/oninma.html, (akses 31/12/2007).
The Daily Texan on Line.
http://www.sinarharapan.co.id/berita/0310/15/opi01.html, (Akses 13 Jan 2008).
http://plato.stanford.edu/entries/epistemology-social/ (akses 14 April 2008).
Al-Mostafa.com. al-Mawsu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaytiyyah. Kuwayt: t.n.p., t.t..

________________________________________
* Penulis adalah Mahasiswa Program Doktor Hukum Islam Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya.
[1] Lihat Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu; Epistemologi, Metodologi dan Etika (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), 99.
[2] Peter Levine, Nietzsche and the Modern Crisis of the Humanities (New York: State University of New York Press, 1995) 19.
[3] Fuad Baali dan Ali Wardi, Ibn Khaldun And Islamic Thought-Styles; A Social Perspective (Massachusetts: G.K. Hall and Co. Boston, 1981), Irving M. Zeitlin, Ideology and Development of Sociological Theory (London: Prentice-Hall, 1981), 230.
[4] Nadirsyah Hosen, “Pujian dan Kesaksian” dalam Khaled M. Abou El Fadl, Atas Nama Tuhan; dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif ,a Pent. R. cecep Lukman Yasin (Jakarta: Serambi, 2004).
[5] Teresa Watanabe, “Battling Islamic Puritans,” Dalam Los Angeles Times (2 Januari 2002).
[6] Ibid.
[7]Fatwa-fatwa Abou El Fadl secara on line bisa dilihat di http://www.scholarofthehouse.org/oninma.html, (akses 31/12/2007).
[8] Teresa Watanabe, “Battling.. “
[9] Buku-buku Abou El Fadl menghiasi dinding-dinding rumahnya dan juga mengisi ruangan kosong lantai dua rumahnya. Ia menganggarkan tiap tahunnya 60 ribu dolar untuk buku. Koleksinya lebih dari 40.000 volume, terdiri dari hukum, teologi, sosiologi, filsafat, sejarah dan sastra. Lihat, Teresa Watanabe, “Battling.. “
[10] Khususnya berkaitan dengan literatur Islam, Abou El Fadl mempunyai koleksi 10.000 volume tentang hukum Islam dan ia masih merencanakan untuk membeli buku/kitab klasik lainnya. Di antara koleksinya sebagian berumur 8 abad, termasuk karya-karya dari mazhab hukum Islam Sunni dan Shi’i. Lihad Ibid.
[11] Lihat The Daily Texan on Line.
[12] Selain dalam bentuk buku, karya-karyanya lebih banyak bertebaran dalam jurnal-jurnal Internasional. Lihat selengkapnya dalam http://www.scholarofthehouse.org. Sebagian besar karyanya sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, antara lain: Atas Nama Tuhan; Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif (Penerbit Serambi), Melawan Tentara Tuhan (Penerbit Serambi), Musyawarah Buku (Penerbit Serambi), Cita dan Fakta Toleransi Islam; Puritanisme versus Pluralisme (Penerbit ‘Arsy-Mizan), Islam dan Tantangan Demokrasi (Penerbit Ufuk). Selain itu, pikiran-pikiran Abou El Fadl – sebagian besar sama dengan tema-tema buku-bukunya – juga bertebaran di puluhan jurnal akademis internasional.
[13] Lihat, Tony Smith, Concise Oxford English Dictionary Eleventh Edition, Software atau digital dictionary berdasar text: Oxford University Press, 2004.
[14] Thomas Hidya Tjaya, Humanisme dan Skolatisisme; Sebuah Debat (Yogyakarta: Kanisius, 2004), 17.
[15] Ibid., 20-21.
[16] Lihat, Ibid., 70-71.
[17] http://www.sinarharapan.co.id/berita/0310/15/opi01.html, (Akses 13 Jan 2008).
[18] John L. Kraemer, Renaissance Islam, Terj. Asep Saifullah (Bandung: Mizan, 2003), 32.
[19] Franz Magnis-Suseno, Etika Kebangsaan Etika Kemanusiaan (Yogykarta: Kanisius, 2008), 10.
[20] Lebih lengkap uraian tentang objektifikasi Islam silahkan lihat, Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu, 62.
[21]Bukannya dua hal ini tidak penting, akan tetapi karena tingkat pengetahuan dan kesalehan tidak terkait dengan dinamika penelitian. Dua hal ini tidak bisa untuk mengevaluasi sebuah tindakan yang berada di luar batas kewenangannya. Tegasnya dua hal tersebut tidak menjamin pemegang otoritas bisa bersifat humanis. Bahkan, menurut Abou El Fadl, kesalehan bisa saja mendorong seseorang untuk melakukan hal yang tidak patut dalam upaya mempertahankan apa yang ia yakini sebagai kehendak Tuhan.Khaled M. Abou El Fadl, Atas Nama Tuhan; dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif , Pent. R. cecep Lukman Yasin (Jakarta: Serambi, 2004), 108.
[22] Kejujuran tidak berkaitan dengan penafsiran, tapi penjelasan. Prinsip ini mengasumsikan bahwa pemegang otoritas tidak membatasi, menyembunyikan, dan merekayasa pesan teks untuk maksud berbohong dan menipu. Ibid., 100.
[23] Kesungguhan artinya pemegang otoritas telah berusaha semaksimal mungkin memahami, menyelidiki dan merenungkan pesan teks. Ibid.
[24] Artinya bahwa pemegang otoritas telah menyelidiki pesan teks secara menyeluruh dan mempertimbangkan semua pesan teks yang relevan. Ibid., 101.
[25] Artinya pemegang otoritas sebagai pembaca teks telah melakukan penafsiraan dan interpretasi secara rasional dengan menggunakan penalaran yang diakui absah secara umum. Ibid.
[26] Artinya pemegang otoritas menunjukkan tingkat kerendahan hati dan pengendalian diri yang layak dalam menjelaskan maksud dan kehendak Tuhan yang terbingkai dalam teks. Konkritnya tidak ada arogansi intelektual bahwa tafsirannya yang paling benar. Ibid., 103.
[27] Ini sebagaimana dilakukan oleh Frans Magnis-Suseno ketika berbicara tentang humanisme dalam konteks etika kebangsaan. Lihat Magnis-Suseno, Etika Kebangsaan, 27.
[28] ‘Alija ‘Ali Izetbegovic, ‘The Meaning of Humanism’ dalam Marcel A. Boisard, Humanism in Islam (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2003), xvi.
[29] Teologi/aqidah adalah prinsip yang mendasari hukum/syari’ah. Keduanya tidak bisa dipisahkan. Mengabaikan aspek syari’ah dan hanya bergelut pada persoalan teologi adalah visi yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Lihat, Mustafa Muhammad Husnayn, al-Siyasah al-Jina`iyyah fi al-Tashri’ al-Islami (Mekah: Jami’ah al-imam Muhammad b. Sa’ud al-Islamiyyah, 1984), 12.
[30] Khalid Abou El Fadl, The Place of Tolerance in Islam; on Reading the Qur’an and – Misreading it. Originally Published in December 2001/Jan at http://bostonreview.mit.edu/BR26.6/elfadl.html
[31] Ebrahim Moosa dalam bukunya, Islam Progresif; Refleksi Dilematis tentang HAM, Modernitas dan Hak-Hak Perempuan di dalam Hukum Islam (Yogyakarta: LKiS, 2004), 43.
[32] Dalam perkembangannya, khususnya setelah abad ke-10, muncul status wilayah yang disebut dengan dar al-sulh atau dar al-‘ahd, yakni wilayah non muslim yang mengikat perjanjian damai dengan wilayah Islam. perang terhadap wilayah ini tidak saja dipandang berdosa, akan tetapi diharuskan mengganti segala kerugiam material. Lihat, Abou El Fadl, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan, terj. Helmi Mustofa (Jakarta: Serambi, 2006), 272.
[33] Ibid., 269 – 270.
[34] Lihat “Jizya” dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Jizya (akses 3 Juni 2008)
[35] Khalid Abou El Fadl, The Place of Tolerance in Islam; on Reading the Qur’an and – Misreading it. Originally Published in December 2001/Jan at http://bostonreview.mit.edu/BR26.6/elfadl.html
[36] Lihat “Jizya” dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Jizya (akses 3 Juni 2008)
[37] Abou El Fadl, Selamatkan Islam, 257.
[38] Jikalau pemerintahan Islam dianggap tidak mampu melakukan proteksi terhadap mereka, maka jizyah harus dikembalikan. Hal ini sebagaimana dilakukan Khalifah ‘Umar yang mengembalikan jizyah kepada suku Kristen Arab ketika ‘Umar tidak sanggup memproteksinya dari agresi Bizantium. Lihat Khalid Abou El Fadl, The Place of Tolerance in Islam; on Reading the Qur’an and – Misreading it. Originally Published in December 2001/Jan at http://bostonreview.mit.edu/BR26.6/elfadl.html
[39] Al-Qur’an 9:29.
[40] Pada masa Nabi saw, legalisasi jizyah diawali dari penghianatan Suku Yahudi Madinah terhadap kesepakatan damai sebagaimana terumuskan dalam Piagam Madinah. Hal ini mengawali perubahan policy Nabi terhadap kelompok Yahudi dan Kristen dengan memberikan penawaran proteksi dengan imbalan jizyah.
[41] Lihat Khalid Abou El Fadl, The Place of Tolerance in Islam; on Reading the Qur’an and – Misreading it. Originally Published in December 2001/Jan at http://bostonreview.mit.edu/BR26.6/elfadl.html. Suku Kristen Arabia Utara lebih memilih membayar zakat/shadaqah yang yang bermakna charity walaupun jumlahnya dua kali lipat. Sebaliknya Fred Donner mengungkapkan bahwa sadaqah adalah retribusi untuk suku nomad Arab, sementara jizyah untuk non muslim. Karena sadaqah mengindikasikan status rendah suku nomad, suku Kristen Arab lebih memilih jizyah. Lihat “Jizya” dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Jizya (akses 3 Juni 2008).
[42] Michael Bonner, Jihad in Islamic History (Princeton: Princeton University Press, 2006), 3.
[43] Abou El Fadl, Selamatkan Islam, 265.
[44] Ibid., 267.
[45] Bonner, Jihad, 6.
[46] Abou El Fadl, Selamatkan Islam,, 268 – 269.
[47] Lihat http://www.motherjones.com/mojoblog/archives/2007/11/6173_tancredo_go_boo.html
[48] Abou El Fadl, Selamatkan Islam, 274.
[49] Magnis-Suseno, Etika Kebangsaan, 24.
[50] Abou El Fadl, Islam and the Challenge of Democracy (Princeton: Princeton University Press, 2004), 4 (Sample Chapter).
[51] Abou El Fadl, Selamatkan Islam, 234.
[52] Lihat John L. Esposito, a respon to The Place of Tolerance in Islam (Originally published in the February/March 2002 issue of Boston Review).
[53] Al-Jabiri, Syuro; Tradisi, Partikularitas dan Universalitas (Yogyakarta: LkiS, 2003), xii
[54] Abou El Fadl, Selamatkan Islam, 230.
[55] Ibid., 231.
[56] Ibid., 233.
[57] Abou El Fadl, Islam and the Challenge, 5.
[58] Ibid., 5.
[59] Lihat, http://www.motherjones.com/mojoblog/archives/2007/11/6173_tancredo_go_boo.html
[60] Abou El Fadl, Selamatkan Islam, 234-236.
[61] Abou El Fadl, “The Human Rights Comitment in Modern Islam”, dalam Runzo et.al., Human Rights and Responsibilities in the World Religions, 328.
[62] Ibid., 329.
[63] Ibid., 331.
[64] Ibid.
[65] Abou El Fadl, Selamatkan Islam, 233.
[66] Fatwa-fatwa tersebut antara lain berisi; larangan perempuan mengemudikan mobil, pembatasan wanita bekerja, ketaatan tanpa reserve kepada suami dan anjuran kepada istri untuk bersabar menghadapi perlakuan buruk suami serta fatwa-fatwa lain yang merendahkan. Lihat Abou El Fadl, Atas Nama Tuhan, 385.
[67] Abou El Fadl, Selamatkan Islam, 313.
[68]Dikutip oleh M. Ridlwan Hambali “Hasan Hanafi ; Dari Islam “kiri”, Revitalisasi Tura>th,, hingga Oksidentalisme”, dalam Islam Garda Depan; Mosaik Pemikiran Timur Tengah (Bandung: Mizan, 2001), 218. Lihat juga Fuad Baali dan Ali Wardi, Ibn Khaldun and Islamic Thought-Style; a Social Perspective (America: G.K. Hall and Co. Boston, 1981), viii.
[69] Lihat “Social Epistemology” dalam http://plato.stanford.edu/entries/epistemology-social/ (akses 14 April 2008).
[70] “The Law and Beyond”, dalam UCLA School Of Law; The Magazine of School of Law (Vol. 25, N0. 1, Fall 2001), 24.
[71] Lihat, “Adamiy” dalam al-Mawsu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaytiyyah (Kuwayt: t.n.p., t.t.), 8-9.
[72] Dialog Mother Jones dengan Abou El Fadl dalam http://www.motherjones.com/mojoblog/archives/2007/11/6173_tancredo_go_boo.html
[73] Terpusatnya kekuasaan negara antara lain bisa dilihat dari semakin sentral dan despotiknya negara dalam mengontrol kehidupan beragama, nasionalisasi wakaf dan kontrol ketat pendidikan adalah sebagian contohnya.
[74] Civil law adalah sistem hukum Prancis yang bersandar pada struktur hirarkis yang terpusat yang secara tegas dan teoritis menerapkan sebuah sistem hukum yang padu. Perangkat dasar sistem civil law adalah aturan-aturan hukum yang dikodifikasikan secara sistematis. Sistem ini memojokkan fiqh sebagai tradisi keragaman pandangan hukum.
[75] Birokrasi yang hegemonik mengontrol para ahli hukum dan menjadikan sebagian dari mereka – dengan pola rekruitmen yang tidak transparan – sebagai pegawai-pegawai yang dibayar.
[76] Kolonialisme mengeluarkan kebijakan pengadministrasian lembaga tradisi untuk menjinakkannya. Pengalaman tersebut masih dirasakan sampai sekarang dan digantikan perannya oleh pemerintahan negara-negara muslim yang despotik. Lihat M. Abou El Fadl, Atas Nama Tuhan, 5.
[77] Bandingkan dengan Teresa Watanabe, “Battling Islamic Puritans,” Dalam Los Angeles Times (2 Januari 2002).

Sosiologi Pendidikan

DEFENISI SOSIOLOGI PENDIDIKAN

Pada dasarnya, sosiologi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu sosiologi umum dan sosiologi khusus. Sosiologi umum menyelidiki gejala sosio-kultural secara umum. Sedangkan Sosiologi khusus, yaitu pengkhususan dari sosiologi umum, yaitu menyelidiki suatu aspek kehidupan sosio kultural secara mendalam. Misalnya: sosiologi masayarakat desa, sosiologi masyarakat kota, sosiologi agama, sosiolog hukum, sosiologi pendidikan dan sebagainya.Jadi sosiologi pendidikan merupakan salah satu sosiologi khusus.

Beberapa defenisi sosiologi pendidikan menurut beberapa ahli:
1. Menurut F.G. Robbins, sosiologi pendidikan adalah sosiologi khusus yang tugasnya menyelidiki struktur dan dinamika proses pendidikan. Struktur mengandung pengertian teori dan filsafat pendidikan, sistem kebudayaan, struktur kepribadian dan hubungan kesemuanya dengantata sosial masyarakat. Sedangkan dinamika yakni proses sosial dan kultural, proses perkembangan kepribadian,dan hubungan kesemuanya dengan proses pendidikan.
2. Menurut H.P. Fairchild dalam bukunya ”Dictionary of Sociology” dikatakan bahwa sosiologi pendidikan adalah sosiologi yang diterapkan untuk memecahkan masalah-masalah pendidikan yang fundamental. Jadi ia tergolong applied sociology.
3. Menurut Prof. DR S. Nasution,M.A., Sosiologi Pendidikana dalah ilmu yang berusaha untuk mengetahui cara-cara mengendalikan proses pendidikan untuk mengembangkan kepribadian individu agar lebih baik.
4. Menurut F.G Robbins dan Brown, Sosiologi Pendidikan ialah ilmu yang membicarakan dan menjelaskan hubungan-hubungan sosial yang mempengaruhi individu untuk mendapatkan serta mengorganisasi pengalaman. Sosiologi pendidikan mempelajari kelakuan sosial serta prinsip-prinsip untuk mengontrolnya.
5. Menurut E.G Payne, Sosiologi Pendidikan ialah studi yang komprehensif tentang segala aspek pendidikan dari segi ilmu sosiologi yang diterapkan.
6. Menurut Drs. Ary H. Gunawan, Sosiologi Pendidikan ialah ilmu pengetahuan yang berusaha memecahkan masalah-masalah pendidikan dengan analisis atau pendekatan sosiologis.
Dari beberapa defenisi di atas, dapat disimpulkan bahwa sosiologi pendidikan adalah ilmu yang mempelajari seluruh aspek pendidikan, baik itu struktur, dinamika, masalah-masalah pendidikan, ataupun aspek-aspek lainnya secara mendalam melalui analisis atau pendekatan sosiologis.

DAFTAR PUSTAKA
H. Gunawan, Ary. 2006. Sosiologi Pendidikan Suatu Analisis Sosiologi tentang Pelbagai Problem Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Hartoto. 2008. Defenisi Sosiologi Pendidikan. Online (http://www.fatamorghana. wordpress.com, diakses 20 Maret 2008).








