Jumat, 24 Desember 2010

HERMENEUTIKA


HERMENEUTIKA  AL-QUR’AN

Pendekatan Baru dalam Memahami Kehendak Tuhan dalam menjawab permasalahan sosial kekinian


A.     SEMIOTIKA AL QUR’AN

Diskursus seputar Al-Qur’an dan penafsirannya merupakan diskursus yang tak pernah mengenal kata usai. Hal ini dikarenakan keyakinan yang mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah salih li kulli zaman wa makan (relevan bagi ruang dan waktu). Dan Al-Qur’an yang katanya selalu menampilkan pemaknaan (sisi lain) yang berbeda dengan penafsiran sebelumnya. Dalam bahasa lain, selalu memberikan hal-hal yang inovatif, yang absah dalam setiap gaya penafsiran.
Dalam khazanah ilm Al-Qur’an ada dua cara untuk memahami Al-Qur’an, yaitu tafsir dan takwil. Tafsir dikenal sebagai cara mengurai bahasa, konteks dan pesan-pesan moral yang terkandung dalam teks atau nash kitab suci. Disini teks dikatakan “subjek”. Sedangkan takwil adalah cara untuk memahami teks dengan menjadikan teks, atau lebih tepat di sebut pemahaman, pemaknaan dan interpretasi terhadap teks, sebagai “objek”.1 kajian takwil kurang diminati oleh banyak kalangan karena anggapan dari studi mainstrem studi keislaman yang sudah berjalan bahwa ilmu-ilmu Al-Qur’an telah matang dan baku. Maka tidak perlu mengotak-atiknya. Dan disini kita akan mencoba menguak semiotika Al-Qur’an yang lebih banyak dimotori oleh Nasr Hamid Abu Zaid dan Muhammad Arkoun.
Semiotika Al-Qur’an disini akan lebih banyak mengetengahkan tentang analisa semiotika teks. Yang mana teks (yang dianggap sakral,baku) itu perlu dikaji ulang. Karena bahasa Al-Qur’an secara umum dan khusus terdiri dari sign (tanda) dan simbol-simbol, yang mana sifatnya arbriter konvensional.
Dengan demikian dapat dipahami Al-Qur’an merupakan paradigma transformasi budaya. Tranformasi jika menurut kuntowijoyo, mula-mula berawal dari sentimen kolektif berdasarkan iman dan nilai tauhid yang memunculkan suatu komunitas yang disebut jama’ah atau lebih besar lagi ummah, yang sifatnya kepemimpinan2. Dengan demikian, proses transformasi itu mengikuti alur kausalitas yang berawal dari struktur budaya yang berlanjut ke struktur sosial dan akhirnya berjuang pada struktur teknis.
Dari sini pasti akan menimbulkan anomali. Maka perlu ada segi yang dapat dipahami dan alasan yang masuk akal bagi pernyataan itu. Menanggapi hal ini maka yang harus dijelaskan adalah bagaimana menampakkan fakta sejarah dan interaksi yang diciptakan teks Al-Qur’an dengan realitas sosial budaya saat itu. Dan kemudian mencoba menyadari akan adanya pluralitas ma’na yang dilahirkan oleh teks tanpa ada intervensi dari apapun.
Sehingga diperlukan tinjauan kritis tentang Al-Qur’an yang selama ini ummat Islam hanya membebek atau mengganggap baku teks Al-Qur’an yang dianggap sakral itu, yang kemudian enggan untuk mendongkrak kepercayaan yang sifatnya beritage (warisan).
Fakta Sejarah dan Interaksi yang Diciptakan Teks Al-Qur’an
Dalam semiotika ilmu tentang tanda (sign) atau ilmu yang mempelajari perkembangan sign dalam masyarakat3,Arkoun berusaha untuk menunjukkan fakta sejarah tentang bahasa Al-Qur’an dan kandungannya. Begitu juga Nasr Hamid mengungkapkan bahwa terlepas dari sumber illahiyahnya, teks Al-Qur’an mendasarkan acuannya pada sistem kebahasaan yang kolektif yang melatarinya, yaitu Bahasa arab 6 M. sehingga Al-Qur’an dapat dikatakan terdiri atas kata-kata yang mengacu pada figur sejarah tertentu. Sehingga akan muncul pertanyaan bagaimana kita bisa berhubungan dengan hal yang sakral, spiritual, transendental dan ontologis, ketika kita wajib untuk memperhatikan bahwa semua kosa kata yang berhubungan dengan hal tersebut yang seharusnya mengacu pada nilai-nilai stabil dan immaterial, tunduk pada dampak fakta sejarah. Dan praktek-praktek umum yang mengutip Al-Qur’an hari ini hanya memanipulasi semiotika dan fundamentalis, karena hal tersebut membantu kaum muslim mengisolasikan Al-Qur’an dari sosio historis dan linguistik secara sengaja membentuk konteks mereka sendiri untuk membuat Al-Qur’an relevan.
Dalam arti ini, teks Al-Qur’an sesungguhnya hanya bagian saja dari semiotika sosial, yang berlaku pada zamannya dan mendapat pegertian disana. Begitu juga teks Al-Qur’an dipahami sebagai pengungkapan individual “parole” dari sistem kebahasaan kolekif, bukanlah teks yang pasif dan menyalin begitu saja apa yang sudah baku dan mapan dalam realitas, melainkan teks yang mampu menciptakan sistem linguistiknya sendiri yang spesifik, yang bukan saja menyimpang dari bahasa induknya, tetapi juga mengubah dan mentranformasikannya. Dari sini dapat digambarkan interaksi dan dialektika teks dengan realita sosial budayanya, yakni pertama ketika teks Al-Qur’an membentuk dan merekontruksikan diri secara struktural dalam sistem budaya yang melatarinya, dimana sistem bahasa merupakan salah satu bagiannya. Dan inilah yang disebut Abu Zayd sebagai periode keterbentukan (marhalah at-tasyakkul) yang menggambarkan keberadaan teks sebagai “Produk Budaya”. Kedua, ketika teks Al-Qur’an membentuk dan mengkontruksi ulang sistem budayanya, yaitu dengan menciptakan sistem kebahasaan spesifik yang menyimpang dari bahasa induknya, dan kemudian menimbulkan efek perubahan pada sistem kebudayaan lain. Dan ini disebut sebagai pembentukan (marhalah at-tasykil). Teks yang semula merupakan produk kebudayaan, kini berubah menjadi produsen kebudayaan.
Padahal teks sejati menurut Abu Zaid adalah teks yang mampu membebaskan diri dari konteks semula dimana dia diproduksi dan lantas memunculkan vitalitasnya sendiri, terlepas dari norma-norma yang berasal dari luar. untuk lebih jelasnya dari aspek diatas dan kaitannya dengan sistem budayanya dapat di gambarkan dalam bagan berikut ini:
Sistem sosial budaya teks Sistem sosial budaya
Subjek Objek
Dari sini jelas, teks pada satu sisi merupakan objek dan produk dari sistem sosial budaya dimana ia bergabung di dalamnya, di sisi lain teks merupakan subjek yang mengubah sistem sosial budaya yang bersangkutan. Sehingga teks sangat dahsyat mampu menimbulkan perubahan dahsyat pada kebudayaannya. Dan perubahan ini dimulai dari perubahan kode bahasa yang dibentuk sedemikian rupa sehingga mengguncang konsepsi budaya yang kemudian di bidang sosial politik dan ekonomi.4
Istilah kode mendapat peranan yang cukup memadai. Dalam semiatika struktural kode adalah cara bagaimana tanda-tanda dalam sebuah teks dapat mengangkat makna-makna konvensional yang sudah ada. Dan disini, tidak ada tempat bagi permainan kode-kode berkaitan dengan eksistensi sebuah kode, Umberto ECO mengungkapkan bahwa sebuah kode hanya dapat dikatakan eksis, bila ada seperangkat kemungkinan makna yang dapat dihasilkannya, yang dapat diperkirakan makna tersebut berdasarkan relasi antar penanda dan petandanya5 . Adapun tanda-tanda yang digunakan dan bagaimanapun cara ia dikombinasikan lewat kode-kode, makna-makna tertentu harus diasumsikan dari pengombinasian kode-kode tersebut. Dan yang menarik pula Al-Qur’an yang berupaya menjadikan bahasa induk sebagai bahasa agama. Walau belum bisa terealisir secara mapan melalui transformasi makna.
Dengan demikian menurut Abu Zayd ada dua segi yang perlu dijelaskan: 1. Struktur teks. 2. Proses resepsi teks oleh pembaca. Dari segi pertama Struktur teks Al-Qur’an mentransformasikan semua tradisi keagamaan sebelumnya menjadi tanda yang menunjukkan cara yang berbeda-beda pada kebenaran tunggal yang absolut dan universal.
Tradisi kebahasaan disini adalah bahasa sebagai sistem tanda yang didalamnya terkandung unsur “penanda” dan “petanda” sebagai 2 segi dari 1 kenyataan. Disini semua sistem kebahasaan adalah “penanda”, untuk sistem budaya “petanda”. Dalam struktur teks sistem budaya “petanda’ yang tercermin dalam linguistik dalam sistem bahasa “penanda” beralih menjadi tanda-tanda semiotik inilah yang dimaksud proses semiosis, yaitu perubahan sistem bahasa menjadi tanda-tanda semiotik di dalam sistem yang lain.
Ma’na Baru Dapat Dilahirkan Oleh Teks Tanpa Ada Intervensi dari Apapun.
Secara umum dan khusus bahasa Al-Qur’an terdiri dari sign (tanda) dan simbol-simbol. Tanda-tanda dan simbol-simbol ini ketika dilihat dari kacamata semiotika, mengacu pada objeknya secara arbitrer dan berdasarkan keputusan konvensi dalam sebuah masyarakat, yakni tanda-tanda dan simbol-simbol tersebut tidak mempunyai hubungan yang natural dengan apa yang dilambangkan (Objeknya), tidak terkecuali B. arab sebagai bahasa Al-Qur’an dalam hal ini. Artinya, mengacu pada pembahasan yang awal bahwa Al-Qur’an adalah produk budaya. Artinya teks-teks Al-Qur’an terbentuk dalam realita dan budaya selama kurang lebih 20 tahun. Al-Qur’an jelas menggunakan B. Arab, dan tidak mungkin berbicara tentang bahasa terlepas dari relitas masyarakat dan budayanya.
Dengan demikian dampaknya, tidaklah mungkin berbicara tentang teks al qur’an terlepas dari realitas dan budaya masyarakat ketika itu. Sehingga pula mempengaruhi pada metode penafsiran yang menggunakan pendekatan historisitas budaya. Padahal ketika kajian historisitas di gunakan, maka akan dipengaruhi pandangan, metode dan ideologinya. Sebab ketika mengaplikasikan metode ini ia akan terpaksa memilih sebagian fakta sejarah dan meninggalkan sebagian fakta-fakta lain. Seorang sejarawan tidak mngkin menampilkan semua fakta sejarah.
Dari sini terdapat gambaran bahwa selain upaya mengungkapkan ma’na teks dalam konteks historisnya, pembacaannya harus diupayakan menghasilkan signifgikansi baru dari teks. Yaitu pengertian teks dalam konteks sosio kultural saat ini yang dapat di tarik dari ma’na historis teks itu sendiri. Sehingga pembacaanya berangkat dari realitas kontemporer dengan cara menentukan horison harapan pembaca untuk didialogkan dengan teks pertama, dialog degan teks ini dilakukan dengan memperhitungkan perwujudan teks pada tataran mimetiknya, kedua meningkat pada tataran semiotik teks dalam keseluruan latar tradisi teks dan sistem budaya yang disimpanginya, ketiga interaksi ma’na historis teks pada kedua aspeknya ini dengan pembacaan kontemporernya memugkinkan untuk menghasilkan signifikansi baru dari teks untuk kesejarahan saat ini, keempat signifikansi baru ini selanjutnya dapat menjadi titik tolak baru untuk malakukan dialog ulang dengan teks dalam proses tanpa henti. 6
Tinjauan Kritis; Asumsi Akhir Sementara
Dalam melakukan kajian terhadap teks (al qur’an) tidak akan bisa terlepas oleh historis sosiologis ontologis. Sebab munculnya al qur’an yang mampu menggetarkan kalangan umat islam lebih-lebih mampu membius atau menjadikan umat islam tunduk takluk tanpa mampu mempertanyakannya. Karena paten bahwa teks alqur’an adalah kalam alloh yang baku dan dilarang keras untuk mengotak-atiknya. Namun disini kita sebagai (yang dikatakan) insan kritis mencoba menguak teks yang terkandung dalam alqur’an melalui metode semiotika.
Seperti yang telah dibahas di awal bahwa aspek historis sangat urgen disini. Sebab fakta tentang kita dan bukan kita adalah dalam sejarah. Dan ini bersifat ontologis bukan aksidental. Perantara atau kendaraan untuk menelusuri sejarah yang digunakan untuk memindahkan dari masa lampau ke masa sekarang kemudian kemasa depan adalah bahasa. sehingga kesentralitas bahasa dan sejarah menimbulkan pertanyaan bagaimana teks yang diwahyukan pada masa dan tempat yang jauh dari masa dan tempat kita sekarang dapat digunakan untuk mengatur orang yang hidup dalam sebuah konteks yang begitu jauh dan berbeda dari asal teks tersebut?dengan kata lain bagaimana seseorang dapat memahami tentang apa yang diyakini itu kekal (kitab suci) dalam sejarah yang selalu berubah-ubah?
Pertanyaan ini pasti menimbulkan anomali tersendiri. Dalam semiotika (ilmu yang mengulas tentang tanda (sign) atau yang mempelajari sign dalam masyarakat itu bersifat arbitrer konvensional. Artinya teks itu tidak lepas dari tanda-tanda yang kemudian dikonvensionalkan, akhhirnya tersusun dalam 1 mushaf yang kita yakini kebenaranya. Jika kita mencoba tidak mengelak bahwasanya menurut Umberto Eco ilmu semiotika itu digunakan untuk berdusta. Secara implisit bahwa bila sebuah teori kedustaan, maka sekaligus adalah teori kebenaran. Sebab bila sebuah tanda tidak dapat digunakan untuk mengungkapkan kebenaran maka ia tidak dapat pula digunakan untuk mengungkapkan teori kedustaan. Dan kaitanya dengan terminilogi semiotika terdapat jurang yang dalam antara sebuah tanda(sign) dan refresinya pada realitas (referent). Konsep (concept), isi (contens), atau makna (meaning) dari apa yang ditulis atau dibicarakan tidak sesuai dengan realitas yang dilukiskan.Dengan demikian kita sekarang mencoba untuk mendustakan teks.yang secara implisit membenarkan teks. Al qur’an turun bersifat langue bukan parole. Dan nabi muhammad seorang ummi bukan penerima pasif wehyu tetapi juga mengolah redaksi al qur’an , sesuai kondisinya sesuai manusia biasa. Namun ini memang menjebol konsep dasar yang diyakini umat islam bahwa nabi adalah ma’sum dan sebagai penerima pasif yang tidak mengurangi atau manambah apa yang diwahyukan. Seperti dalam surat al haqqoh ayat 44-46, alloh memberikan ancaman pada Nabi Muhammad.
”seandainya dia (muhammad) mengadakan sebagian perkataan atas (nama) Kami, niscaya kami pegang dia pada tangan kananya, kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya”.
Maka teks al qur’an memang dalam bahasa arab dan beberapa diantaranya berbicara tentang budaya tetapi alqur’an tidak tunduk pada budaya ketika itu. Tetapi al qur’an yang merombak membuat inovasi baru pada budaya saat itu. Namun dengan menempatkan muhamad sebagai pengarang al qur’an dan menyebutkan alqur’an sebagai cultural product, artinya menurut nasr hamid bahwa teks apapun bentuknya adalah produk budaya. Al qur’an terbentuk dalam realita dalam kurun waktu 20 tahun dan pasti memakai bahasa arab, dan tidaklah mungkin berbicara tentang bahasa terlepas dari realitas masyarakat dan budayanya. Dan hal ini berdampak pada metode penafsiran yang sifatnya historisitas budaya. Metode dan pola pikir apa untuk memahami sejarah. Dan ini sulit keluar dari subyektifitas, yang pasti dia akan memilih sebagian fakta-fakta dan meninggalkan fakta-fakta yang lain. Yang tidak terlepas dari pola pikir, metode dan ideologinya.
Sehingga dari sini kami sabagai penulis mohon maaf apabila terdapat kelancangan bahasa yang kami berikan menyinggung perasaan para pembaca. Dan ini adalah karya kami yang mencoba menerapkan mata kuliah semiotika yang terhiasi dari kadar kritis kami yang mungkin pasti tidak terlepas dari kesalahan.
DAFTAR PUSTAKA
Piliang, Yasraf Amir. Tanpa tahun. Hipersemiotika “Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Ma’na. Yogyakarta: Jala Sutra
Putra, Heddi Shri Ahimsa. 2001. Strukturalisme Levi Strauss. Yogyakarta: Galang Press
Syamsudin, Sahiron. Dkk. 2003. Hermeneutika Al Qur’an: Madzab Yogya. Yogyakarta. Islamika-Forstudia.
Zaid, Nashr Hamid Abu. Tanpa tahun. Isykaliyyat-al qiro’at wa aliyyath at ta’wil. Terjemahan oleh Moh Mansur dan khorian Nadhiliyyin. 2004. Hermeneutika Inklusif. Jakarta Selatan: ICIP
Hermeneutik Dan Fatwa
Pendekatan Hermeneutik Dalam Studi Fatwa-Fatwa Keagamaan : Proses Negosiasi Komunitas Pencari Makna Teks, Pengarang Dan Pembaca
“Oleh karena keadaan dan lingkungan sosial (juga ekonomi, politik, budaya, Iptek) berubah dan berkembang, maka peran yang dimainkan oleh berbagai riwayat akan berubah dan berkembang juga. Sebuah riwayat yang hanya memiliki sedikit pengaruh sosial-politik di suatu masa tertentu dapat berubah akan memiliki pengaruh begitu besar pada masa yang lain. Sebuah riwayat yang cukup masuk akal untuk dipahami, dipegangi dan dipedomani pada suatu masa tertentu dapat saja berubah menjadi tidak masuk akal untuk dipedomani pada masa yang lain”
Teks, Pengarang dan Pembaca
Bagi banyak kalangan, kajian kritis keagamaan lewat pendekatan hermeneutik tidak begitu populer  dan untuk kalangan tertentu justru cenderung dihindari. Jangankan menggunakan dan menerapkannya dalam kajian-kajian akademik tentang kehidupan sosial-keagamaan, mendengar istilah hermenutik pun orang sudah antipati. Macam-macam konotasi yang dilekatkan orang terhadap hermeneutik. Yang paling mudah diingat adalah predikat relativisme atau istilah yang populer digunakan di tanah air adalah pendangkalan akidah. Sebagian lain dikaitkan dengan pengaruh kajian Biblical Studies di lingkungan Kristen yang hendak diterapkan dalam kajian al-Qur’an di lingkungan Islam. Lewat buku Speking in God’s name : Islamic Law, Authority and Women, Khaled Abou El Fadl (guru besar hukum Islam di UCLA School of law, Amerika Serikat) hendak menyatakan dan menegaskan bahwa pemahanan tentang hermeneutik sebenarnya tidaklah seperti itu. Dalam buku yang ditulis dalam bahasa Inggris setebal  361 halaman dan terjemah Indonesia menjadi Atas Nama Tuhan : Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif 617 halaman, ia hendak menjelaskan secara akademis dan memotret secara lebih dekat bagaimana sesungguhnya proses dan prosedur cara kerja pendekatan hermeneutik : Pertanyaan pokoknya adalah bagaimana sesungguhnya hubungan antara Teks (Text) atau nas, Penulis atau Pengarang (Author) dan Pembaca (Reader) dalam dinamika pergumulan pemikiran hukum Islam pada khususnya dan pemikiran Islam umumnya. Lebih khusus lagi, ia menyoroti secara lebih tajam bagaimana sesungguhnya mekanisme perumusan dan pengambilan keputusan fatwa-fatwa yang dikeluarkan baik oleh pribadi-pribadi, tokoh-tokoh masyarakat dan lebih-lebih lembaga-lembaga dan organisasi keagamaan pada umumnya. “Kompetensi” dasar seperti apa yang sesungguhnya dimiliki oleh seseorang, kelompok, organisasi-organisasi atau institusi-institusi keagamaan yang berani mengatasnamakan diri atau lembaganya sebagai pemegang tunggal penafsir dan sekaligus pelaksana perintah “Tuhan”?. Alat uji sahih seperti apa yang diperlukan untuk mengetes atau menguji validitas klaim otoritas ketuhanan yang melekat dalam fatwa-fatwa keagamaan?. Mengapa tiba-tiba muncul fenomena umum dalam dunia praxis keagamaan Islam era modern apa yang ia sebut sebagai “authoritarianisme”, atau  lebih tepat disebut “menggunakan kekuasaan Tuhan” (Author) untuk membenarkan tindakan sewenang-wenang Pembaca (Reader) dalam memahami dan menginterpretasikan teks (Text) dan ditindaklanjuti dengan keinginan untuk mengimplementasikannya dalam kehidupan publik dengan menepikan begitu saja untuk tidak menyebut menyingkirkan jenis pemahaman dan interpretasi yang dikemukakan oleh pihak lain dalam dinamika pergumulan dan percaturan fatwa-fatwa keagamaan dalam kehidupan bermasyarakat secara luas?.
Berbeda dari tradisi hermeneutika di lingkungan Biblical Studies, hermeneutika dalam studi keislaman, khususnya yang terurai dalam buku Khaled Abou El-Fadl, dipicu oleh persoalan penafsiran bias gender dalam fatwa-fatwa keagamaan Islam yang dikeluarkan oleh ahli-ahli hukum agama Islam pada CRLO (Permanent Council for Scientific Research and Legal Opinions/al-Lajnah al-daimah li al-buhuts al-ilmiyyah wa al-ifta’) yang dibaca secara luas dan sekaligus dirisaukan oleh para akademisi di belahan dunia yang berpenduduk mayoritas muslim dan lebih-lebih dalam konteks masyarakat minoritas Muslim yang tinggal di dunia Barat. Fatwa-fatwa keagamaan Islam tentang wanita yang dianggap sangat problematik oleh Khaled (selanjutnya, kadang saya sebut penulis) antara lain fatwa keagamaan Islam tentang pelarangan wanita mengunjungi makam suami, wanita mengeraskan suara dalam berdo’a, wanita mengendarai atau stir mobil sendiri, wanita harus didampingi seorang pria mahramnya. Fatwa-fatwa tersebut dianggap oleh penulis buku ini sebagai tindakan merendahkan untuk tidak menyebutnya menindas wanita yang tidak dapat ditolerir pada era sekarang ini. Fatwa-fatwa yang berlindung dibawah teks (nas) mengklaim bahwa itulah yang sebenarnya “dihendaki oleh Tuhan”. Sampai-sampai Khaled bertanya “jika memang para pria yang lemah moralnya, mengapa harus wanita yang menderita?”. Jika pria memang lemah, mengapa mereka pula yang harus memimpin keluarga dan negara?.
Begitu juga pendapat atau fatwa keagamaan yang mengatakan bahwa wanita harus berdo’a atau melakukan salat di suatu tempat yang paling tersembunyi, tak tampak oleh pandangan, atau wanita harus menyerahkan seluruh jiwa-badannya kepada suami kapanpun suami menghendakinya, atau keselamatan wanita sangat tergantung pada kepuasan atau keinginan suami, atau wanita akan mengisi sebahagian besar tempat yang tersedia bagi penduduk neraka, kesemuanya ini dianggap oleh penulis sebagai tindakan offensif-oppressif dan merendahkan wanita yang tidak berdasar secara moral. Apa yang digelisahkan dan dipertanyakan oleh Khaled Abou El Fadl sebenarnya bukanlah hal yang sama sekali baru karena hampir bersamaan waktunya, pertanyaan serupa juga muncul di tanah air. Pusat-pusat Studi Wanita di lingkungan Institut Agama Islam Negeri dan Lembaga-lembaga Studi Wanita yang lain di berbagai Perguruan Tinggi dan Lembaga Swadaya Masyarakat telah mengupasnya. Yang terasa baru dari penulis buku ini adalah cara mendekati dan menelaah persoalan ini lewat pendekatan hermeneutis yang mendalam-tajam, serta implikasinya dalam studi keislaman secara menyeluruh serta konsekwensinya dalam praktik keagamaan Islam dalam kehidupan sehari-hari dalam berbagai persoalan dan isu-isu yang lain.
Persoalan penafsiran nas-nas keagamaan Islam yang bias gender ini dijadikan penulis sebagai dasar pijakan untuk menyelami dan mendalami lebih lanjut bagaimana sesungguhnya mekanisme penafsiran, pemahaman, perumusan, pemilihan, pengambilan kesimpulan dan pengambil keputusan yang dilakukan oleh seseorang, keluarga, kelompok, organisasi dan institusi keagamaan yang membidangi pemikiran hukum Islam. Dari sini persoalan pelik muncul. Pertanyaan mendesak seperti diungkap di depan yang dikemukakan oleh pendekatan hermeneutik adalah : Mengapa dalam dunia modern sekarang ini terdapat gejala umum yang mudah sekali ditangkap diberbagai tempat adanya kecenderungan yang kuat oleh umat beragama, khususnya, Islam untuk mengambilalih begitu saja kekuasaan (otoritas) Pengarang (Author), dalam hal ini adalah otoritas Ketuhanan, untuk membenarkan tindakan sewenang-wenang yang absolut (despotism) yang dilakukan oleh Pembaca (Reader) teks-teks atau nas-nas keagamaan?. Dengan mengklaim bahwa pemahaman yang paling relevan dan paling benar hanyalah “keinginan Pengarang” (the Will of Author), maka dengan mudah para Pembaca (Reader) menggantikan posisi Pengarang (Author) dan menempatkan dirinya atau lembaganya sebagai satu-satunya pemilik absolut sumber otoritas kebenaran. Disini lalu terjadi proses perubahan secara instan yang sangat cepat dan menyolok, yaitu metamorfosis atau menyatunya “Pembaca” (The Reader) dan “Pengarang” (The Author), dalam arti bahwa Pembaca tanpa peduli dengan keterbatasan-keterbatasan yang melekat dalam diri dan institusinya menjadi Tuhan (Author) yang tidak terbatas.
Khaled Abou El Fadl, berulangkali menjelaskan dalam bukunya bahwa penggantian secara halus dan lebih-lebih jika dilakukan secara kasar, kekuasaan atau otoritas Tuhan (Author) oleh Pembaca (Reader) adalah merupakan tindakan dispotisme dan sekaligus merupakan bentuk penyelewengan (corruption) yang nyata dari logika hukum Islam yang tidak bisa dibenarkan begitu saja, tanpa kritik yang tajam dari community of interpreters (masyarakat penafsir) yang ada disekitarnya.
Permasalahan teks : ketertutupan atau keterbukaan makna
Satu hal yang tidak dapat dihindari oleh siapapun adalah suatu kenyataan bahwa perintah-perintah Tuhan (Divine instruction) selalu bertumpu pada “teks” (Kitabah; qauliyyah), sedang teks itu sendiri sepenuhnya bersandar pada alat perantara “bahasa” (lughah). Bahasa inilah yang menjadi sumber silang pendapat sepanjang masa, karena ia tidak lain dan tidak bukan adalah hasil kesepakatan komunitas dan ciptaan budaya manusia. Huruf, kata, kalimat, anak kalimat, kata sifat,  sangat tergantung pada sistem simbol. Sedang simbol itu sendiri memerlukan bantuan dan dukungan asosiasi-asosiasi tertentu, gambaran-gambaran, juga emosi para pendengar, yang sangat bisa jadi berubah dari waktu ke waktu.
Dengan begitu tampaknya “bahasa” memiliki realitas objektif tersendiri, karena maknanya tidak dapat ditentukan secara efektif dan sepihak, baik oleh Author (Pengarang) maupun oleh Pembaca (Reader). Ketika seseorang atau kelompok menggunakan perantara bahasa sebagai media komunikasi, dialog atau menuangkan buah pikiran, secara otomatis mereka harus memahami keterbatasan-keterbatasan yang melekat didalamnya. Keterbatasan-keterbatasan tersebut dibuat secara alami oleh para pengguna bahasa itu sendiri, baik oleh pengalaman-pengalaman pendengar secara sosial maupun kultural. Oleh karena kompleksnya persoalan yang dihadapi oleh masyarakat penentu makna, maka pemahaman teks tidak dapat ditentukan oleh kelompok yang manapun, baik oleh Pengarang (Author) maupun oleh Pembaca (Reader) secara sepihak. Pemahaman teks seharusnya merupakan produk interaksi yang hidup antara Pengarang (Author), Teks (Text), dan Pembaca (Reader). Ijtihad sebenarnya terkandung arti adanya peran aktif dan interaksi yang hidup dan dinamis antara ketiga elemen pelaku tersebut. Dengan demikian, ada proses penyeimbangan antar berbagai muatan kepentingan yang dibawa oleh masing-masing pihak dan terjadi proses negosiasi (negotiating process) yang terus menerus, tak kenal henti, antara ketiga pihak. Setiap aktor harus dihormati dan peran masing-masing pihak harus dipertimbangkan secara sungguh-sungguh. Setiap pihak yang terlibat dalam diskursus tidak diperbolehkan menguasai, menekan dan mendominasi pihak lain dalam menentukan makna teks yang ingin dicari secara bersama-sama. Dengan demikian, proses pencarian makna akan tetap terus terbuka lebar sampai kapanpun, dan tidak ada finalitas yang berujung pada kesewenang-wenang disini. Inilah sesungguhnya makna terdalam dari ungkapan dalam hukum Islam bahwa “setiap mujtahid adalah benar”. Jika kemungkinan munculnya pemahaman baru tertutup, maka adagium tadi tidak ada gunanya.
Permasalahan hubungan antara Pengarang (Author) dan Pembaca (Reader) : Menghindari kesewenang-wenangan dan pemaksaan pemahaman
Ketika proses pemahaman teks yang sesungguhnya bersifat interpretif (banyak pilihan makna dan penafsiran) ditutup (pintu ijtihad ditutup), maka seseorang atau kelompok telah memasuki wilayah tindakan yang bersifat sewenang-wenang (despotic). Jika seorang Pembaca (Reader) mencoba menutup rapat-rapat teks dalam pangkuan makna tertentu atau memaksa tafsiran tunggal, maka tindakan ini beresiko tinggi untuk melanggar integritas Pengarang (Author) dan bahkan Teks itu sendiri.
Biasanya, seorang Pembaca (Reader), baik sebagai individu, keluarga, kelompok,  masyarakat, organisasi atau institusi penyimpul fatwa keagamaan (seperti Permanent Council for Scientific Research and Legal Opinion (CRLO), Bahsul Masail, Majlis Tarjih, Dewan Hisbah, Komisi fatwa MUI), madzhab, aliran pemikiran keagamaan tertentu tergoda untuk menyatakan : “Saya (individu, kelompok, organisasi, institusi) mengerti benar apa yang dimaksud oleh Pengarang (Author), dan saya (individu, kelompok, organisasi, institusi) juga mengerti sepenuhnya apa yang dimaksud oleh Teks, maka pengetahuan saya tersebut tidak bisa tidak pasti dan harus bersifat tegas dan final”. Tipe pernyataan baik secara eksplisit maupun implisit seperti itu mempunyai asumsi kuat bahwa Pembaca (Reader) merasa diberi mandat dan diberi kuasa penuh untuk mengakhiri peran yang semestinya juga dimainkan oleh Pengarang (Author) dan juga oleh Teks (nas). Penentuan makna atau pengambilan kesimpulan secara sepihak oleh Pembaca (Reader) seperti itu menggantikan dan sekaligus menghilangkan peran Pengarang (Author) dan Teks (Text). Penentuan makna secara sepihak inilah sebagai jenis “interpretive despotism” (kesewenang-wenang penafsiran). Dengan begitu apa yang dimaksud oleh Khaled dengan “authoritarianism” adalah tindakan seseorang, kelompok atau lembaga yang “menutup rapat-rapat” atau membatasi Keinginan Tuhan (the Will of the Divine), atau keinginan terdalam maksud teks (Text) dalam suatu batasan ketentuan tertentu, dan kemudian menyajikan ketentuan-ketentuan tersebut sebagai sesuatu hal yang tidak dapat dihindari, final, dan merupakan hasil akhir yang tidak dapat dibantah.
Untuk mencegah dan menghindarkan diri, kelompok, dan lebih-lebih organisasi keagamaan dari tindakan sewenang-wenang yang secara tergesa-gesa mengatasnamakan sebagai penerima perintah Tuhan, Khaled mengusulkan 5 persyaratan sebagai katup pengaman supaya tidak dengan mudah melakukan tindak sewenang-wenang dalam menentukan fatwa-fatwa keagamaan yaitu kemampuan dan keharusan seseorang, kelompok, organisasi atau lembaga untuk mengontrol dan mengendalikan diri (restrain), tulus hati (diligence), mempertimbangkan berbagai aspek yang terkait (comprehensiveness), mendahulukan tindakan yang masuk akal (reasonableness) dan kejujuran (honest). Kelima-limanya dijadikan sebagai acuan parameter uji sahih untuk meneliti berbagai kemungkinan pemaknaan teks sebelum pada akhirnya harus memutuskan dan merasa yakin bahwa dirinya memang mengemban sebagian perintah Tuhan.
Menghidupkan kembali peran yang berimbang antara Teks, Pengarang dan Pembaca
Dalam studi Kritik Literer (literary criticism) diperoleh penjelasan bahwa pengarang teks harus selalu mempertimbangkan apakah ia akan tetap berada pada kebiasaan tertentu ataukah harus melampaui kebiasaan-kebiasaan tersebut sehingga harus berani menghadapi berbagai konsekwensi yang ditimbulkan. Sesungguhnya, begitu sebuah teks dilahirkan, ia memiliki dunia kehidupan, hak-hak dan integritasnya sendiri.
Banyak teks mati baik di tangan para pengarangnya sendiri maupun di tangan para pembacanya. Teks-teks yang tidak mampu membebaskan diri dari tekanan kekuasaan pengarangnya atau tidak dapat memberi inspirasi segar bagi para pembacanya dengan berbagai tingkat subtilitasnya atau tidak mampu merangsang dengan berbagai nuansa makna yang terkandung di dalamnya akan mengalami nasib yang menjemukan, mudah ditebak, kaku dan tertutup. Sedangkan teks yang mampu menjaga keterbukaannya akan tetap hidup, relevan, dan bergetar kuat. Meskipun demikian, teks memerlukan bentuk lain dari gerak pembebasan. Teks memerlukan tidak hanya bebas dari lingkungan dan jeratan dominasi serta kekuasaan pengarangnya yang berbau paternalistik, tetapi juga harus dapat terbebas dari tindak sewenang-wenang para pembacanya yang menyebabkan sulit bernapas dan bergerak. Jika teks memang memegang peran penting dalam kehidupan, maka harus dipelihara adanya dinamika proses penentuan makna secara “demokratis”. Dengan begitu, makna tidak boleh digenggam, dicengkeram, dan ditentukan terlebih dahulu secara sepihak oleh salah satu atau beberapa aktor yang membelakanginya. Perimbangan kekuasaan dalam penentuan makna perlu terus menerus dijaga dan dipelihara antara Pengarang (Author), Pembaca (Reader) dan Teks (Text). Dominasi atau kekuasaan yang berlebih pada salah satu pihak akan menyebabkan kebuntuan intelektual (intellectual stagnation). Menurut Khaled, kebuntuan intelektual seperti itulah yang dipertontonkan dengan begitu jelas oleh fatwa-fatwa keagamaan Islam tentang wanita yang dikeluarkan oleh CRLO dalam menentukan makna teks secara sepihak.
Mungkinkah upaya mendinamisir pemaknaan teks dilakukan oleh umat Islam yang sejak semula corak kebudayaannya memang dikenal sebagai penyangga utama budaya teks (hadarah al-nas), yang dibedakan dari budaya ilmu dan budaya falsafah?. Kemungkinan itu tetap saja ada. Setidaknya ada dua pilar penyangga yang sesungguhnya dapat dimanfaatkan untuk membangkitkan kembali semangat ijtihad seperti diurai dimuka dan mengurai benang kusut yang membelenggu dinamika pemikiran Islam pada umumnya dan pemikiran hukum Islam khususnya. Dua pilar dimaksud adalah pilar normativitas dan pilar historisitas. Pilar normativitas diperoleh dari teks al-Qur’an, surat Yusuf ayat 76, yang menyatakan dengan tegas bahwasanya “wa fauqa kulli dzi ‘ilmin alim”, yang saya terjemahkan secara bebas sebagai berikut : “Dan diatas setiap orang, kelompok, organisasi atau institusi keagamaan yang merasa pandai, mesti ada orang, kelompok, organisasi, atau institusi keagamaan lain yang lebih pandai lagi”. Ayat ini dengan jelas menunjukkan bahwa tidak ada finalitas dalam beragama. Petunjuk al-Qur’an ini dengan tegas dan gamblang sangat bernuansa hermeneutis, sekaligus menepis anggapan sementara kalangan yang meragukan perlunya pendekatan hermeneutik dalam studi keislaman seperti diungkap dimuka. Tampak sekali bahwa adanya ruang relativitas dalam budaya Muslim dimanapun berada justru penting dan perlu digarisbawahi sekarang ini. Ruang relativitas tersebut sangat diperlukan untuk menghidupkan kembali semangat dan kemampuan mengoreksi dan memperbaiki paham, keyakinan, praktik-praktik ajaran agama, termasuk fatwa-fatwa keagamaan yang barangkali tidak sesuai dengan nafas atau ruh ajaran al-Qur’an dan semangat perkembangan jaman.
Pilar kedua diperoleh dari historisitas praktik budaya intelektual Muslim sepanjang abad. Prasa yang biasa dikutip oleh penulis dan pengarang Muslim di bagian akhir tulisannya “wa Allahu a’lam bi as-sawab” (Dan Allahlah yang lebih Mengetahui yang terbenar). Ungkapan ini juga sangat bernuansa hermeneutis. Namun disini perlu penafsiran dan pemaknaan baru, karena seringkali para penulis yag menggunakan prasa ini, dalam sikap hidup bermasyarakat dan sikap intelektualnya masih juga cenderung otoriter-angkuh. Kalimat ini menunjukkan bahwa setiap keputusan hukum yang diklaim pasti oleh pembuatnya sesungguhnya belum tentu dapat memenuhi rasa keadilan pemohonnya. Karena benturan antara keduanya yang sulit dikompromikan, intelektual Muslim lalu buru-buru bersandar kepada Tuhan sebagai penjamin terakhir kepastian dan keadilan. Sampai disini memang bagus, tetapi itu lebih cocok untuk era klasik yang menepikan dimensi sosiologis-antropologis-psikologis manusia. Pada era modern dan lebih lagi era postmodern, untuk mendekatkan “rasa keadilan” (dalam kasus ini adalah penafsiran bias gender dan kasus-kasus lain sejenis) dan “kepastian hukum” (fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh CRLO yang dianggap pasti dan final) haruslah melibatkan partisipasi seluruh masyarakat penafsir (community of interpreters). Dalam prosedur kerjanya, selain menggunakan bukti-bukti teks yang tersedia, juga memanfaatkan pengalaman kultural-sosiologis, mempertimbangkan kebiasan dan perangai psikologis manusia, mencermati nilai-nilai fundamental secara filosofis, dan kemajuan ilmu pengetahuan. Tanpa melibatkan komunitas atau sekelompok masyarakat penafsir dari berbagai latar belakang keahlian dan keilmuan, agaknya hukum Islam akan mudah terjebak pada authoritarianism dan keilmuan shari’ah yang berimplikasi pada keilmuan Tarbiyah berikut praktik pendidikannya dan keilmuan Dakwah berikut praktik bimbingan dan pengembangan masyarakatnya akan menghadapi tantangan serius pada era kontemporer.
Catatan terakhir
Kajian hukum Islam oleh Khaled Abou El Fadl lewat perspektif hermeneutik tergolong baru, tidak saja untuk pembaca Indonesia, tetapi juga untuk dunia Islam pada umumnya. Hermeneutika yang ia coba hadirkan dalam buku ini berbeda hari kajian hermeneutis yang ditawarkan oleh Fazlur Rahman, bahkan juga berbeda dari Farid Esack, dan Nasr Hamid Abu Zaid. Disini ada nuansa tersendiri yang hanya bisa diikuti langsung oleh pembaca yang budiman halaman demi halaman dalam buku ini dengan penuh kesabaran. Kajian hermeneutik yang ia tawarkan bersifat inter dan multidisipliner, lantaran melibatkan berbagai pendekatan : linguistik, interpretive social science, literary criticism, selain ilmu-ilmu keislaman yang baku sejak dari mustalah al-hadis, rijal al-hadis, fikih usul fikih, tafsir, kalam yang kemudian dipadukan dengan humaniora kontemporer.
Buku sejenis ini sangat ditunggu-tunggu oleh masyarakat pecinta ilmu-ilmu Syari’ah khususnya, dan Kajian Islam pada umumnya. Dengan bukunya ini Khaled ingin mengembalikan ilmu jurisprudensi Islam sebagai sebuah epistemologi dan sekaligus sebagai metode penelitian (a methodology of inquiry), bukan sebagai diskursus keilmuan Islam yang beraroma politis dan otoriter. Dia ingin menghidupkan kembali dan mengembangkan lebih lanjut diskursus klasik tentang peran ‘aql (intellect), fitrah (intuition), atau husn dan qubh (the moral dan immoral) yang dicetuskan oleh ulama-ulama Islam klasik dan dikembangkan lebih lanjut lewat pendekatan-pendekatan baru yang muncul belakangan. Wallahu a’lam bi al-sawab.