1. Pengertian sosiologi pendidikan
Sosiologi pendidikan terdiri dari dua kata, sosiologi dan pendidikan. Kedua istilah ini dari segi etimologi tentu saja berbeda maksudnya, namun dalam sejarah hidup dan kehidupan serta budaya manusia, kedua ini menjadi satu kesatuan yang terpisahkan. Terutama dalam system memberdayakan manusia, dimana sampai saat ini memanfaatkan pendidikan sebagai instrument pemberdayaan tersebut11.
Beberapa pemikiran pakar mengenai sosiologi pendidikan yang dikemukakan oleh Ahmadi (1991). Menurut George Payne, yang kerap disebut sebagai bapak sosiologi pendidikan, mengemukakan secara konsepsional yang dimaksud dengan sosiolgi pendidikan adalah by educational sosiologi we the science whith desribes andexlains the institution, social group, and social processes, that is the spcial relationships in which or through which the individual gains and organizes experiences”. Payne menegaskan bahwa, di dalam lembaga-lembaga, kelompok-kelompok social, proses social, terdapatlah apa yang yang dinamakan social itu individu memproleh dan mengorganisir pengalamannya-pengalamannya. Inilah yang merupaka asepek-aspek atau prinsip-prinsip sosiologisnya.
Charles A. Ellwood mengemukakan bahwa Education Sosiologi is the sciense aims to reveld the connetion at all points between the cdukative process and the social, sosiologi pendidikan adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari menuju untuk melahirkan maksud hubungan-hubungan antara semua pokok-pokok masalah antara proses pendidikan dan proses social.
Menurut E.B Reuter, sosiologi pendidikan mempunyai kewajiban untuk menganalisa evolusi dari lembaga-lembaga pendidikan dalam hubungannya dengan perkembangan manusia, dan dibatasi oleh pengaruh-pengaruh dari lembaga pendidikan yang menentukan kepribadian social dari tiap-tiap individu. Jadi perinsipnya antara individu dengan lembaga-lembaga social itu selalu saling pengaruh mempengaruhi (process social interaction).
F.G Robbins dan Brown mengemukakan bahwa sosiologi pendidikan adalah ilmu yang membicarakan dan menjelaskan hubungan-hubungan social yang mempengaruhi individu untuk mendapatkan serta mengorganisasi pengalamannya. Sosiologi pendidikan mempelajari kelakukan social serta perinsip-perinsip untuk mengontrolnya.
E.G Payne secara spesifik memandang sosiolgi pendidikan sebagai studi yang konfrenhensif tentang segala aspek pendidikan dari segi ilmu yang diterapkan. Bagi Payne sosiologi pendidikan tidak hanya meliputi segala sesuatu dalam bidang sosiologi yang dapat dikenakan analisis sosiologis. Tujuan utamanya ialah memberikan guru-guru, para peneliti dan orang lain yang menaruh perhatian akan pendidikan latihan yang serasi dan efektif dalam sosiologi yang dapat memberikan sumbangannya kepada pemahaman yang lebih mendalam tentang pendidikan (Nasution 1999:4)
Menurut Dictionary of Socialogy, sosiologi pendidikan ialah sosiologi yang diterapkan untuk memecahkan masalah-masalah pendidikan yang fundamental.
Menurut Prof. DR.S.Nasution. Sosiologi pendidikan ialah ilmu yang berusaha untuk mengetahui cara-cara mengendalikan proses pendidikan untuk mengembangkan kepribadian individu agar lebih baik.
Menurut F.G. Robbins, Sosiologi pendidikan adalah sosiologi khusus yang bertugas menyelidiki struktur dan dinamika proses pendidika.
Menurut penulis, Sosiologi pendidikan ialah ilmu pengetahuan yang berusaha memecahkan masalah-masalah pendidikan dengan analisis atau pendekatan sosiologis.
Dengan berbagai definisi tersebut diatas menunjukkan bahwa sosiologi pendidikan merupakan bagian dari matakuliah-matakuliah dasar-dasar kependidikan di lembaga pendidikan tenaga kependidikan dan sifatnya wajib diberikan kepada seluruh peserta didik.
1. Tujuan sosiologi pendidikan
Francis Broun mengemukakan bahwa sosiologi pendidikan memperhatikan pengaruh keseluruhan lingkungan budaya sebagai tempat dan cara individu memproleh dan mengorganisasi pengalamannya. Sedang S. Nasution mengatakan bahwa sosiologi pendidikan adalah Ilmu yang berusaha untuk mengetahui cara-cara mengendalikan proses pendidikan untuk memproleh perkembangan kepribadian individu yang lebih baik. Dari kedua pengertian dan beberapa pengertian yang telah dikemukakan dapat disebutkan beberapa konsep tentang tujuan sosiologi pendidikan, yaitu sebagai berikut:
1.
1. Sosiologi pendidikan bertujuan menganalisis proses sosialisasi anak, baik dalam keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Dalam hal ini harus diperhatiakan pengaruh lingkungan dan kebudayaan masyarakat terhadap perkembangan pribadi anak. Misalnya, anak yang terdidik dengan baik dalam keluarga yang religius, setelah dewasa/tua akan cendrung menjadi manusia yang religius pula. Anak yang terdidik dalam keluarga intelektual akan cendrung memilih/mengutamakan jalur intlektual pula, dan sebagainya.
2. Sosiologi pendidikan bertujuan menganalisis perkembangan dan kemajuan social. Banyak orang/pakar yang beranggapan bahwa pendidikan memberikan kemungkinan yang besar bagi kemajuan masyarakat, karena dengan memiliki ijazah yang semakin tinggi akan lebih mampu menduduki jabatan yang lebih tinggi pula (serta penghasilan yang lebih banyak pula, guna menambah kesejahteraan social). Disamping itu dengan pengetahuan dan keterampilan yang banyak dapat mengembangkan aktivitas serta kreativitas social.
3. Sosiologi pendidikan bertujuan menganalisis status pendidikan dalam masyarakat. Berdirinya suatu lembaga pendidikan dalammasyarakat sering disesuaikan dengan tingkatan daerah di mana lembaga pendidikan itu berada. Misalnya, perguruan tinggi bisa didirikan di tingkat propinsi atau minimal kabupaten yang cukup animo mahasiswanya serta tersedianya dosen yang bonafid.
4. Sosiologi pendidikan bertujuan menganalisis partisipasi orang-orang terdidik/berpendidikan dalam kegiatan social. Peranan/aktivitas warga yang berpendidikan / intelektual sering menjadi ukuan tentang maju dan berkembang kehidupan masyarakat. Sebaiknya warga yang berpendidikan tidak segan- segan berpartisipasi aktif dalam kegiatan social, terutama dalam memajukan kepentingan / kebutuhan masyarakat. Ia harus menjadi motor penggerak dari peningkatan taraf hidup social.
5. Sosiologi pendidikan bertujuan membantu menentukan tujuan pendidikan. Sejumlah pakar berpendapat bahwa tujuan pendidikan nasional harus bertolak dan dapat dipulangkan kepada filsafat hidup bangsa tersebut. Seperti di Indonesia, Pancasila sebagai filsafat hidup dan kepribadian bangsa Indonesia harus menjadi dasar untuk menentukan tujuan pendidikan Nasional serta tujuan pendidikan lainnya. Dinamika tujuan pendidikan nasional terletak pada keterkaitanya dengan GBHN, yang tiap 5 (lima) tahun sekali ditetapkan dalam Sidang Umum MPR, dan disesuaikan dengan era pembangunan yang ditempuh, serta kebutuhan masyarakat dan kebutuhan manusia.
6. Menurut E. G Payne, sosiologi pendidikan bertujuan utama memberi kepada guru- guru (termasuk para peneliti dan siapa pun yang terkait dalam bidang pendidikan) latihan – latihan yang efektif dalam bidang sosiologi sehingga dapat memberikan sumbangannya secara cepat dan tepat kepada masalah pendidikan. Menurut pendapatnya, sosiologi pendidikan tidak hanya berkenaan dengan proses belajar dan sosialisasi yang terkait dengan sosiologi saja, tetapi juga segala sesuatu dalam bidang pendidikan yang dapat dianalis sosiologi. Seperti sosiologi yang digunakan untuk meningkatkan teknik mengajar yaitu metode sosiodrama, bermain peranan (role playing) dan sebagainya.dengan demikian sosiologi pendidikan bermanfaat besar bagi para pendidik, selain berharga untuk mengalisis pendidikan, juga bermanfaat untuk memahami hubungan antara manusia di sekolah serta struktur masyarakat. Sosiologi pendidikan tidak hanya mempelajari masalah – masalah sosial dalam pendidikan saja, melainkan juga hal – hal pokok lain, seperti tujuan pendidikan, bahan kurikulum, strategi belajar, sarana belajar, dan sebagainya. Sosiologi pendidikan ialah analisis ilmiah atas proses sosial dan pola- pola sosial yang terdapat dalam sistem pendidikan.
Jika dilihat zaman peradaban yunani pada masa Plato (427-327 BC), pendidikannya lebih mengutamakan penciptaan manusia sebagai pemikir, kemudian sebagai ksatria dan penguasa. Pada zaman Romawi, seperti masa kehidupan Cicero (106-43 BC),2 pendidikan mengutamakan penciptaan manusia yang hmanistis. Pada abad pertengahan, pendidikan mengutamakan menjadikan manusia sebagai pengabdi Khalik (baik versi Islam maupun versi Kristiani). Pada abad pertengahan (1600-an-1800-an), melahirkan teori Nativisme (Rousseau, 1712-1778), Empirisme oleh Locke (1632-1704) dan konvergensi oleh Stern (1871-1939). Semuanya cendrung kepada nilai individu anak sebagai manusia yang memiliki karakteristik yang unik.
Menurut Nasution (1999:2-4) ada beberapa konsep tentang tujuan Sosiologi Pendidikan, antara lain sebagai berikut:
1. analisis proses sosiologi (2) analisis kedudukan pendidikan dalam masyarakat, (3) analisis intraksi social di sekolah dan antara sekolah dengan masyarakat, (4) alat kemajuan dan perkembangan social, (5) dasar untuk menentukan tujuan pendidikan, (6) sosiologi terapan, dan (7) latihan bagi petugas pendidikan.
Konsep tentang tujuan sosiologi pendidikan di atas menunjukkan bahwa aktivitas masyarakat dalam pendidikan merupakan sebuah proses sehingga pendidikan dapat dijadikan instrument oleh individu untuk dapat berintraksi secara tepat di komunitas dan masyarakatnya. Pada sisi yang lain, sosiologi pendidikan akan memberikan penjelasan yang relevan dengan kondisi kekinian masyarakat, sehingga setiap individu sebagai anggota masyarakat dapat menyesuaikan diri dengan pertumbuhan dan perkembangan berbagai fenomena yang muncul dalam masyarakatnya.
Namun demikian, pertumbuhan dan perkembangan masyarakat merupakan bentuk lain dari pola budaya yang dibentuk oleh suatu masyarakat. Pendidikan tugasnya tentu saja memberi penjelasan mengapa suatu fenomena terjadi, apakah fenomena tersebut merupakan sesuatu yang harus terjadi, dan bagaimana mengatasi segala implikasi yang bersifat buruk dari berkembangnya fenomena tersebut, sekaligus memelihara implikasi dari berbagai fenomena yang ada.
Tujuan sosiologi pendidikan pada dasarnya untuk mempercepat dan meningkatkan pencapaian tujuan pendidikan secara keseluruhan. Karena itu, sosiologi pendidikan tidak akan keluar darim uapaya-upaya agar pencapaian tujuan dan fungsi pendidikan tercapai menurut pendidikan itu sendiri. Secara universalm tujuan dan fungsi pendidikan itu adalah memanusiakan manusia oleh manusia yang telah memanusia. Itulah sebabnya system pendidikan nasional menurut UUSPN No. 2 Tahun 1989 pasal 3 adalah “ untuk mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia dalam rangka upaya mewujudkan tujaun nasional”. Menurut fungsi tersebut jelas sekali bahwa pendidikan diselenggarakan adalan: (1) untuk mengembangkan kemampuan manusia Indonesia, (2) meningkatkan mutu kehidupan manusia Indonesiam (3) meningkatkan martabat manusia Indonesia, (4) mewujudkan tujuan nasional melalui manusia-masusia Indonesia. Oleh karena itu pendidikan diselenggarakan untuk manusia Indonesia sehingga manusia Indonesia tersebut memiliki kemampuan mengembangkan diri,mmeningkatkan mutu kehidupan, meninggikan martabat dalam ragka mencapai tujuan nasional.
Upaya pencapaian tujuan nasional tersebut adalah untuk menciptakan masyarakat madani, yaitu suatu masyarakat yang berpradaban yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, yang sadar akan hak dan kewajibannya, demokratis, bertanggungjawab, berdisiplin, menguasai sumber informasi dalam bidang iptek dan seni, budaya dan agama (Tilaar, 1999). Dengan demikian proses pendidikan yang berlangsung haruslah menciptakan arah yang segaris dengan upaya-upaya pencapaian masyarakat madani tersebut.
Menurut pandangan Nurcholis Majid mengemukakan bahwa masyarakat madani itu adalah masyarakat yang berindikasi seperti termaktub dalam piagam madinah pada zaman Rasulullah Muhammad SAW (Tilaar, 2000).
Saat ini kita mengalami perubahan yang begitu cepat dan drastic, sehingga terjadi perubahan nilai dan menciptakan perbedaan dalam melihat berbagai nilai yang berkembang dalam masyarakat. Menurut Langgulung (1993:389) “kelompokpertama melihat nilai-nilai lama mulai runtuh sedangkan nilai-nilai baru belum muncul yntuk menggantikan yang lama, sedang kelompok kedua melihat keruntuhan nilali-nilai lama itu, tetapi dalam waktu yang bersamaan dapat melihat bagaimana nilai-nilai lama itu, menyelinap masuk kedalam nilai-nilai baru dan membantu menegakkannya”.
Perubahan nilai-nilai dalam masyarakat bukan berarti tidak terperhatikan oleh masyarakat. Namun dalam memperhatikan nilali-nilai yang berkembang tersebut, arah yang menjadi anutan antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya tidaklah sama. Tidak semua masyarakat secara terarah memahami arah dan tujuan hidup secara benar. Arah dan tujuan yang benar menurut Mulkham (1993:195) adalah “secara garis besar arah dan tujuan hidup manusia dapat dikelompokkan menjadi tiga tahap. Tahap pertama, mengenai kebenaran, tahap kedua, memihak kepada kebenaran dan tahap terakhir adalah berbuat ikhsan secara dan secara individual maupun social yangb terealisasi dalam laku ibadah”.
Sampai saat ini pendidikan dianggap dapat dijadikan sebagai sarana yang efektif dalam menyadarkan manusia baik sebagai individu maupun sebagai anggota komunitas dan masyarakat. Pendidikan akan mengembangkan kecerdasan dan penguasaan ilmu pengetahuan, pada sisi yang lain agama akan semakin popular dan terinternalisasi dalam diri setiap pemeluknya, jika diberikan melalui pendidikan.
1. Masyarakat sebagai ruang lingkup pembahasan sosiologi pendidikan
Sosiologi disebut juga sebagai ilmu Masyarakat atau ilmu yang membicarakan masyarakat., maka perlu diberikan pengertian tentang masyarakat. Berikut ini adalah pengertian yang diberikan oleh beberapa pakar sosiologi:
1.
1. Masyarakat merupakan jalinan hubungan social, dan selalu berubah. (Mac Iver dan Page).
2. Masyarakat adalah kesatuan hidup makhluk-makhluk manusia yang terikat oleh suatu system adat istiadat tertentu. (Koentjaraningkat).
3. Masyarakat adalah tempat orang-orang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaa. (Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi).
Menurut Soerjono Soekanto, ada 4 (empat) unsure yang terdapat dalam masyarakat, yaitu:
1. Adanya manusia yang hidup bersama, (dua atau lebih)
2. Mereka bercampur untuk waktu yang cukup lama, yang menimbulkan system komunikasi dan tata cara pergaulan lainnya.
3. Memiliki kesadaran sebagai satu kesatuan
4. Merupakan system kehidupan bersama yang menimbulkan kebudayaan.
Komunitas (communiti) adalah suatu daerah/wilayah kehidupan social yang ditandai oleh adanya suatu derajat hubungan social tertentu. Dasar dari suatu komunitas adalah adanya lokasi (unsure tempat) dan perasaan sekomunitas. (Mac Iver dan Page).
Contohnya: 1). Komunitas yang sangat besar adalah Negara, persekutuan Negara-negara. 2). Komunitas yang besar, adalah kota, dan 3). Komunitas kecil adalah desa pertanian, rukun tetangga, dan sebagainya.
Daftar Pustaka :
11 Drs. H. Muhyi Batubara, M. Sc. “Sosiologi Pendidikan”. PT. Ciputat Press. Jakarta, Hal 1
2 Drs. H. Muhyi Batubara, M. Sc. “Sosiologi Pendidikan”. PT. Ciputat Press. Jakarta, Hal 8