Al-Qur’an merupakan kitab suci yang diturunkan sebagai petunjuk dan rahmat kepada umat manusia. Keberadaannya, sebagaimana pernyataan al-Qur’an sendiri adalah bahwa ia shalih likulli zaman wa makan (fleksibel di segala waktu dan tempat). Semetara hadis merupakan aplikasi pemahaman Nabi terhadap al-Qur’an, dimana beliau merupakan sosok yang tahu betul tujuan ayat-ayat al-Qur’an diturunkan. Namun, kenyataannya, bagi umat Islam sendiri, untuk mendapatkan petunjuk dan rahmat al-Qur’an serta pemahaman terhadap hadis Nabi, bukan pekerjaan yang mudah dan membutuhkan segala upaya intelektual dan metodologi penefsiran yang cocok.
Sebenarnya, ulama-ulama salaf terdahulu, telah membentuk suatu metodologi sebagai upaya mendialogkan al-Qur’an-hadis dengan konteks mereka. Namun, ketika dibawa kepada konteks yang berbeda, metodologi itu tidak mampu lagi mendialogkan keduanya sebagaimana kebutuhan konteks yang baru. Untuk menjadikan keduanya terus berbicara, maka dibutuhkan metodologi baru yang bisa mengakomodasi perkembangan zaman sehingga keduanya menjadi elastis dan fleksibel. Dan hermeneutika, sebagai kajian interpretasi teks yang berasal dari barat, mengundang perhatian di kalangan para pemikir Islam untuk menjadikannya sebagai kajian terhadap al-Qur’an dan hadis.
Dalam catatan sejarah, kata hermeneutika, berasal dari dewa Yunani kuno yang bertugas menyampaikan berita dari Sang Maha Dewa kepada manusia. Dan menurut Hossein Nasr, Hermes itu tak lain adalah Nabi Indris a.s yang disebutkan dalam al-Qur’an. Peran Hermes, sebagai juru bicara tuhan, adalah merangkai kata dan makna yang berasal dari Tuhan agar pas dan mudah dipahami (dipakai) oleh manusia. Jadi, hermeneutika yang berasal dari peran Hermes ini dapat didefinisikan sebagai sebuah ilmu dan seni membangun makna melalui interpretasi rasional dan imajenatif dari bahan baku berupa teks.
Hermeneutika dalam tradisi barat, pada awalnya, merupakan bagian dari ilmu filologi, ilmu yang membahas tentang asal usul bahasa teks. Mulai pada abad 16, hermeneutika mengalami perkembangan dan memperoleh perhatian yang lebih akademis dan serius ketika di kalangan ilmuan gereja di eropa terlibat diskusi dan debat mengenai auntentisitas Bible. Memasuki abad ke 18, hermeneutika mulai dirasakan teman dan sekaligus tantangan bagi ilmu sosial, terutama sejarah dan sosiologi, karena hermeneutika mulai berbicara dan menggugat metode dan konsep ilmu sosial pada umumnya. Kemudian pada masa kini, hermeneutika diperbincangkan dalam kajian filsafat posmodernisme.
Selanjutnya, ketika kajian hermeneutika ini dibawa kedalam dunia Islam untuk mengkaji al-Qur’an dan hadis, keberadaannya pun diperdebatkan. Penolakan ditujukan dengan beberapa alasan. Pertama, dari aspek perkembangan historisnya, hermeneutika berasal dari Kristen, Barat dan tradisi filsafat sehingga tidak mustahil mengusung ideologi dan nilai-nilai Kristiani, Barat dan juga yang tidak pasti sesuai dengan Islam. Kedua, sebenarnya umat Islam telah memiliki metodologi sendiri dalam menginterinterpretasikan al-Qur’an dan hadis Nabi, yaitu Ulumul Qur’an dan Ulumul  Hadis. Namun, kehadiran buku ini akan menjawab kekhawatiran tersebut dengan menunjukkan bahwa, betapapun hermeneutika itu diadopsi dari barat, namun ketika ia berada di tangan orang Islam untuk diupayakan membantu menafsirkan al-Qur’an dan memahami hadis Nabi, maka ia akan berubah menjadi kajian yang bersifat Islami dan mempunyai ciri khas tersendiri dari produk hermeneutika barat pada umumnya. Segala sesuatu itu tergantung pada niat, dan, niat dari para pemikir Islam terhadap hermeneutika adalah agar al-Qur’an dan hadis Nabi dapat berdialog dengan zaman pembacanya, dan juga pemahaman yang dibangun bukan pemahaman yang bersifat parsial, berbias ideologis, tetapi pemahaman holistik yang menawarkan solusi bagi permasalahan kontemporer. Semangat inilah yang menjadikan kajian hermeneutika mengundang minat pemikir Islam setelah Ulumul Qur’an dan Ulumul Hadis dianggap sudah cukup mengkaji al-Qur’an dan hadis Nabi.
Dari para hermeneutika al-Qur’an, kita mendapati tokoh-tokoh dalam buku ini seperti Abu Hamid al-Ghazali, metode hermenutika para sufi, Fazlur Rahman, Muhammad Abid al-Jabiri, Nashr Hamid Abu Zayd, Amina Wadud Muhsin, Muhammad Mujtahed Shabestari, Amina Wadud, Abdullah Saeed, Muhammad Talbi, Nurcholis Madjid, Khaled M. Abou El Fadl dan Muhammad Syahrur dan dari hermeneutika hadis kita jumpai tokoh seperti Fazlur Rahman, Muhammad al-Ghazali, Syuhudi Ismail, Muhammad Syahrur, Khaled M. Abou El Fadl, dan Yusuf Qardhawi. Tokoh-tokoh dalam buku ini tidak hanya terdiri dari tokoh pemikir kontemporer saja tetapi juga dari ulama klasik, seperti Imam al-Gazali dan metode penefsiran sufi, dan dari sini buku ini seolah ingin menunjukkan bahwa sebenarnya kajian hermeneutika dalam Islam, secara aplikatif, telah berkembang pada masa ulama klasik dulu. Demikian pula dengan hadirnya tokoh-tokoh pemikir hermeneutika Indonesia, merupakan upaya untuk membuktikan bahwa keberadaan pemikir Islam Indonesia telah juga turut andil dalam mengembangkan kajian hermeneutika, seperti yang diupayakan oleh Nurchalis Madjid dan Syuhudi Ismail.
Secara keseluruhan, dapat disimpulkan, ada beberapa macam semangat yang ingin diusung oleh tokoh-tokoh pemikir Islam dari kajian hermeneutik al-Qur’an dan hadis yang dihadirkan dalam buku ini. Pertama, kritik terhadap penafsiran terdahulu yang bersifat ideologis, tekstual, dan otoriter. Kedua, berusaha menangkan makna terdalam teks. Ketiga, kesadaran bahwa dalam setiap penafsiran terdapat aktifitas dialogis antara dunia author, teks, dan pembaca sehingga penafsiran yang dihasilkan tidak mungkin bersifat objektif. Keempat, bahwa agar penafsiran itu dapat disesuaikan dengan kontes kekinian tetapi memuat pesan utama al-Qur’an dan hadis Nabi, maka proses penafsiran meliputi kajian teks, konteks dan kontekstualisasi.
Sebagai contoh, dalam buku ini dijelaskan, bagaimana Fazlur Rahman menyarankan melakukan kajian konteks disamping kajian teks dalam upaya mengkap pesan moral al-Quran yang mana kemudian pesan moral tersebut dikontekstualisasikan kedalam kebutuhan masa kini. Kemudian al-Jabiri dan Amina Wadud menyatakan setiap penafsir agar selalu waspada dengan bias subjektivitas atau bias ideologis mufassir yang selalu dibawa dalam proses penafsiran. Sementara Syahrur membayangkan agar al-Qur’an itu itu baru diturunkan dan kita dituntut menafsirkannya dengan perangkat metodologi ilmu-ilmu modern yang berkembang, sehingga manfaat al-Qur’an sebagai petunujuk, sangat terasa dan sesuai dengan tantangan zaman.
Hermeneutika, dalam sejarahnya di barat, dapat dipetakan menjadi tiga macam; hermeneutika teoritis, hermeneutika filosofis dan hermeneutika kritis. Yang pertama kajian hermeneutika dibawa kearah pembahas bagaimana suatu teks dapat dipahami secara objektif, di sini yang banyak dibahas adalah kajian metode. Yang kedua tidak lagi membahas metode, melainkan hermeneutika dibawa ke arah kajian filosofis, yakni pembahasan tentang apa sebenarnya dunia penafsiran itu sendiri, dari sini kemudian terungkap bahwa pada hakekatnya penafsiran adalah sesuatu yang kopleks yang dalam aktifitasnya melibatkan dunia pembaca, teks dan author, dan dari proses ini, klaim bahwa teks dapat dipahami secara objektif dipertanyakan kembali. Yang ketiga membahwa hermeneutika kepada tataran kajian kritis, yakni mengungkap kepentingan-kepentingan di balik teks dan maksud penafsir.
Kemudian bagaimana dengan hermeneutika dalam Islam? Merujuk klasifikasi Sahiron Syamsuddin yang menjadi pengantar buku ini, Kurdi menjelaskan bahwa, hermeneutika Qurani dapat digolongkan menjadi tiga macam. Pertama, quasi-objektifis tradisionalis, yakni penafsiran yang berupaya menangkap pesan al-Qur’an secara objektif sebagaimana ia dipahami, ditafsirkan sebagaimana pada situasi sebagaimana al-Qur’an diturunkan lalu diaplikasikan serupa pada masa kini. Kedua, quasi-objektifis modernis, yakni berusaha menangkap original meaning (makna asal) teks, namun makna asal itu hanya sebagai pijakan awal untuk melakukan pembacaan terhadap al-Qur’an untuk masa kini. Makna asal tidak dipandang pesan utama al-Qur’an, sementara yang harus dicari adalah makna “di balik pesan literer” dengan cara menggalinya dari informasi konteks makro sosial-budaya bangsa Arab melalui kajian sejarah, sosial dan budaya yang selanjutnya makna dibalik teks itu diolah kembali untuk kemudian disesuaikan dengan konteks kekinian. Ketiga, subyektifitas, yakni sebuah penafsiran yang menegaskan bahwa penafsiran sepenuhnya merupakan subyektivitas penafsir dan karena itu kebenaran interpretatif bersifat relatif. Atas dasar ini, setiap generasi mempunyai hak dalam al-Qur’an sesuai dengan ilmu dan pengalaman pada saat al-Qur’an ditafsirkan. Dan, dalam buku ini, mayoritas pemikir hermeneutika di atas lebih cenderung kepada tipe yang kedua, quasi obyektifis modernis dan sebagian kecil yang ke tiga, subyektif. Namun, betapapun, meski hasilnya berbeda-beda, kajian hermeneutika al-Qur’an-hadis adalah suatu upaya untuk membuat al-Qur’an-hadis dapat berfungsi sebagai petunjuk manusia di segala tempat dan waktu. Dan kajian ini perlu untuk mendapat sambutan yang posoitif.
Buku ini juga menjelaskan bagaimana metodologi penafsiran yang digagas oleh pemikirnya itu diaplikasikan dengan merujuk kepada tafsir yang telah dihasilkan. Seperti aplikasi Fazlur Rahman dalam kitab tafsir tematiknya Major Themes of The Al-Qur’an, Nasr Hamid Abu Zayd dalam Dawair al-Khauf, Amina Wadud dengan Qur’an and Woman, Muhammad Syahrur Iman wa Islam: Manzumzt al-Qiyam. Dan ini, menurut penulis, menepis anggapan bahwa kajian hermeneutika hanya membahas metodologi penafsiran saja tanpa menghasilkan sebuah karya tafsir.
Apa yang telah kujelaskan di atas, adalah hasil bacaanku terhadap buku Hermeneutika al-Qur’an dan Hadis, karya Kurdi ddk. Buku ini, awalnya, merupakan kumpulan makalah mahasiswa pasca sarjana UIN Sunan Kalijaga jurusan Tafsir Hadis yang diajar oleh pak Sahiron Syamsudin dan pak Amin Abdullah. Setelah melakukan seleksi, buku ini diedit kembali dan kemudian diterbitkan. Ketika aku membaca tulisan ini, aku jadi iri dan memandang diri masih jauh pengetahuannya, kadar kemampuan intelektualnya dan bakat menulisnya. Dan aku bergumam dengan pikiranku sendiri: apakah aku bisa seperti mereka bila nanti aku S-2? Semoga.