TOKOH PENDIDIKAN ISLAM ROF.DR.H. MAHMUD YUNUS (1899-1982)
Mahmud Yunus adalah produk zaman dan lingkungannya. Situasi sosial yang melatarbelakangi kehidupannya telah membentuk karakternya menjadi sosok yang ikut mengisi perjalanan sejarah ; ia telah berfikir dan berbuat untuk menjawab problema sosial, bangsa dan agamanya dengan memilih jalur pendidikan sebagai sisi yang ia anggap paling strategis pada waktu itu.
Latar Belakang
Akhir abad ke sembilan belas dan awal abad keduapuluh adalah masa dimana arus kebangkitan Islam sedang mengalir ke berbagai penjuru dunia, tidak terkecuali Indonesia. Gelombang kebangkitan ini dihembuskan pada awalnya oleh Jamaluddin Al-Afghany dan rekannya Sayyid Rasyid Ridha dari Mesir. Arus gelombang kebangkitan Islam ini sangat dirasakan konsekuensi politisnya oleh pemerintahan kolonial di Indonesia. Dibukanya terusan Suez pada tahun 1869 telah menyebabkan meningkatnya jumlah rakyat pribumi melakukan perjalanan haji (Benda, 1980 ; 8). Dengan demikian kontak intelektual antara kawasan jajahan dengan pusat Islam dan sesama wilayah terjajah lainnya menjadi meningkat pula. Keadaan ini telah “memaksa” Belanda untuk mengubah arah kebijakan politiknya. Pada tahun 1901 Belanda mulai menjalankan politik etis (Depdikbud, 1976 ; 97). Gagasan politik ini bertujuan untuk menjaga kondisi sosial politik pemerintahan kolonial di Indonesia dengan menawarkan “balas jasa” pemerintah terhadap rakyat pribumi dalam bentuk perluasan kesempatan memperoleh pendidikan barat bagi rakyat pribumi.
Konsekuensi politik etis ini, pada gilirannya, sangat mempengaruhi perkembangan sistem pendidikan pribumi (baca : pendidikan Islam). Wadah-wadah pendidikan Islam mulai terancam, karena sistem pendidikan yang dijalankan oleh Belanda terbuka luas bagi rakyat, dan sangat disadari pula bahwa, melalui pendidikan, Belanda melakukan proses “pembaratan” rakyat pribumi yang pada gilirannya akan melempangkan jalan bagi politik kolonial sendiri.
Kebijaksanaan pendidikan Belanda di Indonesia didasarkan pada pandangan bahwa pendidikan Islam (tradisional) dianggap sebagai kekuatan laten yang dapat mengancam pemerintah. Oleh karenanya harus dicari ikhtiar untuk melemahkan potensi Islam melalui kebijakan pendidikan ini. Pada tahun 1905 pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan “Goeroe Ordonantie”, yakni undang –undang yang mewajibkan para pendidik di sekolah-sekolah diluar kontrol pemerintah, memperoleh izin dari instansi yang ditentukan (Ridwan Saidi, 1984 ; 126).
Ordonansi Guru ini mendapat protes yang keras dari kalangan umat Islam Indonesia, terlebih lagi di Sumatera Barat. Penolakan aturan baru ini di Sumatera Barat dipelopori oleh kalangan pembaharu Islam dibawah koordinasi H. Abdul karim Amarullah. Aksi penolakan ini akhirnya berhasil menggagalkan atau, paling tidak, memperlonggar undang-undang tersebut.
Pada dasarnya, situasi sosial dan politik di Hindia Belanda pada awal abad ke dua puluh, telah berimplikasi terhadap bidang pendidikan Islam. Antara pendidikan dan politik terdapat kaitan yang sukar dipisahkan, paling tidak, menurut persepsi Belanda pada waktu itu. Sehingga tidak heran bila sistem pendidikan Islam sering dijadikan bulan-bulanan dan harus berhadapan dengan kebijakan-kebijakan pemerintahan jajahan yang tidak menguntungkan. Keadaan inilah yang telah memicu terhadap meningkatnya kesadaran rakyat pribumi, terutama kalangan ulama, untuk makin memberikan prioritas dalam bidang pendidikan serta mendirikan organisasi-organisasi sosial keagamaan yang sekaligus bergerak dalam lapangan pendidikan dan bahkan politik.
Kondisi sosial dan politik seperti inilah yang telah memberi pengaruh kuat terhadap proses pendewasaan karakter intelektualitas Mahmud Yunus dan sekaligus memotivasinya untuk menjadikan bidang pendidikan Islam sebagai pilihan professinya.. Perubahan politik dari pemerintahan kolonial Belanda, pendudukan Jepang hingga Indonesia merdeka adalah rentangan pengalaman yang tidak diabaikannya dalam memposisikan sistem pendidikan Islam dalam perkembangan masyarakat Indonesia sebagaimana akan dijelaskan pada uraian selanjutnya.
Lingkungan Keluarga
Mahmud Yunus dilahirkan pada tanggal 30 Ramadhan 1316 Hijriyah bertepatan dengan tanggal 10 Februari 1899 Masehi di desa Sungayang Batusangkar Sumatera Barat. Ia dilahirkan dari keluarga sederhana. Ayahnya seorang petani biasa, bernama Yunus bin Incek, dari suku Mandailing dan ibunya bernama Hafsah dari suku Chaniago. Walaupun dilahirkan dari keluarga yang sederhana, namun mempunyai nuansa keagamaan yang kuat. Ayah Mahmud adalah bekas pelajar surau dan mempunyai ilmu keagamaan yang cukup memadai, sehingga dia diangkat menjadi Imam Nagari (Riwayat Hidup, tt). Jabatan Imam Nagari pada waktu itu, diberikan secara adat oleh anak nagari kepada salah seorang warganya yang pantas untuk menduduki jabatan itu atas dasar ilmu agama yang dimilikinya. Disamping itu Yunus bin Incek dimasyhurkan juga sebagai seorang yang jujur dan lurus (Riwayat Hidup, tt).
Ibu Mahmud seorang yang buta huruf, karena ia tidak pernah mengenyam pendidikan sekolah, apalagi pada waktu itu di desanya belum ada sekolah desa. Tetapi ia dibesarkan dalam lingkungan yang Islami. Kakek Hafsah adalah seorang ulama yang cukup dikenal, bernama Syekh Muhammad Ali yang dimasyhurkan orang dengan Tuanku Kolok. Ayahnya bernama Doyan Muhammad Ali, bergelar Angku Kolok (Mahmud Yunus, 1979). Pekerjaan Hafsah sehari-hari adalah bertenun. Ia mempunyai keahlian menenun kain yang dihiasi benang emas, yaitu kain tradisional Minangkabau yang dipakai pada upacara-upacara adat (Riwayat Hidup, tt, : 5).
Saudara Hafsah bernama Ibrahim, seorang saudagar kaya di Batusangkar. Kekayaan Ibrahim ini sangat menopang kelanjutan pendidikan Mahmud, terutama pada waktu ia belajar ke Mesir. Ibrahim sangat memperhatikan bakat serta kecerdasan yang dimiliki oleh kemenakannya ini. Dialah yang mendorong Mahmud untuk melanjutkan pelajarannya ke luar negeri dengan disertai dukungan dana untuk keperluan itu.
Hal ini memberikan gambaran tentang bagaimana tanggung jawab seorang mamak terhadap kemenakan yang berlaku di Minangkabau pada waktu itu sebagai pepatah yang berbunyi : “Anak dipangku, kamanakan dibimbiang”. Suatu kelaziman yang berlaku sepenuhnya pada waktu itu, bahwa tanggung jawab mamak terhadap kemenakan bukanlah didasarkan atas ketidakmampuan dari ayah kemenakan itu sendiri.
Ibrahim mempunyai seorang anak yang sebaya dengan Mahmud. Ia bergelar Datuk Sati, sangat ahli dalam bidang adat. Ini diasumsikan menjadi penyebab mengapa Mahmud kurang menonjol pengetahuannya dalam adat Minangkabau. Ibrahim agaknya menginginkan arahan yang berbagi antara anak dan kemenakan. Karena anaknya sangat menggemari masalah-masalah adat, maka ia menyalurkan kegemarannya untuk belajar kepada ahli-ahli adat, hingga ia menguasai adat ini dengan baik. Di lain pihak, melihat perkembangan Mahmud dari kecil, ternyata lebih cenderung mempelajari agama, maka Ibrahimpun menyokong kecenderungan ini. Bahkan dia tak berkeberatan menanggung semua biaya yang diperlukan untuk keperluan itu, hingga Mahmud dapat melanjutkan pelajarannya ke tingkat yang lebih tinggi.
Dukungan ekonomi dari sang mamak dengan disertai dorongan dari orang tuanya, maka Mahmud sejak kecil hingga remaja hanya dilibatkan dengan keharusan untuk belajar dengan baik, tanpa harus ikut memikirkan ekonomi keluarga dalam membantu orang tuanya mencari nafkah, ke sawah atau ke ladang (Ismail Laut, wawancara) meskipun Mahmud satu-satunya anak laki-laki dalam keluarganya; ia dan adiknya Hindun. Sedangkan ayahnya telah meninggalkan ibunya selagi Mahmud masih kecil, sebelum ia muamyyiz (Riwayat Hidup, tt : 5)
Pendidikan
Belajar mengaji di surau adalah jalur pendidikan awal yang ditempuh oleh Mahmud kecil. Ia belajar dengan kakeknya sendiri, Muhammad Thaher bin Muhammad Ali gelar Angku Gadang. Mahmud mulai mengaji di surau kakeknya ini dalam usia 7 tahun dan dalam waktu kurang dari satu tahun, berkat ketekunannya, ia dapat menamatkan Al-Quran. Segera setelah khatam Al-Quran, Mahmudpun dipercaya oleh kakeknya menjadi Guru Bantu untuk mengajari anak-anak yang menjadi pelajar pemula sambil ia mempelajari dasar-dasar tata bahasa Arab (ilmu Sharaf) dengan kakeknya.
Pada tahun 1908, dengan dibukanya Sekolah Desa oleh masyarakat Sungayang, Mamudpun tertarik untuk memasuki sekolah ini. Ia kemudian meminta restu dari ibunya untuk belajar ke Sekolah Desa tersebut. Setelah mendapat restu ibunya, iapun mengikuti pelajaran di Sekolah Desa pada siang hari, namun tanpa meninggalkan tugas-tugasnya di Surau kakeknya mengajar Al-Quran pada malam harinya. Rutinitas seperti ini dijalani oleh Mahmud dengan tekun dan penuh prestasi, Tahun pertama Sekolah Desa diselesaikannya hanya dalam masa 4 bulan, karena ia memperoleh penghargaan untuk dinaikkan ke kelas berikutnya. Bahkan di kelas tiga, ia tetap bertahan dengan nilai tertinggi diantara teman-teman sekelasnya (Riwayat Hidup, tt : 10). Pendidikan di Sekolah Desa hanya dijalaninya selama kurang dari tiga tahun. Pada waktu ia belajar di kelas empat, Mahmud menunjukkan ketidakpuasannya terhadap mata pelajaran di Sekalah Desa, karena pelajaran yang diberikan tidak berbeda jauh dari pelajaran kelas tiga. Bertepatan pula pada waktu itu H. M. Thaib Umar membuka madrasah di surau Tanjung Pauh Sungayang. Madrasah ini bernama Madras School. Sekalilagi dengan restu ibunya Mahmudpun pindah ke Madras School di bawah asuhan H.M. Thaib Umar yang dikenal sebagai salah seorang ulama pembaharu Minangkabau. Di sekolah ini ia mempelajari ilmu Nahwu, ilmu Sharaf, Berhitung dan Bahasa Arab. Ia belajar di sini dari jam 09.00 pagi hingga jam 12.00 siang, sementara pada malam harinya ia tetap mengajar di surau kakeknya.
Pada tahun 1911, karena keinginan untuk mempelajari ilmu-ilmu agama.secara lebih mendalam dengan H.M. Thaib Umar, Mahmud menarik diri dari surau kakeknya untuk kemudian menggunakan waktu sepenuhnya, siang dan malam, belajar ilmu Fiqh dengan H.M. Thaib Umar di surau Tanjung Pauh. Ia belajar dengan tekun dengan ulama pembaharu ini, hingga ia menguasai ilmu-ilmu agama dengan baik, bahkan ia dipercayakan oleh gurunya ini untuk mengajarkan kitab-kitab yang cukup berat untuk ukuran seusianya. Pada tahun 1917, Syekh H.M. Thaib Umar mengalami sakit, karena itu Mahmud Yunus secara langsung ditugasi untuk menggantikan gurunya memimpin Madras School.
Setelah memiliki pengalaman beberapa tahun belajar, kemudian mengajar dan memimpin Madras School serta telah menguasi dengan mantap beberapa bidang ilmu agama, Mahmud kemudian berkeinginan untuk melanjutkan pelajarannya ke tingkat yang lebih tinggi di Mesir. Keinginan ini muncul setelah ia berkesempatan menunaikan ibadah Haji ke Mekkah. Pada tahun 1924 ia berangkat ke Mesir bersama rombongan jemaah Haji.
Di Mesir, Mahmud kembali memperlihatkan prestasi yang istimewa. Ia mencoba untuk menguji kemampuannya dalam ilmu-ilmu agama dengan mengikuti ujian akhir untuk memperoleh Syahadah (ijazah) ‘Alimiyyah, yaitu ujian akhir bagi siswa-siswa yang telah belajar sekurang-kurangnya 12 tahun ( Ibtidaiyyah 4 tahun, Tsanawiyah 4 tahun, dan ‘Aliyah 4 tahun). Ada 12 mata pelajaran yang diuji untuk mendapatkan syahadah ini, namun kesemuanya telah dikuasai oleh Mahmud waktu belajar di tanah air, sebagaimana dicatatkannya :.
Kalau hanya ilmu itu saja yang akan diuji. Saya sanggup masuk ujian itu, karena keduabelas macam ilmu itu telah saya pelajari di Indonesia, bahkan telah saya ajarkan beberapa tahun lamanya (1915-1923) (Riwayat Hidup, tt ; 28
Ujian ini dapat diikutinya dengan baik dan berhasil lulus serta mendapatkan ijazah (syahadah) “Alimiyyah pada tahun yang sama tanpa melalui proses pendidikan. Dengan ijazah ini, Mahmud lebih termotivasi untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Dia kemudian memasuki Darul ‘Ulum ‘Ulya Mesir. Pada tahun 1925 ia berhasil memasuki lembaga pendidikan yang merupakan Madrasah ‘Ulya (setingkat perguruan tinggi) agama yang juga mempelajari pengetahuan umum. Ia memilih jurusan Tadris (Keguruan). Perkuliahan di Darul ‘Ulum ‘Ulya mulai dari tingkat I sampai tingkat IV dan semua tingkat itu dilaluinya dengan baik, Bahkan pada tingkat terakhir, dia memperoleh nilai tertinggi pada mata kuliah Insya` (mengarang). Pada waktu ini Mahmud adalah satu-satunya mahasiswa asing yang berhasil menyelesaikan hingga ke tingkat IV di Darul ‘Ulum.
Setelah menjalani masa pendidikan dan menimba berbagai pengalaman di Mesir, iapun kembali ke tanah air pada tahun 1931.
Karir Kependidikan
a. Memimpin Al-Jami’ah Al-Islamiyyah di Sungayang
Pendidikan Islam adalah jalur professi yang menjadi pilihan Mahmud, sebagai telah dikemukakan terdahulu. Pilihan ini pulalah yang menuntunnya melakukan pilihan jurusan dalam pendidikan yang ia lalui, untuk kemudian sangat berperan memantapkan langkah dalam setiap jenjang karir yang dilaluinya. Sekembalinya ke Indonesia, Mahmud mulai menerapkan ilmu yang diperolehnya. Madras School yang dulu pernah dipimpin Mahmud menggantikan gurunya HM. Thaib Umar, mulai mendapat sentuhan perubahan. Mahmud mengganti nama Madras School dengan Al-Jami’ah Al-Islamiyah. Sekolah ini, oleh Mahmud dibuat berjenjang sebagai lazimnya sekolah-sekolah pemerintah, yaitu jenjang Ibtidaiyyah denga masa belajar 4 tahun setingkat Schakel, jenjang Tsanawiyyah dengan masa belajar 4 tahun, setingkat MULO, dan jenjang “Aliyah dengan masa belajar 4 tahun, setingkat AMS (Riwayat Hidup, tt ; 45). Aljami’ah Al-Islamiyyah dipimpin oleh Mahmud Yunus selama 2 tahun (1931-1932), karena setelah itu kegiatan Mahmud lebih banyak di Padang dalam memimpin Normal Islam yang didirikan oleh PGAI pada waktu yang sama.
b. Memimpin Normal Islam di Padang
Normal Islam (Kulliyyatul Mu’allimin al_Islamiyyah) didirikan di Padang oleh Persatuan Guru-Guru Agama Islam (PGAI) pada bulan April 1931. Sekolah ini setingkat ‘Aliyah dan bertujuan untuk mendidik calon guru. Oleh karena itu murid yang diterima di sekolah ini adalah lulusan madrasah 7 tahun. Kepemimpinan Normal Islam dipercayakan kepada Mahmud Yunus semenjak didirikan, Jadi, pada waktu yang bersamaan, Mahmud memimpin dua lembaga pendidikan sekaligus, yaitu Normal Islam di Padang dan Al-Jamiah Al-Islamiyyah di Sungayang
Normal Islam adalah madrasah yang terbilang modern untuk waktu itu, Sekolah ini, disamping telah memasukkan mata pelajaran umum ke dalam kurikulum pengajarannya, juga sudah memiliki laboratorium kimia dan fisika, juga alat-alat praktikum lainnya.
Selama memimpin Normal Islam, Mahmud telah melakukan pembaharuan sistem pengajaran, terutama metoda pengajaran Bahasa Arab. Bahkan buku-buku yang digunakan adalah buku karangannya sendiri, yaitu : Durus al- Lughah al-‘Arabiyyah, yang dikarangnya sewaktu belajar di Mesir. Salah satu hasil dari perubahan metode yang dilakukan oleh mahmud Yunus adalah siswa-siswa mampu berbahasa Arab secara aktif, sementara pada waktu itu lulusan madrasah yang ada pada umumnya hanya mampu berbahasa Arab secara pasif.
c. Memimpin Sekolah Islam Tinggi (SIT) di Padang
Sekolah Tinggi Islam ini merupakan perguruan tinggi Islam pertama di Minangkabau bahkan di Indonesia. SIT didirikan oleh PGAI di Padang pada bulan Desember 1940 dan sebagai pemimpin pertama, sekali lagi oleh PGAI, dipercayakan kepada Mahmud Yunus.
Sekolah Tinggi ini terdiri dari dua fakultas, yaitu : Fakultas Syari’at dan Fakultas Pendidikan/Bahasa Arab. Akan tetapi sekolah tinggi ini hanya berjalan kurang dari tiga tahun, karena pada tahun 1942, saat Jepang telah menguasai kota Padang, ada ketentuan pemerintahan baru ini yang tidak membolehkan adanya sekolah tinggi di daerah pendudukannya.
d. Mendirikan dan Memimpin Sekolah Menengah Islam (SMI) di Bukittinggi
Pada saat tentara sekutu menduduki kota Padang, secara beruntun terjadi pertempuran hebat antara pemuda-pemuda dengan tentara sekutu. Suasana ini mengakibatkan terancamnya sekolah-sekolah agama Islam yang ada di Padang. Banyak guru-guru dan murid-murid yang mengungsi ke Bukittinggi.
Di Bukittinggi, atas prakarsa Mahmud Yunus dan dengan kesepakatan guru-guru yang ada, untuk menjaga kelangsungan pendidikan agama Islam didirikanlah Sekolah Menengah Islam (SMI) pada bulan September 1946. Sekolah ini dipimpin pertama kali secara langsung oleh Mahmud Yunus, namun tidak lama, pada bulan Desember, Mahmud dipindah tugaskan ke Pematang Siantar, dan kepemimpinan SMI dipegang oleh H. Bustami Abdul Gani.
e. Memimpin IAIN Imam Bonjol di Padang
Menjadi Rektor pertama pada perguruan tinggi agama Islam negeri pertama di Sumatera Barat adalah jabatan terakhir yang diemban Mahmud Yunus selama menjadi pegawai Departemen Agama. Banyak aktifitas keagamaan dan kependidikan agama yang telah dijalaninya pada waktu sebelumnya, baik sebagai Dekan pada Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) di Jakarta, sebagai Kepala Lembaga Pendidikan Agama pada Jawatan Pendidikan Agama dan sebagai dosen pada beberapa perguruan tinggi. Pengalaman-pengalaman itu, tentu menjadi pertimbangan bagi Menteri Agama untuk mempercayakan jabatan Rektor IAIN Imam Bonjol di Padang. Jabatan ini dipegangnya dari tahun 1967 hingga memasuki masa pensiun pada akhir tahun 1970. Masa yang dianggap cukup untuk merintis dan mengasuh Institut Agama Islam yang baru berdiri ini.
Gagasan dan Perjuangan
a. Pembaharuan Metode Pengajaran Agama Islam dan Bahasa Arab
Aktifitas Mahmud Yunus dalam bidang pendidikan Islam pada dasarnya telah dimulainya sebelum belajar ke Mesir. Keikut sertaannya dalam Rapat Alim Ulama Minangkabau di Padangpanjang pada tahun 1919 menjadi pajakan awal pemantapan dirinya untuk mengerahkan potensi, gagasan dan perjuangannya dalam bidang pendidikan Islam. Rapat ini menghasilkan keputusan antara lain mendirikan Persatuan Guru-Guru Agama Islam (PGAI) yang kemudian menjadi salah satu tonggak episode perkembangan pendidikan Islam modern di Sumatera Barat. Ini terlihat dari beberapa kiprah organisasi ini dalam memajukan pendidikan agama Islam sebagai yang telah dikemukakan terdahulu. Beberapa sekolah yang didirikan oleh PGAI yang diawali dengan Normal Islam di Padang pada tahun 1931, Sekolah Tinggi Islam dan Sekolah Menengah Islam di Bukittinggi telah mempelihatkan komitmen yang jelas dari langkah organisasi ini dalam bidang pendidikan Islam. Melalui organisasi ini pulalah Mahmud Yunus mengabdikan diri, mencurahkan segenap ilmu serta gagasan-gagasan pendidikan, baik yang ia peroleh dari Mesir, maupun dari pengalaman belajar dan mengajar sebelumnya.
Kepercayaan yang diberikan oleh organisasi ini kepada Mahmud Yunus untuk memimpin lembaga-lembaga pendidikan di bawah PGAI lebih dapat dilihat dari kompetensi serta integritas keilmuan yang dimilikinya. Gagasan-gagasan pembaharuan materi ajar, kurikulum hingga metode pengajaran pada lembaga pendidikan tersebut adalah buah dari kesungguhan intelektual Mahmud Yunus dalam mengabdikan diri dalam bidang pendidikan Islam.
b. Memasukkan Pelajaran Agama ke Kurikulum Sekolah Pemerintah
Salah satu kepeloporan Mahmud Yunus yang hingga saat ini hampir-hampir dilupakan oleh sejarah adalah usaha yang dilakukannya untuk menempatkan mata pelajaran agama Islam dalam kurikulum pendidikan di sekolah-sekolah pemerintah. Di masa pemerintahan Jepang, tepatnya pada tahun 1943 Mahmud Yunus terpilih mewakili Majlis Islam Tinggi (MIT) sebagai penasehat Residen (Syu-Cho-Kan) di Padang. Pada waktu residen Yano Kenzo berniat mendirikan Gyu Gun (Lasykar Rakyat), Mahmudpun termasuk salah seorang tokoh yang diharapkan dapat merekrut keanggotaan Gyu Gun, disamping tokoh lainnya seperti Ahmad Dt. Simarajo dan Khatib Sulaiman. Kedekatan Mahmud Yunus dengan pemerintahan inilah yang kemudian dia manfaatkan untuk merealisasikan obsesi nya. Ia mengusulkan kepada pemerintah agar pendidikan agama Islam diberikan di sekolah-sekolah pemerintah. Usulan Mahmud ini dapat dipertimbangkan oleh Jepang untuk diterima. Sejak saat itu pelajaran agama Islam diberikan di sekolah-sekolah pemerintah pada waktu itu dan sekaligus Mahmud Yunus diangkat menjadi pengawas pendidikan agama pada pemerintahan Jepang. Pada waktu yang bersamaan ia juga memimpin Normal Islam di Padang.
Upaya untuk memasukkan mata pelajaran agama Islam ke dalam kurikulum pendidikan umum (pemerintah) juga dilakukan oleh Mahmud Yunus setelah kemerdekaan. Sebagai mantan pengawas pendidikan agama pada masa Jepang, ia mengusulkan hal yang sama kepada Jawatan Pengajaran Sumatera Barat yang pada waktu itu dikepalai oleh Sa’aduddin Jambek. Usul inipun diterima, dan Mahmud sendiri yang menyusun kurikulum serta buku-buku pegangan untuk keperluan pengajarannya. Buku-buku tersebut kemudian diterbitkan oleh Jawatan Pengajaran Sumatera Barat pada tahun 1946.
Pada waktu Mahmud Yunus dipindahtugaskan ke Pematang Siantar sebagai Kepala Kepala bagian Agama Islam pada Jawatan Agama Propinsi Sumatera, bersamaan dengan itu pula pindahnya ibukota Propinsi Sumatera ke kota itu. Di sini ia mengusulkan pula hal yang sama kepada Jawatan Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan (PP & K) provinsi. Usul ini diterima oleh kepala Jawatan PP&K propinsi yang pada waktu itu dikepalai oleh Abdullah Nawawi. Usul ini dibawa ke dalam forum konferensi Pendidikan dan Pengajaran se- Sumatera yang diadakan di Padangpanjang bulan Maret 1947 dan diterima secara bulat oleh peserta konferensi (Deliar Noer, 1983; 56, Riwayat Hidup, tt ; 51). Dengan demikian pendidikan Islam masuk secara resmi dalam rencana pengajaran seskolah-sekolah negeri di Sumatera pada tahun 1947. Sementara do Sumatera Barat telah berjalan setahun sebelumnya.
Untuk merealisasikan rencana tersebut, Jabatan Pengajaran melaksanakan kursus untuk guru-guru agama di Pematang Siantar selama sebulan penuh. Kursus ini dikuti oleh utusan kabupaten dari seluruh Sumatera dan sebagai pimpinan kursus dipercayakan oleh Mahmud Yunus.
Pada tahun 1948, Mahmud membuat rencana baru tentang pelajaran agama untuk sekolah umum tingkat pertama. Gagasan ini mendapat sambutan puladari pemerintah provinsi, akhirnya mengangkat Mahmud menjadi inspektur pelajaran agama pada kantor pendidikan provinsi (Deliar Noer,1983;57), disamping ia tetap menjabat Kepala Bagian Islam.
Pada waktu pemerintah Republik Indonesia Serikat berpusat di Jakarta (1950), mulai diadakan kesatuan rencana pendidikan Islam untuk seluruh Indonesia. Pada tahun sebelumnya kementerian Agama di Yogyakarta mengeluarkan penetapan bersama Menteri PP & K tentang pelajaran agama di sekolah-sekolah negeri. Dalam penetapan itu pendidkan agama dapat diberikan mulai kelas IV sekolah rakyat.
Pada tahun 1950 Mahmud pindah ke Kementerian Agama RIS di Jakarta. Sebagaimana telah diketahui bahwa di Sumatera, pelajaran Agama Islam telah mulai diberikan di kelas satu sekolah rakyat, berdasarkan rencana Mahmud Yunus dan telah dilaksanakan di Sumatera Barat mulai 1 April 1946. Maka oleh Sekjen Kementerian Agama RI Yogyakarta bersama Mahmud Yunus, diusahakanlah untuk mengkompromikan antara kurikulum Sumatera tersebut dengan kurikulum Kementerian RI Yogyakarta. Rencana ini disampaikan kepada Menteri PP & K untuk mendapatkan persetujuan.
Setelah diadakan pertemuan beberapa kali antara Mahmud Yunus sebagai wakil Kementerian Agama RI dengan Sekjen Kementerian PP & K, Mr.Hadi, maka dikeluarkanlah peraturan bersama No.1432/Kab. tanggal 20-1-1951 (Pendidikan) dan No.K.1/651 tanggal 20-1-1951 (Agama), yang isinya antara lain: menetapkan pendidikan agama di sekolah rendah, dimulai pada kelas IV, banyaknya 2 jam seminggu (pasal 2 ayat 1). Di lingkungan istimewa, pendidikan agama dapat dimulai pada kelas satu, dan jamnya dapat ditambah menurut kebutuhan, tetapi tidak melebihi 4 jam seminggu (pasal 2 ayat 2) dan di sekolah-sekolah lanjutan tingkat pertama dan atas, diberi pendidikan agama 2 jam seminggu (pasal 3) (Mahmud Yunus, 1979 ;358-359).
Dengan keluarnya peraturan bersama itu, pendidikan agama Islam telah masuk dengan resmi ke sekolah-sekolah negeri dan berlaku juga untuk sekolah-sekolah partikelir, mulai dari SR, SMP, SMA dan sekolah-sekolah kejuruan.
c. Memperjuangkan Sekolah Agama Pemerintah dan Merintis IAIN
Di masa Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) Mahmud Yunus mengemuka-kan pula rencana mendirikan Madrasah Tsanawiyyah untuk seluruh Sumatera. Usul rencana ini mendapat persetujuan pula dari Menteri Agama PDRI. Setelah penyerahan kedaulatan dari pemerintah Belanda kepada pemerintah RI, beberapa madrasah Tsanawiyyah yang pada waktu itu bernama Sekolah Menengah Pertama Islam (SMPI), didirikan di Sumatera Barat dan mendapat persetujuan dari pemerintah. Madrasah ini diselenggarakan secara swasta, meskipun Mahmud Yunus telah memperjuangkannya untuk dijadikan sekolah negeri.
Pada tanggal 1 September 1950 Mahmud diangkat menjadi Kepala Penghubung antara pusat Kementerian Agama RIS dan pusat Kementerian RI Yogyakarta. Dalam jabatan inilah Mahmud lebih banyak berhasil mengajukan rencana-rencana pendidikan agama Islam, seperti dikemukakan pada uraian terdahulu. Disamping itu keluarnya peraturan bersama Menteri PP & K dan Menteri Agama tentang PTAIN (1951) dan keluarnya keputusan Menteri PP & K dengan persetujuan Menteri Agama tentang penghargaan ijazah-ijazah madrasah(Yusran Ilyas, 1982 ; Riwayat Hidup, tt ; 65), adalah merupakan rangkaian usaha Mahmud selama memegang jabatan tersebut yang telah membawa prospek lebih baik bagi pendidikan agama di Indonesia pada umumnya.
Didirikannya Institut Agama Islam Negeri (IAIN) juga tidak dapat dipisahkan dari usaha yang dilakukan oleh Mahmud Yunus. Pada waktu ia menjabat sebagai Dekan Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) di Jakarta, sebelumnya sudah berdiri Perguruan Tinggi Agama Islam ( PTAIN) di Yogyakarta. Karena itu, Muncul ide dari Mahmud Yunus untuk menyatukan kedua perguruan tinggi yang ada di bawah Departemen Agama ini. Pada waktu Mahmud menjabat sebagai Kepala Lembaga Pendidikan Agama pada Jawatan Pendidikan Agama, ia mengusulkan kepada Menteri Agama agar ADIA bisa dijadikan sebagai sebuah perguruan tinggi sampai tingkat sarjana penuh. Mentri Agama yang pada waktu itu dijabat oleh K.H. Wahib Wahab sang menyetuji usul ini. Menteri segera mengadap Presiden untuk mendapatkan persetujuan. Presiden setuju untukmengintegrasikan ADIA dan PTAIN menjadi satu perguruan tinggi agama di bawah Departemen Agama. Dengan demikian keluarlah Peraturan Presiden Nomor Tahun 1960 tentang pendirian Institut Agama islam Negeri. IAIN pada waltu awal ini memiliki fakultas, yaitu dua fakultas di Jakarta, masing-masing fakultas Tarbiyah (Dekan : Mahmud Yunus) dan fakultas Adab (Dekan : H. Bustami Abdul Gani).dan dua fakultas di Yogyakarta, yaitu fakultas Syari’ah dan Ushuluddin dengan dekan masing-masing Prof Hasbi Ash-Shiddiqy, dan Prof Mukhtar Yahya. .
Kunjungan ke Luar Negeri
Sewaktu Mahmud menjadi Dekan Fakultas Tarbiyah IAIN Jakarta dan menjabat Rektor IAIN Imam Bonjol Padang, Mahmud beberapa kali terlibat dalam aktivitas di luar negeri. Perlawatan pertama adalah merupakan tugas dari Departemen Agama kesembilan negara Islam (1961), yaitu: Mesir, Saudi Arabia, Syria, Libanon, Yordania, Turki, Irak, Tunisia dan Marokko. Kunjungan ini ditujukan untuk mempelajari pendidikan agama di negara-negara tersebut.
Pada tahun berikutnya (1962), Mahmud Yunus berkesempatan menghadiri sidang Majlis A’la Istisyari Al-Jami’ah Al-Islamiyah di Medinah bulan April 1962 atas undangan Raja Sa’ud yang diterimanya melalui Kedutaan Besar Saudi di Jakarta. Kemudian aktif sebagai peserta Muktamar Buhutsul Islamiyah di Universitas Al-Azhar yang berlangsung di Mesir sebanyak empat kali Muktamar, berturut-turut tahun 1964, 1965, 1966 dan 1967. Dalam Muktamar ini Mahmud Yunus mengemukakan makalah yang berjudul “Al-Israiliyyat fit Tafsir wal Hadits” yang mendapat tanggapan serius dari peserta. Pada tahun 1969, Mahmud Yunus kembali diundang untuk menghadiri Majlis A’la Istisyari Al-Jami’ah Al-Islamiyah di Medinah (Riwayat Hidup, tt ; 73-74).
Aktivitas Mahmud di luar negeri itu telah menjadikan ia semakin menonjol dalam bidangnya, karena didukung dengan pengalaman-pengalaman internasional yang ditimbanya pada aktivitas-aktivitas tersebut.
Karya Tulis
Mahmud Yunus di masa hidupnya dikenal sebagai seorang pengarang yang produktif. Aktivitasnya dalam melahirkan karya tulis tak kalah penting dari aktivitasnya dalam lapangan pendidikan. Popularitas Mahmud lebih banyak dikenal lewat karangan-karangannya, karena buku-bukunya tersebar di setiap jenjang pendidikan khususnya di Indonesia. Buku-buku karangan Mahmud Yunus menjangkau hampir setiap tingkat kecerdasan. Justru karangan-karangannya bervariasi, mulai dari buku-buku untuk konsumsi anak-anak dan masyarakat awam dengan bahasa yang ringan, hingga merupakan literatur pada perguruan-perguruan tinggi.
Pada perjalanan hidupnya, ia telah menghasilkan buku-buku karangannya sebanyak 82 buah buku. Dari jumlah itu Mahmud membahas berbagai bidang ilmu, yang sebahagian besar adalah bidang-bidang ilmu agama Islam, seperti bidang Fiqh, bahasa Arab, Tafsir, Pendidikan Islam, Akhlak, Tauhid, Ushul Fiqh, Sejarah dan lain-lain. Diantara bidang-bidang ilmu yang disebutkan, Mahmud lebih banyak memberi perhatian pada bidang pendidikan Islam, bahasa Arab (keduanya lebih banyak memfokus pada segi metodik), bidang Fiqh, Tafsir dan Akhlak yang lebih memfokus pada materi sajian. Sesuai dengan kemampuan bahasa yang ia miliki, maka karangan-karangannya tidak hanya ditulis dalam bahasa Indonesia, akan tetapi juga dalam bahasa Arab.
Ia memulai mengarang sejak tahun 1920, dalam usia 21 tahun. Karirnya sebagai pengarang tetap ditekuninya pada masa-masa selanjutnya. Dia senantiasa mengisi waktu-waktunya untuk mengarang, dalam situasi apapun. Pada waktu perang kemerdekaan, ketika mengikuti perang gerilya, dia tetap menyempatkan diri untuk mengarang. Buku “Marilah Sembahyang” (4 jilid) adalah merupakan hasil karangan Mahmud sewaktu dia beserta pejuang-pejuang lainnya berada dalam pengungsian dari ancaman perlawanan tentara Belanda (Nica) di Batusangkar pada tahun 1949 (Riwayat Hidup, tt ; 58).
Aktivitas-aktivitas Mahmud dalam bidang-bidang lain tidak merupakan rintangan bagi aktivitasnya dalam mengarang. Hal ini dapat dilihat dari karangan-karangannya yang dihasilkan justru pada saat aktivitasnya yang lain lebih memuncak, terutama dalam bidang pendidikan. Hingga pada saat ia menjalani masa pensiun ia tetap mengarang, bahkan pada tahun-tahun terakhir dari kehidupannya (1982), masih ia sempatkan untuk selalu mengarang. Berikut ini diantara buku-buku karya Mahmud Yunus : (dengan urutan : Judul, tahun terbit, Penerbit, dan tempat terbit)
A. Bidang Pendidikan : (6 karya)
1. Pengetahuan Umum dan Ilmu Mendidik, (tidak teridentifikasi lengkap)
2. Metodik Khusus Pendidikan Agama, 1980, Hidakarya Agung , Jakarta
3. Pengembangan Pendidikan Islam di Indonesia (tidak teridentifikasi lengkap)
4. Pokok-Pokok Pendidikan dan Pengajaran, 1978, Hidakarya Agung, Jakarta
5. At-Tarbiyyah wa at-Ta’lim, (tidak teridentifikasi lengkap)
6. Pendidikan di Negara-Negara Islam dan Intisari Pendidikan Barat, 1968, Al-Hidayah Jakarta
B. Bidang Bahasa Arab : (15 karya)
7. Pelajaran Bahasa Arab I (tidak teridentifikasi lengkap)
8. Pelajaran Bahasa Arab II (tidak teridentifikasi lengkap)
9. Pelajaran Bahasa Arab III (tidak teridentifikasi lengkap)
10. Pelajaran Bahasa Arab IV (tidak teridentifikasi lengkap)
11. Durusu al-Lughah al-‘Arabiyyah ‘Ala Thariqati al-Haditsah I, tt. CV Al-Hidayah, Jakarta
12. Durusu al-Lughah al-‘Arabiyyah ‘Ala Thariqati al-Haditsah II, tt. CV Al-Hidayah, Jakarta
13. Metodik Khusus Bahasa Arab, tt, CV. Al-Hidayah
14. Kamus Arab Indonesia , 1973, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Quran, Jakarta
15. Contoh Tulisan Arab (tidak teridentifikasi lengkap)
16. Muthala’ah wa al-Mahfuzhaat, (tidak teridentifikasi lengkap)
17. Durusu al-Lughah al-‘Arabiyyah I, 1980, PT. Hidakarya Agung Jakarta
18. Durusu al-Lughah al-‘Arabiyyah II, 1980, PT. Hidakarya Agung Jakarta
19. Durusu al-Lughah al-‘Arabiyyah III, 1981, PT. Hidakarya Agung Jakarta
20. Muhadatsah al-‘Arabiyyah (tidak teridentifikasi lengkap)
21. Al-Mukhtaraat li al-Muthala’ah wa al-Mahfuzhhat (tidak teridentifikasi lengkap)
C. Bidang Fiqh : (17 karya)
22. Marilah Sembahyang I, 1979, PT Hidakarya Agung, Jakarta
23. Marilah Sembahyang II, 1979, PT Hidakarya Agung, Jakarta
24. Marilah Sembahyang III, 1979, PT Hidakarya Agung, Jakarta
25. Marilah Sembahyang IV, 1979, PT Hidakarya Agung, Jakarta
26. Puasa dan Zakat, 1979, PT Hidakarya Agung, Jakarta
27. Haji ke Mekkah, 1979, PT Hidakarya Agung, Jakarta
28. HukumWarisan dalam Islam, 1974, CV. Al-Hidayah Jakarta
29. Hukum Perkawinan dalam Islam, 1979, PT, Hidakarya Agung, Jakarta
30. Pelajaran Sembahyang untuk Orang Dewasa, 1980, PT. Hidakarya Agung, Jakarta
31. Manasik Haji untuk Orang Dewasa (tidak teridentifikasi lengkap)
32. Soal Jawab Hukum Islam (tidak teridentifikasi lengkap)
33. Al-Fiqhu al-Wadhih, juz. 1, 1935, PT Hidakarya Agung, Jakarta
34. Al-Fiqhu al-Wadhih, juz. 2, 1936, PT Hidakarya Agung, Jakarta
35. Al-Fiqhu al-Wadhih, juz. 3, 1937, PT Hidakarya Agung, Jakarta
36. Mabadi`u Fiqhu al-Wadhih (tidak teridentifikasi lengkap)
37. Fiqhu al-Wadhih An-Nawawy (tidak teridentifikasi lengkap)
38. Al-Masailu al-Fiqhiyyah ‘Ala Mazahibu al-Arba’ah (tidak teridentifikasi lengkap)
D. Bidang Tafsir : (15 karya)
39. Tafsir Al-Qur`an Al-Karim (30 juz), (tidak teridentifikasi lengkap)
40. Tafsir Al-Fatihah, 1971, Sa’adiyah Putra, Padang Panjang – Jakarta
41. Tafsir Ayat Akhlak, 1975, CV. Al-Hidayah, Jakarta
42. Juz ‘Amma dan Terjemahannya, 1978, PT. Hidakarya Agung, Jakarta
43. Tafsir Al-Qur`an Juz 1 – 10 (tidak teridentifikasi lengkap)
44. Pelajaran Huruf Al-Qur`an 1973 (tidak teridentifikasi lengkap)
45. Kesimpulan Isi Al-Qur`an
46. Alif Ba Ta wa Juz ‘Amma (tidak teridentifikasi lengkap)
47. Muhadharaat al-Israiliyyaat fi at-Tafsir wa al-Hadits (tidak teridentifikasi lengkap)
48. Tafsir Al-Qur`an Karim Juz. 11-20 (tidak teridentifikasi lengkap)
49. Tafsir Al-Qur`an Karim Juz. 21-30 (tidak teridentifikasi lengkap)
50. Kamus Al-Qur`an I (tidak teridentifikasi lengkap)
51. Kamus Al-Qur`an II (tidak teridentifikasi lengkap)
52. Kamus Al-Qur`an (juz 1 – 30), 1978, PT. Hidakarya Agung, Jakarta
53. Surat Yaasin dan Terjemahannya (Arab Melayu), 1977, (tidak teridentifikasi lengkap)
E. Bidang Akhlak : (9 karya)
54. Keimanan dan Akhlak I, 1979, (tidak teridentifikasi lengkap)
55. Keimanan dan Akhlak II, 1979, (tidak teridentifikasi lengkap)
56. Keimanan dan Akhlak III, 1979, (tidak teridentifikasi lengkap)
57. Keimanan dan Akhlak IV, 1979, (tidak teridentifikasi lengkap)
58. Beriman dan Berbudi Pekerti, 1981, PT. Hidakarya Agung, Jakarta
59. Lagu-Lagu Baru Pendidikan Agama/ Akhlak (tidak teridentifikasi lengkap)
60. Akhlak Bahasa Indonesia (tidak teridentifikasi lengkap)
61. Moral Pembangunan dalam Islam (tidak teridentifikasi lengkap)
62. Akhlak, 1978 (tidak teridentifikasi lengkap)
F. Bidang Sejarah : (5 karya)
63. Sejarah Pendidikan Islam (tidak teridentifikasi lengkap)
64. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, 1979, Mutiara, Jakarta
65. Tarikh al-Fiqhu al-Islamy (tidak teridentifikasi lengkap)
66. Sejarah Islam di Minangkabau, 1971, (tidak teridentifikasi lengkap)
67. Tarikh al-Islam, tt, PT. Hidakarya Agung, Jakarta
G. Bidang Perbandingan Agama : ( 2 karya)
68. Ilmu Perbandingan Agama, 1978, PT. Hidakarya Agung, Jakarta
69. Al-Adyaan, (tidak teridentifikasi lengkap)
H. Bidang Dakwah : (1 karya)
70. Pedoman Dakwah Islamiyyah, 1980, PT. Hidakarya Agung, Jakarta
I. Bidang Ushul Fiqh : (1 karya)
71. Muzakaraat Ushulu al-Fiqh (tidak teridentifikasi lengkap)
J. Bidang Tauhid : (1 karya)
72. Durusu at-Tauhid (tidak teridentifikasi lengkap)
K. Bidang Ilmu Jiwa : ( 1 karya)
73. Ilmu an-Nafs (tidak teridentifikasi lengkap)
L. Lain-Lain : (9 karya)
74. Beberapa Kisah Nabi dan Khalifahnya, 1980, PT. Hidakarya Agung, Jakarta
75. Doa’-Do’a Rasulullah, 1979, PT. Hidakarya Agung, Jakarta
76. Pemimpin Pelajaran Agama I, tt. CV. Al-Hidayah, Jakarta
77. Pemimpin Pelajaran Agama II, tt. CV. Al-Hidayah, Jakarta
78. Pemimpin Pelajaran Agama III, tt. CV. Al-Hidayah, Jakarta
79. Kumpulan Do’a, 1976, CV. Al-Hidayah, Jakarta
80. Marilah ke Al-Qur`an, 1971, CV. Al-Hidayah, Jakarta
81. Asy-Syuhuru al-‘Arabiyyah fi Biladi al-Islamiyyah (tidak teridentifikasi lengkap)
82. Khulashah Tarikh al-Ustaz Mahmud Yunus (tidak teridentifikasi lengkap)
© Irhash A. Shamad