PROBLEMATIKA HERMENEUTIKA DALAM TAFSIR AL-QUR’AN

(Pemilia Leatari)
Pendahuluan
Dalam menafsirkan Al-Qur’an, seorang mufassir dituntut menguasai beberapa cabang ilmu sesuai kaidah tafsir yang disepakati oleh ahli ilmu Islam. Seseorang tidak punya kewenangan untuk menafsirkan kalamullah  jika tidak memiliki kapasitas yang cukup untuk menjadi seorang mufassir. Metodologi tafsir yang digunakan pun harus sesuai tuntunan Rasulullah SAW, para sahabat, tabi’in, serta para ulama yang mumpuni. Dengan kata lain, mereka lah rujukan utama kita.
Munculnya berbagai pendekatan baru dalam upaya memahami al-Qur’an, jelas membuktikan adanya dinamika pada diri umat Islam dalam upaya memahami universalitas kitab sucinya. Hermeneutika misalnya, merupakan salah satu pendekatan eksegesis (penafsiran) kontemporer dalam diskursus ulum al-Qur’an yang banyak mendapat sorotan para pemerhati al-Qur’an.
Sejak hermeneutika menjadi bagian dari upaya pemahaman atas al-Qur’an, pemikiran-pemikiran yang muncul terkait dengan pemaknaan kitab suci itu pun semakin progressif. Hal yang kemudian menjadi sangat menarik dalam pendekatan hermeneutik ini adalah ketika teks tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang “sakral”. Di mata hermeneutik, semua ayat bisa “dipahami” betapapun harus “mengobrak-abrik” pemaknaan yang telah mapan selama berabad-abad, bahkan terhadap al-Qur’an sendiri. Betapapun tradisi ta’wil sudah cukup lama dalam sejarah umat Islam, namun pendekatan hermeneutik menawarkan sesuatu yang baru.
Ilmu pertama yang lahir di kalangan umat Islam adalah Ilmu Tafsir. Ia menjadi mungkin (possible) dan menjadi kenyataan karena sifat ilmiah struktur Bahasa Arab. Tafsir “benar-benar tidak identik dengan hermeneutika Yunani, ataupun hermeneutika Kristen, dan juga tidak sama dengan ilmu interpretasi kitab suci dari kultur dan agama lain.” Ilmu tafsir Al-Qur’an adalah penting karena ia benar-benar merupakan ilmu asas yang di atasnya dibangun keseluruhan struktur, tujuan, pengertian pandangan dan kebudayaan agama Islam. Itulah sebabnya mengapa Al-Thabari (wafat 923 M) menganggapnya sebagai yang terpenting dibanding dengan seluruh pengetahuan dan ilmu. Ini adalah ilmu yang mengupas hal ihwal kitab suci al-Qur’an dari segi sejarah turunnya, sanadnya, adab/cara membacanya, lafadz-lafadznya, arti-artinya, yang berhubungan dengan hukum-hukumnya dan hikmah-hikmahnya.                                                                               
Namun, akhir-akhir ini, kita – umat Islam – dikejutkan oleh berbagai serangan arus pemikiran liberal, baik yang dilakukan oleh orientalis maupun orang-orang Islam yang terpengaruh pemikiran Barat. Dalam ilmu tafsir, dimunculkanlah hermeneutika. Ilmu yang mula-mula diterapkan dalam menafsirkan Bible ini, dipaksakan untuk dapat diterapkan dalam menafsirkan berbagai kitab suci, terutama Al-Qur’an.
Dalam sebuah hadits shahih dinyatakan :

حَدِيْثُ أَبِي سَعِيْدٍ الخُدْرِيَ. عَنِ النَبِيِ y قَالَ: "لَتَتَبَعَنَ سُنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ, شِبْرًا بِشِبْرٍ, وَِ رَاعًا بِِ رَاعٍ. حَتىَ لَوْ دَخَلُوْا جُحْرَ ضَبٍ تَبَعْتُمُوْهُمْ". قُلْنَا: "يَارَسُوْلَ الله, الْيَهُوْدِ وَالنَصَارَى؟". قَالَ: "فَمَنْ؟"ز (رواه البخارى و مسلم)