Beberapa Konsep Pendidikan Islam

Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam
Dr H Abduddin Nata MA
Ilmu pendidikan Islam sebenarnya adalah satu bidang kajian dalam Islam. Buktinya ada falultas tarbiyah pada selulurh IAIN dan PTIS di Indonesia. Namun, ironisnya, ilmu pendidikan Islam terlambat tumbuh dibanding disiplin ilmu lain seperti fiqih, ilmu kalam, ilmu tafsir, hadits dan sebagainya. Penelitian dan kajian bidang ilmu tarbiyah tampak kurang banyak dilakukan para ahli.
Dalam situasi keprihatinan itulah, buku ini diterbitkan. Seperti disebutkan penulis dalam pengantarnya, buku ini sengaja menyajikan pemikiran dari tokoh-tokoh intelektual muslim dari zaman klasik, pertengahan sampai zaman modern. Dari abad klasik misalnya Ibn Miskawaih, Al Qabisi, Al Mawardi, Ibn Suna dan Al Ghazali. Dari abad pertengahan ada urhanuddin az-Zarnuji, Ibn Jama’ah dan Ibn Taimiyah. Dari zaman modern ada Imam Hasan Al Banna. Termasuk di dalmnya ada tokoh-tokoh dari Indonesia seperti Abdullah Ahmad dari Sumatra barat, Ahmad sanusi dari Jawa barat dan Imam Zarkasyi dari Jawa Timur.
Tokoh-tokoh yang ditampilkan dalam buku ini boleh jadi bukan sebagai tokoh ilmu pendidikan Islam. Namun begiotu, kontribusi ketokohan mereka dalam pengembangan tarbiyah tetap saja tak bisa diabaikan. Perhatian mereka dalam pengembangan tujuan pendidikan, kurukulum, pembinaan guru, metodologi pembelajaran dan manajemen pendidikan cukup bermakna.
Mengkaji peran tokoh-tokoh domestik dalam pengembangan pendidikan Islam di Indonesia juga tak kalah pentingnya. Mereka, meski kalah populer dari tokoh dunia, ternyata punya kontribusi berharga dalam pendidikan dan dakwah Islam di tanah air. Ahmad Sanusi, misalnya, termasuk pelopor pembentukan Ibtidaiyah dan Madrasah Diniyah. Untuk memajukan pengetahuan para kiai, tahun 1930-an, dia telah biasa menyelenggarakan kursus-kursus kepemimpinan, pengembangan pengetahuan umum dan agama, politik dan pendalaman ilmu-ilmu agama. Pengasuh Ponpes Syamsul Ulum ini tahun 1932 telah menerbitkan kitab tafsir Tamsyiyatul Muslimin.
Peran tak kalah besar juga disumbangkan Ahmad Abdullah dan Imam Zarkasyi. Yang pertama termasuk pelopor Sekolah Adabiyah yang menerapkan konsep terpadu antara ilmu umum dan agama. Yang kedua adalah pelopor pengembangan Ponpes Modern Gontor yang terbukti telah melahirkan tokoh dan intelektual muslim itu.













PERAN PENDIDIKAN ISLAM DALAM ERA GLOBALISASI
Oleh: Dr. H. Endang Komara, M.Si.¹
Abstrak

Awal abad ke-21 ini ditandai oleh perubahan yang mencengangkan. Kenyataan tersebut telah menghadapkan masalah agama kepada suatu kesadaran kolektif, bahwa penyesuaian struktural dan kultural pemahaman agama adalah suatu keharusan. Hal ini hendaknya tidak dilihat sebagai suatu upaya untuk menyeret agama, untuk kemudian diletakkan dalam posisi sub-ordinate dalam hubungannya dengan perkembangan sosial, budaya, ekonomi, dan politik yang sedemikian cepat itu. Alih-alih, hal itu hendaknya dipahami sebagai usaha untuk menengok kembali keberagaman masyarakat beragama. Dengan demikian revitalisasi kehidupan keberagamaan tidak kehilangan konteks dan makna empiriknya. Keharusan tersebut dapat juga diartikan sebagai jawaban masyarakat beragama terhadap perubahan yang terjadi secara cepat.
Sebagai agen perubahan sosial, pendidikan Islam yang berada dalam atmosfir modernisasi dan globalisasi dewasa ini dituntut untuk mampu memainkan perannya secara dinamis dan proaktif. Kehadirannya diharapkan mampu membawa perubahan dan kontribusi yang berarti bagi perbaikan umat Islam, baik pada tataran intelektual teoritis maupun praktis. Pendidikan Islam bukan sekadar proses penanaman nilai moral untuk membentengi diri dari ekses negatif globalisasi. Tetapi yang paling penting adalah bagaimana nilai-nilai moral yang telah ditanamkan pendidikan Islam tersebut mampu berperan sebagai kekuatan pembebas (liberating force) dari himpitan kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan sosial budaya dan ekonomi.
Globalisasi berpandangan bahwa dunia didominasi oleh perekonomian dan munculnya hegemoni pasar dunia kapitalis dan ideologi neoliberal yang menopangnya. Untuk mengimbangi derasnya arus globalisasi perlu dikembangkan dan ditanamkan karakter nasionalisme guna menghadapi dampak negatif dari arus globalisasi.
Kata Kunci:

Pendidikan Islam, kekuatan pembebas, dampak negatif globalisasi








A. Pendahuluan
Kandungan materi pelajaran dalam pendidikan Islam yang masih berkutat pada tujuan yang lebih bersifat ortodoksi diakibatkan adanya kesalahan dalam memahami konsep-konsep pendidikan yang masih bersifat dikotomis; yakni pemilahan antara pendidikan agama dan pendidikan umum (sekular), bahkan mendudukkan keduanya secara diametral.
Kehadiran pendidikan Islam, baik ditinjau secara kelembagaan maupun nilai-nilai yang ingin dicapainya-masih sebatas memenuhi tuntutan bersifat formalitas dan bukan sebagai tuntutan yang bersifat substansial, yakni tuntutan untuk melahirkan manusia-manusia aktif penggerak sejarah. Walaupun dalam beberapa hal terdapat perubahan ke arah yang lebih bak, perubahan yang terjadi masih sangat lamban, sementara gerak perubahan masyarakat berjalan cepat, bahkan bisa dikatakan revolusioner, maka di sini pendidikan Islam terlihat selalu tertinggal dan arahnya semakin terbaca tidak jelas.
Dalam perkembangannya pendidikan Islam telah melahirkan dua pola pemikiran yang kontradiktif. Keduanya mengambil bentuk yang berbeda, baik pada aspek materi, sistem pendekatan, atau dalam bentuk kelembagaan sekalipun, sebagai akumulasi dari respon sejarah pemikiran manusia dari masa ke masa terhadap adanya kebutuhan akan pendidikan. Dua model bentuk yang dimaksud adalah pendidikan Islam yang bercorak tradisonalis dan pendidikan Islam yang bercorak modernis. Pendidikan Islam yang bercorak tradisionalis dalam perkembangannya lebih menekankan pada aspek dokriner normatif yang cenderung eksklusif-literalis, apologetis. Sementara pendidikan Islam modernis, lama-kelamaan ditengarai mulai kehilangan ruh-ruh dasarnya.
Dalam telaah sosiologis, pendidikan Islam sebagai sebuah pranata selalu mengalami interaksi dengan pranata sosial lainnya. Ketika berhubungan dengan nilai-nilai dan pranata sosial lain di luar dirinya, pendidikan islam menampilkan respon yang tidak sama. Nilai-nilai itu misalnya adalah modernisasi, perubahan pola kehidupan dari masyarakat agraris ke masysrakat industrial, atau bahkan post-industrial, dominasi ekonomi kapitalis yang dalam beberapa hal membentuk pola pikir masyarakat yang juga kapitalistik dan konsumtif. Berdasarkan penggambaran dua jenis pendidikan di atas, maka respon yang dilahirkan terhadap penetrasi nilai-nilai kontingen ini bisa diwujudkan ke dalam dua respon: asimilasi dan alienasi.
Respon yang bersifat asimilatif mengandalkan terjadinya persentuhan dan penerimaan yang lebih terbuka dari nilai-nilai dasar pendidikan Islam dengan nilai kontingen, baik yang tradisonal maupun modern. Karena sifatnya yang asimilatif, kategori respon ini agak mengkhawatirkan, karena bisa saja nilai-nilai baru yang berpenetrasi ke dalam masyarakat di mana pendidikan Islam itu berlangsung akan lebih dominan daripada nilai-nilai dasar Islamnya. Sebaliknya, respon yang bersifat alternatif akan menjadikan Islam sebagai sebuah entitas yang ‘terkurung’ dalam satu ‘ruang asing’ yang terpisah dari entitas dunia lain. Sistem pendidikan Islam yang memberikan wibawa terlampau besar kepada tradisi (terutama teks tradisional) dari guru, serta lebih membina hafalan daripada daya pemikiran kritis; walaupun sejak zaman reformasi Islam, lebih lagi pada dasawarsa terakhir, dunia Islam menyaksikan berbagai usaha melepaskannya, sikap tradisionalis tersebut sampai sekarang masih menguasai dunia pendidikan Muslim.
Tentu saja semua faktor kelemahan tradisi ilmiah di kalangan Muslim yang disebutkan tidak tampil secara merata pada semua periode pemikiran dan kelompok ilmuwan. Namun pada umumnya bebannya masih terasa dewasa ini. Jika ini terjadi, secara teoritis, pendidikan Islam tidak akan pernah mampu memberikan jawaban terhadap tuntutan liberalisasi, dan humanisasi. Baik respon dalam bentuk asimilasi maupun alienasi sama-sama mengandung kelemahan. Dominasi nilai-nilai kontingen dalam asimilasi akan menjadikan pendidikan islam kokoh secara metodologis, memberikan perhatian yang memadai kepada humanisasi dan liberasi, tetapi menaruh penghargaan yang kecil terhadap persoalan transendensi. Sementara respon dalam bentuk asimilasi, karena kuatnya berpegang kepada nilai-nilai inheren pendidikan Islam dan cenderung “menolak” nilai kontingen, menjadikannya kuat dalam dimensi transendental, tetapi lemah dalam metodologi, liberalisasi dan humanisasi.
Perubahan masyarakat yang terpenting pada awal abad ke-21 ini, ditandai dengan perkembangan teknologi komunikasi, transportasi, dan informasi yang sedemikian cepat. Dengan itu dunia menjadi ‘kecil’ dan mudah dijangkau. Apa yang terjadi di belahan bumi paling ujung dapat segera diketahui oleh masyarakat yang berada di ujung lain. ² Dalam konteks ekonomi politik, kenyataan tersebut bahkan dijadikan faktor penting untuk melihat kemungkinan memudarnya batas-batas teritorial negara-bangsa, yang oleh Kenichi Ohmae disebut the end of the nation state.³
Dari sisi politik, dapat dikatakan bahwa masyarakat global dewasa ini sangat dekat dengan isu-isu popular, seperti keterbukaan, hak asasi manusia, dan demokratisasi. Demikian pula, dari sudut ekonomi, perdagangan, dan pasar internasional. Atau sebagaimana dikatakan oleh Ahmed dan Donnan. They locked together in what has been referred to as the economic world system 4
Dalam kerangka struktur berpikir masyarakat agama, proses globalisasi dianggap berpengaruh atas kelangsungan perkembangan identitas tradisional dan nilai-nilai agama. Kenyataan tersebut tidak lagi dapat dibiarkan oleh masyarakat agama. Karenanya, respon-respon konstruktif dari kalangan pemikir dan aktivitas agama terhadap fenomena di atas menjadi sebuah keharusan. Dalam alur seperti ini, sebenarnya yang terjadi adalah dialog positif antara prima facie norma-norma agama dengan realitas empirik yang selalu berkembang. Meskipun demikian, penting untuk dicatat, bahwa ‘pertemuan’ (encounter) masyarakat agama dengan realitas empirik tidak selalu mengambil bentuk wacana dialogis yang konstruktif. Alih-alih yang muncul adalah mitos-mitos ketakutan yang membentuk kesan, bahwa globalisasi dengan serta yang membentuk kesan, bahwa globalisasi dengan serta-merta menyebabkan posisi agama berada di pinggiran. Sebagaimana ditulis oleh Ernest Gellner,
“One of the best known and most widely held ideas in the social sciences is the secularization thesis: in industrial and industrializing societies, in influence of religion diminishes. There is a number of versions of this theory: the scientific basis of the new technology undermines faith, or the erosion of social units deprives religion of its organizational base, or doctrinally centralized, unitarian, rationalized religion eventually cuts its own throat”5.