Abi Said Al-Khudri r.a. berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Sungguh kalian akan mengikuti tradisi orang-orang sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sehingga meskipun mereka berjalan masuk ke dalam lubang biawak, niscaya kalian akan mengikuktinya.” Lalu kami bertanya, “Wahai Rasulullah, Apakah mereka itu adalah Yahudi dan Nasrani? Beliau bersabda, “Siapa lagi?!”
Kalangan yang kurang peka atau tidak jeli memang cenderung memandang enteng persoalan ini. Atau bahkan menganggapnya bukan persoalan sama sekali. Alasannya, ilmu itu netral. Namun, apakah benar demikian? Kecuali wahyu yang berasal dari Allah, boleh dikata semua produk pemikiran manusia pada hakekatnya tidaklah netral dalam arti bebas dari kepentingan para perumusnya dan pra anggapan yang menyertainya. Hanya mereka yang naïf menganggap ilmu pengetahuan itu bebas nilai. Aneka ragam ideology dan produk pemikiran sesungguhnya sarat dengan berbagai pra-andaian terpendam (tacit assumptions) dan kepentingan terselubung (hidden interests). Tiga puluh lima tahun yang lalu, tepatnya pada tahun 1973, Syed Muhammad Naquib Al-Attas mengingatkan umat Islam mengenai ilmu pengetahuan yang sesugguhnya tidak bebas nilai dalam Risalah :
 Kita harus mengetahui dan menyadari bahwa sebenarnya ilmu pengetahuan tidak bersifat netral; bahwa setiap kebudayaan memiliki pemahaman yang berbeda-beda mengenainya meskipun diantaranya terdapat beberapa persamaan. Antara Islam dan kebudayaan Barat terbentang pemahaman yang berbeda mengenai ilmu, dan perbedaan itu begitu mendalam sehingga tidak bisa dipertemukan.
Definisi dan Sejarahnya
Hermeneutika, yang dalam bahasa Inggrisnya adalah hermeneutics, berasal dari kata Yunani hermeneune dan hermeneia yang masing-masing berarti “menafsirkan” dan “penafsiran”. Istilah hermeneutika pertama kali ditemui dalam karya Plato (429-347 SM), Politikos, Epinomis, Definitione, dan Timeus. Lebih dari itu, sebagai sebuah terminologi, hermeneutika juga bermuatan pandangan hidup (worldview) dari para penggagasnya. Sehingga bisa dikatakan bahwa hermeneutika tidak bebas nilai. Istilah ini bukan merupakan sebuah istilah yang netral.
Istilah Yunani ini mengingatkan kita pada tokoh mitologis yang bernama Hermes, yaitu seorang utusan yang mempunyai tugas menyampaikan pesan Jupiter kepada manusia. Hermes digambarkan sebagai seorang yang mempunyai kaki bersayap, dan lebih banyak dikenal dengan sebutan Mercurius dalam bahasa Latin. Tugas Hermes adalah menerjemahkan pesan-pesan dari dewa di Gunung Olympus ke dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh umat manusia. Oleh karena itu, fungsi Hermes adalah penting sebab bila terjadi kesalah-pahaman tentang pesan dewa-dewa, akibatnya akan fatal bagi seluruh umat manusia. Hermes harus mampu menginterpretasikan atau menyadur sebuah pesan ke dalam bahasa yang dipergunakan oleh pendengarnya. Sejak saat itu hermes menjadi simbol seorang duta yang dibebani dengan sebuah misi tertentu. Berhasil atau tidaknya misi itu sepenuhnya tergantung pada cara bagaimana pesan itu disampaikan.
Dengan demikian, hermeneutik pada dasarnya adalah suatu metode atau cara untuk menafsirkan simbol yang berupa teks atau sesuatu yang diperlakukan sebagai teks untuk dicari arti dan maknanya, di mana metode hermeneutik ini mensyaratkan adanya kemampuan untuk menafsirkan masa lampau yang tidak dialami, kemudian dibawa ke masa sekarang.
Sementara itu, Komaruddin Hidayat dalam bukunya “Menafsirkan Kehendak Tuhan” menulis sebagai berikut:
“Menurut Hossein Nasr, Hermes tak lain adalah Nabi Idris a.s. yang disebutkan dalam al-Quran. Sementara menurut cerita yang beredar di kalangan pesantren, pekerjaan Nabi Idris adalah sebagai tukang tenun, atau menurut riwayat yang lain lagi, sebagai tukang bangunan. Jika profesi tukang tenun dikaitkan dengan mitos Yunani tentang dewa Hermes, di sana terdapat korelasi positif. Kata kerja “menenun” atau “memintal” yang dalam bahasa latin adalah tegere, sedangkan produknya disebut textus atau text, memang merupakan isu sentral dalam kajian hermeneutika yang dinisbatkan pada Hermes.
Semula hermenutika berkembang di kalangan gereja dan dikenal sebagai gerakan eksegesis (penafsiran teks-teks agama) dan kemudian berkembang menjadi “filsafat penafsiran” kehidupan sosial. Kemunculan hermeneutika dipicu oleh persoalan-persoalan yang terjadi dalam penafsiran Bible. Awalnya bermula saat para reformis menolak otoritas penafsiran Bible yang berada dalam genggaman gereja. Menurut Martin Luther (1483-1546 M), bukan gereja dan bukan Paus yang dapat menentukan makna kitab suci, tetapi kitab suci sendiri yang menjadi satu-satunya sumber final bagi kaum Kristen. Menurut Martin Luther , Bible harus menjadi penafsir bagi Bible itu sendiri. Dia menyatakan, “This means that [Scripture] itself by itself is the most unequivocal, the most accessible [facilima], the most testing, judging, and illuminating all things,…” Pernyataan tegas Martin Luther yang menggugat otoritas gereja dalam memonopoli penafsiran Bible, berkembang luas dan menjadi sebuah prinsip Sola Scriptura (cukup kitab suci saja, tak perlu ‘tradisi’). Berdasarkan prinsip Sola Scriptura, dibangunlah metode penafsiran bernama hermeneutika.
Seorang Protestan, F.D.E. Schleiermacherlah yang bertanggung jawab membawa hermeneutika dari ruang biblical studies (biblische Hermeneutik) atau teknik interpretasi kitab suci ke ruang lingkup filsafat (hermenutika umum), sehingga apa saja yang berbentuk teks bisa menjadi objek hermeneutika. Bagi Schleiermacher, tidak ada perbedaan antara tradisi hermeneutika filologis yang berkutat dengan teks-teks dari Yunani-Romawi dan hermeneutika teologis yang berkutat dengan teks-teks kitab suci. Dalam sebuah tesis Ph.D. dinyatakan bahwa :
Originally, the term ‘Hermeneutics’ was employed in reference to the field of study concerned with developing rules and methods that can guide biblical exegesis. During the early years of the nineteenth century, ‘Hermeneutics’ became ‘General Hermenenutics’ at the bands of philosopher and Protestant theologian Friederich Schleiermacher. Schleiermacher transformed Hermeneutics into a philosophical field of study by elevating it from the confines of narrow specialization as a theological field to the higher ground of general philosophical concerns about language and its understanding.
Oleh karena transformasi yang dilakukan olehnya, maka Schleiermacher dianggap sebagai bapak hermeneutika modern (the father of modern hermeneutics).
Schleiermacher bukan hanya meneruskan usaha para pendahulunya semisal Semler dan Ernesti yang berupaya “membebaskan tafsir dari dogma”. Lebih dari itu, ia juga mengajukan perlunya melakukan desakralisasi teks. Dalam perspektif hermeneutika umum ini, “semua teks harus diperlakukan sama, “tidak ada yang perlu diistimewakan, tak peduli apakah itu kitab suci (Bible) ataupun teks hasil karangan manusia biasa.
The New Encyclopedia Brittanica menulis, bahwa hermeneutika adalah studi prinsip-prinsip general tentang interpretasi Bible (the study of general principle of biblical interpretation). Tujuan dari hermeneutika adalah untuk menemukan kebenaran dan nilai-nilai dalam Bible.
Menurut Adian Husaini, hermeneutika bukan sekedar tafsir, melainkan satu “metode tafsir” tersendiri atau satu filsafat tentang penafsiran, yang bisa sangat berbeda dengan metode tafsir Al-Quran. Di kalangan Kristen, saat ini, penggunaan hermeneutika dalam interpretasi Bible sudah sangat lazim, meskipun juga menimbulkan perdebatan (Husaini, 2007 : 8). Dari definisi di atas jelas, bahwa penggunaan hermeneutika dalam penafsiran Al-Qur’an memang tidak terlepas dari tradisi Kristen. Celakanya, tradisi ini digunakan oleh para hermeneut (pengaplikasi hermeneutika untuk Al-Qur’an) untuk melakukan dekonstruksi terhadap al-Qur’an dan metode penafsirannya.
Jadi, kata hermeneutika yang diambil dari peran Hermes adalah sebuah ilmu dan seni membangun makna melalui interpretasi rasional dan imajinatif dari bahan baku berupa teks.”
Sedangkan menurut Nurcholis Madjid, hermeneutika ialah pemahaman atau pemberian pengertian atas fakta-fakta tekstual dari sumber-sumber suci (al-Qur’an dan al-Sunnah) sedemikian rupa, sehingga yang diperlihatkan bukanlah hanya makna lahiriah dari kata-kata teks suci itu, tetapi lebih-lebih “makna dalam” (batin, “inward meaning”) yang dikandungnya.
Dari uraian di atas, maka jika melihat terminologinya, kata hermeneutika ini bisa didefinisikan sebagai tiga hal:
1.    Mengungkapkan pikiran seseorang dalam kata-kata, menerjemahkan dan bertindak sebagai penafsir.
2.    Usaha mengalihkan dari suatu bahasa asing yang maknanya gelap tidak diketahui ke dalam bahasa lain yang bisa dimengerti oleh si pembaca.
3.    Pemindahan ungkapan pikiran yang kurang jelas, diubah menjadi bentuk ungkapan yang lebih jelas.
Pengertian hermeneutika yang dikemukakan oleh para ahli diatas, secara umum, sangat identik dengan ilmu Tafsir dalam tradisi studi al-Qur’an. Bahkan kalau merujuk kepada definisi yang dikemukakan oleh Nurcholis Madjid, agaknya pengertian hermeneutika bukan hanya sekedar tafsir tapi juga ta’wil. Ini berarti, praktik hermeneutik sebenarnya telah lama dilakukan oleh umat Islam, bahkan sejak al-Qur’an itu diwahyukan, namun belum ditampilkan secara definitif. Hal ini dikarenakan memang sumber hermeneutik itu sendiri berasal dari tradisi Barat yang bergerak dalam wilayah filsafat linguistik. Selain itu, menurut Komaruddin, hermeneutik yang berkembang dan dipahami dalam tradisi filsafat kelihatannya, secara metodologis, melangkah lebih jauh, sehingga melampaui batas tradisi ilmu tafsir yang selama ini dikembangkan dalam studi Islam.
Dalam tradisi Barat, pada awalnya, hermeneutik merupakan bagian dari ilmu filologi, ilmu yang membahas tentang asal-usul bahasa dan teks. Mulai abad ke-16, hermeneutika mengalami perkembangan dan memperoleh perhatian yang lebih akademis dan serius keika kalangan ilmuwan gereja di Eropa terlibat diskusi dan debat mengenai autentisitas Bibel. Mereka ingin memperoleh kejelasan serta pemahaman yang benar mengenai kandungan Bibel, yang dalam berbagai hal, dianggap bertentangan. Dengan demikian, posisi hermeneutika mulai mencakup juga meode kritik histiografi. Memasuki akhir abad ke-18, hermeneutika mulai dirasakan sebagai teman dan sekaligus tantangan bagi ilmu sosial, utamanya sejarah dan sosiologi, karena hermeneutika mulai berbicara dan menggugat metode dan konsep ilmu sosial pada umumnya. Khususnya dalam ilmu sejarah, karena yang menjadi objek kajian adalah pemahaman tentang makna dan pesan yang terkandung dalam sebuah teks, yang variabelnya meliputi pengarang, proses penulisan, dan karya tulis, maka hermeneutika tidak bisa ditinggalkan.
Sedangkan dalam pemikiran Islam, hermeneutik pertama-tama diperkenalkan oleh Hasan Hanafi dalam karyanya yang berjudul Les Methodes d’Exegese, Essai sur La Science des Fordements de la Comprehension, Ilm Ushul al-Fiqh (1965), sekalipun tradisi hermeneutik telah dikenal luas dalam berbagai bidang ilmu-ilmu Islam tradisional, terutama tradisi Usul al-Fiqh dan Tafsir al-Qur’an.
Rintisan Hasan Hanafi ini kemudian mendapat respon dan dilanjutkan oleh pemikir-pemikir Muslim kontemporer lainnya seperti Nasr Hamid Abu Zayd dengan Mafhum al-Nash nya, Sahrur dengan Qira’ah Mu’ashirah nya, Asghar Ali Engineer dengan Islam and Liberation Theology dan lain-lain.
Prinsip dan Konsep Dasar
Menurut Komaruddin Hidayat, dalam hermeneutika ada dua mazhab, yaitu mazhab hermeneutika transendental dan mazhab historis-psikologis. Yang pertama berpandangan bahwa untuk menemukan suatu kebenaran dalam teks tidak harus mengaitkan pengarangnya karena sebuah kebenaran bisa berdiri otonom ketika tampil dalam teks. Yang terakhir berpandangan bahwa teks adalah eksposisi eksternal dan temporer saja dari pikiran pengarangnya, sementara kebenaran yang hendak disampaikan tidak mungkin terwadahi secara representatif oleh kehadiran teks.
Pengasosiasian hermeneutik dengan Hermes secara sekilas menunjukkan adanya tiga unsur dalam aktivitas penafsiran, yaitu:
1.    Tanda, pesan atau teks yang menjadi sumber atau bahan dalam penafsiran yang diasosiasikan dengan pesan yang dibawa oleh Hermes.
2.    Perantara atau penafsir (Hermes).
3.    Penyampaian pesan itu oleh sang perantara agar bisa dipahami dan sampai kepada yang menerima.
Bisa dikatakan ketiga unsur inilah nantinya yang akan menjadi tiga unsur utama dalam hermeneutika, yaitu sifat-sifat teks, alat apa yang dipakai untuk memahami teks dan bagaimana pemahaman dan penafsiran itu ditentukan oleh anggapan-anggapan dan kepercayaan-kepercayaan mereka yang menerima dan menafsirkan teks. Asumsi paling mendasar dari hermeneutika ini sebenanya telah jelas, yaitu adanya pluralitas dalam proses pemahaman manusia. Pluralitas yang dimaksud sifatnya niscaya, karena pluralitas tersebut bersumber dari keragaman konteks hidup manusia.
Adapun pada tataran praksisnya, hermeneutika dapat dibagi menjadi tiga bentuk:
1.  Hermeneutika yang berisi cara untuk memahami (Hermeneutical Theory)
Hermeneutika jenis pertama ini adalah hermeneutika teoritis. Dalam klasifikasi ini hermeneutika merupakan kajian penuntun bagi sebuah pemahaman yang akurat dan proporsional. Bagaimanakah pemahaman yang komprehensif itu? Itulah pertanyaan utama dari hermeneutika teori. Tentu saja sebagaimana asumsi awal bahwa perbedaan konteks mempengaruhi perbedaan pemahaman, maka hermaneutika dalam kelompok pertama ini merekomendasikan pemahaman konteks sebagai salah satu aspek yang harus dipertimbangkan untuk memperoleh pemahaman yang komprehensif. Selain pertanyaan-pertanyaan seputar makna teks seperti bagaimana makna teks secara morfologis, leksikologis, dan sintaksis perlu pula pertanyaan-pertanyaan seperti dari siapa teks itu berasal ? Untuk tujuan apa, dalam kondisi apa dan bagaimana kondisi pengarangnya ketika teks itu tersebut disusun ? dan lain sebagainya.
2. Hermeneutika yang berisi cara untuk memahami pemahaman (Hermenetiucal Philosophy)
Hermeneutika jenis kedua ini melangkah lebih jauh kedalam dataran filosofis, sehingga lebih dikenal sebagai hermeneutika filosofis. Dalam hermeneutika jenis kedua ini, fokus perhatiannya bukan lagi bagaimana agar bisa mendapatkan pemahaman yang komprehensif, tetapi lebih jauh mengupas seperti apa kondisi manusia yang memahami itu, baik dalam aspek psikologisnya, sosiologisnya, historisnya dan lain sebagainya termasuk dalam aspek-aspek filosofis yang mendalam seperti kajian terhadap pemahaman dan penafsiran sebagai prasyarat eksistensial manusia.
3. Hermeneutika yang berisi cara untuk mengkritisi pemahaman.
Hermeneutika jenis ketiga ini dapat dikatakan merupakan pengembangan lebih jauh dari hermeneutika jenis kedua, bahkan dapat dikatakan bahwa secara prinsipil obyek formal yang menjadi fokus kajiannya adalah sama. Yang membedakan hermeneutika jenis ketiga dengan hermeneutika jenis kedua adalah penekanan hermeneutika jenis ketiga ini terhadap determinasi-determinasi historis dalam proses pemahaman, serta sejauh mana determinasi-determinasi tersebut sering memunculkan alienasi, diskriminasi dan hegemoni wacana, termasuk juga penindasan-penindasan sosial-budaya-politik akibat penguasaan otoritas pemaknaan dan pemahaman oleh kelompok tertentu.
Memahami teks dalam hermeneutika kritis tidaklah sekedar memahami makna teks itu sendiri, melainkan mencakup pada wilayah pembongkaran persepsi dari sebuah pengetahuan interpretasi maupun metode interpretasi yang sudah dianggap mapan, dalam hal ini adalah tentang hakikat teks al-Qur’an. Selain itu, hal ini pun mencoba juga menyingkap distorsi dan ketimpangan yang mungkin terjadi ketika menimbang dan melakukan kegiatan serta interpretasi. Apabila dikaitkan dengan teks al-Qur’an, maka kajian kritis dari hermeneutika ini terfokus pada analisis dan kritik wacana teks al-Qur’an.
Dengan prosedur kerja dan asumsi-asumsi semacam yang digambarkan diatas, maka hermeneutika bisa dikatakan bergerak dalam tiga horison, yaitu horison pengarang, horison teks dan horison penerima atau pembaca. Atau dalam istilah Komaruddin, ketiga variable ini disebut dengan the world of the text, the world of the author, dan the world of the reader. sementara secara prosedural, langkah kerja hermeneutika itu menggarap wilayah teks, konteks dan kontekstualisasi, baik yang berkenaan dengan aspek operasional metodologisnya maupun dalam dimensi epistemologis penafsirannya. Hermeneutika jenis pertama dapat dikatakan menekankan proses pemahaman dalam dua horison, yaitu dalam horison pengarang dan horison teks ; sementara hermeneutika jenis kedua dan jenis ketiga memfokuskan kepada horison pembaca. Hermeneutika jenis pertama berusaha melacak bagaimana teks tersebut dipahami oleh pengarangnya dan kemudian pemahaman pengarang itulah yang dipandang sebagai pemaknaan yang paling akurat terhadap teks, sementara hermeneutika jenis kedua dan jenis ketiga lebih melihat bagaimana teks itu dipahami oleh pembaca, karena pengarang tidak mampu menyetir pemahaman pembaca terhadap teks yang telah diproduksinya, sehingga teks pada dasarnya mutlak milik pembacanya untuk dipahami dan dihayati seperti apapun keinginannya. Dalam kondisi yang demikian, sangat logis bila secara konseptual hermeneutik mengisyaratkan bahwa tidak ada suatu teks yang tak dapat ditafsirkan oleh hermeneut. Di sinilah bedanya dengan ilmu tafsir, di mana diajarkan bahwa tidak semua teks (ayat) al-Qur’an dapat dipahami maknanya secara jelas. Dalam konteks ini, Abd Allah Ibn Abbas yang menyandang predikat “juru bicara al-Qur’an” menegaskan bahwa tafsir al-Qur’an terbagi ke dalam empat kategori. Pertama, dapat diketahui secara umum melalui bahasa Arab. Kedua, tidak alasan untuk tidak mengetahuinya seperti ayat-ayat tentang halal dan haram. Ketiga, hanya dapat dipahami oleh para ulama. Keempat, hanya Allah saja yang tahu maknanya.
Operasionalisasi Hermeneutika
1. Mengolah Teks
Hermeneutika pada dasarnya merupakan bagian dari filsafat linguistik, artinya sorotan utama hermeneutik adalah bagaimana memahami bahasa yang tertuang dalam sebuah teks atau sesuatu yang dianggap teks. Ketika mengolah teks, perhatian pertama hermeneutika adalah aspek kebahasaannya.
Hermeneutika yang ditawarkan dalam kajian ini berangkat dari tradisi filsafat bahasa yang kemudian melangkah pada analisis psiko-historiko-sosiologis. Jadi, jika pendekatan ini dipertemukan dengan kajian teks al-Qur’an, maka persoalan dan tema yang dihadapi adalah bagaimana teks al-Qur’an hadir di tengah masyarakat, dipahami, ditafsirkan, diterjemahkan, dan didialogkan dalam rangka menafsirkan realitas sosial.
Analisa kebahasaan memang sangat perlu dilakukan, karena bahasa menurut Naquib al-Attas, seperti yang dikutip oleh Ahmad Sahidah, mencerminkan sebuah ontologi.Untuk itu, langkah awal yang tentunya tidak boleh diabaikan dalam penafsiran al-Qur’an adalah memahami teksnya, yakni melihatnya dalam aspek kebahasaannya, yaitu bahasa Arab. Tanpa perhatian terhadap teks bisa dipastikan seorang penafsir akan mendapatkan pengertian dan kesan yang salah sehingga penjelasannya terhadap ayat akan keliru atau setidaknya ia akan membuat kesimpulan yang tidak berdasar.
Selanjutnya, menurut Komaruddin Hidayat, ketika sebuah teks hadir didepan kita, maka teks menjadi berbunyi dan berkomunikasi hanya ketika kita membacanya dan membangun makna berdasarkan sistem tanda yang ada. Jadi, makna itu muncul dari pertautan antara teks, pikiran pengarang, dan benak pembacanya. Ketiga variable ini, masing-masing merupakan titik pusaran tersendiri, meskipun kesemuanya saling mendukung –bisa juga malah menyesatkan- pihak pembaca dalam memahami sebuah teks.
2. Memahami Konteks
Penggalian terhadap makna teks yang hanya berhenti pada isi teks tanpa mau melihat latar belakang dan setting historis yang ada dibalik teks pada akhirnya akan membawa pemahaman yang parsial dan penafsiran yang tidak tepat sasaran. Dalam kaca mata hermeneutik, teks itu tidak berdiri sendiri, ia sangat bergantung kepada keberadaan konteks-konteks yang melingkupinya, baik dalam aspek bentuk maupun isinya. Ringkasnya, menggali makna teks dengan mengabaikan konteks yang ada diseputar teks yang dimaksud hanyalah akan menghasilkan sebentuk “reduksi makna” yang sebenarnya dari teks tersebut.
Pemahaman terhadap konteks sejarah yang menjadi latar belakang munculnya ayat-ayat al-Qur’an bisa dikatakan merupakan suatu komponen vital untuk mengantarkan kepada pemahaman yang tepat terhadap al-Qur’an. Apa yang menyebabkan al-Qur’an itu turun dan bagaimana generasi yang mengalami langsung al-Qur’an tersebut menyikapinya adalah poin utama yang tidak boleh ditinggalkan. Sehubungan dengan ini, Muhammad Syahrur dalam bukunya al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah Mu’asirah mengatakan: “perlakukanlah al-Qur’an seolah-olah Nabi baru meninggal kemarin” Ungkapan Sahrur ini harus dipahami sebagai sebuah isyarat bahwa dalam memahami al-Qur’an faktor konteks historis selalu menjadi fokus perhatian. Selanjutnya Sahrur juga mengatakan bahwa pemahaman terhadap al-Kitab selalu bersifat relatif, historis, dan temporal.
Urgensi dari perhatian tehadap konteks kesejarahan ini terletak pada realita bahwasanya sebagian besar muatan al-Qur’an itu bekaitan dengan situasi keagamaan, keyakinan, pandangan dunia dan adat- istiadat masyarakat tempat ia turun, yaitu masyarakat Arab. Bukti yang sangat jelas mengenai asumsi ini adalah diturunkannya al-Qur’an secara berangsur-angsur (tadarruj) selama 23 tahun masa kenabian Muhammad dan fenomena asbab al-nuzul dan nasikh-mansukh dalam ayat-ayat al-Qur’an.
3. Kontekstualisasi: Upaya Reproduksi Makna
Pemahaman akan al-Qur’an dalam konteksnya sebagaimana dipaparkan diatas, akan menjadi kajian yang semata-mata bersifat akademis murni bila tidak diproyeksikan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan kontemporer. Di sinilah perlunya kontekstualisasi, dalam arti upaya untuk menerapkan makna teks yang dipahami dari suatu wacana dalam konteks tetentu di masa yang telah lalu dengan konteks yang berbeda di masa kini.
Kontekstualisasi berarti melihat realitas historis yang sedang terjadi pada saat ini dan kemudian mencari pedoman dan petunjuk al-Qur’an mengenai apa yang harus dilakukan. Tradisi hermeneutik memusatkan perhatian terhadap ketiga aspek (teks, konteks, dan kontekstualisasi) tersebut dalam sebuah lingkaran yang tidak terputus, dalam arti ketika seorang melakukan penggalian dan sekaligus “reproduksi” makna, ketiga aspek tersebut harus dilibatkan tanpa terputus. Ketika seseorang menggali makna teks, maka ketika itu pula ia harus memperhatikan konteks dimana teks tersebut muncul dan bagaimana teks itu dipahami dalam konteks asalnya, sehingga dengan pemahaman tersebut bisa dilakukan pemaknaan kembali teks yang dimaksud dalam konteks yang berbeda.
Diantara contoh dari hermeneutika al-Qur’an adalah penafsiran Syahrur terhadap surat al-Nisa’ ayat 13-14 yang melahirkan sebuah teori baru dalam penetapan hukum. Teori ini ia sebut dengan Nazariyat al-Hudud (teori batas). Redaksi ayat tersebut adalah sebagai berikut:
تلك حدود الله ومن يطع الله ورسوله يدخله جنت تجرى من تحتها الانهر خلدين فيها وذلك الفوزالعظيم. ومن يعص الله ورسوله ويتعد حدوده يدخله نارا خلدا فيها وله عذاب مهين.
Itulah batas-batas (hukum) Allah. Barang siapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia akan memasukkannya ke dalam surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Dan itulah kemenangan yang agung.Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar batas-batas hokum-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka, dia kekal di dalamnya dan dia akan mendapat azab yang menghinakan”
Syahrur mencermati penggalan ayat “تلك حدودلله” yang menegaskan bahwa pihak yang memiliki otoritas untuk menetapkan batasan-batasan hukum adalah hanya Allah semata. Dia berpendapat bahwa otoritas penetapan hukum (haqq al-tasyri’) hanya dimiliki Allah, sedangkan Muhammad Saw, walaupun beridentitas sebagai Nabi dan Rasul, pada hakikatnya bukanlah seorang penentu hukum yang memiliki otoritas penuh (al-syari’). Muhammad adalah seorang pelopor ijtihad dalam Islam.
Pendapat ini didasarkan pada pemahaman penggalan ayat setelahnya “ويتعد حدوده”, yang berarti “dan melanggar batas ketetapan hukum-Nya.” Kata ganti (dlamir) “hu” pada penggalan ayat di atas merujuk kepada Allah saja, dan penggalan ayat secara lengkap akan lebih menegaskan pemahaman ini : “Dan barang siapa yang bermaksiat kepada Allah dan rasul-Nya serta melanggar batas-batas ketetapan hukum-Nya”. Ayat ini harus dipahami bahwa otoritas penetapan hukum hanya pada Allah saja, seandainya Nabi Muhammad berhak atau memiliki otoritas tasyri’ tentulah ayat tersebut akan berbunyi, “ويتعد حدودهما”, yang artinya, “dan melanggar batas-batas penetapan hukum keduanya (Allah dan rasul-Nya). Selain itu penggalan ayat yang berbunyi :
ومن يعص الله ورسوله ويتعد حدوده…
Menegaskan bahwa perbuatan maksiat (menolak untuk mengerjakan) dapat dilakukan terhadap Allah dan rasul-Nya, tetapi pelanggaran batasan hukum hanya terjadi pada Tuhan saja, karena otoritas penentuan hukum syariat yang terus berlaku hingga Hari Kiamat itu hanya milik Allah saja.
Dengan demikian haruslah dipahami bahwa ketetapan hukum yang bersumber dari Nabi tidak semuanya identik dengan penetapan hukum dari Allah. Hukum yang ditetapkan Nabi lebih bersifat temporal-kondisional sesuai dengan derajat pemahaman, nalar zaman, dan peradaban masyarakat waktu itu, maka ketetapan hukum tersebut tidak bersifat mengikat hingga akhir zaman. Di sinilah menurut syahrur, letak keutamaan Muhammad sebagai Nabi. Beliau adalah uswah hasanah dalam pengertian teladan dalam berijtihad dan penerapannya. Syahrur mengajukan motivasi kepada para cendikiawan Muslim untuk tidak ragu berijtihad meskipun masalah-masalah hokum tersebut telah diklaim memiliki justifikasi nash hadits Nabi. Bagi syahrur kondisi masyarakat yang dinamis dan selalu berubah sesuai tuntutan situasi dan kondisi yang dilator belakangi kemajuan ilmu pengetahuan, merupakan alasan utama pemberlakuan ijtihad.
Kemudian contoh lain dari hermeneutika al-Qur’an adalah penafsiran yang dilakukan oleh Asghar Ali Engineer terhadap surat al-Nisa’ (4): 3 :
وان خفتم ألا تقسطوافي اليتامي فانكحواماطاب لكم من النساء مثني وثلاث ورباع فان خفتم الاتعدلوا فواحدة أوماملكت أيمانكم ذلك أدني ألاتعولوا
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.
Baginya poligami untuk konteks saat ini bertentangan dengan nilai keadilan.Poligami hanya bisa diterima apabila memenuhi syarat-syarat tertentu, di antaranya syarat keadilan suami kepada isteri-isterinya. Keterkaitan poligami dengan syarat-syarat ini menunjukkan bahwa yang dituju oleh Islam sesungguhnya adalah monogami. Berikut ini model pemahaman teks Asghar Ali Engineer yang berkaitan dengan poligami :
Hermeneutika Sebagai Metode Tafsir
Hermeneutika, sebagai sebuah metode penafsiran, tidak hanya memandang teks, tetapi hal yang tidak dapat ditinggalkannya adalah juga berusaha menyelami kandungan makna literalnya. Lebih dari itu, ia berusaha menggali makna dengan mempertimbangkan horizon-horizon yang melingkupi teks tersebut, baik horizon pengarang, horizon pembaca, maupun horizon teks itu sendiri. Dengan kata lain, sebagai sebuah metode penafsiran, hermeneutika memerhatikan tiga hal sebagai komponen pokok dalam kegiatan penafsiran, yakni teks, konteks, dan kontektualisasi.
Menurut Nashr Hamid Abu Zayd dalam bukunya, “Hermeneutika Inklusif”, problema dasar yang diteliti hermeneutika adalah masalah penafsiran teks secara umum, baik berupa teks historis maupun teks keagamaan. Oleh karenanya, yang ingin dipecahkan merupakan persoalan yang sedemikian banyak lagi kompleks yang terjalin di sekitar watak dasar teks dan hubungannya dengan al-turats di satu sisi, serta hubungan teks di sisi lain. Yang terpenting di antara sekian banyak persoalan di atas adalah bahwa hermeneutika mengkonsentrasikan diri pada hubungan mufassir dengan teks. Ia berpendapat bahwa Al-Qur’an adalah teks yang berupa bahasa (nasshun lughawiyyun). Peradaban Arab Islam tidak mungkin melupakan sentralisasi teks. Menurutnya, prinsip-prinsip, ilmu-ilmu dan juga kebudayaan Arab Islam itu tumbuh dan berdiri di atas teks. Namun demikian, teks tidak akan bisa apa-apa kalau tidak ada campur tangan manusia. Artinya, teks tidak akan mampu mengembangkan peradaban dan keilmuan Arab Islam apabila tidak mendapatkan sentuhan dari pemikiran manusia. Dalam pandangan demikian, dengan kata lain agama sebagai teks tidak akan berfungsi apabila keberadaanya tidak dipikirkan manusia. Karenanya, ia berpendapat bahwa perkembangan Islam itu sangat tergantung kepada relasi dialektis antara manusia dengan dimensi realitasnya pada satu sisi, dan teks pada sisi yang lainnya. Di sini jelas terlihat Nashr Hamid Abu Zayd mengganggap Islam dan Al-Qur’an masih harus terus didialektikkan dan harus mengikuti perubahan zaman, bukan hanya dalam tataran praktis, namun juga dalam tataran konsep, termasuk konsep mengenai metode tafsir.
Terlebih lagi, Nashr Hamid dan para hermeneut lain memandang Al-Qur’an hanya sebatas produk budaya, bukan ‘Kalam Allah’ sehingga tidak lepas dari konteks sosio cultural masyarakat Arab saat Al-Qur’an diturunkan (historis kritis). Metode penafsiran Nasr Hamid yang melepaskan posisi teks Al-Qur’an dari ‘Kalam Allah’ dapat dilihat dari kritikannya terhadap metode tafsir Ahlu Sunnah, dengan menyimpulkan : (1) Tafsir yang benar menurut Ahlussunnah, dulu dan sekarang, adalah tafsir yang didasarkan pada otoritas ulama terdahulu; (2) Kekeliruan yang mendasar pada sikap Ahlussunnah, dulu dan sekarang, adalah usaha yang mengaitkan “makna teks” dan ‘dalalah’-nya dengan masa kenabian, risalah, dan turunnya wahyu. Ini bukan saja kesalahan “pemahaman”, tetapi juga merupakan ekspresi sikap ideologisnya terhadap realitas – suatu sikap yang bersandar pada keterbelakangan, antikemajuan dan anti-progresivitas. Oleh karena itu kaum Ahlussunnah menyusun sumber-sumber utama penafsiran Al-Qur’an pada empat hal : penjelasan Rasulullah, sahabat, tabi’in, dan terakhir yaitu tafsir bahasa.
Jadi, ketika konsep teks Al-Qur’an dibongkar, dan dilepaskan dari posisinya sebagai ‘Kalam Allah’ maka Al-Qur’an akan diperlakukan sebagai ‘teks bahasa’ dan ‘produk budaya’ sehingga bisa dipahami melalui kajian historisitas, tanpa memperhatikan bagaimana Rasul Allah dan para sahabat beliau mengartikan atau mengaplikasikan makna ayat-ayat Al-Qur’an dalam kehidupan mereka. Dengan pembongkaran Al-Qur’an sebgaai ‘Kalam Allah’, maka barulah metode hermeneutika memungkinkan digunakan untuk memahami Al-Qur’an. Metode ini memungkinkan penafsiran Al-Qur’an menjadi bias dan disesuaikan dengan tuntutan nilai-nilai budaya yang sedang dominan (Barat). Akibatnya, kini muncul konsep-konsep seperti : 1) Relativisme Tafsir dan dekonstruksi syari’ah dan  2) Menolak otoritas Mufassir.
Insya Allah to be continued
* Mahasiswa Magister Pemikiran Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta
Al-Attas, The Concept of Education in Islam : A Framework for an Islamic Philosophy of Education. An Address to the Second World Conference on Muslim Education, Islamabad, Pakistan, 1980. Kuala Lumpur : Muslim Youth Movement of Malaysia (ABIM), 1980; cetakan kedua oleh International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC), 1991, dikutip dari Prof.Dr.Wan Mohd Nor Wan Daud, Tafsir dan Ta’wil Sebagai Metode Ilmiah, (Jurnal ISLAMIA, Tahun I No.1/Muharram 1425 H), hal 54.
Abu Ja’far Ibn Jarir al-Tabari, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, diterjemahkan dan diberi pengantar oleh J.Cooper (Oxford : OUP, 1987), selanjutnya sebagai Jami’ al-Bayan, 1:8, dikutip dari Prof.Dr.Wan Mohd Nor Wan Daud, Tafsir dan Ta’wil Sebagai Metode Ilmiah, (Jurnal ISLAMIA, Tahun I No.1/Muharram 1425 H), hal 54.
Al-Imam As-Suyuthi, Ilmu Tafsir (terjemahan), (Surabaya : Bina Ilmu, 1982), 11.
Muhammad Fu’ad Abdul Baqi, Mutiara Hadits Shahih Bukhari Muslim edisi revisi Kitab Ilmu, (Surabaya : Bina Ilmu, 2005), hal 951.
Dr.Syamsuddin Arif, Orientalis & Diabolisme Pemikiran-Bab Hermenutika dan Tafsir Al-Qur’an, (Jakarta : Gema Insani Press, 2008), hal 176-177.
Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat Praktik Pendidikan Syed M.Naquib Al-Attas, diterjemahkan dari The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib Al-Attas, (Bandung, Mizan, 2003), hal 115.
Prof.Dr.H.Mudjia Raharjo,M.Si., Dasar-Dasar Hermeneutika : Antara Intensionalisme & Gadamerian (Yogyakarta : Ar-Ruzzmedia, 2008), hal 27.
Hamid Fahmi Zarkasyi,MA, Menguak Nilai di Balik Hermeneutika, (Jurnal ISLAMIA, Tahun 1 Volume 1 Muharram 1425 H), hal 16.
Prof.Dr.H.Mudjia Raharjo,M.Si., Dasar-Dasar Hermeneutika : Antara Intensionalisme & Gadamerian (Yogyakarta : Ar-Ruzzmedia, 2008), hal 30.
Werner Georg Kummel, The New Testament : The History of the Investigation of Its Problems, Penerjemah S.McLean Gilmour dan Howard C.Kee (New York : Abingdon Press, 1972), 21-22, dikutip dari Adnin Armas, MA, Filsafat Hermeneutika dan Dampaknya Terhadap Studi al-Qur’an, Bahan-Bahan Mata Kuliah Islamic Worldview  di Program Pendidikan dan Pemikiran Islam Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta, Editor : Adian Husaini, 2008.
Werner Georg Kummel, The New Testament : The History of the Investigation of Its Problems, Penerjemah S.McLean Gilmour dan Howard C.Kee (New York : Abingdon Press, 1972), 27, dikutip dari Adnin Armas, MA, Filsafat Hermeneutika dan Dampaknya Terhadap Studi al-Qur’an, Bahan-Bahan Mata Kuliah Islamic Worldview  di Program Pendidikan dan Pemikiran Islam Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta, Editor : Adian Hisaini, 2008.
Prof.Dr.H.Mudjia Raharjo,M.Si, Dasar-Dasar Hermeneutika : Antara Intensionalisme & Gadamerian (Yogyakarta : Ar-Ruzzmedia, 2008), hal 30.
Theodore Plantinga, Historical Understading in the Thought of Wilhelm Dilthey (United Kingdom : Edwin Ellen Press, Ltd., 1992), 103, dikutip dari Adnin Armas, MA, Filsafat Hermeneutika dan Dampaknya Terhadap Studi al-Qur’an, Bahan-Bahan Mata Kuliah Islamic Worldview  di Program Pendidikan dan Pemikiran Islam Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta, Editor : Adian Husaini, 2008.
Aref Ali Nayed, Interpretation As the Engagement of Operational Artifacts : Operational Hermeneutics (unpublished Ph.D. Thesis, The University of Guelph, 1994), 3-4, dikuitp dari Dr.Ugi Suharto, Apakah Al-Qur’an Memerlukan Hermeneutika?, (Jurnal ISLAMIA, Tahun 1 No.1 Muharram 1425 H, hal 47.
Johann Salomo Semler, Vorbereitung zur theologischen Hermeneutik, zu weiterer Beforderung des Fleisses angehender Gottesgelerten (Halle, 1970) dan Johann August Ernesti, Institutio Interpretis Novi Testamenti, ed. Christoph Friedrich von Ammon (Halle, 1809; pertama kali terbit 1761). Cf. Manfred Frank, Das individuelle Allgemeine : Textstrukturierung und interpretation nach Schleiermacher (Frankfurt am Main : Surkamp, 1977), dikutip dari Dr.Syamsuddin Arif, Orientalis & Diabolisme Pemikiran-Bab Hermenutika dan Tafsir Al-Qur’an, (Jakarta : Gema Insani Press, 2008), hal 179.
Ibid.,hal 180.
The New Encyclopedia Brittanica, (Chicago : Encyclopedia Brittanica Inc., 15th edition)
Secara etimologis dekonstruksi  berarti pembongkaran dari dalam. Dekonstruksi merupakan alternatif untuk menolak segala keterbatasan penafsiran ataupun bentuk penafsiran baku. Kris Budiman, Kosakata Semiotika (Yogyakarta, LKiS, 1999), 21, dikutip dari Dr.Ir.Muhammad Shahrur, Prinsip-Prinsip Hermeneutika Al-Qur’an Kontemporer, bagian Pengantar Penerjemah, (Yogyakarta, eLSAQ Press, 2004), hal xvii.
Ibid., hal 31.
Nashr Hamid Abu Zayd, Hermeneutika Inklusif-Mengatasi Peroblematika Bacaan dan Cara-Cara Pentakwilan atas Diskursus Keagamaan, (Jakarta : ICIP, 2004), 3.
Menyatakan Al-Qur’an sebagai teks penuh dengan resiko. Pertama, sebagai teks AL-Qur’an tidak bisa lepas dari konteks budaya dan sejarah. Kedua, pendekatan yang dipergunakan adalah pendekatan kebahasaan dan sastra yang memperhatikan aspek kultural dan historisitas teks. Ketiga, titik tolak studi Al-Qur’an berubah dari keimanan menjadi keilmuan dan objektivitas (scientific and objectivity). Nashr Hamid Abu Zayd, Mafhum al-Nass Dirasah fi Ulum al-Qur’an, (Kairo : al-Hay’ah al-Misriyah al-‘Ammah li al-Kitab), 11. Dikutip dari tesis Arif Mansyuri, Konstruksi Tafsir Feminis (Studi Pemikiran Amina Wadud Atas Kesetaraan Jender dalam Al-Qur’an), IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2006, hal 1.
Nashr Hamid Abu Zayd, Hermeneutika Inklusif-Mengatasi Peroblematika Bacaan dan Cara-Cara Pentakwilan atas Diskursus Keagamaan, (Jakarta : ICIP, 2004), bagian Pengantar Redaksi, hal vii.
Nashr Hamid Abu Zayd, Mafhum al-Nas Dirasah fi Ulum al-QUr’an, (Beirut : al-Markaz al-Thaqafiy al-Araby, 1994), hal 221-223. Dikutip dari Adian Husaini dan Henri Salahuddin, Studi Komparatif : Konsep Al-Qur’an Nashr Hamid Abu Zayd dan Mu’tazilah, Jurnal ISLAMIA, Tahun I No.2/Juni-Agustus 2004, hal 35-36.
Adian Husaini dan Henri Salahuddin, Studi Komparatif : Konsep Al-Qur’an Nashr Hamid Abu Zayd dan Mu’tazilah, Jurnal ISLAMIA, Tahun I No.2/Juni-Agustus 2004, hal 36.