Kekhawatiran-kekhawatiran di atas sepenuhnya dapat dipahami. Meskipun demikian, hendaknya masyarakat agama tidak kehilangan penglihatan yang lebih luas. Sebanding dengan berkembangnya proses globalisasi, revitalisasi agama juga kembali mewarnai diskursus keagamaan sejak dasawarsa 1980-an. Sejak periode itu, pendulum kehidupan sosial-politik Amerika Serikat-untuk menyebut contoh kasus sebuah negara yang sering dipandang sebagai ‘sekular’ – bergerak ke ‘kanan’.fenomena ini menandai bangkitnya kesadaran kolektif akan arti penting agama dalam kehidupan sosial, budaya, ekonomi, dan politik negara itu. 6
Antara lain karena berkembangnya pandangan tentang saling berkaitnya antara nilai-nilai agama dengan masalah yang menyangkut kamaslahatan umum, maka sosiolog seperti Robert N. Bellah – meskipun tidak meletakkannya dalam konteks agama Katolik maupun Protestan – melihatnya dalam perspektif civil religion.7 Dalam nada yang sama, Jose Casanova melihat peran penting agama dalam kehidupan sosial politik di Spanyol, Polandia, Brazil, dan Amerika Serikat. Itu semua diekspresikannya dalam konteks bahwa agama itu bukan persoalan pribadi (private), tetapi justru persoalan publik (public). Karenanya, agama adalah sesuatu yang seharusnya deprivatized. 8

B. Peran Pendidikan Islam
Baik secara teologis maupun sosiologis, agama dapat dipandang sebagai instrumen untuk memahami dunia. 9 Dalam konteks itu, hampir tak ada kesulitan bagi agama apapun untuk menerima premis tersebut. Secara teologis, lebih-lebih Islam, hal itu dikarenakan oleh watak omnipresent agama. Yaitu, agama, baik melalui simbol-simbol atau nilai-nilai yang dikandungnya “hadir di mana-mana”, ikut mempengaruhi, bahkan membentuk struktur sosial, budaya, ekonomi dan politik serta kebijakan publik. Dengan ciri itu, dipahami bahwa dimanapun suatu agama berada, ia diharapkan dapat memberi panduan nilai bagi seluruh diskursus kegiatan manusia – baik yang bersifat sosial budaya, ekonomi, maupun politik. 10 Sementara itu, secara sosiologis, tak jarang agama menjadi faktor penentu dalam proses transformasi dan modernisasi. 11
Meskipun demikian, penting untuk dicatat bahwa kehadiran agama selalu disertai dengan “dua muka” (janus face). Pada satu sisi, secara inheren agama memiliki identitas yang bersifat exclusive, particularist, dan primordial. Akan tetapi, pada waktu yang sama juga kaya akan identitas yang bersifat inclusive, universalist dan transcending. 12
Jadi ada dua hal yang harus dilihat dari gambaran tersebut di atas. Yaitu, memahami posisi agama dan meletakkannya dalam situasi yang lebih riil – agama secara empirik dihubungkan dengan berbagai persoalan sosial kemasyarakatan. Dan dalam konteks yang terakhir ini, sering ditemukan ketegangan antara kedua wilayah tersebut – agama dan persoalan kemasyarakatan. Untuk meletakkan hubungan antara keduanya dalam situasi yang lebih empirik, sejumlah pemikir dan aktivitas sosial politik telah berusaha membangun paradigma yang dipandang memungkinkan. Tentu konstruksi pemikiran yang ditawarkan antara lain dipengaruhi dan dibentuk oleh asal-usul teologis dan sosiologis ataupun spacio-temporal serta particularitas yang melingkup mereka.13
Tapi, terlepas dari variasi konstruksi pemikiran yang ditawarkan, pada dasarnya ada tiga aliran besar dalam hal ini. Pertama, perspektif makanik-holistik, yang memposisikan hubungan antara agama dan persoalan kemasyarakatan sebagai sesuatu yang tak terpisahkan. Kedua, pemikiran yang mengajukan proposisi bahwa keduanya merupakan wilayah (domains) yang antara satu dengan lainnya berbeda, karenanya harus dipisahkan. Ketiga, pandangan tengah yang mencoba mengintegrasikan pandangan yang antagonistik dalam melihat hubungan antara agama dengan persoalan kemasyarakatan. Di pihak lain, pandangan ini juga ingin melunakkan perspektif mekanik holistik yang seringkali melakukan generalisasi, bahwa agama selalu mempunyai kaitan atau hubungan yang tak terpisahkan dengan masalah kemasyarakatan.
Secara garis besar, aliran ketiga ini berpendapat bahwa agama dan persoalan kemasyarakatan merupakan wilayah yang berbeda. Tapi, karena imbasan nilai-nilai agama dalam persoalan masyarakat dapat terwujud dalam bentuk yang tidak mekanik-holistik dan institusional, di dalam realitas sulit ditemukan bukti-bukti yang tegas (brute fact) bahwa antara keduanya tidak ada hubungan sama sekali. Untuk itu, hubungan antara dua wilayah yang berbeda itu akan selalu ada – dalam kadar dan intensitas yang tidak sama serta dalam pola dan bentuk yang tidak selalu mekanistik, formalistik atau legalistik. Seringkali konstruksi polanya mengambil bentuk inspiratif dan substantif.14
Pendidikan Islam adalah pendidikan yang bertujuan untuk membentuk pribadi muslim seutuhnya, mengembangkan seluruh potensi manusia baik yang berbentuk jasmaniah maupun rohaniah, menumbuh suburkan hubungan harmonis setiap pribadi dengan Allah, manusia dan alam semesta. Dengan demikian, pendidikan Islam itu berupaya untuk mengembangkan individu sepenuhnya, maka sudah sewajarnyalah untuk dapat memahami hakikat pendidikan Islam itu bertolak dari pemahaman terhadap konsep manusia menurut Islam. 15
Al-Qur’an meletakkan kedudukan manusia sebagai Khalifah Allah di bumi (Al-Baqarah: 30). Esensi makna Khalifah adalah orang yang diberi amanah oleh Allah untuk memimpin alam. Dalam hal ini manusia bertugas untuk memelihara dan memanfaatkan alam guna mendatangkan kemaslahatan bagi manusia.
Agar manusia dapat melaksanakan fungsinya sebagai khalifah secara maksimal, maka sudah semestinyalah manusia itu memiliki potensi yang menopangnya untuk terwujudnya jabatan khalifah tersebut. Potensi tersebut meliputi potensi jasmani dan rohani.
Potensi jasmani adalah meliputi seluruh organ jasmaniah yang berwujud nyata. Sedangkan potensi rohaniah bersifat spiritual yang terdiri dari fitroh, roh, kemauan bebas dan akal. 16 Manusia itu memiliki potensi yang meliputi badan, akal dan roh. 17 Ketiga-tiganya persis segitiga yang sama panjang sisinya. Selanjutnya, Zakiah Daradjat mengemukakan bahwa potensi spiritual manusia meliputi dimensi: akidah, akal, akhlak, perasaan (hati), keindahan, dan dimensi sosial. Selain dari itu al-Qur’an menjelaskan juga tentang potensi rohaniah lainnya, yakni al-Qalb, ‘Aqlu An Ruh, an-Nafs. Dengan bermodalkan potensi yang dimilikinya itulah manusia merealisasi fungsinya sebagai khalifah Allah di bumi yang bertugas untuk memakmurkannya.18
Di sisi lain, di samping manusia berfungsi sebagai khalifah, juga bertugas untuk mengabdi kepada Allah (Az-Zariyat, 56). Dengan demikian manusia itu mempunyai fungsi ganda, sebagai khalifah dan sekaligus sebagai ‘abd. Fungsi sebagai khalifah tertuju kepada pemegang amanah Allah untuk penguasaan, pemanfaatan, pemeliharaan, dan pelestarian alam raya yang berujung kepada pemakmurannya. Fungsi ‘abd bertuju kepada penghambaan diri semata-mata hanya kepada Allah.
Untuk terciptanya kedua fungsi tersebut yang terintegrasi dalam diri pribadi muslim, maka diperlukan konsep pendidikan yang komprehensif yang dapat mengantarkan pribadi muslim kepada tujuan akhir pendidikan yang ingin dicapai. Agar peserta didik dapat mencapai tujuan akhir (ultimate aim) pendidikan Islam, maka diperlukan konsep pendidikan yang komprehensif yang dapat mengantarkan pribadi muslim kepada tujuan akhir pendidikan yang ingin dicapai.
Agar peserta didik dapat mencapai tujuan akhir (ultimate aim) pendidikan Islam, maka suatu permasalahan pokok yang sangat perlu mendapat perhatian adalah penyusunan rancangan program pendidikan yang dijabarkan dalam kurikulum. Pengertian kurikulum adalah segala kegiatan dan pengalaman pendidikan yang dirancang dan diselenggarakannya oleh lembaga pendidikan bagi peserta didiknya, baik di dalam maupun di luar sekolah dengan maksud untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan.
Berpedoman ruang lingkup pendidikan Islam yang ingin dicapai, maka kurikulum pendidikan Islam itu berorientasi kepada tiga hal, yaitu:
1. Tercapainya tujuan hablum minallah (hubungan dengan Allah)
2. Tercapainya tujuan hablum minannas (hubungan dengan manusia)
3. Tercapainya tujuan hablum minal’alam (hubungan dengan alam).
Para ahli pendidikan Islam seperti al-Abrasyi, an-Nahlawi, al-jamali, as-Syaibani, al-Ainani, masing-masing mereka tersebut telah merinci tujuan akhir pendidikan Islam yang pada prinsipnya tetap berorientasi kepada ketiga komponen tersebut. 19
Ketiga permasalahan pokok pendidikan Islam di Indonesia itu melahirkan beberapa problema lainnya seperti struktural, kulktural dan sumber daya manusia. Pertama, secara struktural lembaga-lembaga pendidikan Islam negeri berada langsung di bawah kontrol dan kendali Departemen Agama, termasuk pembiayaan dan pendanaan. Problema yang timbul adalah alokasi dana yang dikelola oleh Departemen Agama sangat terbatas. Dampaknya kekurangan fasilitas dan peralatan dan juga terbatasnya upaya pengembangan dan kegiatan non fisik. Idealnya pendanaan pendidikan ini tidak melihat kepada struktural, tetapi melihat kepada cost per siswa atau mahasiswa.
Berkenaan dengan masalah struktural ini juga lembaga pendidikan Islam dihadapkan pula dengan persoalan diberlakukannya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah. Bagaimana kebijakan Departemen Agama tentang hal ini. Di satu sisi masalah pendidikan termasuk salah satu dari bagian yang pengelolaannya di serahkan ke daerah, sedangkan masalah agama tetap berada pengelolaannya di pusat.
Sehubungan dengan itu perlu dikaji secara cermat dan arif yang melahirkan kebijakan yang tetap mempertahankan eksistensi lembaga pendidikan Islam dan juga perlakuan yang adil dan merata dari segi pendalaman.
Kedua kultural, lembaga pendidikan Islam, terutama pesant5ren dan madrasah banyak yang menganggapnya sebagai lembaga pendidikan “kelas dua”. Sehingga persepsi ini mempengaruhi masyarakat muslim untuk memasukkan anaknya ke lembaga pendidikan tersebut. Pandangan yang menganggap lembaga pendidikan Islam tersebut sebagai lembaga pendidikan “kelas dua” dapat dilihat dari outputnya, gurunya, sarana dan fasilitas yang terbatas. Dampaknya adalah jarangnya masyarakat muslim yang terdidik dan berpenghasilan yang baik, serta yang memiliki kedudukan/jabatan, memasukkan anaknya ke lembaga pendidikan Islam seperti di atas.
Ketiganya sumber daya manusia, para pengelola dan pelaksana pendidikan di lembaga pendidikan Islam yang terdiri dari guru dan tenaga administrasi perlu ditingkatkan. Tenaga guru dari segi jumlah dan profesional masih kurang. Guru bidang studi umum (Matematika, IPA, Biologi, Kimia dan lain-lain) masih belum mencukupi. Hal ini sangat berdampak terhadap output-nya.
Hakikat yang sesungguhnya dari pendidikan Islam itu, adalah pendidikan yang memperhatikan pengembangan seluruh aspek manusia dalam suatu kesatuan yang utuh tanpa kompartementalisasi, tanpa terjadi dikhotomi. Pemisahan antara pendidikan agama dan pendidikan umum, seperti yang pernah dilakukan oleh sebagian umat Islam, tentulah tidak sesuai dengan konsep pendidikan. Pemisahan yang seperti itu, dijadikan landasan pemikiran oleh Konferensi Dunia tentang pendidikan Islam untuk diraih.
“And that them exists at present a regrettable dichotomy in education the Muslim World, one system, namely, religious education being completely divorced from the secular sciences and secular education being equally divorced from religion, although such compartmentalization was contrary to the true Islamic concept of education and made it impossible for the products of either system to represent Islam as a comprehensive and integrated vision of life”.20

Melihat masa depan yang akan datang yang penuh dengan tantangan sudah barang tentu tidak bisa menyesuaikan permasalahan jika pendidikan Islam tersebut masih terikat dikhotomi. Berkenaan dengan itu perlu diprogramkan upaya pencapainya, mobilisasi pendidikan Islam tersebut, misalnya melakukan rancangan kurikulum, baik merancang keterkaitan ilmu agama dan umum maupun merancang nilai-nilai Islami pada setiap pelajaran; personifikasi pendidik di lembaga pendidikan sekolah Islam, sangat dituntut memiliki jiwa keislaman yang tinggi dan; lembaga pendidikan Islam dapat merealisasikan konsep kurikulum pendidikan Islam seutuhnya.

C. Era Globalisasi
Globalisasi adalah proses pertumbuhan negara-negara maju, yaitu Amerika, Eropa dan Jepang melakukan ekspansi besar-besaran; kemudian berusaha mendominir dunia dengan kekuatan teknologi, ilmu pengetahuan, politik, budaya, militer dan ekonomi.
Pengaruh mereka di segala bidang terhadap negara-negara berkembang yang baru terlepas dari belenggu penjajahan berdampak positif dan negatif sekaligus. Berdampak positif, karena pada beberapa segi ikut mendorong negara-negara baru berkembang untuk maju secara teknis, serta menjadi lebih sejahtera secara material. Sedangkan dampak negatifnya antara lain berupa: (1) munculnya teknokrasi dan tirani yang sangat berkuasa dan; (2) didukung oleh alat-alat teknik modern dan persenjataan yang canggih.
Ternyata kini bahwa ilmu pengetahuan, mesin-mesin, pesawat hiper modern dan persenjataan itu sering disalahgunakan; yaitu dijadikan mekanisme operasionalistik yang menjarah dan menghancurkan. Sebagai akibatnya timbul banyak perang, penderitaan dan malapetaka di dunia. Negara-negara maju itu pada banyak segi, terutama di bidang teknis, ilmu pengetahuan dan manajerial memiliki segugus besar kelebihan dan kelimpahan, berupa: science, teknik canggih, industri dan produksi yang berlimpah. Karena itu semua kelimpahan tadi perlu didistribusikan keluar, dan dijadikan barang dagangan yang menguntungkan. Oleh sebab itu mereka memerlukan lahan pasar lebih luas lagi untuk menjual kelebihan hasil produksinya. Maka langkah niaga mereka yang semula bersifat spontan, damai, ramah, humaniter dan fasifistis, kemudian berubah menjadi agersif, ekspansif, eksploitatif, menjarah dan imperialistik. Tidak lama kemudian mereka menjadi kekuatan neo-kolonialisme (militer-politik-ekonomi) yang cepat mengembangkan sayap kekuasaannya ke negara-negara yang lemah sistem perekonomiannya.
Sehubungan dengan nafsu ekspansi mereka itu, teknik dan ilmu pengetahuan yang dijadikan alat politik dan alat ekonomi perlu disamarkan. Misalnya dalam bentuk: misi bantuan pengembangan, program pembangunan daerah miskin, misi perdamaian, dana pampasan, tugas kemanusiaan, program kerjasama pendidikan, misi kebudayaan dan lain-lain. Maka berkaitan dengan derasnya arus globalisasi yang ditunggangi aksi-aksi kolonial tersembunyi perlu lebih meningkatkaqn kewaspadaan nasional, di samping memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa.
Globalisasi melibatkan pasar kapitalis dan seperangkar relasi sosial dan aliran komoditas, kapital, teknologi, ide-ide, bentuk kultur, dan penduduk yang melewati batas nasional via jaringan masyarakat global, transmutasi teknologi dan kapital bekerja sama menciptakan dunia baru yang mengglobal dan saling berhubung. Revoluasi teknologi yang menghasilkan jaringan komunikasi komputer, transportasi, dan pertukaran merupakan pra-anggapan (presumpposition) dari ekonomi global, bersama dengan perluasan dari sistem pasar kapitalis dunia yang menarik lebih banyak area dunia dan ruang produksi, perdagangan dan konsumsi ke dalam orbitnya.
Meskipun ekonomi kapitalis masih penting untuk mamahami globalisasi, teknosainslah (techno-science) yang memberikan infrastrukturnya. Jadi, kuncinya terletak dalam hubungan dalektis antara tekno-sains dengan ekonomi kapitalis, atau tekno-kapitalisme (techno-capitalism). Globalisasi dapat dianalisa secara kultural, ekonomi, politik, dan atau instusional. Dalam masing-masing kasus, perbedaan kuncinya adalah apakah seseorang melihat meningkatnya homogenitas atau heterogenitas. Pada titik ekstrem, globalisasi kultur dapat dilihat sebagai ekspansi transnasional dari kode dan praktik bersama (homogenitas), atau sebagai proses di mana banyak input kultural lokal dan global saling berinteraksi untuk menciptakan semacam perpaduan yang mengarah ke pencangkokan kultur (heterogenitas). Trend menuju homogenitas sering kali diasosiasikan dengan imperialisme kultural atau dengan kata lain, bertambahnya pengaruh internasional terhadap kultur tertentu. Ada banyak variasi imperialisme kuktural termasuk yang menekankan peran yang dimainkan oleh kultur Amerika meskipun dia tak menggunakan istilah inperialisme kultural, menentang ide tersebut melalui konsepnya yang sangat terkenal, glocalization, di mana dunia global dilihat berinteraksi dengan dunia lokal untuk menghasilkan sesuatu yang berbeda, yakni glocal.
Globalitas berarti bahwa mulai sekarang tak ada kejadian di planet kita yang hanya pada situasi lokal terbatas; semua temuan, kemenangan dan bencana mempengaruhi seluruh dunia . Globalitas adalah proses baru setidaknya keran tiga alasan. Pertama, pengaruhnya atas ruang geografis jauh lebih ekstensif. Kedua, pengaruhnya atas waktu jauh lebih stabil; pengaruhnya terus berlanjut dari waktu ke waktu. Ketiga, ada densitas (density) yang lebih besar untuk “jaringan transnasional, hubungan dan arus pekerjaan jaringan”.21
Michael juga mendaftar sejumlah hal lainnya yang mencolok yang berkaitan dengan globalitas ketika membandingkannyan dengan manifestasi lain dari transnasionalitas antara lain: (1) kehidupan sehari-hari dan interaksi lintas batas negara semakin terpengaruh; (2) ada persepsi diri tentang transnasionalitas ini dalam bidang-bidang seperti media massa, konsumsi, dan pariwisata (tourism); (3) komunitas, tenaga kerja, kapital semakin tak bertempat (placeless); (4) bertambahnya kesadaran tentang bahaya global dan tindakan yang harus diambil untuk menanganinya; (5) meningkatnya persepsi transtruktural dalam kehidupan kita; (6) industri-industri kultur global beredar pada tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya dan; (7) peningkatan dalam jumlah dan kekuatan aktor-aktor, institusi, dan kesepakatan transnasional. 22
Ada dua event yang hampir bersamaan munculnya pada saat bangsa Indonesia memasuki milenium ketiga. Pertama globalisasi, diakibatkan kemajuan ilmu dan teknologi terutama komunikasi dan transportasi sehingga dunia semakin menjadi tanpa batas. Dalam budaya global ini ditandai dalam bidang ekonomi perdagangan akan menuju terbentuknya pasar bebas, baik dalam kawasan ASEAN, Asia Pasifik bahkan akan meliputi seluruh dunia. Dalam bidang politik akan tumbuh semangat demokratisasi.

Dalam bidang budaya akan terjadi pertukaran budaya antarbangsa yang berlangsung begitu cepat yang saling mempengaruhi, dalam bidang sosial akan muncul semangat konsumeris yang tinggi disebabkan pabrik-pabrik yang memproduksi kebutuhan konsumeris akan berupaya memproduk barang-barang baru yang akan bertukar dengan cepat pada setiap saat dan merangsang manusia untuk memilikinya.
Event kedua adalah reformasi, dalam era reformasi ini diharapkan akan muncul Indonesia baru. Wajah baru Indonesia ini akan memunculkan perbedaan yang kontras dengan wajah lamanya. Wajah baru Indonesia itu adalah wajah baru yang akan memunculkan masyarakat madai, yakni masyarakat berperadaban dengan menekankan kepada demokratisasi dan hak-hak asasi manusia, serta hidup dalam berkeadilan.

1. D. Kesimpulan

Berdasarkan berbagai hal tersebut di atas, maka dapat disimpulkan ke dalam hal-hal berikut ini:
1. Pendidikan Agama sebagai suatu media atau wahana untuk menanamkan nilai-nilai moral dan ajaran keagamaan, alat pembentukan kesadaran bangsa, alat meningkatkan taraf ekonomi, alat mengurangi kemiskinan, alat mengangkat status sosial, alat menguasai teknologi, serta media untuk menguak rahasia alam raya dan manusia.
2. 2. Pendidikan Islam bertujuan membentuk pribadi muslim sepenuhnya, mengembangkan seluruh potensi manusia baik jasmaniah maupun rohaniah, menumbuh suburkan hubungan harmonis setiap pribadi dengan Allah, manusia dan alam semesta dengan cara mengembangkan aspek struktural, kultural dan berupaya meningkatkan sumber daya manusia guna mencapai taraf hidup yang paripurna.
3. 3. Era globalisasi memunculkan era kompetisi yang berbicara keunggulan, hanya manusia unggul yang akan survive di dalam kehidupan yang penuh persaingan, karena itu salah satu persoalan yang muncul bagaimana upaya untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia. Membentuk manusia unggul partisipatoris, yakni manusia yang ikut serta secara aktif dalam persaingan yang sehat untuk mencari yang terbaik. Keunggulan partisipatoris dengan sendirinya berkewajiban untuk menggali dan mengembangkan seluruh potensi manusia yang akan digunakan dalam kehidupan yang penuh persaingan juga semakin tajam.






DAFTAR PUSTAKA

Ahmed, Akbar S. and Davis M. Hart (eds.).1984. Islam in Tribal Societies: From the Atlas to the Indus. : London: Routledge and Kegan Paul.
Al-Qur’an al-Karim
Asy-Syaibani, Umar Muhammad At-Toumy. 1975. Falsafah atTarbiyyah al-Islamiyyah. Trabulus: Asy-Syirkah al-Ammah.
Ayubi, Nazih. 1991. Political Islam; Religion and Political in the Arab World, London: Routledge.
Bellah, Robert N.1991. Civil Religion in America, dalam Robert N. Bellah, Beyond Belief: Essay on Religion in a Post-Traditionalist World. Berkeley and Los Angeles: University of California Press.
Casanova, Jose. 1994. Public Religions in The Modern World. Chicago and London: The University of Chicago Press.
Chossudovsky, Michael. 1997. The Globalization of Poverty: Impact of IMF and World Bank Reforms. Penang: Third World Book.
Daradjat, Zakiah. 1984. Pembinaan Dimensi Rohaniyah Manusia dalam Pandangan Islam. Medan: IAIN.
Daulay, Haidar Putra. 2004. Pendidikan Islam: Dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia. Jakarta: Prenada Media.
Gutmann, Amy and Dennis Thompson. 1989.Ethics and Politics: Case and Commentaries. Chicago: Nelson Hall Publishers.
Johnson, Benton. 1985. Religion and Politics in America: The Last Twenty Years, dalam Phillipe E. Hammond (ed.), The Secred in a Secular. Berkeley, Los Angeles, London: University of California Press.
Langgulung, Hasan. 1986. Manusia dan Pendidikan Suatu Analisa Psikhologi dan Pendidikan. Jakarta: Pustaka Al-Husna.
Ohmae, Kenichi. 1995. The End of the Nation State: The Rise of Regional Economies. London: Harper Collins Publishers.
Pocock, J.G.A. 1989. Politics, Language, and Time: Essay on Political Thought and History. Chicago: University of Chicago Press:















Gagasan membangun Islam sebagai jalan alternatif perubahan sosial merupakan langkah konkrit yang sampai sekarang masih dinantikan umat Islam. Faktanya sejak kebangkitan pemikiran Islam di Indonesia pada periode tahun 1970-an sampai sekarang gagasan pembaruan pemikiran Islam menghadapi banyak tantangan dan hambatan. Belakangan ini, harus diakui kemunculan aktor-aktor intelektual muslim yang berhasil membangun komunitas peradaban tidak terlepas dari sejarah kehidupan politik dan umat Islam di era pemerintahan Soekarno.

Barulah setelah pemerintahan Soekarno berakhir umat Islam mendapat angin segar untuk merealisasikan gagasan-gagasan pembaruan Islam yang sesuai dengan konteks zaman. Meskipun upaya pembaruan pemikiran Islam kembali mendapat tantangan di masa Orde Baru (ORBA) yang menghambat pemikiran Islam untuk pembaruan. Tokoh-tokohnya tidak lain adalah Harun Nasution, Nurcholis Madjid, Djohan Effendi, Kuntowijoyo, Abdurrahman Wachid, Amien Rais, Syafi’i Ma’arif dan genersi selanjutnya yang pada waktu itu melakukan refleksi kritis berkaitan dengan pembaruan pemikiran Islam.
Dengan pembaruan ini umat Islam diharapkan dapat meletakan Islam sebagai ilmu pengetahuan dan memunculkan kesadaran kritis akan fenomena dan gejala sosial yang sedang terjadi di tengah kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Terkait dengan hal ini, mereka adalah komunitas migran muslim Indonesia yang melakukan pengembaraan dan wisata intelektual di luar negeri dan memiliki ikatan emosional terhadap bangsa dan komunitas muslim di kampung halamannya. Dan ketika kembali ke tanah air mereka membentuk komunitas yang mempunyai ciri dan identitas tersendiri sebagai bentuk diaspora muslim Indonesia.
Kecurigaan Teologis
Sehubungan dengan hal ini Ziauddin Sardar pemikir muslim asal Inggris menawarkan perlunya mengkaji ulang Islam. Melalui tulisannya Rethinking Islam: The Perspective of British Diaspora dalam buku Islam Tanpa Syariat (2005) ia berpendapat diaspora sebagai komunitas intelektual muslim berusaha untuk memikir dan mengkaji ulang Islam. Karena keperihatinan mereka tidak hanya terhadap model keberagamaan umat yang statis, namun juga terhadap munculnya klaim kebenaran mutlak terhadap sebagaian ajaran agama oleh sekalangan muslim tertentu.
Gagasan Sardar tentang perlunya langkah strategis umat Islam untuk mengkaji ulang kekayaan khazanah peradaban Islam untuk membuka kembali pintu ijtihad yang terkunci. Artinya Ijtihad yang telah dibangun di atas nilai-nilai Islam yang teologis-dogmatis dan sakral justru menyuburkan kebekuan-kebekuan pemikiran Islam menjadi statis.
Namun, usaha ini menimbulkan panorama yang tidak enak dipandang mata dan mendapat tanggapan kritis bagi umat Islam yang lain ketika melihat dan mendengarnya. Karena bentuk pembaruan yang sekarang ramai digembar-gemborkan para pemikir Islam untuk perubahan sosial dinilai akan mendangkalkan aqidah Islam secara perlahan-lahan dengan menyitir sebagian teks-teks al-Qur’an sebagai dasar pijakan alasan pemikirannya. Hal ini dapat dibuktikan pada persoalan fiqih, gender, politik, pendidikan dan persoalan kehidupan umat Islam lainnya yang dikaji dengan penafsiran al-Qur’an melalui jalan hermeneutis.
Melihat gejala ini maka penulis melihat ada beberapa persoalan yang melatar belakangi timbulnya rasa kecurigaan umat Islam yang satu dengan yang lainnya yaitu sosok intelektual dan komunitasnya yang menjadi latar belakang basis pemikiran Islamnya. Pertama, sosok intelektual merupakan cara mudah masyarakat untuk mengenal seseorang pada waktu menelurkan gagasannya. Dengan menandai sosoknya maka masyarakat akan mengetahui dari mana asal ia memperoleh pendidikan akademisnya. Apakah di dalam negeri atau luar negeri. Kedua, komunitas tempat sosok intelektual untuk mengkaji dan mensosialisasikan gagasannya. Dengan melihat di mana komunitasnya dan bagaimana tindak tanduknya selama ini masyarakat akan selalu mengikuti langkahnya.
Dari dua persoalan di atas inilah yang menjadi penyakit utama umat Islam ketika menilai sosok seseorang dan komunitas tertentu. Masyarakat terbiasa hidup dalam sikap keberagamaan yang terkotak-kotak dan hitam putih. Sehingga menimbulkan rasa kecurigaan yang akhirnya melahirkan sikap tidak inklusif, toleran dan menghakimi terhadap wacana perkembangan pemikiran Islam orang lain serta menganggap benar wacana keberagamaannya sendiri.
Padahal dengan lahirnya komunitas-komunitas baru yang bertumpu pada pembaruan pemikiran Islam diharapkan sebagai ujung tombak untuk mengkaji dan menganalisis terhadap persoalan umat yang terus hadir dan bergejolak. Kita sadar bahwa perkembangan agama dan sejarah umat manusia akan terus berubah seiring dengan lajunya perubahan sosial. Karena memang sosok seseorang dengan komunitasnya senantiasa akan bergumul dalam wilayah tertentu untuk mencoba menawarkan berbagai pemikirannya kepada masyasarakat.
New Diaspora
Dalam masyarakat kita yang semakin modern, kita tidak bisa naif menerima kehidupan yang majemuk. Kemajemukan itu terlihat dalam nilai-nilai masyarakat kita dalam bentuk praktek kehidupan sehari-hari. Agama tidak lagi dinilai dalam bentuk sistem kepercayaan dan ajaran. Melainkan agama dilihat dari simbol-simbol yang menyertainya dalam ketunggalan dan kesamaan teologis.
Namun dalam perkembangannya kemajemukan itu berubah menjadi perbedaan yang melahirkan hegemoni terhadap jalan kebenaran. Perbedaan telah kehilangan komunikasi dan peran sentralnya untuk memahami orang lain dalam menggalang solidaritas. Oleh karena itu, sebagaimana gagasan Sardar akan perlunya konsep diaspora maka kaum minoritas muslim Indonesia dengan berbagai latar belakang kelompok dan pendidikannya berupaya mengakaji kembali khazanah pemikiran Islam sesuai dengan konteks zaman dan ijtihad pemikiran yang rasional dan kritis. Upaya itu ternyata dimanfaatkan dengan sungguh-sungguh untuk menafsir makna zaman.
Keberadaan diaspora disetiap negara berpenduduk muslim maupun tidak (Barat) termasuk di Indonesia memiliki beberapa keuntungan, terutama yang berkaitan dengan kontribusi intelektualnya. Mereka dapat melakukan pengkajian ulang terhadap apa yang terjadi di komunitas asal tanpa terhalang berbagai keterbatasan yang mungkin ditemui. Intinya manfaat diaspora terletak pada nilai-nilai seperti kebebasan berfikir dan sumber daya yang tersedia seperti referensi yang tidak tersedia di negara asalnya (Ziauddin Sardar, 2005).
Dalam konteks ke-Indonesiaan, kini keberadaan kaum muslim di berbagai komunitasnya (new diaspora) tidak lain adalah perjalanan proses sejarah antar generasi intelektual muslim. Mereka mendapatkan tradisi berfikir yang transformatif, kritis dan berkesinambungan untuk menghiasi dunia pemikiran pada umumnya dalam menghadapi diskursus universal. Selain itu bagaimana sumber informasi dan gagasan-gagasan mereka dapat memberikan angin segar kepada geliat komunitas peradaban yang sudah dibangun di dalam negeri untuk berkolaborasi.
Saat ini memang umat Islam tetap dan akan menaruh harapan besar kepada komunitas Islam yang bergerak di aras pembaruan pemikiran Islam. Mereka akan menjadi tumpuan harapan masyarakat, sehingga tanggung jawab sosial menjaga dan membangun peradaban Islam tidak hanya berhenti pada tataran wacana saja. Melainkan memberikan solusi dan menjadi praksis pemikiran Islam dalam menjawab persoalan umat.
Semoga kehadirannya tidak berada dalam iklim pemikiran yang tidak mengawang jauh dari realitas sosial yang sesunggunya. Sehingga hadirnya new diaspora ini ialah usaha keras untuk mengkaji ulang terhadap Islam dan kondisi objektif umatnya yang mengalami ketertinggalan dan keterpurukan. Wallohu ‘alam
Nama : Nazhori Author
Nama Pena : Author Jayiddan
Usia : 28 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Username : Author
email : author_lagi@yahoo.co.id
Biodata singkat: Nazhori Author, lahir di Jakarta 17 Agustus 1979. Menamatkan sarjana strata satunya dari Jurusan Tarbiyah, Prodi Pendidikan Agama Islam pada Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Purwokerto, selama ini menekuni kajian Sosiologi Pendidikan Berbasis Kerakyatan. Di samping itu, pernah terlibat menjadi kontributor buku Manajemen Zakat Gaya BUMN (Studi atas Praktik Manajemen Zakat di PT. Pupuk Kujang) bersama Institute Manajemen Zakat (IMZ) Jakarta terbit tahun 2006. Tinggal di Griya Bukit Jaya Blok E1 No. 4 Rt 05/28 Tlajungudik, Gunungputri, Bogor, Jawa Barat.








Eksistensi disiplin ilmu sosiologi dalam peradaban manusia kian menemukan momentumnya di abad 21. Banyak akademisi berbondong-bondong menoleh padanya. Latar belakang penolehan pada sosiologi ini dapat kita lihat dari definisi sosiologi. Secara sederhana, sosiologi bermakna sebagai sebuah disiplin ilmu yang mengkaji masyarakat; termasuk studi atas model hubungan (relationship) dan interaksi (interaction) sosial dan peradaban (culture).
Sejatinya, sebagai sebuah disiplin ilmu, sosiologi mengalami perjalanan sejarah yang cukup panjang. Studi filologis atas sosiologi berkesimpulan, jika benih kajian ini sudah tertabur sejak masa Yunani Kuno. Warisan peradaban Yunani Kuno yang adiluhung itu memberikan nama seperti Xenophanes, Polybios dan filsuf lainnya. Analisa filologis pula yang menjelaskan, terma sosiologi tersusun dari sebuah kata Latin, “socius” (pertemanan) dan akhiran berupa kata Yunani, “logos” (ilmu).
Sebelum nomenklatur “sosiologi” familiar dan mendunia di tangan Auguste Comte (1798-1857), terma tersebut pertama kali dipergunakan oleh seorang penulis lepas berkebangsaan Perancis, Emmanuel Joseph Sieyès (1748-1836), salah seorang konseptor Revolusi Perancis. Dengan meminjam istilah Sieyès, Auguste Comte mencita-citakan adanya kesatuan pelbagai studi atas manusia dalam sebuah payung besar bernama sosiologi. Comte tak menghendaki pelbagai studi atas umat manusia adalah sebuah kajian yang centang-perentang. Terlebih dia meyakini jika umat manusia menempuh fase peradaban yang serupa.
Auguste Comte dengan impresif membagi studi atas fenomena kemasyarakatan menjadi dua klasifikasi. Yaitu La Dynamique Sociale (dinamika sosial) dan La Statique Sociale (eksistensi sosial). Mulanya, sebelum masyhur dengan nama “Sosiologi”, dengan berpedoman pada dua klasifikasinya itu, dia menyebut studi atas fenomena kemasyarakatan sebagai Physique Sociale. Istilah ini, dia pinjam dari Lambert Adolphe Jacques Quételet (1796-1874).

Berdasar atas jasanya, mitos Comte sebagai “Bapak Sosiologi” lekang dalam benak sarjana Barat. Mitos tersebut seakan mengubur peran tak kecil dari Giambattista Vico/ Giovanni Battista Vico (1668-1744) dengan “Scienza Nuova”-nya, Johann Gottfried von Herder (1744-1803), dan Marie Jean Antoine Nicolas de Caritat atau yang akrab dengan nama Marquis de Condorcet (1743- 1794). Fatalnya, sosiologi lantas dikleim mempunyai akar genealogis Barat semata. Islam, dalam perspektif mereka, tak pernah dan takkan dapat berperan dalam melahirkan dan membesarkan sosiologi. Benarkah demikian?
Sosiologi dalam Islam
Sebagai sebuah ide dan gagasan, sosiologi tentunya dapat didaku oleh pihak manapun. Seraya menyertakan argumentasi ataupun tidak. Kleim beberapa pihak bahwa sosiologi adalah murni produk Barat harus dipandang dan disikapi dengan cermat. Kleim itu tak boleh serta merta diposisikan sebagai pandangan yang mencerminkan superioritas Barat atas Islam.
Pendakuan di atas, bagi penulis, sudah sewajarnya dilihat dalam kerangka proses keterpengaruhan peradaban satu dengan lainnya. Islam berhutang pada Barat dalam pemutakhiran konsep-konsep sosiologi. Atau seperti yang terpantul dalam “imperialisme budiman” ala Napoleon Bonaparte terhadap Mesir. Sedang Barat haruslah menghargai Islam sebagai bagian tak terpisahkan dari mata rantai keilmuan.
Abdurrahman Badawi dengan cemerlang menuliskan, betapa Barat tak boleh jumawa dengan kegemilangan peradabannya kini. Tersebab, kejayaan Barat tak lain sebagai kesinambungan hasil jerih payah sarjana Islam Klasik. Dalam bukunya yang telah menjadi klasik, Dawr al-Arab fi Takwin al-Fikr al-Urubiy, Badawi secara meyakinkan menjelaskan tentang pelbagai sumbangsih besar peradaban Islam-Arab atas Eropa-Barat. Tak terkecuali dalam ranah filsafat.
Dalam konteks inilah, mengusung sejarawan sekaligus sosiolog Islam kenamaan, Ibn Khaldun (1332-1406) menjadi tak terbantahkan. Publik Arab, Islam dan bahkan (belakangan) dunia mengapresiasinya sebagai generasi pertama ilmuwan yang concern pada fenomena kemasyarakatan. Sekalipun bagi Robert Bellah dalam Beyond Belief-nya lebih senang mengasumsikan bahwa implementasi konsep-konsep sosiologi telah terdeteksi dalam pola interaksi masyarakat muslim Madinah di bawah kepemimpinan Nabi.
Jika Comte menjulang namanya dengan sebuah buku monumentalnya berjudul “Cours de Philosophie Positive”, maka figur Ibn Khaldun meraksasa karena buku fenomenalnya, “Muqaddimat”. Satu buku yang sejatinya dimaksudkan sebagai pengantar atas buku lainnya yang berjudul “Kitāb al-‘Ibār wa Diwân al-Mubtada’ wa al-Khabar fî Ayyâm al-‘Arab wa al-‘Ajam wa al-Barbar wa Man ‘Asarahum min Dawl al-Sulthân al-Akbâr”.
Pelbagai gagasan sosiologi ala Ibn Khaldun, nyatanya, kerap tak mengalami perbedaan dengan konsep sosiologi Auguste Comte yang hidup 400 tahun pasca Ibn Khaldun. Ini mengapa, lantas banyak akademisi lebih suka menahbiskan Ibn Khaldun sebagai “munsyi’u ‘ilm al-ijtima’”, Bapak Sosiologi. Terutama akademisi berlatarbelakang Arab-Islam. Sekalipun ada juga pihak Barat yang mengamininya, semisal Ludwig Gumplowicz dan S. Colosio. Lebih dari itu, Ibn Khaldun juga didapuk sebagai penggagas demografi, historiografi dan filsafat sejarah.
Lain halnya dengan amatan Mahmud Ismail. Baginya, gagasan sosiologi yang berkembang di dunia Islam tak bermula dari Ibn Khaldun. Melainkan berawal dari segugusan gagasan yang dimunculkan oleh Ikhwan al-Shafa dalam Rasa’il-nya. Untuk memperkuat tesanya, Mahmud Ismail merasa perlu menuliskan sebuah buku kontroversial berjudul “Nihayat Usthurat Nadhariyyat Ibn Khaldun Muqtabasat min Rasa’il Ikhwan al-Shafa”.
Terlepas dari adanya gugatan pada konsep sosiologinya, Ibn Khaldun dalam Muqaddimat-nya, secara tersirat, berpandangan bahwa obyek diskursus sosiologi adalah segala aspek yang berkenaan dengan fenomena peradaban (wâqi’ât al-‘umrân). Ia akan merekam proses politik-kekuasaan bangsa, aktivitas perekonomian dan tindakan keilmuan. Dan sikap dan pendapat senada juga diambil Comte. Baginya, obyek kajian sosiologi adalah wilayah yang tak tersentuh ilmu eksakta. Keduanya pun bersepakat dalam fungsi, tujuan dan metode yang seyogianya dipakai dalam kajian sosiologi.
Salah satu ide genial Ibn Khaldun dalam Muqaddimahnya adalah nadhariyyat al-‘amal wa al-qimat (teori produksi dan upah). Sebuah gagasan yang kemudian disematkan pada Karl Heinrich Marx (1818-1883) dan lebih familiar dengan istilah labor theory of value. Menurut Ibn Khaldun, nilai atau upah sebuah produksi ditentukan dan diukur dengan kuantitas produksi itu sendiri. Dan Karl Marx memedomani konsep tersebut sebagai landasan bagi sistem ekonomi-sosialis sebagaimana termaktub dalam Das Kapital.

Menimbang Sosiologi
Sayangnya, langkah impresif intelektual Ibn Khaldun tak mendapat respon yang sepantasnya dari para generasi selanjutnya. Kajian sosiologi dalam dunia Islam menjadi sebuah kajian periferal. Ia tak berdaya ketika harus bersaing dan dipersandingkan dengan kajian mapan semisal fikih, hadits dan tafsir. Tak lama, konsep brilian Ibn Khaldun yang terangkum dalam Muqaddimah-nya malah menguap. Dan bahkan mati.
Diskursus ilmu non keagamaan praktis mandeg dan menemui jalan buntu. Islam dalam kelaraan yang tiada tara. Yang ironis, kajian sosiologi malah dihidupkan kembali oleh pihak Barat. Konsep-konsep cerdas nan elegan itu dipermutakhir. Beberapa nama tenar muncul seperti Ferdinand Tönnies, Émile Durkheim, Karl Marx, Herbert Spencer, Vilfredo Pareto, Georg Simmel dan Max Weber. Oleh mereka, sosiologi dipakai sebagai sarana memproyeksikan kehidupan bermasyarakat yang ideal di masa mendatang.
Dalam konteks kekinian, gagasan sosiologi dimaksudkan sebagai respon atas tantangan yang mengemuka sebagai konsekuensi dari dinamika peradaban. Sosiologi menjadi salah satu media untuk mengurai kekusutan yang terjadi di seputar isu modernitas dan modernisasi seperti industrialisasi dan urbanisasi. Barat menempatkan sosiologi sebagai perangkat untuk mempertahankan koeksistensi satu individu dengan yang lainnya. Terlebih sosiologi mampu memahamkan kepada para pengkajinya, untuk secara tanggap berupaya mengurai simpul-simpul yang berpotensi merusak struktur masyarakat.
Tak pelak, sebagai salah satu aspek keilmuan terpenting di era kontemporer, sosiologi di dunia Islam kini telah menjelma sebagai sebuah tradisi yang hilang. Dari sebuah tradisi, sosiologi justru dipandang sebagai sebuah heresi. Ia tak lain sekadar sebentuk bid’ah yang diimpor dari Barat dan jika diterima akan merusak konstelasi peradaban Islam. Sebuah kekhawatiran yang tak sewajarnya.
Oleh yang menolak, sosiologi dalam kapasitasnya sebagai disiplin ilmu dan pisau analisa, diyakini tak bebas nilai. Sekalipun ia pernah eksis dan matang di tangan cendekiawan muslim terkemuka. Padahal, jika ditilik, sosiologi dalam pemaknaan terkini bertujuan untuk mempelajari interaksi sosial-masyarakat dan komunitasnya. Ia juga hendak menganalisa latar belakang dan pertumbuhan sebuah peradaban serta mengkaitkannya dengan adanya kemungkinan keterpengaruhan individu atas komunitasnya. Dan sebaliknya.
Sebagai sebuah genre studi, sosiologi menjadi menarik dan layak untuk diapresiasi dengan menghidupkannya kembali dalam khazanah keilmuan Islam kontemporer. Terlebih, ia sangat mempertimbangkan keragaman budaya atau kultur, agama, politik dan ekonomi sebagai sebuah latar belakang. Oleh karenanya, ia sangat berguna untuk menunjang kiprah seorang pendidik, penguasa dan tokoh masyarakat.
Lebih dari itu, penerapan sosiologi dalam wacana keagamaan juga akan mampu menghadirkan pemahaman atas konsep agama dalam wajah yang lebih segar dan kontekstual. Tersebab, sosiologi secara niscaya memprasyaratkan sebuah pembacaan yang obyektif dan menyeluruh. Hal itu berangkat dari satu fakta bahwa sosiologi telah terintregasi dengan kajian lainnya seperti antropologi, psikologi dan ilmu humaniora lainnya.
Pada akhirnya, jika sosiologi merupakan warisan tradisi khazanah intelektual Islam Klasik, maka wajah sangar tak harus kita pasang saat berhadapan dengan gagasan-gagasan Karl Manheim, P. Sorokin, M. Weber, Von Wiese, Talcott Parson dan T. Shanin. Toh, mereka tengah mengembangkan gagasan yang pernah diajarkan Ibn Khaldun. Kita uji gagasan dan konsep itu. Bila benar dan sesuai dengan nilai-nilai agama, maka tak bukan, kita tengah menghidupkan tradisi. Dan Ibn khaldun akan bangga. Demikian.[]
NU Mesir Org : http://numesir.org