Hermeneutika al-Qur'an dan al-Hadis

Pijakan Awal
Tatkala ilmu pengetahuan belum terkuak lebar, banyak sekali asumsi-asumsi atau paradigma tentang sesuatu terbukti keliru. Nicolas Copernicus (1473-1543) misalnya, lewat penelitian astronominya, menghancurkan otoritas astronomi tradisional yang didominasi oleh teori Aristoteles dan Ptolemaeus yang mengandaikan bahwa bumi adalah pusat alam semesta (geosentris). Baginya, juga Galileo-Galile (1564-1642) yang memanjangtangani kesimpulannya, bahwa mataharilah yang menjadi pusat peredaran benda-benda angkasa (heliosentris).
Di lain misal, saat mana daya khayali manusia mengasumsikan bahwa sumber segala penyakit terletak pada darah, maka sistem pengobatan yang mendominasi masa itu adalah dengan cara menyedot darah dari tubuh. George Washington mungkin adalah salah satu korban yang meninggal akibat terlalu banyak disedot darahnya. Dan entah berapa banyak lagi mereka yang menjadi korban kekeliruan paradigma ini, hingga akhirnya Semmelweis dari Hungaria, Pasteur dari Perancis, dan para ilmuwan empirik lain menemukan bahwa penyebab penyakit adalah kuman, maka seketika itu pula paradigma pengobatan pun akhirnya berubah secara drastis.
Di dalam studi agama, hermeneutik merupakan manisfestasi nyata dari perubahan paradigma (paradigm shifting). Pendekatan ini menawarkan suatu “tilik melingkar” terhadap suatu masalah, persis seperti ketika jama’ah haji mengitari ka’bah sebanyak tujuh kali. Di setiap sudut, terpasang beragam kacamata keilmuan, seperti antropologi, sosiologi, psikologi, bahasa, ekonomi, dst., untuk membantu memahami, menafsirkan dan membunyikan hasil tilikannya. Sehingga, jika dahulu paradigma “satu interpretasi untuk selamanya” bertahan kuat, maka hermeneutika menyajikan kemungkinan interpretasi yang berbeda yang bisa menggeser paradigma lama. Jika di jaman primitif laku berburu dan mengumpulkan makanan adalah cara yang terbaik untuk bertahan hidup, tapi setelah muncul paradigma bertani, paradigma lama itupun mulai ditinggalkan. Di saat orang merasa nyaman dengan cara bertani, paradigma industri pun mulai menggeser. Dan di kala paradigma industri menguat, pola informasi pun mulai menunjukkan kelebihannya. Jadi hermeneutika sama dengan pergeseran paradigma dalam menanggapi suatu masalah.
Apa itu Hermeneutika?
Bagi penulis, cara manusia menanggapi suatu masalah persis seperti mencicipi ice cream dengan sekian banyak lidah. Meski banyak orang menyatakan nikmat, yang lainnya mungkin saja berbeda. Hasrat, selera, dan kondisi pelaku, di antaranya adalah faktor penyebabnya. Seobjektif apapun orang mendekati sesuatu, unsur subjektivitas hampir tidak bisa dipisahkan dari pelakunya. Sehingga hermeneutik, sebagai sebuah ilmu berfungsi untuk menguak beragam cita rasa tersebut. Hermeneutka, seperti yang telah penulis sebutkan adalah “tilik melingkar” atas suatu masalah. Jika di hadapan seseorang terdapat sebuah teks atau bentuk tanda apa saja yang memiliki makna, maka hermeneutika tidak pernah melupakan pengarangnya (pembuat tanda), audiens yang dituju oleh tanda, atau juga pembaca yang menjadi subjek atas tanda. Sehingga, kajian melingkar atau tawaf atas teks, author, dan reader menjadi karakteristik hermeneutik.
Secara mekanis, tilik melingkar ini akan memunculkan beragam gambar yang pada gilirannya gambar-gambar itu hanya bisa dilihat oleh kacamata yang berkompeten dalam wilayahnya. Aneh dan terkesan janggal kalau urusan kurap, kudis atau campak didekati dengan pendekatan mistik atau agama. Sulit untuk diterima kalau masalah bahasa dipahami melalui sudut pandang ekonomi. Ini sama lucunya dengan orang yang mau makan bubur dengan menggunakan garpu. Karena yang layak menangani kurap, kudis dan campak adalah seorang dokter, bukannya ustadz, dukun ataupun kiayi. Sedang yang pantas menangani masalah bahasa adalah ahlinya, bukannya seorang ekonom atau akuntan. Tandasnya, kerja tawaf hermeneutik ini juga membutuhkan bantuan dari beragam keilmuan, baik kedokteran, sosiologi, psikologi, ekonomi, politik dll., hingga dengan interkonektisitas ini tersusunlah suatu keutuhan pemahaman yang pada hakikatnya terdiri dari anatomi-anatomi yang saling berkelindan. Jadi, hermeneutik itu adalah cara memahami, menafsirkan sesuatu dengan mempertimbangkan konteks dan basis-basis yang menyertainya.
Hermeneutika al-Qur’an dan Hadis
Jika pada bagian terdahulu hermeneutika dimaknai dengan cara memahami, menafsirkan sesuatu, maka yang dimaksud dengan hermeneutika al-Qur’an dan hadis adalah cara memahami dan menafsirkan teks al-Qur’an dan hadis, serta kemungkinan kontekstualisasi (menyampaikan teks) dalam konteks kekinian dan kedisinian. Terhadap al-Qur’an, hermeneutika mungkin hanya bergerak dalam wilayah memahami, menafsirkan dan mengkontekstualisasikan. Namun terkait dengan hadis, hermeneutika mau atau tidak, juga harus bergelut dalam proses otentifikasi. Sebagai langkah praktis, mari kita lihat penafsiran ulama terdahulu atas makna “Khair faqir” pada ayat berikut:
“Fasaqaa lahumaa tsumma tawalla ilaa al-zhilli faqaala rabbi inni limaa anzalta ilayya min khairin faqiir. ”Artinya : “Maka Musa memberi minum ternak itu untuk (menolong) keduanya, kemudian dia kembali ke tempat yang teduh lalu berdoa: ‘Ya Tuhanku Sesungguhnya Aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku.’” (al-Qashshash/28:24).
Menurut kitab tafsir al-Jalalain, kata “khair” yang dimaksud oleh ayat di atas adalah tho’am atau makanan. Ini sesuai dengan konteks ayat, manakala Musa selesai membantu kedua gadis itu untuk menimbakan air, kemudian dia kembali berteduh, terasa olehnya lapar yang teramat sangat. Maka adalah wajar kalau pada saat itu yang dibutuhkan oleh Musa adalah makanan.
Al-Thabari, Ibn Katsir, al-Baidhawi, al-Wahidi, dan al-Syaukani pun berpendapat demikian, bahwa yang dimaksud dengan khair adalah tho’am atau makanan. Seperti yang dijelaskan oleh Ibn Abbas, ketika pergi dari Mesir ke Madyan, Nabi Musa tidak membawa bekal makanan, sehingga ketika sampai di Madyan, Musa sangat kelaparan.
Jika melihat konteks ayat, cukup beralasan kalau para ulama menafsirkan ayat di atas dengan kebutuhan akan makanan. Dan juga sangat mudah dipahami mengapa para ulama tafsir menafsirkannya demikian, karena dalam menafsirkan ayat ini otoritas Ibn Abbas amat sangat kuat Akan tetapi menurut penulis, penafsiran seperti itu hanya salah satu dari variabel khair. Karena jika melihat kembali kondisi Musa yang pergi dari Mesir dengan rasa takut (28:21), terus sendirian di negeri orang tanpa tempat berlindung, maka yang dibutuhkan Musa bukan hanya sekedar makanan. Bisa saja sebenarnya kebutuhan akan makan itu sudah terpenuhi di saat dia melakukan perjalanan dari Mesir ke Madyan. Sehingga ketika sampai di Madyan, yang dibutuhkan bukanlah makanan, akan tetapi orang yang mau memberikan dia tempat berlindung. Karena adalah mustahil baginya untuk tinggal satu atau dua hari di Madyan, lantas kemudian kembali lagi ke Mesir. Dan indikasi akan kebutuhan ini terlihat dari jawaban Allah atas do’a Nabi Musa, yaitu mempertemukan dia dengan Nabi Syu’aib yang dengan suka cita memberi perlindungan dan pekerjaan kepada Nabi Musa. Juga terlihat dari kata-kata Nabi Syu’aib yang meyakinkan Nabi Musa bahwa dia telah aman dari kejaran orang-orang yang zalim (28:25).
Begitu juga dengan teks hadis, sebagai contoh adalah mengenai larangan pada perempuan untuk melakukan perjalanan tanpa seorang mahram. Jika bersandarkan pada teks hadis belaka, maka tidak ada kemungkinan bagi seorang perempuan untuk bebas bepergian sendirian dalam segala kondisi. Karena ketiadaan mahram, sebagaimana yang diutarakan oleh sebagian ulama, akan mudah menimbulkan fitnah. Akan tetapi, jika dikaji secara syumul, yaitu dengan mempertimbang kapan dan dalam kondisi bagaimana teks tersebut lahir, kemudian melihat lebih jauh lagi perubahan kondisi bagi masyarakat penerima teks, maka kemungkinan sebab operatif (‘illah) lahirnya hadis akan berbeda. Sebenarnya, sebagian ulama yang cerdas sejak dahulu sudah memulai langkah hermeneutis. Mereka tidak terkungkung dalam ke-rijid-an bunyi teks, akan tetapi mencoba keluar darinya. Seperti dalam kasus larangan ini, mereka sudah menyatakan, bahwa alasan dilarangnya seorang perempuan untuk berpergian bukanlah terletak pada ada tidaknya seorang mahram, akan tetapi lebih berkaitan dengan soal keamanan. Karena itu, jika keamanan bisa dijamin melalui berbagai sarana, seorang perempuan boleh berpergian sendiri atau bersama perempuan lain.
Dari dua contoh kasus di atas, dapat dilihat, bagaimana sebenarnya kerja hermeneutik dalam mendekati al-Qur’an dan hadis. Dalam relasi tiga dunia yang berbeda, yaitu teks, pengarang, dan pembaca, semuanya harus mendapat perhatian yang berimbang. Tiga dunia itu jika dikaitkan dengan teks al-Qur’an, sangat mustahil memang untuk mengkaji pengarangnya, yaitu Allah. Akan tetapi karena al-Qur’an merupakan respons atas kondisi sosial-budaya-politik masyarakat Arab yang berlaku di masa Nabi Muhammad, maka kondisi-kondisi tersebut dapat diposisikan sebagai author atau pengarang. Alasan-alasan mengapa pengarang melahirkan bunyi teks begini atau begitu, bisa dilihat lewat jendela ini. Sementara itu, pesan-pesan yang tereduksi dalam teks al-Qur’an harus dikembalikan dalam kondisi tersebut. Karenanya, peran ilmu-ilmu seperti antropologi, budaya, politik, ekonomi, bahasa, psikologi, arkeologi, sosiologi, sejarah, dll., amat membantu untuk mengurai kembali situasi dan kondisi di balik teks yang sudah mengalami penyempitan makna.
Kemudian, jika teks-teks al-Qur’an menjelma dalam suatu kitab tafsir, maka “tilik melingkar” pun harus juga dikembangkan. Setelah kondisi saat mana teks itu lahir dipahami, maka kondisi sosial-politik-budaya beserta kehidupan pengarangnya (baca:mufassir) juga harus turut dikenali. Tak bisa dipungkiri, kalau peran pengalaman pribadi mufassir sangat menentukan ke arah mana teks al-Qur’an dipahami dan ditafsirkan. Dengan melihat cara kerja hermeneutis ini, maka sangatlah rawan kalau permasalahan kontemporer diselesaikan dengan cara penyelesaian orang-orang terdahulu. Karena walau bagaimanapun juga, perbedaan waktu, tempat, dan kondisi sosial-politik-budaya sangat memungkinkan terjadinya ketidakcocokan. Dan pemaksaan pemahaman dengan cara begini merupakan alasan yang mendasari lahirnya sikap otoriter dalam beragama.
Tidak jauh berbeda dengan al-Qur’an, dalam mengkaji hadis pun, hermeneutik menawarkan cara yang sama. Jika pengarang al-Qur’an adalah Allah, maka pelaku otoritatif timbulnya hadis adalah Nabi Muhammad. Maka sebenarnya antara kondisi yang melatarbelakangi lahirnya al-Qur’an hampir sama. Hanya saja, jika Allah (dalam arti pribadi) tidak bisa dikaji secara historis, maka Nabi, dengan segala pernak-perniknya memungkinkan untuk itu.
Berdasarkan pemahaman ini, maka alasan munculnya sebuah teks sebenarnya didorong oleh basis yang berlapis-lapis. Tidak hanya dimulai dari kelahiran al-Qur’an dan hadis, kemunculan teks-teks tafsir, fikih, tasawuf dll. pun juga dimotivasi oleh basis yang berlapis-lapis seperti ini. Bisa saja ketika seorang ulama fikih menetapkan hukum, maka kemungkinan interes politik, kurangnya wawasan, minat pribadi dll. sangat mempengaruhi pemahaman dan penafsirannya. Atas fakta demikian, maka adalah wajar kalau dalam hermeneutik, prinsip yang digunakan oleh Sigmund Freud, Karl Marx, dan Friedrich Nietzsche untuk selalu curiga terhadap setiap teks mesti diterapkan.
Dari penjelasan di atas, nyata sudah kalau pemahaman sebenarnya beragam, dan objek yang ditengarai sama pun ternyata juga mengandung keragaman. Karena itu, kita sebagai umat yang lahir belakangan, dengan kondisi yang sangat beragam dari tempat ke tempat, maka tidak bisa tidak, kesadaran akan keragaman pemahaman atas teks al-Qur’an dan hadis harus terus ditanamkan. Dan dalam menyikapi perbedaan ini, dan agar sikap kesewenang-wenangan tidak mengemuka, maka apa yang ditawarkan oleh Khaled M. Abou El Fadl perlu ditekankan. Sikap untuk selalu mengendalikan diri (self restraint), sungguh-sungguh (diligence), mempertimbangkan berbagai aspek yang terkait (comprehensiveness), mendahulukan tindakan yang masuk akal (reasonableness), dan kejujuran (honesty) menjadi parameter uji sahih untuk meneliti berbagai kemungkinan pemaknaan teks sebelum pada akhirnya harus memutuskan dan merasa yakin bahwa dirinya memang mengemban sebagian perintah Tuhan.
Kesimpulan
Hermeneutik sebenarnya adalah cara memahami teks dengan lebih baik dan bijak. Tentunya, orang yang merasa dirinya berafiliasi erat dengan metode ini, hendaknya memiliki kebijakan yang ditanamkan oleh hermeneutik. Sikap empati merupakan langkah awal dalam beriteraksi dengan orang, dan seterusnya sikap terbuka untuk mau bekerja sama adalah konsekuensinya. Independensi memang baik, akan tetapi itu bukanlah yang utama. Karena di atas itu, interdependensi merupakan capaian sesungguhnya. Begitu pula dengan hermeneutika, tanpa interdependensi, maka ia tidak akan melahirkan keunggulan sejati. Mempertahankan sikap eksklusif (independen) pada diri sembari menggedor pintu kemapanan yang ada pada orang lain, sama halnya dengan menumpahkan ludah ke tanah, kemudian dengan merangkak menjilatinya kembali. Wallahu a’lam.
Hermeneutika Tak Bisa Menggantikan Tafsir Al-Qur'an
(Imam Nawawi)
Para hermeneutis (pengaplikasi hermeneutika) tidak segan-segan memberikan tuduhan yang negatif kepada para ulama Islam
Oleh: Ahmad Sadzali*
Al-Quran adalah sumber dan rujukan utama dalam ajaran-ajaran agama Islam sehingga sudah kepada Nabi Muhammad SAW. Namun pada praktek penerapannya, kita sangat embutuhkan sebuah metodologi agar dapat menguraikan maksud dari ayat-ayat Al-Quran kepada Nabi Muhammad SAW. Namun pada praktek penerapannya, kita sangat membutuhkan sebuah metodologi agar dapat menguraikan maksud dari ayat-ayat Al-Quran.
Metodologi tersebut adalah tafsir Al-Quran.
Tafsir berasal dari kata fas-sa-ra. Secara etimologis dapat diartikan ‘keterangan atau penjelasan yang menerangkan maksud dari suatu lafazh’. Seperti yang telah disinggung dalam Al-Quran;  “Dan mereka (orang-orang kafir itu) tidak datang kepadamu (membawa) sesuatu yang aneh, melainkan Kami datangkan kepadamu yang benar dan penjelasan yang paling baik.” [al-Furqaan: 33]
Secara singkat, tafsir dapat didefinisikan sebagai ilmu yang membantu memahami Kitabullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, dengan menggunakan metode dan aturan-aturan tertentu.
Menurut Abdurrahman Al-Baghdadi, menafsikan Al-Quran haruslah dengan cara yang sesuai dengan Al-Quran itu sendiri. Yaitu dengan tekstual, dan bukan dengan kontekstual (sesuai dengan situasi dan konsisi). Kemudian kita juga harus mengetahui terlebih dahulu apa yang dikemukakan oleh Al-Quran, yaitu dengan mempelajarinya secara ijmal (garis besar) sehingga hakikat yang dikemukakan oleh Al-Quran itu tampak jelas. Selain itu juga kita harus mempelajari dari segi lafazh dan maknanya sesuai dengan ketentuan bahasa Arab dan keterangan Rasulullah SAW. Dan untuk memahami ayat-ayat kauniah, kita juga membutuhkan wawasan khusus tentang ilmu pengetahuan (sains) yang berkembang dari waktu ke waktu.
Karena Al-Quran adalah Risalah Ilahiah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, maka orang tidak akan mungkin dapat memahami semua isinya secara benar kecuali melalui apa yang telah dijelaskan oleh Nabi Muhammad SAW dalam As-Sunnah (Al-Hadits). Seperti yang telah dijelaskan oleh Allah bahwa Al-Quran diturunkan kepada Rasul-Nya untuk dijelaskan ayat-ayatnya kepada manusia, sebagaimana yang termaktub dalam firman-Nya;
 “…Dan Kami turunkan az-zikr (Al-Quran) kepadamu, agar engkau menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan agar mereka memikirkan (isi kandungan Al-Quran).” [an-Nahl: 44]
Dengan kata lain orang yang ingin menafsirkan Al-Quran harus menguasai As-Sunnah, yang dalam hal ini adalah memahami sepenuhnya nash (teks) As-Sunnah, memahami setiap ide dan setiap hukum yang terkandung di dalamnya dan mengetahui tujuan yang dimaksud oleh kata-katanya, bukan hanya sekedar hafal susunan kalimatnya.
Tidak hanya sampai di situ. Masih banyak lagi ketentuan-ketentuan lain yang wajib kita ikuti untuk dapat menafsirkan Al-Quran. Seperti mengetahui dan memahami kisah-kisah sejarah di dalam Al-Quran atau berita tentang berbagai umat manusia pada zaman dulu yang bersumber dari Rasulullah. Kemudian kita juga harus mengetahui berbagai ilmu yang mendukung metode tafsir seperti ilmu Tauhid, ilmu Fiqih, ilmu I’rab (gramatika), ilmu Balaghah, ilmu sejarah dan lain sebagainya.
Standar ketentuan semacam itu akhirnya akan melahirkan tafsir Al-Quran yang benar-benar baik dan bisa dipertanggungjawabkan. Dan produk dari tafsir itu sendiri tidak akan keluar dari koridor-koridor ajaran Islam. Sehingga Al-Quran tetap dapat diterapkan di setiap tempat dan zaman (fi kulli makan wa zaman) tanpa harus mengubah hukum-hukum yang telah qoth’i dalam Al-Quran.
Hermeneutika sebuah tawaran
Seiring dengan gencarnya arus gerakan orientalis dan musuh-musuh Islam dalam selimut untuk mengguncang tatanan ajaran Islam, maka metode tafsir Al-Quran ini mulai dikritisi dan dicitrakan buruk. Misalkan pencitraan terhadap orang yang tekstuil dalam memahami Al-Quran adalah kolot, tradisionalis, dan statis. Atau dengan mengatakan bahwa penafsiran Al-Quran yang ada ini masih relatif kebenaranya. Sehingga masih memungkin penafsiran-penafsiran yang lebih bebas dari itu.
Seperti yang dikatakan oleh Badarus Syamsi dalam artikelnya di situs islamlib.com. “Jangan berharap bahwa penafsiran dan upaya pemahaman atas Islam akan sempurna betul, karena kesempurnaan adalah suatu hal yang relatif,” tulisnya.
Dengan adanya anggapan semacam itu, pada akhirnya mereka seakan mengajukan suatu metode lain untuk menafsirkan Al-Quran. Metode yang mereka ajukan tersebut adalah metode hermeneutika, suatu metode yang biasanya digunakan untuk menafsirkan Bibel.
“Hermeneutika sebagai sebuah metode interpretasi sangat relevan kita pakai dalam memahami pesan Al-Quran agar subtilitas inttelegendi (ketepatan pemahaman) dan subtilitas ecsplicandi (ketepatan penjabaran) dari pesan Allah bisa ditelusuri secara komprehensif. Maksudnya, pesan Allah yang diturunkan pada teks Al-Quran melalui Nabi Muhammad itu tidak hanya kita pahami secara tekstual, juga bisa kita pahami secara kontekstual dan menyeluruh dengan tidak membatasi diri pada teks dan konteks ketika Al-Quran turun”, tulis Ahmad Fuad Fanani, aktifis Jaringan Islam Libaral [JIL], dalam sebuah artikelnya yang berjudul Metode Hermeneutika Untuk Al-Quran.
Bak gayung bersambut, beberapa Perguruan Tinggi Islam seperti Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, UIN Bandung, UIN Yogyakarta, dan sebagainya, kini telah menetapkan hermeneutika sebagai mata kuliah wajib di Jurusan Tafsir Hasits. Para mahasiswa diarahkan untuk menulis skripsi/tesis dengan menggunakan metode hermeneutika, dan bukan dengan ilmu tafsir klasik.
Sungguh sangat ironis memang, ketika produk ilmu dari khazanah kita sendiri diabaikan dan produk orang lain diagung-agungkan.
Sejatinya, istilah hermeneutika ini merujuk kepada seorang tokoh mitologis dalam mitologi Yunani yang terkenal dengan nama Hermes. Ia bertugas sebagai dewa yang menyampaikan pesan-pesan Dewa kepada manusia. Dari tradisi Yunani ini, akhirnya hermeneutika berkembang menjadi metodologi penafsiran Bibel, yang selanjutnya dikembangkan lagi oleh para teolog dan filosof di Barat sebagai metode penafsiran secara umum.
Bibel yang sifatnya sebagai “teks manusiawi” sangat memungkinkan menerima berbagai metode penafsiran hermeneutika, dan menempatkannya sebagai bagian dari dinamika sejarah. Ini tentunya sangat berbeda dengan sifat Al-Quran yang otentik dan final, sehingga Islam memang bukan bagian dari dinamika sejarah. Islam telah sempurna dari awal. Dan Islam tidak berubah sejalan dengan perkembangan sejarah.
Jika ketidakcocokan ini dipaksa untuk diterapkan, maka yang terjadi adalah penyelewengan terhadap ajaran Islam itu sendiri. Jika hermeneutika diterapkan dalam tafsir Al-Quran, maka yang secara otomatis Al-Quran akan ditempatkan sebagai produk budaya (muntaj tsaqafi), tidak lagi sebagai wahyu suci yang mempunyai kesakralan.
Produk yang dihasilkan dari hermeneutika  adalah suatu paham relativisme yang menganggap tidak adanya tafsir yang tetap. Semua tafsir dianggap produk akal manusia yang felatif, kontekstual, temporal, dan personal. Dengan hermeneutika, hukum Islam memang menjadi tidak ada ada yang pasti. Contohnya, hukum tentang perkawinan antaragama. Dalam Islam, jelas muslimah diharamkan menikah dengan laki-laki non-Muslim. Tapi karena hukum ini dipandang bertentangan dengan hak asasi manusia dan tidak sesuai dengan zaman, maka harus diubah. Agama tidak boleh menjadi faktor penghalang bagi perkawinan. Sehingga pada akhirnya hukum perkawinan antaragama menjadi sesuatu yang halal.
Para hermeneutis (pengaplikasi hermeneutika) juga tidak segan-segan memberikan tuduhan yang negatif kepada para ulama Islam. Seperti yang terjadi pada kasus kritikan terhadap Imam Syafi’i. Dalam buku Fiqih Lintas Agama yang diterbitkan oleh Paramadina, Imam Syafi’i dituduh sebagai orang yang membelenggu pemikiran fiqih sehingga tidak berkembang.
Banyak lagi dampak negatif dari penerapan hermeneutika pada tafsir Al-Quran. Jika metodologi ini dibiarkan begitu saja menjamur di kalangan cendikiawan umat Islam khususnya pada Perguruan Tinggi Islam di Indonesia, maka yang terjadi adalah pendekonstruksian ajaran-ajaran Islam secara besar-besaran. Akhirnya lulusan Perguruan Tinggi Islam bukannya menjadi ulama di masyarakat, melainkan malah menjadi orang yang nomor satu mengkritisi khazanah keislaman.
Tentunya kita tidak menginginkan hal seperti itu terjadi. Kita harus berusaha melestarikan dan mengembangkan khazanah keislaman yang sudah dibangun kokoh oleh para pendahulu kita. Namun perlu diingat, melestarikan bukan berarti statis, dan mengembangkan bukan berarti liberal. Semuanya ada batasan dan koridornya. Dan Islam, sangat indah mengaturnya. Wallahu’alam. [www.hidayatullah.com]


Apakah Al-Qur'an Memerlukan Hermeneutika

(MUCHIB AMAN ALY )