IBNU KHALDUN. BAPAK SOSIOLOGI ISLAM
Oleh : Zaldy Munir
IBNU Khaldun, nama lengkapnya adalah Abdu al-Rahman ibn Muhamad ibn Muhamad ibn Muhamad ibn al-Hasan ibn Jabir ibn Muhamad ibn Ibrahim ibn Khalid ibn Utsman ibn Hani ibn Khattab ibn Kuraib ibn Ma`dikarib ibn al-Harits ibn Wail ibn Hujar atau lebih dikenal dengan sebutan Abdur Rahman Abu Zayd Muhamad ibnu Khaldun. Abdurrahman Zaid Waliuddin bin Khaldun, lahir di Tunisia pada tanggal 1 Ramadhan 732 H, bertepatan dengan tanggal 27 Mei 1332 M.
Nama kecilnya adalah Abdurrahman, sedangkan Abu Zaid adalah nama panggilan keluarga, karena dihubungkan dengan anaknya yang sulung. Waliuddin adalah kehormatan dan kebesaran yang dianugerahkan oleh Raja Mesir sewaktu ia diangkat menjadi Ketua Pengadilan di Mesir.
Ibnu Khaldun menisbatkan nama dirinya kepada Khalid Ibn utsman karena Khalid adalah nenek moyangnya yang pertama kali memasuki Andalusia bersama para penakluk berkebangsaan Arab lainnya pada abad ke-8 masehi. Ibnu Khaldun adalah seorang yang memiliki prestasi yang gemilang, beliau sangat mahir dalam menyerap segala pelajaran yang diterimanya. Sejak masa kanak-kanak ia sudah terbiasa dengan filsafat, ilmu alam, seni dan kesusastraan yang dengan mudahnya ia padukan dengan bidang kenegaraan, perjalanan, dan pengalamannya.
Perjalanan Ibnu Khaldun dari Masa ke Masa
Ibnu Khaldun hidup pada masa antara 1332-1405 M ketika peradaban Islam dalam proses penurunan dan disintegrasi. Khalifah Abbasiyah diambang keruntuhan setelah penjarahan, pembakaran, dan penghancuran Baghdad dan wilayah disekitarnya oleh bangsa Mongol pada tahun 1258, sekitar tujuh puluh lima tahun sebelum kelahiran Ibnu Khaldun. Dinasi Mamluk (1250-1517), selama periode kristalisasi gagasan Ibnu Khaldun, hanya berkontribusi pada percepatan penurunan peradaban akibat korupsi dan inefisiensi yang mendera kekhalifahan, kecuali pada masa awal-awal periode pertama yang singkat dari sejarah kekhalifahan Mamluk. [Periode pertama Bahri/Turki Mamluk (1250-1382) yang banyak mendapat pujian dalam tarikh, periode kedua adalah Burji Mamluk (1382-1517), yang dikelilingi serangkaian krisis ekonomi yang parah.
Sebagai seorang muslim yang sadar, Ibnu Khaldun tekun mengamati bagaimana caranya membalik atau mereversi gelombang penurunan peradaban Islam. Sebagai ilmuwan sosial, Ibnu Khaldun sangat menyadari bahwa reversi tersebut tidak akan dapat tegambarkan tanpa menggambarkan pelajaran-pelajaran dari sejarah terlebih dahulu untuk menentukan faktor-faktor yang membawa sebuah peradaban besar melemah dan menurun drastis.
Adapun asal-usul Ibnu Khaldun menurut Ibnu Hazm ulama Andalusia yang wafat tahun 457 H/1065 M, disebutkan bahwa: Keluarga Ibnu Khaldun berasal dari Hadramaut di Yaman, dan kalau ditelusuri silsilahnya sampai kepada sahabat Rasulullah yang terkenal meriwayatkan kurang lebih 70 hadits dari Rasulullah, yaitu Wail bin Hujr. Nenek moyang Ibnu Khaldun adalah Khalid bin Usman, masuk Andalusia (Spanyol) bersama-sama para penakluk berkebangsaan Arab sekitar abad ke VII M., karena tertarik oleh kemenangan-kemenangan yang dicapai oleh tentara Islam. Ia menetap di Carmona, suatu kota kecil yang terletak di tengah-tengah antara tiga kota yaitu Cordova, Granada dan Seville, yang di kemudian hari kota ini menjadi pusat kebudayaan Islam di Andalusia.
Pada abad ke VII M, anak cucu Khaldun pindah ke Sevilla yang pada masa pemerintahan Amir Abdullah Ibnu Muhammad dari Bani Umayyah (274-300 H.) Andalusia dalam suasana perpecahan dan perebutan kekuasaan dan yang paling parah adalah Sevilla. Dalam suasana seperti itu anak cucu Khaldun yang bernama Kuraib mengadakan pemberontakan bersama Umayyah Ibnu Abdul Ghofir, dia berhasil merebut kekuasaan dan mendirikan pemerintahan (sebagai Amir) di Sevilla. Akan tetapi, karena kekejaman dan kekerasannya dia tidak disenangi rakyat dan akhirnya meninggal terbunuh pada tahun 899 H.
Banu Khaldun tetap tinggal di Sevilla selama pemerintahan Umayyah dengan tidak mengambil peranan yang berarti sehingga datangnya pemerintahan raja-raja kecil (al-Thowalif) dan Sevilla berada dalam kekuasaan Ibnu Abbad. Pada masa itulah bintang Banu Khaldun meningkat lagi sampai pada masa pemerintahan Al-Muwahidun. Setelah raja-raja Thowaif mengalami kemunduran, maka muncullah raja-raja Muwahhidin menggeser kekuasaan raja-raja Murabbith. Pada pemerintahan Muwahhidun inilah Banu Khaldun menjalin hubungan dengan keluarga pemerintah, sehingga mereka mempunyai kedudukan yang terhormat.
Tatkala kerajaan Muwahhidin mengalami kemunduran dan Andalusia menjadi kacau balau, maka Banu Khaldun pindah ke Tunisia pada tahun 1223 M. Nenek moyang Ibnu Khaldun yang pertama mendarat ke Tunisia adalah al-Hasan Ibnu Muhammad (kakek keempat Ibnu Khaldun), kemudian disusul oleh saudara-saudaranya yang lain seperti Abu Bakar Muhammad bin Abu Bakar Muhammad dan lain-lain. Kakek Ibnu Khaldun itu rata-rata menduduki jabatan penting di dalam pemerintahan waktu itu. Sedangkan anaknya Abu Abdillah Muhammad (ayah Ibnu Khaldun) tidak tertarik kepada jabatan pemerintahan, tetapi ia lebih mementingkan bidang ilmu dan pendidikan, sehingga ia dikenal sebagai ahli dalam bidang ilmu fiqih, meninggal tahun 749 H/1349 M. Ia meninggalkan beberapa orang anak diantaranya: Abu Yazid Waliuddin (Ibnu Khaldun), Umar, Musa, Yahya dan Muhammad. Pada waktu itu Ibnu Khaldun baru berusia 18 tahun.
Studinya kemudian terhenti pada 749 H. Saat menginjak usia 17 tahun, tanah kelahirannya diserang wabah penyakit pes yang menelan ribuan korban jiwa. Akibat peristiwa yang dikenal sebagai Black Death itu, para ulama dan penguasa hijrah ke Maghrib Jauh (Maroko).
Ketika keluarga Ibnu Khaldun mulai merasa akan semakin dekat jatuhnya Sevilla ke tangan Spanyol pada tahun 1248, mereka keluar menuju Melilia-Maroko, lalu pergi ke Tunisia pada masa kekuasaan Abi Zakariya Hafsid pada tahun 1228-1249.
Meskipun selalu berada dalam situasi pengungsian, keluarga Ibnu Khaldun mampu mempertahankan reputasi keilmuan dan status aristokrasinya. Maka, Abu Bakar Muhammad bin Hassan (kakek Ibnu Khaldun) dipercaya menjabat urusan keuangan.
Namun, Ahmed ibnu Abi Imarah Masieli, yang berkuasa di Tunisia pada tahun 1283-1284, menangkap Bin Hassan serta menyita semua kekayaannya dan akhirnya membunuhnya. Meski demikian, Muhammad (putra Bin Hassan), yang merupakan kakek langsung Ibnu Khaldun, tetap menunjukkan loyalitas terhadap Sultan Imarah Masieli dan menduduki beberapa posisi penting di Tunisia dan Aljazair.
Sementara Muhammad (putra Muhammad)-ayah kandung Ibnu Khaldun-memilih tidak terjun ke dunia politik dan berkonsentrasi pada keilmuan serta kesusastraan. Hal itu membawa inspirasi pada putranya, Ibnu Khaldun, untuk mengikuti jejak ayahnya, yakni menekuni dunia keilmuan.
Pada saat itu, Kota Tunis kaya dengan para ulama dan cendekiawan yang terkenal di wilayah Arab Maghrib dan bahkan Benua Afrika. Interaksi Ibnu Khaldun dengan para ulama Arab Maghrib, terutama mereka yang beraliran rasionalis, mendorongnya untuk belajar filsafat yang kelak memengaruhi jalan pemikirannya.
Pendidikan Ibnu Khaldun
Pendidikan yang diperoleh Ibnu Khaldun diantaranya adalah pelajaran agama, bahasa, logika dan filsafat. Sebagai gurunya yang utama adalah ayahnya sendiri, di samping Ibnu Khaldun juga menghafal al-Qur’an, mempelajari fisika dan matematika dari ulama-ulama besar pada masanya. Di antara guru-guru Ibnu Khaldun adalah Muhammad bin Saad Burral al-Anshari, Muhammad bin Abdissalam, Muhammad bin Abdil Muhaimin al-Hadrami dan Abu Abdillah Muhammad bin Ibrohim al-Abilli. Dari merekalah Ibnu Khaldun mendapatkan berbagai macam ilmu pengetahuan.
Pada tahun 1349 setelah kedua orang tua Ibnu Khaldun meninggal dunia Ibnu Khaldun memutuskan untuk pindah ke Marokko, namun dicegah oleh kakaknya, baru tahun 1354 Ibnu Khaldun melaksanakan niatnya pergi ke Marokko, dan disanalah Ibnu Khaldun mendapatkan kesempatan untuk menyelesaikan pendidikan tingginya. Selama menjalani pendidikannya di Marokko, ada empat ilmu yang dipelajarinya secara mendalam, yaitu Kelompok bahasa Arab yang terdiri dari: Nahwu, shorof, balaghoh, khitabah dan sastra. Kelompok ilmu syari’at terdiri dari: Fiqh (Maliki), tafsir, hadits, ushul fiqh dan ilmu al-Qur’an.
Kelompok ilmu ‘aqliyah (ilmu-ilmu filsafat) terdiri dari: filsafat, mantiq, fisika, matematika, falak, musik, dan sejarah. Kelompok ilmu kenegaraan terdiri atas: ilmu administrasi, organisasi, ekonomi dan politik. Dalam sepanjang hidupnya Ibnu Khaldun tidak pernah berhenti belajar, sebagaimana dikatakan oleh Von Wesendonk: bahwa sepanjang hidupnya, dari awal hingga wafatnya Ibnu Khaldun telah dengan sungguh-sungguh mencurahkan perhatiannya untuk mencari ilmu. Sehingga merupakan hal yang wajar apabila dengan kecermelangan otaknya dan didukung oleh kemauannya yang membaja untuk menjadi seorang yang alim dan arif, hanya dalam waktu kurang dari seperempat abad Ibnu Khaldun telah mampu menguasai berbagai ilmu pengetahuan.
Memasuki tahun ke-20 dari usianya, Ibnu Khaldun mulai tertarik dengan kehidupan politik, sehingga pada tahu 755 H./1354 M., karena kecakapannya Ibnu Khaldun diangkat menjadi sekretaris Sultan di Maroko, namun jabatan ini tidak lama di pangkunya, karena pada tahun 1357 Ibnu Khaldun terlibat dalam persekongkolan untuk menggulingkan Amir bersama Amir Abu Abdullah Muhammad, sehingga ia ditangkap dan dipenjarakan.
Tetapi tidak lama kemudian dia dibebaskan, yang kemudian pada tahun itu juga setelah Sultan meninggal dunia dan kekuasaan direbut oleh Al-Mansur bin Sulaiman dari menterinya Al-Hasan, maka Ibnu Khaldun menggabungkan diri dengan Al-Mansur dan dia diangkat menjadi sekretarisnya. Namun tidak lama kemudian Ibnu Khaldun meninggalkan Al-Mansur dan bekerjasama dengan Abu Salim. Pada waktu itu Abu Salim menduduki singgasana dan Ibnu Khaldun diangkat menjadi sekretarisnya dan dua tahun kemudian diangkat menjadi Mahkamah Agung. Di sinilah Ibnu Khaldun menunjukkan prestasinya yang luar biasa, tetapi itupun tidak berlangsung lama, karena pada tahun 762 H./1361 M., timbul pemberontakan di kalangan keluarga istana, maka pada waktu itu Ibnu Khaldun meninggalkan jabatan yang disandangnya.
Pada tahun 1382, ia meninggalkan Tunisia menuju Alexandria dan kemudian ke Cairo. Ia mulai menjalani hidup di Cairo sebagai pengajar di Universitas Al Azhar. Pada tahun 1384, ia diangkat sebagai hakim untuk mazhab Maliki.
Di Cairo pun ia memiliki banyak musuh yang selalu berusaha menyingkirkannya dan akhirnya ia dipecat sebagai hakim pada tahun 1385. Ia kemudian pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Sekembali dari Mekkah, ia cenderung ke arah sufi dan memimpin sebuah sekolah sufi. Setelah 14 tahun mengajar, Ibnu Khaldun dipercaya kembali sebagai hakim pada tahun 1399, tetapi dipecat lagi pada September 1400.
Pada bulan Desember 1400, Ibnu Khaldun keluar dari Cairo menuju Damaskus. Di Damaskus, ia kembali menghadapi sebuah pertarungan kekuasaan yang memaksa ia kembali ke Cairo. Pada tahun 1401, ia tiba di Cairo dengan sambutan hangat dan diangkat kembali sebagai hakim.
Rupanya tidak tahan lama Ibnu Khaldun bergelut dengan dunia politik dia ingin kembali ke dalam dunia ilmu pengetahuan yang pernah lama digelutinya. Akhirnya dia memutar haluan bertolak ke daerah Banu Arif bersama keluarganya, dan di tempat inilah Ibnu Khaldun dan keluarganya baru merasa hidup tenang dan tentram jauh dari kemunafikan politik. Dalam ketenangannya itu Ibnu Khaldun merenung ingin menumpahkan semua pengalaman dan liku-liku kehidupannya. Maka dari sinilah ia mengalihkan perjalanan hidupnya dari petualang politik kembali kepada dunia ilmu pengetahuan, dan mulailah ia menyusun karya besarnya yang kemudian dikenal dengan “Muqoddimah Ibnu Khaldun”. Selama empat tahun tinggal di daerah Banu Arif Ibnu Khaldun juga menyusun sejarah besarnya Al-‘Ibar, akan tetapi karena kekurangan referensi maka ia pergi ke Tunisia, dan disanalah ia menyelesaikan karyanya.
Rupanya ketenangan Ibnu Khaldun terganggu lagi ketika Sultan mengajaknya untuk mendampingi menumpas pengacau, namun karena Ibnu Khaldun sudah jenuh dengan kehidupan politik, maka kemudian ia pindah ke Mesir.
Di Mesir Ibnu Khaldun disambut dengan hangat. Ilmuwan yang sarjana ini sudah tidak asing lagi di sana karena karya-karyanya sudah tersebar di sana. Sebagai orang baru Ibnu Khaldun langsung diberi dua jabatan penting, yaitu sebagai hakim tinggi dan sebagai guru besar di perguruan Al-Azhar. Setelah sekian lama berhidmat untuk ilmu dan mengabdi kepada Afrika Utara dan Andalusia ilmuwan besar dan terkemuka itu meninggal dunia pada hari Rabu tanggal 25 Ramadhan 808 H, bertepatan dengan tanggal 17 Maret 1406 M. dalam usianya yang ke-76, dan dimakamkan di pekuburan orang-orang sufi Babul Nashr di Kairo.
Patung Ibnu Khaldun di pusat kota Tunis yang gagah perkasa memang seperti membersitkan dirinya sebagai seorang ilmuwan besar dan sekaligus politisi kawakan. Dua identitas itulah yang melekat pada diri Ibnu Khaldun.
***
Ibnu Khaldun menjalani masa tua dan isolasi diri untuk konsentrasi terhadap ilmu pengetahuan, bermula dari usia 43 tahun hingga wafatnya. Pada masa itu, Ibnu Khaldun memilih meninggalkan dunia politik. Ia kemudian keluar dari Tiemcen dan berdomisili di wilayah Oran selama empat tahun, yaitu tahun 1375-1379.
Ketika tinggal di Oran, Ibnu Khaldun mulai mengarang kitab Al Muqaddimah yang sangat legendaris itu. Di saat mengarang kitab tersebut, Ibnu Khaldun merasa kekurangan referensi, yang memaksa ia minta izin kepada Sultan Hafsid Abu Abbas untuk kembali ke Tunisia. Ia tiba di Tunis pada tahun 1378 setelah meninggalkannya selama 27 tahun. Ia menyelesaikan kitab Al Muqaddimah di Tunisia.
Muqaddimah, yang diselesaikan pada November 1377 adalah buah karya dari cita-cita besarnya tersebut. Muqaddimah secara harfiah bararti ‘pembukaan’ atau ‘introduksi’ dan merupakan jilid pembuka dari tujuh jilid tulisan sejarah, yang secara bebas diterjemahkan ke dalam buku “The Book of Lessons and the Record of Cause and Effect in the History of Arabs, Persians and Berbers and Their Powerful Contemporaries.”
Ibnu Khaldun terkenal sebagai ilmuwan besar adalah karena karyanya “Muqaddimah”. Rasanya memang aneh ia terkenal justru karena muqaddimahnya bukan karena karyanya yang pokok (al-‘Ibar), namun pengantar al-‘Ibarnyalah yang telah membuat namanya diagung-agungkan dalam sejarah intelektualisme. Karya monumentalnya itu telah membuat para sarjana baik di Barat maupun di Timur begitu mengaguminya. Sampai-sampai Windellband dalam filsafat sejarahnya menyebutnya sebagai “Tokoh ajaib yang sama sekali lepas, baik dari masa lampau maupun masa yang akan datang”.
Muqaddimah mencoba untuk menjelaskan prinsip-prinsip yang menentukan kebangkitan dan keruntuhan dinasti yang berkuasa (daulah) dan peradaban (’umran). Tetapi bukan hanya itu saja yang dibahas, Muqaddimah juga berisi diskusi ekonomi, sosiologi dan ilmu politik, yang merupakan kontribusi orisinil Ibnu Khaldun untuk cabang-cabang ilmu tersebut. Ibnu Khaldun juga layak mendapatkan penghargaan atas formula dan ekspresinya yang lebih jelas dan elegan dari hasil karya pendahulunya atau hasil karya ilmuwan yang sejaman dengannya.
Dalam Al Muqaddimah, Ibnu Khaldun menggambarkan tanda-tanda kemunduran Islam dan jatuh bangunnya kekhalifahan melalui pengalamannya selama mengembara ke Andalusia dan Afrika utara. Ia mulai menyadari pula, walaupun secara kultural Islam masih berada dalam zaman keemasan, basis material dari hegemoni Islam ketika itu telah melemah. Misalnya, wilayah-wilayah Islam di Afrika utara menghadapi tantangan dari suku-suku nomaden tradisional serta persaingan antara penguasa di satu sisi dan kekuatan Kristen di sebelah utara yang menguasai alur Mediterania di sisi lain. Invasi Mongol dari timur juga menggerogoti struktur yang telah terbangun dan kota-kota peradaban Islam.
Sebenarnya Ibnu Khaldun sudah memulai kariernya dalam bidang tulis menulis semenjak masa mudanya, tatkala ia masih menuntut ilmu pengetahuan, dan kemudian dilanjutkan ketika ia aktif dalam dunia politik dan pemerintahan. Adapun hasil karya-karyanya yang terkenal di antaranya adalah:
1. Kitab Muqaddimah, yang merupakan buku pertama dari kitab al-‘Ibar, yang terdiri dari bagian muqaddimah (pengantar). Buku pengantar yang panjang inilah yang merupakan inti dari seluruh persoalan, dan buku tersebut pulalah yang mengangkat nama Ibnu Khaldun menjadi begitu harum. Adapun tema muqaddimah ini adalah gejala-gejala sosial dan sejarahnya.
2. Kitab al-‘Ibar, wa Diwan al-Mubtada’ wa al-Khabar, fi Ayyam al-‘Arab wa al-‘Ajam wa al-Barbar, wa man Asharuhum min dzawi as-Sulthani al-‘Akbar. (Kitab Pelajaran dan Arsip Sejarah Zaman Permulaan dan Zaman Akhir yang mencakup Peristiwa Politik Mengenai Orang-orang Arab, Non-Arab, dan Barbar, serta Raja-raja Besar yang Semasa dengan Mereka), yang kemudian terkenal dengan kitab ‘Ibar, yang terdiri dari tiga buku: Buku pertama, adalah sebagai kitab Muqaddimah, atau jilid pertama yang berisi tentang: Masyarakat dan ciri-cirinya yang hakiki, yaitu pemerintahan, kekuasaan, pencaharian, penghidupan, keahlian-keahlian dan ilmu pengetahuan dengan segala sebab dan alasan-alasannya. Buku kedua terdiri dari empat jilid, yaitu jilid kedua, ketiga, keempat, dan kelima, yang menguraikan tentang sejarah bangsa Arab, generasi-generasi mereka serta dinasti-dinasti mereka. Di samping itu juga mengandung ulasan tentang bangsa-bangsa terkenal dan negara yang sezaman dengan mereka, seperti bangsa Syiria, Persia, Yahudi (Israel), Yunani, Romawi, Turki dan Franka (orang-orang Eropa). Kemudian Buku Ketiga terdiri dari dua jilid yaitu jilid keenam dan ketujuh, yang berisi tentang sejarah bahasa Barbar dan Zanata yang merupakan bagian dari mereka, khususnya kerajaan dan negara-negara Maghribi (Afrika Utara).
3. Kitab al-Ta’rif bi Ibnu Khaldun wa Rihlatuhu Syarqon wa Ghorban atau disebut al-Ta’rif, dan oleh orang-orang Barat disebut dengan Autobiografi, merupakan bagian terakhir dari kitab al-‘Ibar yang berisi tentang beberapa bab mengenai kehidupan Ibnu Khaldun. Dia menulis autobiografinya secara sistematis dengan menggunakan metode ilmiah, karena terpisah dalam bab-bab, tapi saling berhubungan antara satu dengan yang lain.
***
Wawasan Ibnu Khaldun terhadap beberapa prinsip-prinsip ekonomi sangat dalam dan jauh kedepan sehingga sejumlah teori yang dikemukakannya hampir enam abad yang lalu sampai sekarang tidak diragukan merupakan perintis dari beberapa formula teori modern.
Dunia mendaulatnya sebagai `Bapak Sosiologi Islam’. Sebagai salah seorang pemikir hebat dan serba bisa sepanjang masa, buah pikirnya amat berpengaruh. Sederet pemikir Barat terkemuka, seperti Georg Wilhelm Friedrich Hegel, Robert Flint, Arnold J Toynbee, Ernest Gellner, Franz Rosenthal, dan Arthur Laffer mengagumi pemikirannya.
Tak heran, pemikir Arab, NJ Dawood menjulukinya sebagai negarawan, ahli hukum, sejarawan dan sekaligus sarjana. Dialah Ibnu Khaldun, penulis buku yang melegenda, Al-Muqaddimah.
Daftar Pustaka
Ali, A. Mukti, Ibnu Khaldun dan Asal-Usul Sosiologinya, Yogyakarta: Yayasan Nida, 1970.
Akhmad, K.H. Jamil, Seratus Muslim Terkemuka, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1984.
Audah, Ali, Ibnu Khaldun Sebuah Pengantar, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986.
Baali, Fuad dan Ali Wardi, Ibnu Khaldun dan Pola Pemikiran Islam, alih bahasa Osman Ralibi, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1989.
Enan, Muhammad Abdullah, Ibnu Khaldun: His Life and Work, New Delhi: Kitab Bhavan, 1979.
Khaldun, Ibnu, Muqaddimah Ibnu Khaldun, (terj.) Ahmadi Thoha, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986.
Raliby, Osman, Ibnu Khaldun, Tentang Masyarakat dan Negara, Jakarta: Bulan Bintang, 1978.
Sulaiman, Fathiyah Hasan, Pandangan Ibnu Khaldun Tentang Ilmu dan Pendidikan, Bandung: Diponegoro, 1987.
_______, Sistem Pendidikan versi Al-Ghazali, Bandung: Diponegoro, 1987.
Thoha, Nashruddin, Tokoh-tokoh Pendidikan Islam di Jaman Jaya, Jakarta: Mutiara, 1979.
Wafi, Ali Abdul Wahid, Ibnu Khaldun Riwayat dan Karyanya, terj. Ahmadie Thoha, Jakarta: Grafiti Press, 1985.
http://muhammadaiz.wordpress.com/materi-sosiologi-pendidikan/
SOSIOLOGI PENDIDIKAN
Latar Belakang
Manusia adalah makhluk sosial, yang selalu berkelompok dan saling membutuhkan satu sama lain. Kajian sosiologi pendidikan menekankan implikasi dan akibat sosial dari pendidikan dan memandang masalah-masalah pendidikan dari sudut totalitas lingkup sosial kebudayaan, politik dan ekonomisnya bagi masyarakat. Apabila psikologi pendidikan memandang gejala pendidikan dari konteks perilaku dan perkembangan pribadi, maka sosiologi pendidikan memandang gejala pendidikan sebagai bagian dari struktur sosial masyarakat. Dilihat dari objek penyelidikannya sosiologi pendidikan adalah bagian dari ilmu sosial terutama sosiologi dan ilmu pendidikan yang secara umum juga merupakan bagian dari kelompok ilmu sosial. Sedangkan yang termasuk dalam lingkup ilmu sosial antara lain: ilmu ekonomi, ilmu hukum, ilmu pendidikan, psikologi, antropologi dan sosiologi. Dari sini terlihat jelas kedudukan sosiologi dan ilmu pendidikan.
Sosiologi sebagai ilmu pengetahuan telah memiliki lapangan penyelidikan, sudut pandang, metode dan susunan pengetahuan yang jelas. Objek penelitiannya adalah tingkah laku manusia dan kelompok. Sudut pandangnya memandang hakikat masyarakat, kebudayaan dan individu secara ilmiah. Sedangkan susunan pengetahuannya terdiri dari atas konsep-konsep dan prinsip-prinsip mengenai kehidupan kelompok sosial, kebudayaan dan perkembangan pribadi. Dengan segala keunikan yang dimiliki oleh sosiologi pendidikan, kali ini kami selaku pemakalah akan membahas pengertian, ruang lingkup, sejarah, dan tujuan dan kegunaan sosiologi pendidikan.
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Secara harfiah atau etimologi (definisi nominal), Sosiologi berasal dari bahasa Latin: Socius = teman, kawan, sahabat, dan logos = ilmu pengetahuan. Sedangkan menurut terminologi, definisi Sosiologi berdasarkan para pakar adalah sebagai berikut[1]:
a. sosiologi adalah studi tentang hubungan antara manusia (human relationship). (Alvin Bertrand)
b. sosiologi adalah suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari masyarakat sebagai keseluruhan, yakni hubungan antara manusia dengan manusia, manusia dengan kelompok, kelompok dengan kelompok, baik formal maupun material, baik statis maupun dinamis. (Mayor Polak)
b. sosiologi adalah ilmu masyarakat umum. (P.J. Bouwman)
c. sosiologi atau ilmu masyarakat adalah ilmu yang mempelajari struktur sosial dan proses sosial, termasuk perubahan-perubahan sosial. (Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi).
Jadi kami selaku pemakalah dapat menyimpulkan bahwa sosiologi itu adalah suatu ilmu yang mempelajari suatu interaksi seseorang dengan orang lain dan lingkungan masyarakat. Sekarang bagaimana dengan pengertian sosiologi pendidikan itu sendiri? Mengenai pertanyaan diatas ada dua pendapat, yaitu:
Menurut Prof. Dr. S. Nasution, MA. Mengatakan bahwa memberikan definisi sosiologi pendidikan tidak mudah. Para ahli pendidikan dan ahli sosiologi telah berusaha untuk memberikan definisi sosiologi pendidikan, namun definisi-definisi itu kebanyakan tidak terpakai oleh orang lapangan. Kesukaran untuk memperoleh definisi yang mantap tentang sosiologi pendidikan antara lain disebabkan[2]:
(a) sukarnya membatasi bidang studi di antara bidang pendidikan dan bidang sosiologi.
(b) kurangnya penelitian dalam bidang ini, dan
(c) belum nyatanya sumbangannya kepada pendidikan umumnya dan pendidikan guru khususnya.
Selanjutnya menurut F.G. Robbins, sosiologi pendidikan adalah sosiologi khusus yang tugasnya menyelidiki struktur dan dinamika proses pendidikan. Struktur mengandung pengertian teori dan filsafat pendidikan, sistem kebudayaan, struktur kepribadian dan hubungan kesemuanya dengantata sosial masyarakat. Sedangkan dinamika yakni proses sosial dan kultural, proses perkembangan kepribadian,dan hubungan kesemuanya dengan proses pendidikan.
Menurut H.P. Fairchild dalam bukunya ”Dictionary of Sociology” dikatakan bahwa sosiologi pendidikan adalah sosiologi yang diterapkan untuk memecahkan masalah-masalah pendidikan yang fundamental. Jadi ia tergolong applied sociology.
Menurut Prof. DR S. Nasution,M.A., Sosiologi Pendidikana dalah ilmu yang berusaha untuk mengetahui cara-cara mengendalikan proses pendidikan untuk mengembangkan kepribadian individu agar lebih baik.
Menurut F.G Robbins dan Brown, Sosiologi Pendidikan ialah ilmu yang membicarakan dan menjelaskan hubungan-hubungan sosial yang mempengaruhi individu untuk mendapatkan serta mengorganisasi pengalaman. Sosiologi pendidikan mempelajari kelakuan sosial serta prinsip-prinsip untuk mengontrolnya.
Menurut E.G Payne, Sosiologi Pendidikan ialah studi yang komprehensif tentang segala aspek pendidikan dari segi ilmu sosiologi yang diterapkan.
Menurut Drs. Ary H. Gunawan, Sosiologi Pendidikan ialah ilmu pengetahuan yang berusaha memecahkan masalah-masalah pendidikan dengan analisis atau pendekatan sosiologis.
Dari beberapa defenisi di atas, dapat disimpulkan bahwa sosiologi pendidikan adalah ilmu yang mempelajari seluruh aspek pendidikan, baik itu struktur, dinamika, masalah-masalah pendidikan, ataupun aspek-aspek lainnya secara mendalam melalui analisis atau pendekatan sosiologis.
B. Ruang Lingkup
Berbicara mengenai ruang lingkup sosiologi pendidikan, hal ini tidak terlepas dari masyarakat. Oleh karena itu sosiologi disebut juga sebagai Ilmu Masyarakat atau Ilmu yang membicarakan masyarakat. Berikut kami akan tampilkan secara sistematis mengenai ruang lingkup pembahasan sosiologi sebagai berikut[4]:
1. Hubungan sistem pendidikan dengan aspek-aspek lain dalam masyarakat.
Dalam kategori ini terdapat antara lain masalah-masalah sebagai berikut:
a. fungsi pendidikan dalam kebudayaan
b. hubungan antara sistem pendidikan dengan proses kontrol sosial dan sistem kekuasaan
c. fungsi sistem pendidikan dalam proses perubahan sosial dan kultural atau usaha mempertahankan status quo.
d. hubungan pendidikan dengan sistem tingkat atau status sosial
e. fungsi sistem pendidikan formal bertalian dengan kelompok rasial, kultural dan sebagainya.
2. Hubungan antar-manusia di dalam sekolah
Lapangan kedua ini menganalisis struktur sosial di dalam sekolah, pola kebudayaan di dalam sistem sekolah menunjukkan perbedaan dengan apa yang terdapat di dalam masyarakat di luar sekolah. Di dalam bidang ini dapat dipelajari:
C. Sejarah Sosiologi Pendidikan
Sejak manusia dilahirkan di dunia ini, secara sadar maupun tidak, sesungguhnya ia telah belajar dan berkenalan dengan hubungan-hubungan social yaitu hubungan antara manusia dalam masyarakat. Hubungan sosial out dimulai dari hubungan antara anak dengan orang tua kemudian meluas hingga ketetangga[6].
Dalam hubungan sosial tersebut terjadilah proses pengenalan dan proses pengenalan tersebut mencakup berbagai budaya, nilai, norma dan tanggung jawab manusia, sehingga dapat tercipta corak kehidupan masyarakat yang berbeda-beda dengan masalah yang berbeda pula.
Sosiologi ini dicetuskan oleh Aguste Comte maka dari itu dia dikenal sebagai bapak sosiologi, ia lahir di Montpellier tahun 1798. Ia merupakan seorang penulis kebanyakan konsep, prinsip dan metode yang sekarang dipakai dalam sosiologi berasal dari Comte. Comte membagikan sosiologi atas statika social dan dinamika social dan sosiologi mempunyai cirri-ciri sebagai berikut:
1. Bersifat empiris yaitu didsarkan pada observasi dan akal sehat yang hasilnya tidak bersifat spekulatif.
2. Bersifat teoritis yaitu selalu berusaha menyusun abstraksi dan hasil observasi.
3. Bersifat kumulatif yaitu teori-teori sosiologi dibentuk berdasarkan teori yang ada kemudian diperbaiki, diperluas dan diperhalus.
4. Bersifat nenotis yaitu tidak mempersoalkan baik buruk suatu fakta tertentu tetapi untuk menjelaskan fakta tersebut.
Comte mengatakan bahwa tiap-tiap cabang ilmu pengetahuan manusia mesti melalui tiga tahapan perkembangan teori secara berturut-turut yaitu keagamaan atau khayalan, metafisika atau abstrak dan saintifik atau positif[7].
Setelah selesai perang dunia II, perkembangan masyarakat berubah secara drastis dimana masyarakat dunia mengingnkan adanya perubahan dalam menyahuti perkembangan dan kebutuhan baru terhadap penyesuaian perilaku lembaga pendidikan. Oleh karena itu disiplin sosiologi pendidikan yang sempat tenggelam dimunculkan kembali sebagai bagian dari ilmu-ilmu penting dilembaga pendidikan[8].
Menurut pendapat Drs. Ary H. Gunawan, bahwa sejarah sosiologi pendidikan terdiri dari 4 fase, yaitu[9]:
a. fase pertama, dimana sosiologi sebagai bagian dari pandangan tentang kehidupan bersama filsafat umum. Pada fase ini sosiologi merupakan cabang filsafat, maka namanya adalah filsafat sosial.
b. Dalam fase kedua ini, timbul keinginan-keinginan untuk membangun susunan ilmu berdasarkan pengalaman-pengalaman dan peristiwa-peristiwa nyata (empiris). Jadi pada fase ini mulai adanya keinginan memisahkan diri antara filsafat dengan sosial.
c. sosiologi pada fase ketiga ini, merupakan fase awal dari sosiologi sebagai ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri. Orang mengatakan bahwa Comte adalah “bapak sosiologi”, karena ialah yang pertama kali mempergunakan istilah sosiologi dalam pembahasan tentang masyarakat.
Sedangkan Saint Simon dianggap sebagai “perintis jalan” bagi sosiologi. Ia bermaksud membentuk ilmu yang disebut “Psycho-Politique”.
Dengan ilmu tersebut Saint Simon dan juga Comte mengambil rumusan dari Turgot (1726-1781) sebagai orang yang berjasa terhadap sosiologi, sehingga sosiologi menjadi tumbuh sendiri.
d. pada fase yang terakhir ini, ciri utamanya adalah keinginan untuk bersama-sama memberikan batas yang tegas tentang obyek sosiologi, sekaligus memberikan pengertian-pengertian dan metode-metode sosiologi yang khusus. Pelopor sosiologi yang otonom dalam metodenya ini berada pada akhir abad 18 dan awal 19 antara lain adalah Fiche, Novalis, Adam Muller, Hegel, dan lain-lain.
D. Tujuan dan Kegunaan Sosiologi
Francis Broun mengemukakan bahwa sosiologi pendidikan memperhatikan pengaruh keseluruhan lingkungan budaya sebagai tempat dan cara individu memproleh dan mengorganisasi pengalamannya. Sedang S. Nasution mengatakan bahwa sosiologi pendidikan adalah Ilmu yang berusaha untuk mengetahui cara-cara mengendalikan proses pendidikan untuk memproleh perkembangan kepribadian individu yang lebih baik. Dari kedua pengertian dan beberapa pengertian yang telah dikemukakan dapat disebutkan beberapa konsep tentang tujuan sosiologi pendidikan, yaitu sebagai berikut[10]:
Sosiologi pendidikan bertujuan menganalisis proses sosialisasi anak, baik dalam keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Dalam hal ini harus diperhatiakan pengaruh lingkungan dan kebudayaan masyarakat terhadap perkembangan pribadi anak. Misalnya, anak yang terdidik dengan baik dalam keluarga yang religius, setelah dewasa/tua akan cendrung menjadi manusia yang religius pula. Anak yang terdidik dalam keluarga intelektual akan cendrung memilih/mengutamakan jalur intlektual pula, dan sebagainya.
Sosiologi pendidikan bertujuan menganalisis perkembangan dan kemajuan social. Banyak orang/pakar yang beranggapan bahwa pendidikan memberikan kemungkinan yang besar bagi kemajuan masyarakat, karena dengan memiliki ijazah yang semakin tinggi akan lebih mampu menduduki jabatan yang lebih tinggi pula (serta penghasilan yang lebih banyak pula, guna menambah kesejahteraan social). Disamping itu dengan pengetahuan dan keterampilan yang banyak dapat mengembangkan aktivitas serta kreativitas social.
Sosiologi pendidikan bertujuan menganalisis status pendidikan dalam masyarakat. Berdirinya suatu lembaga pendidikan dalammasyarakat sering disesuaikan dengan tingkatan daerah di mana lembaga pendidikan itu berada. Misalnya, perguruan tinggi bisa didirikan di tingkat propinsi atau minimal kabupaten yang cukup animo mahasiswanya serta tersedianya dosen yang bonafid.
Sosiologi pendidikan bertujuan menganalisis partisipasi orang-orang terdidik/berpendidikan dalam kegiatan social. Peranan/aktivitas warga yang berpendidikan / intelektual sering menjadi ukuan tentang maju dan berkembang kehidupan masyarakat. Sebaiknya warga yang berpendidikan tidak segan- segan berpartisipasi aktif dalam kegiatan social, terutama dalam memajukan kepentingan / kebutuhan masyarakat. Ia harus menjadi motor penggerak dari peningkatan taraf hidup social.
Sosiologi pendidikan bertujuan membantu menentukan tujuan pendidikan. Sejumlah pakar berpendapat bahwa tujuan pendidikan nasional harus bertolak dan dapat dipulangkan kepada filsafat hidup bangsa tersebut. Seperti di Indonesia, Pancasila sebagai filsafat hidup dan kepribadian bangsa Indonesia harus menjadi dasar untuk menentukan tujuan pendidikan Nasional serta tujuan pendidikan lainnya. Dinamika tujuan pendidikan nasional terletak pada keterkaitanya dengan GBHN, yang tiap 5 (lima) tahun sekali ditetapkan dalam Sidang Umum MPR, dan disesuaikan dengan era pembangunan yang ditempuh, serta kebutuhan masyarakat dan kebutuhan manusia.
Menurut E. G Payne, sosiologi pendidikan bertujuan utama memberi kepada guru- guru (termasuk para peneliti dan siapa pun yang terkait dalam bidang pendidikan) latihan – latihan yang efektif dalam bidang sosiologi sehingga dapat memberikan sumbangannya secara cepat dan tepat kepada masalah pendidikan. Menurut pendapatnya, sosiologi pendidikan tidak hanya berkenaan dengan proses belajar dan sosialisasi yang terkait dengan sosiologi saja, tetapi juga segala sesuatu dalam bidang pendidikan yang dapat dianalis sosiologi. Seperti sosiologi yang digunakan untuk meningkatkan teknik mengajar yaitu metode sosiodrama, bermain peranan (role playing) dan sebagainya.dengan demikian sosiologi pendidikan bermanfaat besar bagi para pendidik, selain berharga untuk mengalisis pendidikan, juga bermanfaat untuk memahami hubungan antara manusia di sekolah serta struktur masyarakat. Sosiologi pendidikan tidak hanya mempelajari masalah – masalah sosial dalam pendidikan saja, melainkan juga hal – hal pokok lain, seperti tujuan pendidikan, bahan kurikulum, strategi belajar, sarana belajar, dan sebagainya. Sosiologi pendidikan ialah analisis ilmiah atas proses sosial dan pola- pola sosial yang terdapat dalam sistem pendidikan.
Jika dilihat zaman peradaban yunani pada masa Plato (427-327 BC), pendidikannya lebih mengutamakan penciptaan manusia sebagai pemikir, kemudian sebagai ksatria dan penguasa. Pada zaman Romawi, seperti masa kehidupan Cicero (106-43 BC), pendidikan mengutamakan penciptaan manusia yang hmanistis. Pada abad pertengahan, pendidikan mengutamakan menjadikan manusia sebagai pengabdi Khalik (baik versi Islam maupun versi Kristiani). Pada abad pertengahan (1600-an-1800-an), melahirkan teori Nativisme (Rousseau, 1712-1778), Empirisme oleh Locke (1632-1704) dan konvergensi oleh Stern (1871-1939). Semuanya cendrung kepada nilai individu anak sebagai manusia yang memiliki karakteristik yang unik.
Menurut Nasution ada beberapa konsep tentang tujuan Sosiologi Pendidikan, antara lain sebagai berikut[11]: (1) analisis proses sosiologi (2) analisis kedudukan pendidikan dalam masyarakat, (3) analisis intraksi social di sekolah dan antara sekolah dengan masyarakat, (4) alat kemajuan dan perkembangan social, (5) dasar untuk menentukan tujuan pendidikan, (6) sosiologi terapan, dan (7) latihan bagi petugas pendidikan.
Konsep tentang tujuan sosiologi pendidikan di atas menunjukkan bahwa aktivitas masyarakat dalam pendidikan merupakan sebuah proses sehingga pendidikan dapat dijadikan instrument oleh individu untuk dapat berintraksi secara tepat di komunitas dan masyarakatnya. Pada sisi yang lain, sosiologi pendidikan akan memberikan penjelasan yang relevan dengan kondisi kekinian masyarakat, sehingga setiap individu sebagai anggota masyarakat dapat menyesuaikan diri dengan pertumbuhan dan perkembangan berbagai fenomena yang muncul dalam masyarakatnya.
Tujuan sosiologi pendidikan pada dasarnya untuk mempercepat dan meningkatkan pencapaian tujuan pendidikan secara keseluruhan. Karena itu, sosiologi pendidikan tidak akan keluar darim upaya-upaya agar pencapaian tujuan dan fungsi pendidikan tercapai menurut pendidikan itu sendiri. Secara universalm tujuan dan fungsi pendidikan itu adalah memanusiakan manusia oleh manusia yang telah memanusia. Itulah sebabnya system pendidikan nasional menurut UUSPN No. 2 Tahun 1989 pasal 3 adalah “ untuk mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia dalam rangka upaya mewujudkan tujaun nasional”. Menurut fungsi tersebut jelas sekali bahwa pendidikan diselenggarakan adalan: (1) untuk mengembangkan kemampuan manusia Indonesia, (2) meningkatkan mutu kehidupan manusia Indonesiam (3) meningkatkan martabat manusia Indonesia, (4) mewujudkan tujuan nasional melalui manusia-masusia Indonesia. Oleh karena itu pendidikan diselenggarakan untuk manusia Indonesia sehingga manusia Indonesia tersebut memiliki kemampuan mengembangkan diri,mmeningkatkan mutu kehidupan, meninggikan martabat dalam ragka mencapai tujuan nasional[12]. Kegunaan atau faedah sosiologi untuk kehidupan sehari-hari, yaitu[13]:
1. Untuk pekerjaan sosial, sosiologi memberikan gambaran/pengertian tentang berbagai problem sosial, sehingga dapat dicari solusinya secara tepat dan akurat.
2. Untuk pembangunan pada umumnya, sosiologi memberikan pengertian tentang masyarkat secara luas, sehingga dengan gambaran tersebut para perencana dan pelaksana pembangunan dapat mencari pola pembangunan yang paling sesuai agar berhasil.
E. Kesimpulan
Untuk memudahkan para audiens dalam memahami makalah kami ini, berikut kami akan merangkum sejumlah isi makalah kami secara ringkas dan padat, yaitu:
1. Sosiologi ialah pengetahuan yang mempelajari hubungan sosial antara sesama manusia (individu dan individu), antara individu dengan kelompok, serta sifat perubahan-perubahan dalam lembaga-lembaga dan ide-ide sosial.
2. Latar belakang timbulnya sosiologi pendidikan ialah disebabkan karena masyarakat mengalami perubahan sosial yang cepat. Perubahan sosial itu menimbulkan cultural lag. Cultural lag ini merupakan sumber masalah sosial dalam masyarakat. Masalah sosial itu di alami oleh dunia pendidikan. Lembaga pendidikan tidak mampu mengatasinya kemudian ahli sosiologi menyumbangkan pemikiran-pemikirannya untuk memecahkan masalah itu, maka lahirlah sosiologi pendidikan.
3. Tujuan sosiologi pendidikan pada dasarnya untuk mempercepat dan meningkatkan pencapaian tujuan pendidikan secara keseluruhan. Karena itu, sosiologi pendidikan tidak akan keluar darim uapaya-upaya agar pencapaian tujuan dan fungsi pendidikan tercapai menurut pendidikan itu sendiri.
PERUBAHAN SOSIAL