Latar belakang

Al-Qur'an sebagai kitab suci dan pedoman hidup kaum muslimin telah sedang dan akan selalu ditafsirkan. Karena itu, dalam pandangan kaum muslimin, tafsir al-Qur'an adalah istilah yang sangat mapan. Akhir-akhir ini di negeri kita, hermeneutika sebagai metode penafsiran teks, sedang digandrungi oleh para intlektual dan para orientalis negeri seberang, dan digemakan oleh para pemikir islam moderenis seperti, Hasan Hanafi, Fazlur Rahman, Muhamad Arkoun, Nasr Hamid Abu Zaid dan lain-lain. Padahal istilah hermeneutika adalah kosa kata filsafat barat, yang juga sangat terkait dengan interpretasi Bibel. Karena itu hermeneutika tidak layak di sinonimkan dengan tafsir al-Qur'an, yang memiliki konsep yang jelas, berurat dan berakar dalam Islam. Hermeneutika dibangun atas faham relatifisme. Hermeneutika menggiring kepada gagasan bahwa segala penafsiran al-Qur'an itu relatif, padahal fakta empiris menunjukkan para mufassir yang terkemuka sepanjang masa tetap memiliki kesepekatan-kesepakatan. Jika hermeneutika tetap digunakan sebagai sinonim terhadap tafsir, akan mengimplikasikan berbagai problematika yang ada didalam hermeneutika, juga terjadi didalam al-Qur'an. Tulisan di bawah ini akan mengungkap bahwa hermeneutika tidaklah layak untuk dianggap sebagai tafsir.
Hermeneutika, Tafsir dan Ta'wil
Secara etimologis, kata tafsir berasal dari bahasa Arab, Fassara, yang bermakna menerangkan atau menjelaskan. Kata tafsir disbutkan secara eksplisit di dalam al-Qur'an surat Al-Furqon (25: 33) yang artinya: Tidaklah engkau orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan kami datangkan kepadamu sesuatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya. Secara terminologis, merujuk kepada ilmu yang dengannya, pemahaman terhadap kitab Allah swt yang diturunkan kepada Rasulullah saw, penjelasan mengenai makna-makna kitab Allah swt dan penarikan hukum-hukum beserta hikmahnya diketahui
Kata hemeneutika merupakan derivasi dari bahasa Yunani dari akar kata hermÇneui, yang berarti menafsirkan. Hermeneutika di asosiasikan kepada Hermes, seorang utusan dewa dalam mitologi Yunani Kuno yang bertugas menyampaikan dan menerjemahkan pesan dewata yang masih samar-samar kedalam bahasa yang dipahami manusia. Sumber-sumber perkamusan menyatakan, Istilah hermeneutika dimulai dari usaha para ahli teologi Yahudi dan Kristen dalam mengkaji ulang secara kritis teks-teks dalam kitab suci mereka untuk mencari "nilai kebenaran Bible". Mengapa dengan hermeneutika itu para teologi bertujuan mencari nilai kebenaran dadalam Bible?. Jawabannya adalah, karena mereka memiliki sejumlah masalah dengan teks-teks kitab suci mereka. Mereka mempertanyakan apakah secara harfiyah Bible itu bisa dianggap Kalam Tuhan atau perkataan manusia. Hal itu disebabkan adanya perbedaan gaya dan kosa kata yang ditemukan pada berbagai pengarang Bible. Adanya perbedaan itulah yang menyebabkan Bible tidak bisa dikatakan Kalam Tuhan. Oleh sebab itu para teolog Kristen, memerlukan hermeneutika untuk memahami Kalam Tuhan yang sebenarnya. Mereka hampir bersepakat, bahwa Bible secara harfiyahnya bukanlah Kalam Tuhan. Keadaan ini berbeda dengan kaum Muslimin, yang  yang telah bersepakat bahwa al-Qur'an adalah Kalam Allah swt yang diturunkan kepada Rasulullah saw. Kaum Muslimin juga bersepakat, bahwa secara harfiyah al-Qur'an itu dari Allah swt. Juga, kaum Muslimin sepakat, membaca al-Qur'an secara harfiyah adalah termasuk ibadah dan mendapat pahala, menolak bacaan harfiyah adalah kesalahan, membacanya secara harfiyah didalam sholat adalah syarat. Oleh sebab itu kaum Muslimin, berbeda dengan Yahudi dan Kristen, tidak pernah bermasalah dengan lafadz-lafadz harfiyah al-Qur'an. Perbedaan selanjutnya adalah, bahwa Bible kini ditulis dan dibaca bukan lagi dengan bahasa asalnya. Bahasa asal Bible adalah Hebrew untuk Perjanjian Lama, Greek untuk Perjanjian Baru, dan Nabi Isa sendiri berbicara dengan bahasa Aramic. Teks-teks Hebrew Bible pula mempunyai masalah dengan isu Orginality. Mengenai bahasa Hebrew sendiri, saat ini tak ada seorangpun yang masih aktif menggunakan bahasa Hebrew kuno. Oleh sebab ketiadaan bahasa Hebrew pada saat ini, maka wajarlah para teolog Yahudi dan Kristen mencari jalan lain untuk memahami kembali Bible melalui hermeneutika.
Dalam hal ini hermeneutika kemungkinannya dapat membantu suatu karya terjemahan, lebih-lebih lagi, jika bahasa asalnya sudah tidak ditemukan lagi. Friedrich Schleiermacher (1768-1834), filosof  Protestan dari Jerman, yang dipercaya sebagai pendiri hermeneutika secara umum, menyatakan bahwa, diantara tugas hermeneutika itu adalah untuk memahami teks "sebaik atau lebih baik dari pada pengarangnya sendiri". Maka wajarlah Bible yang dikarang oleh banyak orang itu memerlukan hermeneutika untuk memahaminya dengan cara yang lebih baik dari pengarangnya Bible itu sendiri. Adapun al-Qur'an, bagaimana mungkin terfikir oleh kaum Muslimin bahwa mereka dapat memahami al-Qur'an lebih baik dari Allah swt atau Rasulullah saw ?. Oleh sebab itu, dalam upaya pemahaman lebih dalam mengenai al-Qur'an, kaum Muslimin hanya memerlukan tafsir, bukan hermeneutika, karena mereka telah menerima kebenaran harfiyah al-Qur'an sebagai Kalam Allah swt. Kalau perlu lebih mendalam, lagi, seperti dalam ayat-ayat Mutasyabihat, maka yang diperlukan adalah ta'wil. Perlu ditegaskan, dalam tradisi Islam, ta'wil tidaklah sama dengan hermeneutika, karena ta'wil, mestilah berdasakan dan tidak bertentangan dengan tafsir, dan tafsir berdiri diatas lafadz-lafadz harfiyah al-Qur'an. Jadi, sebagai suatu istilah, ta'wil dapat berarti, pendalaman makna. Imam Al-Jurjani (w. 816/1413) dalam kitab Ta'rifatnya menyatakan tentang hubungan tafsir dan ta'wl sebagi berikut : Ta'wil secara asalnya bermakna kembali. Namun secara syara' ia brmakna memalingkan lafadz dari maknanya yang dhohir kepada makna yang mungkin terkandung didalamnya, apabila makna yang mungkin itu sesuai dengan Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah. Contohnya seperti firman Allah swt  "Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati " (al-Anbiya': 95), apabila yang dmaksudkan disitu adalah mengeluarkan burung dari telur, maka itulah tafsir. Tetapi apabila yang dimaksud disitu adalah mengeluarkan orang yang berilmu dari orang yang bodoh, maka itulah ta'wil  . Dari penjelasan diatas, jelaslah bahwa ta'wil lebih dalam dari tafsir, dan tafsir itu berdasarkan kepada makna dhohir lafadz harfiyah ayat-ayat al-Qur'an. Jadi, sebenarnya terdapat banyak perbedaan antara tafsir dan hermeneutika. Bahkan terdapat ketidakmungkinan jika mengaplikasikan hermeneutika kedalam tafsir al-Qur'an.
Dari sisi epistemologis, hermeneutika bersumber dari akal semata-mata, oleh karenanya hermeneutika memuat dhon (dugaan), syak (keraguan), mira' (asumsi), sedangkan didalam tafsir, sumber epistemologi adalah wahyu al-Qur'an. Karena itu, tafsir terikat dengan apa yang telah disampaikan, diterangkan dan dijelaskan oleh Rasulullah saw. Allah berfirman dalam surat al-Nahl (44). yang artinya : Telah kami turunkan kepadamu (Muhammad) Kitab tersebut, agar kamu jelaskan kepada umat manusia tentang apa yang telah diturunkan (Allah) kepada mereka, dan agar mereka memikirkannya. Rasulullah saw menyampaikan, menerangkan dan menjelaskan isi al-Qur'an, jika ada diantara para sahabat yang bersilisih atau tidak mengerti mengenai kandungan ayat al-Qur'an, mereka merujuk langsung kepada Rasulullah saw,  akal tidak dibiarkan lepas landas melanglang buana, sebagaimana yang terjadi didalam hermeneutika. Akal yang liberal tanpa ikatan, akan dengan mudah menyalah tafsirkan ayat-ayat al-Qur'an. Setelah Rasulullah saw wafat, para sahabat menafsirkan ayat al-Qur'an dengan sangat hati-hati. Abu Bakar ra misalnya, mengatakan : "Bumi mana yang akan membawaku, dan langit mana yang akan menaungiku, jika aku mengatakan didalam Kitab Allah apa yang aku tidak ketahui".
Para sahabat menafsirkan al-Qur'an dengan berpegang kepada penafsiran yang telah diberikan oleh Rasulullah saw. Ketika menafsirkan al-Qur'an, para sahabat pertama-tama menelitinya dalam ayat-ayat al-Qur'an yang lain, karena ayat-ayat al-Qur'an satu sama yang lain saling menafsirkan. Setelah itu mereka merujuk pada penafsiran Rasulullah saw, sesuai dengan fungsi beliau sebagai penjelas terhadap ayat-ayat al-Qur'an. Sekiranya penjelasan tertentu tidak ditemukan didalam al-Qur'an dan Hadits, maka para sahabat berijtihad. Setelah generasi para sahabat, para tabi'in menafsirkan al-Qur'an dengan al-Qur'an, Hadits dan pendapat para sahabat, setelah itu baru dilakukan ijtihad. Pada masa para tabi'in, tafsir, belum merupakan disiplin ilmu tersendiri. Tafsir merupakan bagian dari Hadits. Ini menunjukkan dengan jelas bahwa tafsir tidaklah semena-mena, namun selalu terkait dengan apa yang telah dilakukan oleh Rasulullah saw dan para sahabatnya. Pada abad keempat hijryah, Imam Ibnu Jarir al-Thobari, menulis kitab Jami' al-Bayan 'an Ta'wil al-Qur'an yang mengumpulkan segala berita dari para otoritas sebelumnya yang berkaitan dengan al-Qur'an. Al-Thobari menggunakan sistem isnad untuk menafsirkan al-Qur'an. Tujuannya adalah untuk menjaga agar penafsiran tidak dilakukan secara sembarangan dan tetap bersandar kepada penafsiran yang otoratif. Pendekatan al-Thobari ini kemudian diikuti oleh para mufassir yang lain, seperti Ibnu Katsir dengan Tafsir al-Qur'an al-Karim, al-Suyuthi dengan tafsirnya al-Durr al-Mantsur fi Tafsir bi al-Ma'tsur dan lain-lain. Berbeda dengan tafsir yang sudah mapan didalam Islam, hermeneutika muncul didalam konteks peradaban Barat, yang didominasi oleh konsep ilmu yang skeptik. Karena itu konsep yang ditawarkan oleh para hermeneut tentang makna, kandungan, teori hermeneutika itu sendiri, terus menerus mengalami berbagai perubahan, perbedaan dan bahkan pertentangan. Teori hermeneutika dibangun atas spekulasi akal. Karena itu, konsep dan teorinya tidak jelas sebagaimana penggunaan tafsir  yang selalu terkait dengan al-Qur'an dan Hadits.
 'Ulumul Qur'an dan Kredibilitas Mufassir
Selain tafsir al-Qur'an, ilmu-ilmu yang membantu dalam menafsirkan al-Qur'an sudah wujud dengan sangat mapan. Kajian secara lebih mendalam dan khusus serta sistimatis mencakup berbagi aspek didalam al-Qur'an, seperti al-Qira'ah, asbab al-nuzul, nasikh wa al-mansukh, tarikh al-Qur'an, al-muhkan wa al-mutasyabihat, dan lain-lain. Ilmu-ilmu yang telah disebutkan diatas, harus dimiliki oleh para mufassir, agar isi al-Qur'an tidak ditafsirkan semena-mena. Para mufassir harus memiliki kredibilitas supaya tidak terjadi penyimpangan penafsiran.  Jika penafsiran al-Qur'an dilakukan dengan sesuka hati oleh siapa saja, maka akan terjadi banyak kebingungan dan kerancuan penafsiran, sebagaimana yang terjadi dalam kelompok Ahmadiyah, yang menafsirkan al-Qur'an sesuai dengan kepentingan golongannya. Menghindari hal-hal seperti itu, para penafsir harus memenuhi berbagai pra syarat.. Imam al-Suyuthi menyebutkan bahwa, seorang mufassir harus menguasi nahwu, shorrof, istihqoq, ma'ani, bayan, badi', qiro'ah, ushuluddin, ushul al-fiqh, asbab al-nuzul, qishosh, nasikh wa al-mansukh, fiqh, dan hadits-hadits yang menerangkan al-Qur'an, disamping itu ia juga harus mengamalkan ilmunya . Pra syarat ini juga, yang membedakan dengan hermeneutika, yang membuka penafsiran seluas mungkin bagi siapa saja untuk menginterpretasikan teks.
Saat ini para orientalispun sangat getol menafsirkan al-Qur'an. Karena itu, sangat banyak sekali ditemukan penafsiran yang memuat kepentingan mereka. Padahal para ulama' kita  sejak dulu sudah menetapkan bahwa diantara syarat-syarat para mufassir adalah berkaitan dengan keberagamaan dan akhlaq, yaitu memiliki akidah yang sahih, komitmen dengan kewajiban agama dan akhlaq Islami. Al-Thabari, misalnya, mengemukakan bahwa syarat utama seorang mufassir adalah akidah yang benar dan komitmen  mengikuti sunnah. Orang yang akidahnya cacat, tidak dapat dipercaya bisa mengemban amanah yang berkaitan dengan urusan keduniawian apalagi urusan keagamaan.
Kesimpulan
Walhasil, hermaneutika jelas berbeda dengan tafsir ataupun ta'wil, hermeneutika tidak sesuai untuk kajian  al-Qur'an, baik dalam arti teologis atau filosofis. Dalam arti teologis, hermeneutika akan brakhir dengan mempersoalkan ayat-ayat yang sudah dhohir dari al-Qur'an dan menganggapnya sebagai problematik. Diantara kesan hermeneutika teologis ini adalah adanya kesan keragu-raguan terhadap Mushaf Utsmani yang telah disepakati oleh kaum Muslimin. Keinginan para pemikir moderen, Muhammad Arkon misalnya, untuk men-"Deconstruct" (merubah ulang) Mushaf Utsmani , adalah pengaruh dari hermeneutika teologis ini. Pendapat Nasr Hamid Abu Zaid yang menyatakan bahwa, posisi Nabi Muhammad saw, sebagai semacam pengarang al-Qur'an, Nabi Muhammad saw sebagai seorang Ummiy, bukanlah penerima wahyu pasif, tetapi mengolah redaksi al-Qur'an, sesuai dengan kondisinya sebagai manusia biasa, setelah al-Qur'an disampaikan oleh Rasulullah saw kepada umatnya, maka telah berubah menjadi teks Insani bukan teks Ilahi  yang suci dan sakral , adalah kesan yang muncul dari hermeneutika filosofis.
Dalam posisi yang lebih ekstrim, filsafat hermeneutika telah memasuki dataran epistemologis yang berakhir pada pemahaman Shophist yang bertentangan dengan pandangan hidup Islam. Filsafat hermeneutika berujung pada kesimpulan universal bahwa, setiap pemahaman teks adalah bentuk dari interpretasi, dan karena interpretasi itu tergantung kepada orangnya, maka hasil pemahaman tersebut menjadi subyektif. Dengan kata lain, tidak ada orang yang dapat memahami apapun secara obyektif. Aqidah al-Nasafi, pada pragraf pertamanya menyatakan : Semua hakikat segala  perkara itu tsabit adanya, dan pengetahuan akan dia adalah yang sebenarnya, berbeda dengan pendapat kaum Sufasta'iyyah . Salah satu golongan Sufasta'iyyah itu adalah golongan 'indiyyah (Subyektifisme) yang menganut faham bahwa tidak ada kebenaran obyektif dalam ilmu, semua ilmu adalah subyektif, dan kebenaran mengenai sesuatu hanyalah semata-mata pendapat seseorang. Apabila semua ini dikaitkan dengan kajian al-Qur'an, maka akibatnya tidak ada kaum Muslimin yang mempunyai pemahaman yang sama mengenai  al-Qur'an, karena semua pemahaman itu tergantung pada interpretasi masing-masing.     
Gagasan Schleiermacher bahwa penafsir dapat lebih mengerti lebih baik dari pengarang, sangat tidak tepat untuk di aplikasikan pada al-Qur'an. Tidak seorangpun dari kalangan mufassir mengatakan bahwa dia akan lebih mengerti dari pada pengarang al-Qur'an, Allah swt. Juga gagasan Wilhem Dilthey yang menggambarkan bahwa pengarang tidak mempunyai otoritas atas makna teks, tapi sejarahlah yang menentukan maknanya. Pendapat semacam ini jelas tidak dapat diaplikasikan didalam tafsir al-Qur'an. Bagi Mufassir, Allah swt, justru mengubah sejarah, bukan malah dipengaruhi oleh sejarah. Begitu juga gagasan Gadamer yang menyatakan bahwa penafsiran senantiasa terikat oleh konteks tradisinya masing-masing, Penafsir tidak mungkin melakukan penafsiran dari sisi yang netral. Penafsir merupakan "reinterpretation", memahami lagi teks secara baru dan makna yang baru pula. Pendapat Gadamer sebagaimana diatas, akan menggambarkan bahwa para penafsir tidak akan terlepas daripada latar belakang situasi, budaya dan sosial. Bagi kaum Muslimin, para mufassir, baik dahulu, sekarang dan yang akan datang, tidak akan terjebak dengan latar belakang sosial dan budaya. Tafsir dilakukan melampaui batas budaya dan lokal. Oleh karena itu, masih banyak kesepakatan diantara para mufassir, meskipun latar belakang sosial dan budaya mereka berbeda.
Terakhir, sebagai penutup, berikut saya kutip sedikit tulisan yang terdapat dalam buku "Hermeneutika Transdental : Dari Konfigurasi Filosofis menuju Praksis Islamic Studies" yang telah banyak beredar, sebagai contoh dari dampak gagasan mengusung Hermeneutik ke al-Qur'an. Berikut tulisannya :  "….kiranya tidak ada salahnya jika digulirkan gerakan re-orientasi penafsiran al-Qur'an dari yang berwacana superioritas menuju Qur'an yang komunikatif. Artinya : pandangan tentang al-Qur'an yang mau mengakomodir pandangan-pandangan yang bernuansa kemanusiaan. Sehingga manusia "ada" ketika berhadapan dengan al-Quran. Jika selama ini penafsiran tentang al-Qur'an sudah menempatkan al-Qur'an sebagai "benda suci" yang tak bisa salah, maka saat ini diperlukan sebuah paradigma yang tak bisa melepaskan al-Qur'an sebagai produk budaya manusia dalam menangkap keber"ada"an Tuhan. Inilah yang disebut dengan Qur'an komunikatif, dimana manusia diberi ruang kebebasan dalam menafsirkannya, terlepas dari adiprasangka al-Qur'an yang sudah terlanjur sudah dianggap Maha Suci bahkan anti kritik. Sekali lagi, kebenaran al-Qur'an adalah kebenaran menurut ukuran manusia. Al-Qur'an tidak bisa menunjukkan kebenarannya tanpa mengikut sertakan pandangan kebenaran dari manusia. Jadi, kebenaran al-Qur'an adalah kebenaran yang bersifat manusiawi. Sudah sewajarnya jika manusia diberi ruang dalam menginterpretasikan al-Qur'an. Namun, jika al-Qur'an kita pandang secara absolut, maka tidak ada nilai guna yang kreatif bagi perkembangan manusia…..(hal: 204-205). Pernyataan diatas jelas sekali membeo hermeneutika Kritisnya Habermas tanpa mengetahui konsekuensi epistemologisnya. Atau barangkali penulisnya tidak tahu bagaimana posisi epistemologis al-Qur'an. Menganggap al-Qur'an bukan suci lagi dan bisa salah, telah mereduksi kalau tidak menafikan status al-Qur'an sebagi wahyu Allah swt.
Tulisan ini saya akhiri dengan peringatan Rasulullah saw: Kamu akan mengikuti jalan-jalan kaum sebelum kamu, sehasta demi sehasta, sejengkal demi sejengkal, sehingga apabila mereka masuk lubang biawak sekalipun, kamu akan mengikutinya jua. Kemudian Rasullah saw ditanya : "Apakah mereka (yang diikuti) itu kaum Yaudi dan Nasrani ?, Rasulullah saw menjawab : "Siapa lagi (kalau bukan mereka). (HR.Bukhori Muslim.) Wallohu A'lam bi al-Showab.
Lajnah Bahtsul Masa’il  PC.NU Kab. Pasuruan
 Muhammad b. 'Abdullah al-Zarkasyi. Al-Burhan fi 'Ulum al-Qur'an (Kairo Daru Ihya' al-Turath Al-Arabiyah. 1957) cet. l, hlm. 13 .
al-Jurjani. Al-Ta'rifat (Dar al-Diyan al-Turath) hlm 72.
Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur'an al-'Adhim ( Kairo: Maktabah Daru al-Turath  jil l), hlm. 5.
Jalaluddin al-Suyuthi, al-Itqon fi Ulum al-Qur'an (Beirut. Dar al-Kutub al-Ilmiyah 1987 jil 2) hlm. 397-399.
Mohammad Arkoun, al-Turats: Muhtawahu wa Huwiyyatuhu-Syabiyyatuhu wa Salbiyyatuhu (Beirut:Markaz Dirasat al-Wahdah al-Arabiyyah, 1987), 176.
 Nasr Hamid Abu Zaid, Naqdu al-Khitob al-Dini (Kairo. Maktabah Madbuli  2003) cet. lV hlm 126.
Tafsir Al-Qur’an Atau “Hermeneutika Al-Qur’an”
Al-Qur’an sebabagi sebuah kitab suci dan pedoman hidup kaum Muslimin telah, sedang dan akan selalu ditafsirkan. Karena itu, dalam pandangan kaum Muslimin tafsir al-Qur’an adalah istilahyang sangat mapan. Bagaimanapun, akhir-akhir  ini istilah hermeneutika al-Qur’an (Quranic hermeneutics) sering digemakan oleh para orientalis dan para pemikir Muslimin modernis seperti Hassan Hanafi, Fazlur Rahman, Mohamed Arkoun, Nasr Hamid Abu Zayd, Amina Wadud Muhsin, Ashgar Ali Engineer, Farid Esack dan lain-lain. Padahal istilah hermeneutika, adalah kosa kata filsafat Barat, yang juga sangat terkait dengan interpretasi Bibel.
 Karena itu, hermeneutika tidaklah layak disinonimkan dengan tafsir al-Qur’an, yang memiliki konsep yang jelas, berurat serta berakar di dalam Islam. Hermeneutika dibangun atas faham relatifisme. Hermeneutika menggiring kepada gagasan bahwa segala penafsiran al-Qur’an itu relative, padahal fakta empiris menunjukkan para mufassir yang tekemuka sepanjang masa tetap memiliki kesepakatan-kesepakatan. Jika hermeneutika tetap digunakan sebagai sebuah sinonim terhadap tafsir, akan mengimplikasikan bahwa berbagai problematika yang ada didalam hermeneutika, juga terjadi di dalam al-Qur’an, padahal tidak seperti itu. Tulisan di bawah ini akan mengungkap bahwa hermeneutika tidaklah layak untuk dianggap sebagai tafsir. Bagaimana luasnya pembahasan mengenai tafsir didalam pemikiran para ulama kita terdahulu juga akan dieksplorasi. Akhirnya, masih banyak aspek y ang perlu digali dan diipelajari oleh kaum muslimin tentang tafsir al-Qur’an, ketimbang mewarisi, mengadopsi dan memodifikasi hermeneutika.

Sejarah  Ringkas Tafsir al-Qur’an
Secara etimologis, kata tafsir ber-asal dari bahasa Arab, fassara, yang bermakna menerangkan atau menjelaskan. Kata tafsir disebutkan secara eksplisit di dalam surat al-Furqan (25:33) yang berbunyi sebagai berikut: wa la ya tunaka bimathalin illa ji aka bil-haqq wa ahsana tafsiran (Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya). Secara terminologis, tafsir merujuk kepada ilmu yang dengannya pemahaman terhadadap Kitab Allah yang diturunkan kepada Rasulullah saw, penjelasan  mengenai makna-makna Kitab Allah dan penarikan hukum-hukum beserta hikmahnya diketahui.
Hermeneutika diasosiasikan kepada Hermes, seorang utusan dewa dalam mitologi Yunani Kuno yang bertugas menyampaikan dan menerjemahkan pesan Dewata yang masih samar-samar ke dalam bahasa yang dipahami  manusia. Peran Hermes tersebut dianggap sinonim dengan peran  Rasulullah saw yang menyampaikan pesan Allah swt. Karena itu, hermeneutika dianggap sinonim dengan tafsir. Bagaimanapun, logika ini terlalu simplistic. Bagaikan manusia berkaki dua dan kanguru pun berkaki dua. Maka manusia sinonim dengan kanguru! Padahal bukan saja fisiologi dan psikologi manusia yang berbeda dengan kanguru, bahkan fisiologi kaki manusia jelas berbeda dengan fisiologi kaki kanguru. Jadi, sebenarnya terdapat banyak perbedaan antara tafsir dengan hermeneutika. Bahkan terdapat ketidakmungkinan jika mengaplikasikan hermeneutika ke dalam tafsir  al-Qur’an. Dari sisi epistemologis, hermeneutika bersumber dari akal semata-mata. Jadi, hermeneutika memuat  zann (dugaan), shakk (keraguan), mira (asumsi), sedangkan jdi dalam tafsir, sumber epistimologi adalah wahyu al-Qur’an. Karena itu, tafsir al-Qur’an terkait dengan  apa yang telah disampaikan, diterangkan dan dijelaskan oleh Rasulullah saw. Allah berfirman dalam surat an-Nahl (16:44) sebagai berikut: (Telah Kami turunkan kepadamu (Muhammad) Kitab tersebut agar kamu jelaskan kepada umat manusia tentang apa yang telah diturunkan (Allah kepada mereka dan agar mereka memikirkannya). Maksud yang sama juga disebutkan di dalam surat al-Nahl (16:44) sebagai berikut: Dan Kami tidak menurunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur’an) ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. Begitu juga dengan surat an-Nisa (4:105) yang menyebutkan: ”Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa  yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah) karena (membela) orang-orang yang khianat.”
Jadi, Rasulullah saw menyampaikan, menerangkan dan menjelaskan isi al-Qur’an. Jika ada diantara para sahabat yang berselisih atau tidak mengerti mengenai kandungan al-Qur’an, mereka merujuk langsung kepada Rasulullah saw mengenai makna sebuah ayat al-Qur’an sekaligus  penjelasannya. Jadi, akal tidak dibiarkan lepas landas, melanglang buana kemana-mana, sebagaimana yang terjadi di dalam hermeneutika. Akal yang liberal tanpa ikatan akan dengan mudah menyalahtafsirkan al-Qur’an. Akibatnya, penyimpangan  penafsiran. Menghindari hal-hal seperti itu, setelah Rasulullah saw wafat, para sahabat menafsirkan al-Qur’an dengan sangat hati-hati. Abu Bakr al-Siddiq misalnya mengatakan bumi mana yang membawaku dan langit mana yang menaungiku jika aku mengatakan di dalam Kitab Allah apa yang tidak kuketahui.
Para sahabat menafsirkan al-Qur’an dengan berpegang pada penafsiran yang diberikan oleh Rasulullah saw. Mereka mengetahui asbab-al-nuzul (sebab-sebab yang melatarbelakangi turunnya ayat al-Qur’an). ‘Abdullah ibn Mas’ud mengatakan: Demi Tuhan yang tidak ada Tuhan selain-Nya, tidak ada ayat dari Kitab Allah yang diturunkan melainkan aku lebih mengetahui kepada siapa diturunkan dan dimana diturunkan. Seandainya aku tahu seseorang yang lebih mengetahui daripadaku tentang cara-cara yang diterimanya kitab Allah, niscaya aku mendatanginya.
Ketika menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, para sahabat pertama-tama m enelitinya dalam al-Qur’an sendiri, karena ayat-ayat al-Qur’an satu sama lain saling menafsirkan. Setelah itu, mereka merujuk kepada penafsiran Rasulullah saw, sesuai dengan fungsi beliau sebagai penjelas terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Sekiranya penjelasan tentang ayat tertentu tidak ditemukan di dalam al-Qur’an dan hadits, maka para sahabat berijtihad. Ringkasnya, pada zaman para sahabat, ucapan, perbuatan, tindakan dan keputusan Rasulullah saw dijadikan sandaran untuk menafsirkan al-Qur’an.
Setelah generasi Sahabat (tabi’in), para tabi’in menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an, hadits Nabi dan pendapat para sahabat. Setelah itu baru mereka mengembangkan penafsiran sendiri berdasarkan ijtihad. Pada masa tabi’in, tafsir belum merupakan sebuah disiplin ilmu yang berdiri sendiri. Tafsir masih merupakan bagian dari hadits. Ini menunjukkan dengan jelas bahwa tafsir t idaklah semena-mena, namun selalu terkait dengan apa yang telah dilakukan oleh Rasulullah saw dan para sahabat.
Para mufassir dari kalangan tabi’in, tersebar di berbagai lokasi. Tabi’in Mekkah seperti Sa’id ibn Jubayr (m.95/714), Mujahid ibn Jabr (m. 104/722), ‘Ikrimah Maula ibn ‘Abbas (25-105 H), Tawus ibn Kisan al-Yamani dan ‘Ata ibn Abi Ribah (m. 114/732) meriwayatkan dari ‘Ibnu Abbas. Tabi’in Medinah seperti Zayd ibn Aslam, Abi al-‘Aliyah dan Mulammad ibn Ka’ab al-Qurazi meriwayatkan dari Ubayy ibn Ka’ab. Tabi’in Iraq seperti ‘Ilqimah ibn Qays, Masruq, al-Aswad ibn Yazid, Murah al-Hamzani, ‘Amir al-Syabi, al-Hasan al-Basri, dan Qatadah ibn Di’amah al-Suddusi meriwayatkan dari ‘Abdullah ibn Mas’ud. Buku tafsir yang ditulis oleh para tabi’in belum ada yang sampai ke tangan generasi kita sekarang. Memang ada buku tafsir yang sekarang sudah diterbitkan, yaitu Tafsir Mujahid, namun buku tafsir ini bukan berarti ditulis oleh tangan Mujahid sendiri, namun diriwayatkan oleh Abu Bisr Warqa ibn ‘Umar (m. 160/776) dari Ibnu Abi Najih (m.132-750). Sebagaimana tafsir Ibnu ‘Abbas yang ditulis oleh murid dan para pengikut Ibnu ‘Abbas.
Menurut Ibnu Nadim, seorang sejarawan Muslim yang terkenal (m. 995), tafsir yang sudah ditulis oleh pengarangnya sendiri dan termasuk yang  paling awal adalah karya Sa’id ibn Jubayr (m. 95/714), seorang Kibar al-tabi’in. Karya ini ditulis atas permintaan ‘Abd al-Malik ibn Marwan (m. 84/703). Tapi, karya ini belum sampai ke zaman kita sekarang. Karya tafsir termasuk yang paling tua yang sampai ke tangan generasi sekarang dan ditulis oleh pengarangnya sendiri adalah potongan dari al-Wujuh wa al-Naza’ir, karya Muqatil ibn Sulayman al-Balkhi (m. 150/763), seorang tabi al-tabi’in. Di dalam karya tafsirnya, Muqatil menyebutkan beberapa orang mufassir dari kalangan tabi’in seperti Sa’id ibnu Jubayr, Mujahid ibn Jabr dan Dahhak ibn Muzahim (m. 105/723). Sa’id ibn Jubayr dan Mujahid ibn Jabr adalah murid langsung dari ‘Abdullah ibn ‘Abbas. Selain karya tersebut, Muqatil juga menulis beberapa karya tafsir yang lain seperti tafsir Khamsumi’ah ayat min al-Qur’an, al-Tafsir fi Mutashabih al-Qur’an dan al-Tafsir al-Kabir. Pada zamannya, tafsir Muqatil termasuk karya yang dijadikan panduan bagi para ulama lain. Sufyan ibn ‘Uyaynah (107-198/725-814) misalnya, mempelajari karya Muqatil. Shafi’i (m. 204/820) juga punya akses ke tafsir Muqatil. Ia menganggap Muqatil sebagai pemimpin di dalam kajian literatur tafsir. Beberapa salinan tafsir Muqatil terus beredar di abad ketiga dan dipelajari oleh para ulama seperti Imam Ahmad ibn Hanbal (213-290/828-903).
Selain itu, pada abad kedua hijriyah, sudah terdapat banyak mufassir lain yang sezaman dengan Muqatil. Diantaranya adalah ‘Abd al-Rahma al-Suddi (m. 127/744), Muhammad ibn al-Sa’ib al-Kalbi (m. 146/763), Shu’bah ibn al-Hajjaj (83-160/702-776), Sufyan al-Thauri (m. 161/778) dan Ibnu Ishaq, pengarang buku Sirah yang terkenal.
Selain karya Muqatil, berbagai karya tafsir awal  yang dinisbatkan kepada para pengarangnya juga sudah beredar. Diantaranya karya tafsir yang dinisbatkan kepada ‘Abdullah ibn Wahb (m. 197/812); al-Farra (m. 207/822) dengan karyanya Ma’ani al-Qur’an; ‘Abdurrazzaq al-San’ani dengan karya Tafsir al-Qur’an (m. 211/827) dengan karyanya Ma’ani al-Qur’an.
Bagaimanapun, sejak dari abad pertama sampai abad ketiga hijriyah, berbagai buku tafsir al-Qur’an tersebut belum ada yang memuat tafsir al-Qur’an secara utuh. Penafsiran al-Qur’an secara keseluruhan baru bermula pada abad keempat hijriah. Ini pertama kalinya dipelopori oleh Ibnu Jarir al-Tabari (m. 310/922) yang menulis Jami’ al-Bayan ‘an ta’wil al-Qur’an (Kumpulan Penjelasan Mengenai Tafsir al-Qur’an). Di dalam karyanya, al-Tabari mengumpulkan segala berita dari para otoritas sebelumnya  yang berkaitan dengan al-Qur’an. Al-Tabari menggunakan system isnad untuk menafsirkan al-Qur’an. Tujuannya supaya penafsiran itu tidak sembarangan dan tetap bersandar kepada penafsiran yang otoritatif. Jadi, dalam menafsirkan al-Qur’an, al-Tabari mengumpulkan berbagai hadits,  pernyataan para sahabat dan tabi’in. Pendekatan al-Tabari yang menggunakan hadits-hadits, pendapat para sahabat dan para tabi’in, diikuti oleh para mufassir yang lain khususnya oleh Ibnu Kathir (m. 774 H/1377) dengan Tafsir al-Qur’an al-Karim; Jalaluddin al-Suyuti (m. 911 H/1505) dengan tafsirnya al-Dhurr al-Manthur fi al-Tafsir bi al-Ma’thur.
Setelah al-Tabari, muncul berbagai penekanan pendekatan yang lain ketika menafsirkan al-Qur’an. Penekanan dari aspek bahasa diantaranya dilakukan oleh al-Zajjaj (m. 311 H) dalam tafsirnya Ma’ani al-Qur’an; al-Wahadi (m. 468 H) dalam tafsirnya al-Basit; dan Abu Hayyan Muhammad ibn Yusuf al-Andalusi dalam tafsirnya al-Bahr al-Muhit. Dari penekanan sisi teologis penafsiran al-Qur’an dilakukan diantaranya oleh al-Zamakshari (m. 406/1016) dengan al-kashshaf ‘an haqa ‘iq ghawamid al-tanzil (Penyingkap Realitas Rahasia-Rahasia Wahyu); Fakhruddin al-Razi (m. 610/1210) dengan Mafatih al-Ghayb (Kunci-Kunci yang Ghaib); dan al-Baydawi dengan Anwar al-tanzil wa asrar al-ta’wail (Cahaya-cahaya wahyu dan Rasia-Rahasia Takwil). Penekanan terhadap aspek hukum dilakukan oleh al-Jassas (m. 370/981) dengan karyanya Ahkam al-Qur’an; Ibnu al-‘Arabi (m. 543/1148) dengan karyanya Ahkam al-Qur’an; al-Qurtubi (m. 671/1272) dengan karyanya Jami’ Ahkam al-Qur’an. Penekanan terhadap isyarat-isyarat al-Qur’an yang berhubungan dengan ilmu tasauf misalnya disusun oleh Abu Muhammad Sahl  ibn ‘Abdullah al-Tasturi dengan karyanya yang disebut dengan tafsir al-Tasturi. Selain itu, ada juga diantara para mufassir yang menitikberatkan kepada penyaringan dan penapisan cerita-cerita terdahulu yang berasal dari orang-orang Yahudi dan Nasrani. Para mufassir yang termasuk dalam kategori ini diantaranya adalah ‘Alauddin ibn Muhammad al-Baghdadi al-Thalabi (m. 741 H) dan tafsri al-Khazin dengan karyanya Lubab al-Ta’wil fi Ma’ani al-Tanzil.
Pemaparan ringkas di atas meunjukkan bahwa tafsir beserta ilmu-ilmu untuk menafsirkan al-Qur’an telah menjadi sebuah disipln ilmu yang sangat matang. Ia adalah bagian yagn tidak terpisahkan dari Islam. Ia sudah berkembang sejak wahyu belumpun diturunkan secara sempurna. Selain itu, para mufassir terkemuka bersepakat dalam berbagai perkara. Masalah penyaliban Nabi Isa as, misalnya, tidak ada seorang pun mufasir dari dulu sampai sekarang yang berpendapat bahwa Nabi Isa a.s. mati di tiang salib. Begitu juga, para mufassir yang berwibawa bersepakat dalam berbagai perkara seperti, tidak boleh wanita muslimah berkawin dengan  orang kafir; Allah itu satu, malaikat, surga, Negara dan kiamat itu semuanya ada dan pasti. Jadi, pernyataan bahwa tafsir itu relative adalah kekeliruan sekalipun terdapat beratus-ratus buku tafsri yang membahas masalah-masalah tersebut.
Berbeda dengan sejarah tafsir yang sudah begitu mapan di dalam Islam, hermeneutika muncul didalam konteks peradaban Barat, yang didominasi oleh konsep ilmu yang skeptik. Karena itu, konsep yang ditawarkan oleh para hermeneut tentang makna, kandungan, teori hermeneutika itu sendiri terus-menerus mengalami berbagai perobahan, perbedaan dan bahkan pertentangan. Konsep hermeneutika Friedrich D.E. Schleirmacher, seorang pendiri teologi Protestant Modern, misalnya, diubah dan dikritik oleh para hermeneut yang lain seperti Wilhem Dilthey, Hans-Georg Gadamer, Jurgen Habermas, Hirsch, Emilio Betti dan lain-lain. Teori mereka tentang hermeneutika dibangun atas spekulasi akal. Karena itu, konsep dan teori mereka tidak akan jelas sebagaimaa penggunaan akal di dalam tafsir yang selalu terkait dengan al-Qur’an dan hadits-hadits dari Rasulullah saw. Karena itu, fenomena berbagai kesepakatan di antara berbagai mufassir tentang berbagai perkara masih ada di dalam tafsir. Hal seperti ini tidak terjadi didalam sejarah hermeneutika, yang selalu mencari-cari kebenaran dengan tidak pernah berhenti mencari. Hasilnya, kebenaran tidak pernah akan dijumpai karena proses mencari yang tanpa henti. Dasr filosofis hermeneutic dijiwai oleh pemikiran skeptik.
Ulumul Qur’an dan Kredibilitas Mufassir
Selain tafsir al-Qur’an, ilmu-ilmu yang membantu dalam menafsirkan al-Qur’an (‘ulum al-Qur’an) juga sudah wujud dengan s angat mapan. Kajian secara lebih khusus dan sistematis mencakup berbagai aspek di dalam al-Qur’an seperti al-qira’ah (ragam-bacaan al-Qur’an); tarikh al-Qur’an (sejarah al-Qur’an); asbab al-nuzul (sebab-sebab turunnya wahyu); al-nasikh wal-mansukh (ayat-ayat yang mengabrogasi dan yang terabrogasi); al-muhkam wal-mutashabbih (ayat-ayat yang jelas dan ayat yang samar-samar di dalam al-Qur’an); ahkam al-Qur’an (hukum-hukum al-Qur’an); I’jaz al-Qur’an (keagungan al-Qur’an); I’rab al-Qur’an (analisa grammar al-Qur’an); ghara ‘ib al-Qur’an (poin-poin yang menakjubkan di dalam al-Qur’an); fada ‘il al-Qur’an (kehebatan al-Qur’an); mushkil al-Qur’an (ayat-ayat yang sulit di dalam al-Qur’an); amthal al-Qur’an (perumpamaan-perumpamaan al-Qur’an), mufradat al-Qur’an (kosa-kata al-Qur’an), al-wujuh wa al-naza’ir fi al-Qur’an (makna al-Qur’an) dan sebagainya.
Banyak pembahasan mengenai qira’ah telah dibahas oleh para ulama kita terdahulu. Abu ‘Ubayd (m. 224/838), misalnya, telah membahas masalah ini didalam karyanya fada ‘il al-Qur’an. Pembahasan lebih mendalam mengenai qira’ah juga dilakukan oleh Ibnu Mujahid (m. 324 H) yang menulis al-Sa’ah fi al-qira’at. Setelah itu banyak sekali literatur tentang qira’ah seperti Abu al-Hasan (m. 399 H) dengan karyanya Kitab al-Tadhkirah fi Qira’at al-thaman; Muhammad ibn Ja’far al-Khiza’i (m. 408 H) dengan karyanya Kitab  al-Muntaha fi al-Qira’at al-‘ashr; Makki ibn Abi Talib al-Qays (m. 430 H) dengan karyanya Kitab al-Tabsirah; Muhammad ibn Ibrahim al Baghdadi al-Maliki (m.  438 H) dengan karyanya Kitab al-Raudah fi al-Qira’at Ihday ‘ashr; Al-Dani (m.  444) dengan karyanya Kitab al-Taysir dan juga Kitab Jami al-Bayan fi al-Qira’at al-Sab; Abu Muhammad al-Shatibi (m.  590/1194) dengan karyanya Hirzul amani wa wajh al-tahani; al-Sakhawi (m. 643) dengan karyanya Kitab Jamal Qurra wa Ikmal iqra’; Ibnu al-Jazari dengan karyanya al-Nashr fi al-qira’at al-‘ashr; dan banyak lagi kitab-kitab qira’ah yang lain.
Pembahasan mengenai nasikh wa mansukh juga telah banyak sekali dilakukan oleh para sarjana Muslim terdahulu. Fihrist Ibnu Nadim misalnya menyebutkan berbagai nama yang sudah membahas secara mendalam mengenai nasikh wa mansukh. Abu Ubayd (m. 224/838) menulis Kitab al-nasikh wa al-mansukh; al-Nahhas (m. 338/950), Hibatullah (m. 410/1019); ‘Abdul Qahir al-Baghdadi (m. 429/1037) semua menulis buku dengan berjudul al-nasikh wa al-mansukh; Begitu juga dengan Makki al-Qaysi (430/1038) yang menulis al-Idah li nasikh al-Qur’an wa mansukhihi; al-Hazimi (m. 584/1188) dengan karyanya al-I’tibar fi bayan al-nasikh wa al-mansukh min al-athar dan banyak lagi karya yang lain.
Pembahasan mengenai asbab al-nuzul juga telah banyak dibahas oleh para ulama  kita terdahulu. Disebutkan bahwa ‘Ikrimah (m. 105/723) dan al-Hasan al-Basri (m. 110/728) telah menulis Nuzul al-Qur’an; ‘Ali ibn al-Madini (m. 234/848) telah menulis Kitab al-Tanzil; Abdurrahman ibn Muhammad Abu al-Matarrif al-Andalusi (m. 402/1011) menulis al-Qisas wa al-as-bab al-lati nazala min ajliha al-Qur’an; Isma’il ibn Ahmad al-Nisaburi (m. 430/1038). Selain itu, karya asbab al-nuzul yang sampai ke tangan kita adalah karya al-Wahidi al-Nisaburi (m. 468/1075) Kitab asbab nuzul al-qur’an; Muhammad ibn As’ad al-‘Iraqi (m. 567/1171) dengan karyanya Asbab al-nuzul wa qisas al-furqaniyyah; al-Suyuti (m. 911/1505) dengan karyanya Lubab al-Nuqul fi asbab al-nuzul; dan lain sebagainya.
Pembahasan mengenai muhkam dan mutashabbiih misalnya, telah dilakukan oleh al-Kisa’I (m. 187/803) yang menulis tentang Mutashabih al-Qur’an; Pembahasan mengenai Majaz al-Qur’an telah dilakukan oleh Abu ‘Ubaydah (m. 210/825); Ibnu Quraybah (m. 276/889) menulis tentang Mushkil al-Qur’an dan Gharib al-Qur’an; dan sebagainya. Kajian yang mendalam tentang berbagai segi al-Qur’an tersebut lambat laun menjadi dasar bagi terbentuknya disiplin ilmu-ilmu al-Qur’an. Al-Baqillani (m. 1012 M) di dalam karyanya Nukat al-Intisar li-naql al-Qur’an (Permata Pertolongan di  Dalam Periwayatan al-Qur’an) menyusun dan mereformulasikan kembali berbagai sisi dari al-Qur’an yang sudah dibahas oleh para sarjana Muslim sebelumnya. Usaha seperti al-Baqillani, dilakukan juga oleh al-Zarkashi (m. 1391 M) di dalam karyanya al-Burhan fii ‘Uluym al-Qur’an (Kriteria untuk ilmu-ilmu al-Qur’an). Al-Suyuti, dengan banyak mengutip al-Zarkashi menulis juga pendapatnya tentang ilmu-ilmu al-Qur’an di dalam al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an (Keyakinan terhadap ilmu-ilmu al-Qur’an).
Ilmu-ilmu yang disebutkan di atas perlu dimiliki oleh para mufassir. Karena itu, isi kandungan al-Qur’an tidak bisa ditafsirkan semena-mena. Para mufassir harus memiliki kredibilitas supaya tidak menyebabkan penyimpangan penafsiran. Jika ayat-ayat al-Qur’an ditafsirkan sesuka hati oleh siapa saja, maka akan terjadi banyak kebingungan dan kerancuan penafsiran. Hal-hal seperti ini sudah dilakukan oleh banyak kelompok seperti Inkar Sunnah, Ahmadiyyah dan lain-lain yang menafsirkan sesuai dengan kepentingan kelompok mereka. Menghindari berbagai dampak seperti itu, maka para penafsir al-Qur’an harus memenuhi berbagai pra-syarat sebelum menafsirkan al-Qur’an. Pra-syarat ini juga membedakan tafsir dengan hermeneutika.
Berdasarkan kepada perkembangan tafsir dan berbagai aspek di dalam tafsir, maka penguasaan terhadap berbagai bidang ulumul qur’an menjadi sebuah keharusan bagi seorang mufassir. Al-Suyuti menetapkan 15 bidang ilmu yang diibaratkan sebagai alat bantu membedah maksud al-Qur’an supaya tidak terjadi penyimpangan. Al-Suyuti menyebutkan bahwa seorang mufassir harus menguasai bahasa; nahw; sarf; istishqaq; ma’ani; bayan; badi’; qira’ah; usuluddin; usul al-fiqh; asbab al-nuzul dan qisas; nasikh dan mansukh; fiqh; hadits-hadits yang menerangkan al-Qur’an dan ilmu yang dianugerahkan Allah dan mengamalkan ilmu-ilmunya.
Saat ini, orientalis pun sangat getol menafsirkan al-Qur’an. Karena itu, sangat banyak sekali ditemukan penafsiran yang memuat kepentingan mereka. Padahal, para ulama kita sejak dahulu sudah menetapkan bahwa diantara syarat-syarat para mufassir adalah berkaitan dengan keberagamaan dan akhlak, yaitu memiliki akidah yang sahih, komitmen dengan kewajiban agama dan akhlak Islam. Al-Tabari, misalnya, mengemukakan bahwa syarat utama seorang penafsir adalah akidah yang benar dan komitmen mengikut sunnah. Orang yang akidahnya cacat tidak bisa dipercayai untuk mengemban amanah yang berkaitan dengan urusan keduniawian apalagi urusan keagamaan. Al-Suyuti mengatakan bahwa sikap takabbur, cenderung kepada bid’ah, tidak tetap iman dan mudah goyah dengan godaan, cintakan dunia yang berlebihan dan terus-menerus melakukan dosa bisa menjadi hijab dan penghalang dari menerima anugerah ilmu Allah swt.
Kredibilitas mufassir tersebut bertujuan membatasi penyimpangan yang mungkin berlaku di dalam menafsirkan al-Qur’an. Sehingga tidak sembarangan orang b olehi menafsirkan al-Qur’an. Selain  itu, tafsiran juga telah dibatasi oleh berbagai perkara, supaya penyimpangan penafsiran tidak dengan mudah berlaku. Hal-hal seperti ini tidak ada didalam hermeneutika, yang membuka penafsiran seluas mungkin bagi siapa saja untuk menginterpretasikan teks.
Kesimpulan
Setelah mengeksplorasi betapa luasnya pembahasan yang telah dilakukan oleh para ulama kita terdahulu mengenai tafsir, maka konsep Hermeneutika yang saat ini sedang begitu semarak dipropagandakan, bisa menjadi tidak mungkin untuk diaplikasikan kepada tafsir. Gagasan Schleirmacher bahwa penafsir bisa lebih mengerti lebih baik daripada pengarang sangat tidak tepat untuk diaplikasikan kepada al-Qur’an. Tidak seorang pun di kalangan para mufassir akan mengatakan bahwa dia akan lebih mengerti daripada pengarang al-Qur’an, Allah swt.
Begitu juga gagasan Wilhem Dilthey yang menggambarkan bahwa pengarang tidak mempunyai otoritas atas makna teks, tapi sejarahlah yang menentukan maknanya. Pendapat seperti ini jelas tidak bisa diaplikasikan di dalam tafsir. Bagi para mufassir, Allah swt. sebagai pengarang al-Qur’an, justru mengubah sejarah, bukan malah dipengaruhi oleh sejarah. Al-Qur’an telah mengislamisasikan struktur-struktur konseptual, bidang-bidang semantic dan kosa kata –khususnya istilah-istilah dan konsep-konsep kunci- yang digunakan untuk memproyeksikan bukan pandangan hidup Islam. Kata penghormatan (muruwwah) dan kemuliaan (karim) sudah ada sebelum Islam. Kata-kata tersebut pada zaman Jahiliah termasuk kata-kata yang penting dalam pandangan hidup Jahiliah. Kata-kata tersebut sangat terkait dengan memiliki banyak anak, harta dan karakter tertentu yang merefleksikan kelelakian. Al-Qur’an mengubah semua ini dengan sangat mendasar dengan memperkenalkan faktor kunci, ketakwaan (taqwa). Al-Qur’an menyebutkan: “Sesungguhnya yang paling Mulia di sisi Tuhanmu adalah orang yang paling bertakwa.” Lebih lanjut, orang-orang Arab sebelum Islam tidak pernah menghubungkan kemuliaan dengan buku-buku, kata-kata (words or speech), sekalipun mereka sangat menghargai kemampuan mengarang dan membaca puisi. Al-Qur’an menghasilkan  perubahan semantik yang dasar ketika kemuliaan diasosiasikan dengan kitab suci Al-Qur’an: kitab karim, atau dengan perkataan yang baik kepada orang tua (qawl karim). Contoh lain terjadi juga kepada kata persaudaraan (ikhwah), yang berkonotasi kekuatan dan kesombongan kesukuan, yang terkait dengan darah, dan tidak merujuk kepada makna yang lain. Al-Qur’an lagi-lagi mengubah ini dengan memperkenalkan gagasan persaudaraan yang dibangun atas dasar k eimanan,  yang lebih tinggi daripada persaudaraan darah.
Begitu juga dengan gagasan Gadamer yang menyatakan bahwa penafsir dan teks senantiasa terikat oleh  konteks  tradisinya masing-masing. Penafsir tidakmungkin melakukan penafsiran dari sisi yang netral. Penafsiran merupakan “reinterpretation”, memahami lagi teks secara baru dan makna baru pula.
Pendapat Gadamer seperti disebutkan di atas akan menggambarkan bahwa para penafsir tidak akan terlepas daripada latar belakang situasi budaya dan sosial. Bagi kaum Muslimin, para mufassir baik dulu, sekarang dan akan datang tidak terjebak dengan latar belakang sosial dan budaya. Tafsir yang dilakukan melampaui batas budaya lokal. Oleh sebab itu, masih terdapat banyak kesepakatan diantara para mufassir, sekalipun latar belakang sosial dan budaya mereka berbeda.
Ringkasnya, ilmu tafsir masih tetap relevan digunakan di dalam studi Islam dan hermeneutika tidaklah sesuai untuk diterapkan ke dalam studi tafsiryang sudah berjalan mapan dalam Islam. Al-Qur’an adalah final, tetap dan  tidak berubah. Otentisitas al-Qur’an terjaga. Bahasa asal al-Qur’an tidak mengalami perubahan. Berbeda dengan al-Qur’an, teks bibel adalah tidak final, tidak tetap dan berubah-ubah. Terdapat beragam versi bibel. Bahasa asal Perjanjian Baru, misalnya, sudah mengalami berbagai perubahan. Dari bahasa Yunani kuno, berubah kepada bahasa Latin, berubah kepada bahasa Inggris dan berubah lagi kepada berbagai bahasa lain. Karena itu, hermeneutika diperlukan untuk mengetahui makna asal dari Perjanjian Baru. Wallahu’alam. (Adnin Armas, MA)

 HERMENEUTIKA AL-QUR’AN KHALED M. ABOU FADL
(Menjunjung Otoritas Teks dan Membatasi Otoritarianisme Pembaca)
Ahmad Fakhruddin dan M. Yardho
Jurusan Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel Surabaya
Abstrak: Muhammad Shahrur's This article talks about Khaled Abu al-Fadl’s Qur'anic Hermeneutics. His hermeneutics based on his anxiety on Islamic law which becomes authoritarian. Therefore, he tries to reconstruct the concept of authority in Islam. Globally, the concept of Khaled Abu al-Fadl’s Qur'anic Hermeneutics cannot be separated from three of followings: First, authenticity. Second, related with "stipulation of meaning". Third, related to a "representative" which has been described in detail above..
Key Words: Hermeneutika, al-Qur'an dan Khaled M. Abou Fadl.
Pendahuluan
Hermeneutika, merupakan teori filsafat mengenai interpretasi makna. Sebagai sebuah pendekatan, akhir-akhir ini, hermeneutika semakin digandrungi oleh para peneliti akademis, sastrawan, sosiolog, sejarawan, antropolog, filosof, maupun teolog, khususnya untuk mengkaji, memahami, dan menafsirkan teks (scripture), misalnya: Injil atau Al-Qur’an.
Fahruddin Faiz mengutip pendapat Sudarto, hermeneutika pada dasarnya adalah suatu metode atau cara untuk menafsirkan simbol yang berupa teks atau sesuatu yang diperlakukan sebagai teks untuk dicari arti dan maknanya, di mana metode hermeneutika ini mensyaratkan adanya kemampuan untuk menafsirkan masa lampau yang tidak dialami, kemudian dibawa ke masa sekarang.[1]
Yusdani mengutip pendapat Josef Bleicher, Hermeneutika merupakan suatu teori atau filsafat tentang interpretasi makna, yang lazim dimaknai sebagai seni menafsirkan (the art of interpretation). Konon, dalam tradisi kitab suci, kata ini sering dirujuk pada sosok Hermes, yang dianggap menjadi juru tafsir Tuhan. Sosok Hermes ini oleh Sayyed Hossen Nasr, sering disebut sebagai Nabi Idris.[2]
Pendekatan hermeneutika, umumnya membahas pola hubungan segitiga (triadic) antara teks, si pembuat teks, dan pembaca (penafsir teks). Dalam hermeneutika, seorang penafsir (hermeneut) dalam memahami sebuah teks – baik itu teks kitab suci maupun teks umum – dituntut untuk tidak sekedar melihat apa yang ada pada teks, tetapi lebih kepada apa yang ada dibalik teks. Sebagaimana Ibnu Taimiyah misalnya, ia menyatakan bahwasanya proses yang benar dalam upaya penafsiran itu harus memperhatikan tiga hal: (1). Siapa yang menyabdakannya, (2). kepada Siapa ia diturunkan, (3) dan ditujukan kepada siapa.[3] Dari sinilah, kata hermeneutika ini bisa didefinisakan sebagai tiga hal:

Mengungkapkan pikiran seseorang dalam kata-kata, menerjemahkan dan bertindak sebagai penafsir, mengalihkan dari suatu bahasa asing yang maknanya gelap tidak diketahui ke dalam bahasa lain yang bisa dimengerti oleh si pembaca, pemindahan ungkapan pikiran yang kurang jelas, diubah menjadi bentuk ungkapan yang lebih jelas.4
Lebih lanjut, Fahruddin Faiz menyatakan bahwa term khusus yang digunakan dalam pengertian kegiatan interpretasi dalam wacana keilmuan Islam adalah “tafsir”, bahasa Arab fassara atau fasara ini digunakan secara teknis dalam pengertian eksegesis di kalangan orang Islam dari abad ke-5 hingga sekarang5. Sedangkan Amin Abdullah menyebut hermeneutika sebagai fiqh al tafsir wa al ta’wil.6
Sebenarnya dalam studi ke-Islam-an, pendekatan hermeneutik telah dirintis oleh Ibnu Khaldun7. Ibnu Khaldun berpendapat bahawa sebuah tradisi akan mati, kering dan mandeg jika tidak dihidupkan secara konsisten melalui penafsiran ulang sejalan dengan dinamika sosial. Maka al-Qur’an yang memposisikan sebagai teks suci bagi umat Islam tentunya sangat memerlukan analisis-analisis ke-Islam-an dalam mengembangkan pemahaman terhadap al-Qur’an. Ini berarti hermeneutik dapat dijadikan disiplin kolaborasi keilmuan antara teori interpretasi teks dan kultur serta kesejarahan umat Islam. Dengan demikian, kultur dan kejerahan dapat memberikan bantuan analisis yang mengakomodasikan latar belakang terbentuknya ayat al-Qur’an dan kematangan teori hermeneutik. Dari sini ada titik temu yang dapat diusung dalam membangun penafsiran al-Qur’an dan kajian kritis keagamaan yang lebih multidisiplin ilmu.
Tetapi dalam kajian studi ke-Islam-an, hermeneutik tidak begitu popular dan bahkan dihindari oleh sebagian kalangan umat Islam. Memang hermeneutik sebagai sebuah ilmu, berkembang menurut latar belakang budaya maupun pandangan hidup di mana ia lahir. Katakan saja, metode hermeneutik lahir dengan latar pandangan Yunani, Kristen, dan Barat. “Jadi ilmu ini tidak bebas nilai”. Barangkali inilah yang menjadi dasar, sehingga disebagian kalangan umat Islam tidak begitu antosias mengadopsi hermeneutik. Bahkan jangankan menggunakan dan menerapkannya dalam kajian-kajian akademik tentang kehidupan sosial-keagamaan, mendengarkan istilah hermeneutik-pun orang sudah antipati. Maka, apabila hermeneutik ini akan diadopsi dalam menfasirkan al-Qur’an dan kajian-kajian kritis keagamaan akan menghadapi masalah besar dan mungkin saja berbagai macam konotasi akan diberikan orang terhadap hermeneutik. Katakan saja, paling mudah diingat adalah predikat relativisme atau istilah yang belakangan ini popoler di tanah air kita adalah “pendangkalan akidah”. Pendekatan ini selalu dikaitkan dengan pengaruh kajian Biblical Studies di lingkungan Kristen yang akan diterapkan dalam kajian al-Qur’an di lingkungan Islam” tentu akan menjadi pertanyaan dan permasalahan serius di kalangan sebagian besar umat Islam.