Asal usul sosiologi modern dapat dilacak untuk berusaha memahami perubahan dramatis menghancurkan dunia modern dan mempromosikan bentuk-bentuk baru tatanan sosial . Sebuah contoh dari hal ini adalah globalisasi. Untuk contoh sepanjang sejarah manusia sebagian besar orang menghasilkan makanan mereka sendiri dan tempat tinggal dan hidup dalam kelompok kecil atau desa-desa kecil. Bahkan pada puncak yang paling berkembang peradaban-seperti Roma kuno atau Cina-kurang dari 10% penduduk tinggal di wilayah perkotaan. Pada hari ini Amerika Serikat hanya 2% -3% dari orang bekerja di pertanian dan 90% orang saat ini tinggal di wilayah perkotaan. Urbanisasi di seluruh dunia juga berubah dengan kecepatan yang cepat karena kegiatan ekonomi. Pada tahun 2030, sekitar 60% dari populasi dunia diharapkan untuk hidup di daerah perkotaan dan di daerah lebih maju setinggi 81% dari orang yang diharapkan akan urbanisasi.
Contoh lain dari perubahan sosial meliputi:
• Teknologi masuknya dalam beberapa tahun terakhir seperti email, ponsel, jaringan sosial online Di masa lalu berkomunikasi dengan lainnya diadakan untuk kendala tertentu seperti mail atau tatap muka berinteraksi
• Peningkatan hak suara di Amerika Serikat untuk perempuan dan orang-orang dari etnis lain
• Setiap orang diminta untuk pergi dididik untuk standar pendidikan dasar "Setiap orang memiliki hak untuk pendidikan. Pendidikan harus gratis, setidak-tidaknya untuk tingkat sekolah rendah dan pendidikan dasar SD. Harus diwajibkan."
Menurut sosiolog, Ann Swidler, kebudayaan adalah seperti tool kit "" dari mana orang memilih pemahaman yang berbeda dan perilaku. Karena orang-orang berpartisipasi dalam begitu banyak budaya yang berbeda, dan sering bertentangan, tool kit ini "" bisa sangat besar dan isi bervariasi. Perubahan sosial terjadi ketika individu atau kelompok memilih untuk melawan norma-norma sosial. Perubahan sosial dengan cara ini tidak berarti, bahwa perubahan moral atau nilai-nilai telah terjadi.

• Perubahan struktur sosial : di alam , di lembaga-lembaga sosial , pada perilaku sosial atau hubungan sosial dari sebuah masyarakat , komunitas orang dan sebagainya.
• Ketika perilaku pola perubahan dalam jumlah besar, dan perubahan ini terlihat dan berkelanjutan: sekali ada penyimpangan dari nilai-nilai budaya-warisan, pemberontakan terhadap sistem mapan dapat menyebabkan, mengakibatkan perubahan dalam tatanan sosial .
• Setiap peristiwa atau tindakan yang mempengaruhi sekelompok individu yang memiliki nilai-nilai bersama atau karakteristik.
• Kisah advokasi yang menyebabkan perubahan masyarakat secara subyektif dianggap sebagai normatif diinginkan.
Salah satu yang populer dan ringkas definisi perubahan sosial sebagian besar disediakan oleh Charles L. Harper dalam bukunya Exploring perubahan sosial ( 1993 ), dimana ditandai sebagai perubahan yang signifikan "struktur sosial dan pola budaya melalui waktu". Dia selanjutnya menjelaskan bahwa struktur sosial terdiri dari "jaringan terus-menerus dari hubungan sosial" di mana interaksi antara orang-orang atau kelompok telah menjadi repetitif. Perubahan yang dihasilkan dapat mempengaruhi segala sesuatu dari populasi ke ekonomi , yang, begitu terjadi, bersama orang lain seperti industrialisasi dan pergeseran norma-norma budaya dan nilai-nilai, juga didirikan agen perubahan sosial.
Istilah ini digunakan dalam studi sejarah , sosiologi , ekonomi dan politik , dan mencakup topik seperti keberhasilan atau kegagalan sistem politik yang berbeda, globalisasi , demokratisasi , pembangunan dan pertumbuhan ekonomi .. Istilah ini dapat mencakup konsep seluas revolusi dan pergeseran paradigma , sampai ke sempit perubahan seperti penyebab tertentu dalam kota kecil pemerintah.
Konsep perubahan sosial mengimplikasikan pengukuran beberapa karakteristik dari kelompok individu. Sementara istilah ini biasanya diterapkan pada perubahan yang bermanfaat bagi masyarakat, juga dapat mengakibatkan efek samping negatif dan konsekuensi yang merusak atau menghilangkan ada cara hidup yang dianggap positif.
Perubahan sosial merupakan topik dalam sosiologi dan pekerjaan sosial , tapi juga melibatkan ilmu politik , ekonomi , sejarah , antropologi dan banyak lainnya ilmu-ilmu sosial . Di antara banyak cara untuk menciptakan perubahan sosial adalah tindakan langsung , protes , advokasi , organisasi masyarakat , praktek masyarakat , revolusi , dan aktivisme politik . Sosiologi lahir dari transformasi yang merebut urutan industrialisasi sosial Barat jauh dari karakteristik cara hidup masyarakat sebelumnya. Dunia yang diciptakan oleh perubahan ini adalah objek utama yang menjadi perhatian analisis sosiologis. Laju perubahan sosial terus mempercepat, dan adalah mungkin bahwa kita berdiri di ambang transisi sebagai signifikan yang terjadi pada abad kedelapan belas dan kesembilanbelas.

http://antoniyuzar.wordpress.com/2010/05/13/sosiologi-pendidikan-2/