Kerisauan dan ketakutan sebagian umat itu, oleh Khaled M. Abou El Fadl (ditulis Abou El Fadl) diintrudusir dan dijawabnya. Abou El Fadl, hendak menyatakan dan menegaskan bahwa pemahaman tentang hermeneutik sebanarnya tidaklah seperti itu. Abou El Fadl menjeleskan secara akademis dan memotret secara lebih dekat bagaimana sesungguhnya proses dan prosedur cara bekerja pendekatan hermeneutik. Partanyaan pokok yang dikemukakan Abou El Fadl adalah bagaimana sesungguhnya hubungan antara teks, pengarang, dan pembaca dalam dinamika pergumulan pemikiran hukum Islam (Islamic jurisprudence) pada khususnya dan pemikiran-pemikiran dalam studi ke-Islam-an pada umumnya.8
Biografi Khaled M. Abou El-Fadl
Abou El Fadl lahir di Kuwait pada tahun 1963 dari keluarga terdidik yang sederhana. Orang tuanya adalah muslim taat yang sangat terbuka dalam bidang pemikiran. Diakuinya dengan jujur, bahwa pada masa remaja ia terlibat dalam gerakan puritanisme yang memang subur di lingkungannya. Hari-harinya dipenuhi dengan utopia tentang sebuah ‘kelompok terbaik’ dan ‘kelompok yang mewakili Tuhan’ di atas bumi. Selain itu, setiap kali bertemu dengan orang, dia menyampaikan ajaran puritanisme yang dianggapnya paling benar. Tak terasa sebagian masa remajanya habis tersedot oleh mimpi puritanisme yang membuatnya benci, tertutup, dan marah-marah pada orang lain di luar kelompoknya.
Untunglah Abou El Fadl memiliki orang tua yang shaleh dan terpelajar. Mereka menawarkan berbagai khazanah keilmuwan Islam dari berbagai aliran kepada Abou El Fadl. Maklum saat itu wahabisme yang menjadi mazhab negara telah menyortir semua bacaan yang harus dibaca oleh masyarakat. Penguasa yang memiliki kepentingan dengan ideologi wahabisme menetapkan mana bacaan yang sehat dan tidak sehat untuk masyarakat.
Dengan bacaan yang luas mengenai tradisi Islam dan dukungan keluarga Abou El Fadl mulai menyadari adanya kontradiksi dan persoalan akut di dalam konstruksi ideologis dan pemikiran kaum Wahabi. Klaim mereka atas banyak masalah justru bertentangan dengan semangat ulama masa lalu dalam memandang agama Islam.
Kesadaran akan pentingnya keterbukaan dalam pemikiran semakin berkembang ketika akhrinya dia menetap di Mesir. Di negeri Piramid tersebut ruang tidak terlalu sesak seperti yang dialaminya di Kuwait. Menurutnya, sebuah sistem kekuasaan yang represif dan otoriter tidak akan pernah melahirkan kemajuan berfikir atau pencerahan intelektual bagi masyarakatnya.
Namun bayang-bayang puritanisme tidak pernah redup dalam dirinya. Ketika menempuh pendidikan lanjutan di Yale University, Amerika Serikat untuk meraih B.A (Bachelor of Art) kegelisahan mengenai puritanisme Islam terus menjadi beban yang tak terhapuskan. Namun tugas-tugas belajar menyedot energinya. Selepas dari Yale tahun 1986 Khaled melanjutkan ke University of Pennsylvania yang diselesaikan pada tahun 1989. Pada tahun 1999 dia melanjutkan ke Princeton University dengan spesialisasi dalam bidang Islamic Studies yang pada saat bersamaan ia harus menempuh studi Hukum di UCLA. Akhirnya di UCLA pula ia membangun karir kesarjanaan dalam bidang Hukum Islam. Selama menempuh kuliah Abou El Fadl sempat menjadi Panitera di Pengadilan negara bagian Arizona. Pernah juga menjadi praktisi hukum dalam masalah hukum imigrasi dan investasi.
Saat ini selain menjadi profesor hukum Islam di UCLA, Abou El Fadl mengajar di Princeton, University of Texas, dan Yale university. Terlibat juga sebagai aktivis dalam bidang HAM dan hak-hak Imigran. Selama beberapa tahun terlibat sebagai board name pada Directors of Human Rights Watch dan Comission on International Relegious Freedom di Amerika Serikat.
Di kenal oleh banyak teman dekatnya sebagai penggemar berat musik, terutama musik Arab. Dia penggemar berat legenda Diva Arab (sayyidah al-Ginaa) Ummi Kultsum. Sambil mendengarkan musik, hari-harinya diisi dengan membaca koleksi buku-bukunya yang mencapai kurang lebih 40.000 koleksi di perpustakaan pribadinya.
Sebagai pakar dan aktivis hukum, Abou El Fadl dikenal sebagai penulis yang prolifik—produktif, antara lain : Islam and the Chelllengge of Democracy (Princeton University Press, 2004), The Place of Tolerance in Islam (Cambridge University, 2001), Rebellion dan Violence in Islamic Law ( Cambridge University, 2001), Speaking in Gods Name: Islamic Law, Authority, dan Woman ( Oneworld Publication, 2001), And God knows the Soldiers: The Authoritative and Authoritarian in Islamic Discourse (2001), Conference of The Books: The Search for the Beauty in Islam (2001).
Selain menulis buku, Abou El Fadl memiliki paper kuliah yang berjumlah ratusan dan artikel di media massa yang tak terhitung. Produktivitas menulisnya sangat jelas didukung oleh penguasaan yang luas atas khazanah klasik Islam dan keilmuwan kontemporer. Siapapun membaca karya-karya Abou El Fadl akan menemukan dan merasakan adanya komunikasi atau dialog antara khazanah klasik Islam dengan khazanah pengetahuan kontemporer tanpa perbenturan dan konflik seperti yang sering dikhayalkan banyak orang.9
Hermeneutika al-Qur’an
(Khaled M. Abou El-Fadl)
Membahas hermeneutika al-Qur’an Abou El-Fadl sangat menarik, karena hermeneutikanya berangkat dari gagasannya tentang otoritas dan otoritarian dalam Islam. Dalam salah satu hasil besutannya Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authority and Women, Abou El-Fadl menyajikan sebuah kerangka konseptual untuk membangun gagasan tentang otoritas dan otoritarian dalam Islam. Pembahasan otoritas sangat penting karena tanpa otoritas maka kita akan beragama secara subjektif, relatif dan individual. Untuk itu perlu ada hal-hal yang baku (al-tsawâbit) dalam agama.
Abou El Fadl membangun konsep otoritas dalam Islam dengan doktrin Kedaulatan Tuhan dan Kehendak Tuhan. Kehendak Tuhan dijelaskan melalui Kalam-Nya yang telah tertulis. Demikian juga Nabi—sebagai pemegang otoritas kedua setelah Tuhan—setelah wafat meninggalkan tradisinya (Sunnah) yang telah terkodifikasi. Pada konteks ini telah terjadi proses pengalihan ‘suara’ Tuhan dan Nabi pada teks-teks yang tertulis dalam al-Quran (mushaf) dan kitab-kitab sunnah. Di hadapan kita adalah sekumpulan teks-teks yang dipandang mewakili ‘suara’ Tuhan dan Nabi. Sejauh mana teks-teks tersebut memiliki otoritas mewakili ‘suara’ Tuhan dan Nabi? Bagaimana kita memahami kehendak Tuhan dan Nabi melalui perantara teks-teks tersebut. Apakah aturan-aturan wakil Tuhan agar bisa menyampaikan kehendak Tuhan tanpa menganggap pendapatnya sebagai kehendak Tuhan?
Merespon pertanyaan-pertanyaan mendasar di atas, menurut Abou El-Fadl kita harus memerhatikan tiga hal berikut. Pertama, berkaitan dengan “kompetensi” (autentisitas). Kedua, berkaitan dengan “penetapan makna”. Ketiga, berkaitan dengan “perwakilan”. Tiga pokok persoalan menjadi tiga kunci bagi Abou El-Fadl untuk memisahkan diskursus yang otoritatif dan otoriter dalam Islam, dan berangkat dari tiga pokok pesoalan ini pula, konsep hermeneutika al-Qur’anya dibangun.
Persoalan pertama mengenai kompetensi (autentisitas) adalah bagaimana kita mengetahui bahwa perintah tersebut benar-benar datang dari Tuhan dan Nabi-Nya. Teks-teks yang memiliki kompetensi (autentisitas) dinilai sebagai teks-teks yang otoritatif, sedangkan teks-teks yang tidak memiliki kompetensi tidak memiliki otoritas mewakili ‘suara’ Tuhan dan Nabi. Penggunaan teks-teks yang tidak otoritatif akan menjerumuskan manusia pada otoritarianisme; penganugrahan otoritas pada yang tidak otoritatif.
Dalam konteks kompetensi al-Quran, Abou El-Fadl menggunakan asumsi-berbasis-iman bahwa al-Quran adalah firman-Tuhan yang abadi dan terpelihara kemurniannya. Kompetensi al-Quran tidak bisa diganggu-gugat. Tampaknya Abou El-Fadl tidak ingin berspekulasi membuka perdebatan tentang kesejarahan, kemurnian, dan keaslian al-Quran, karena yang relevan baginya adalah bagaimana “menentukan maknanya” (to determine its meaning).
Maka dari itu, persoalan kompetensi (autentisitas) hanya berlaku pada Sunnah tidak pada al-Quran. Kompetensi Sunnah perlu dipertanyakan agar benar-benar otoritatif bisa mewakili ’suara’ Nabi. Abou El-Fadl sendiri dalam membahas kompetensi Sunnah menggunakan metodologi kritik hadis klasik (mushthalah al-hadits) dari kritik trasmisi (naqd al-sanad) dan kritik perawi (’ilm al-rijâl).
Namun yang perlu diperluas menurut Abou El-Fadl adalah kajian hadis harus menyentuh realitas sejarah. Dalam pandangan Abou El-Fadl menilai perawi dalam rantai periwayatan; bisa dipercaya atau tidak dipercaya, memang cukup membantu, tapi tidak meyakinkan. Maka dari itu Abou El-Fadl ingin mengembangkan kajian hadis pada kritik redaksi hadis (naqd al-matan) yang memungkinkan seseorang mengkaji konteks sosio-historis hadis. Dan yang lebih penting lagi adalah, persoalan sesungguhnya bukan Nabi telah mengatakan atau tidak mengatakan sesuatu, tapi peran apa yang dimainkan Nabi dalam sebuah riwayat tertentu (the issue is not wether the Prophet said or did not say something but what the role did the Prophet play in a particular report).
Pemahaman peran sosok Nabi itu akan melahirkan perbedaan fungsi pada Sunnah; jika Nabi melakukan sebagai sosok manusia biasa, maka, Sunnah itu tidak memiliki otoritas sebagai sumber hukum (al-sunnah ghayr tasyrî’iyyah) namun sebaliknya jika Nabi memerankan sebagai utusan Tuhan yang harus diikuti, maka Sunnah itu memiliki otoritas untuk diikuti (al-sunnah al-tasyrî’iyyah). Selain itu Abou El-Fadl juga menegaskan perlu membedakan kriteria Hadis Ahad dengan Hadis Mutawatir karena keduanya memiliki perbedaan kadar ororitas dalam proses legislasi. Hadis Mutawatir memiliki kadar kompetensi (autentisitas) lebih kuat.
Seorang pemikir liberal Mesir Gamal al-Banna memberikan komentar lebih jauh ketika menjelaskan persoalan al-tsubût (autentisitas/orisinilitas) dengan al-hujjiyah (kompetensi) ketika membahas Sunnah. Persoalan al-tsubût berkenaan dengan orisinilitas transmisi Sunnah. Menurut Gamal, dalam masalah ini, Sunnah memiliki problem serius. Penulisan sunnah dilarang waktu Nabi, dan Sunnah baru dikodifikasi pada paruh abad kedua Hijriah tepatnya pada era Khalifah Umar bin Abd Aziz. Oleh karena itu, Gamal sangat berhati-hati dalam menggunakan Sunnah. Menurutnya hadis palsu lebih banyak dari hadis yang asli (shahîh). Sedangkan hadis ahad lebih banyak daripada hadis yang mutawatir. Ketika berbicara mengenai hujjiyah (kompetensi) Sunnah, hadis-hadis tersebut harus disesuaikan dengan standarisasi Al-Quran; sebagai satu-satunya sumber hukum Islam yang tetap dan akurat. Hadis-hadis yang melawan otoritas al-Quran tidak dianggap hadis-hadis otoritatif lagi.
Di sinilah terdapat perbedaan mendasar kajian teks terhadap al-Quran dan Sunnah. Abou El-Fadl mempertegas dua perbedaan proses tersebut. Yaitu, proses sakralisasi al-Quran dan proses desakralisasi Sunnah—al-Quran secara khusus berasal dari Tuhan sedangkan Sunnah tidak (the sanctification of The Qur’an dan the de-sanctification of the Sunnah—the Qur’an is exclusicely from God but Sunnah is not).
Sedangkan persoalan kedua mengenai penetapan makna, bagaimana kita menetapkan makna dari Kehendak Tuhan itu? Seperti yang telah dimaklumi Tuhan telah menggunakan sarana teks untuk menyampaikan kehendak-Nya, sedangkan teks tidak bisa berbicara sendiri, dia butuh manusia untuk berbicara.
Manusia di hadapan teks adalah ‘lidah’ sebagai artikulatur sekaligus interpreter teks. Memposisikan manusia dalam subjek teks, bukan tanpa masalah, malah sebaliknya. Karena tidak jarang, kita jatuh pada “pembunuhan teks” dan “pelacuran hermeneutika” yang merampas kesucian (autentisitas) teks. Ketika semua berhak bersetubuh dengan teks tanpa kewewenangan, tidak ada yang bisa menjamin teks tersebut ditafsirkan sebebas-bebasnya. Dalam posisi ini, teks akan ditelanjangi dari autentitas, makna dan tujuannya. Dalam pandangan Abou El-Fadl, sikap tersebut merupakan tindakan sewenang-wenang yang menyuburkan penafsiran otoriter.
Bagaimana menjaga kesucian (autentisitas) teks ini, agar tidak mudah ‘disetubuhi’ dan selaras dengan makna aslinya? Menurut Khaled untuk menjawab persoalan ini kita membutuhkan keseimbangan kekuatan yang harus ada antara maksud teks, pengarang dan pembaca (balance of power between the author, reader and text). Penetapan makna berasal dari proses yang kompleks, interaktif, dinamis dan dialektis antara ketiga unsur di atas (teks, pengarang dan pembaca). Salah satu maksud tiga unsur itu tidak ada yang mendominasi. Penafsiran yang tepat adalah penafsiran yang menghormati peranan, otonomi dan integritas teks.
Menghormati otonomi teks bertujuan menghindari kooptasi dan otoritarianisme pembaca terhadap teks sehingga teks bisa ditafsirkan sebebar-bebasnya. Maka dari itu, Abou El-Fadl menegaskan gagasan tentang teks yang terbuka (the open text). Al-Quran dan Sunnah—dengan meminjam istilah Umberto Eco, merupakah “karya yang terus berubah” (“works in movement”). Keduanya adalah karya yang membiarkan diri mereka terbuka bagi berbagai strategi interpretasi (they are works that leaves themselves open to multiple interpretative strategies).
Sedangkan sikap otoriter adalah proses pemasungan teks sehingga teks tidak bisa leluasa bergerak dan berinteraksi dengan keragaman makna. Dalam bahasa Abou El-Fadl, “Authoritarianism is the act of “locking” or captivating the Will of Divine or the will of the tex into the spesific determination, and then presenting this determination as inevitable, final, and conclusive” (Otoritarianisme adalah tindakan “mengunci” atau mengurung Kehendak Tuhan atau kehendak teks, dalam sebuah penetapan tertentu, dan kemudian menyajikan penutupan tersebut sebagai sesuatu yang pasti, absolut dan menentukan.
Otoritarianisme juga ditandai dengan penyatuan pembaca dengan teks. Sehingga penetapan pembaca itu akan menjadi perwujudan eksklusif teks tesebut. Akibatnya teks dan konstruksi pembaca akan menjadi satu dan serupa. Dalam proses ini teks itu akan tunduk kepada pembaca dan secara efektif pembaca menjadi pengganti teks.
Pada posisi ini pembaca hanya akan melahirkan penafsiran yang otoriter. Lebih jauh lagi melahirkan fanatisme yang mengkultuskan pada penafsiran-penafsiran itu sehingga menganggap hasil penafsirannya memiliki kompetensi yang sama dengan teks asal (al-Quran dan Sunnah).
Salah satu terobosan terpenting yang disajikan oleh Abu El Fadl untuk melawan otoritarianisme adalah melawan upaya paksa penaklukkan dan penutupan teks oleh pembaca. Baginya, teks tetap bebas, terbuka, dan otonom. Ide yang sama juga pernah disampaikan oleh Farid Esack dengan memahami al-Quran sebagai “pewahyuan progresif”. Tuhan yang Maha hidup terlibat aktif dalam urusan dunia dan umat Islam. Salah satu manifestasinya adalah mengutus nabi-nabi sebagai instrumen pewahyuan progresif-Nya. Karakteristik al-Quran juga bersifat aktif dan progresif seperti proses turunya al-Quran secara bertahap (tadrîjî). Maka dari itu, untuk menghindari sikap otoriter adalah tetap sadar bahwa teks (al-Quran) merupakan “karya yang terus berubah” atau “wahyu yang progresif”. Sehingga segala bentuk penafsiran dan pemahaman akan terus aktif, dinamis dan progresif.
Pertanyaan selanjutnya adalah, ketika teks memiliki otonomi dan makna tersendiri sedangkan pembaca juga membawa subjektifitas yang bisa melahirkan makna lain, bagaimana relasi dialektis dua makna tersebut? Abou El-Fadl tidak menjelaskan lebih lanjut, dia hanya memberikan kaidah “perimbangan kekuatan” antara pengarang yang diwakili teks dengan pembaca. Untuk itu di sini akan disajikan pendapat Nashr Hamid Abu-Zayd dalam bukunya Naqd al-Khithâb al-Dînî tentang perbedaan “makna statis” dan “makna progresif”. Nashr Hamid membedakan “arti historis-orisinil” teks yang disebut ma’nâ (pengertian) dan “arti realistas-modern” teks yang disebut maghzâ (signifikansi).
Menurut Nashr Hamid Abu-Zayd, perbedaan makna dan signifikansi terletak pada dua aspek. Pertama, “makna” adalah pemahaman terhadap teks yang berasal dari konteks internal bahasa (al-siyâq al-lughawî al-dhâkhîlî) dan konteks eksternal sosio-kultural ekstern (al-siyâq al-tsaqâfî al-ijtimâ’î al-khârijî). Sedangkan “signifikansi” adalah pemahaman terhadap teks sesuai dengan kondisi kekinian melalui perspektif pembaca. Hubungan antara makna dan signifikansi seperti dua mata uang yang tidak bisa dipisah. Bahkan, “signifikansi” lahir dari pemahaman kita terhadap makna asal teks-teks tersebut.
Kedua, “makna” bersifat statis-relatif (al-tsâbît al-nisbî), bersifat statis karena ia merupakan makna asli (otonom) teks sehingga terus menyertai teks tersebut, dan relatif karena ia memiliki “keterbatasan” ruang dan waktu. Sedangkan “signifikansi” terus bergerak mengikuti perputaran dan perubahan cakrawala pembaca.
Selain persoalan penetapan makna tersebut, Abou El-Fadl juga memaparkan persoalan penting lain yaitu persoalan pembuktian yang mendasari pengambilan kesimpulan hukum. Pembuktian itu terkait dengan “asumsi dasar” dalam komunitas interpretasi. Ada empat asumsi dasar yang berfungsi sebagai landasan untuk membangun analisis hukum. Yaitu, asumsi berbasis nilai, asumsi metodologis, asumsi berbasis iman, dan asumsi berbasis akal.
Asumsi berbasis nilai dibangun di atas nilai-nilai normatif yang dipandang penting atau mendasar oleh sebuah sistem hukum. Misalnya nila-nilai dalam perbedaan dharûriyât, hâjiyât, dan tahsinât. Asumsi metodologis terkait dengan sarana atau langkah yang diperlukan untuk mencapai tujuan normatif hukum. Perbedaan antara madzhab hukum dipandang sangat bersifat metodologis. Sedangkan asumsi berbasis akal berdasar pada potongan-potongan bukti yang bersifat kumulatif, sebagai hasil dari proses objektif dalam mempertimbangkan berbagai bukti secara rasional, bukan hasil dari pengalaman etis, eksistensial, atau metafisik yang bersifat pribadi. Sedangkan asumsi berbasis iman bukan berasal dari klaim diperoleh dari perintah Tuhan, tapi dinamika antara manusia (wakil) dan Tuhan. Asumsi berbasis iman dibangun di atas pemahaman-pemahaman pokok atau mendasar tentang karakteristik pesan Tuhan dan tujuannya.
Persoalan ketiga berkaitan dengan konsep perwakilan dalam Islam. Seperti diketahui kedaulatan mutlak hanya dimiliki Tuhan, namun di sisi lain, Islam juga mengakui konsep kekhalifahan manusia sebagai perwakilan Tuhan. Namun pelimpahan otoritas Tuhan kepada manusia membuka ruang otoritarianisme; jika manusia itu menyalahgunakan otoritas Tuhan, melakukan tindakan di luar batas kewenangan hukum yang dimilikinya (ultra vires) atau bahkan menuhankan dirinya.
Untuk itu Abou El-Fadl memberikan beberapa standar sebagai prasyarat kepada mereka yang disebut Abou El-Fadl sebagai “wakil khusus” Tuhan. Secara umum manusia adalah wakil (khalifah) Tuhan di bumi. Namun keberwenangan Tuhan selalu diwakili dan dinegoisasi oleh manusia. Pada tataran realitas tidak semua manusia memiliki kemampuan untuk bisa memahami Kehendak Tuhan. Sehingga wakil-wakil umum itu menyerahkan keputusannya kepada wakil khusus yang disebut Abou El-Fadl sebagai ahli hukum.
Ada lima syarat sebagai pelimpahan pelimpahan otoritas antara wakil umum ke wakil khusus. Yaitu, “wakil khusus” itu harus memiliki; pertama, kejujujuran (honesty) wakil khusus bisa dipastikan jujur, dapat dipercaya untuk menjadi wakil dalam memahami perintah Tuhan. Kedua, Kesungguhan (diligence) wakil khusus itu dipastikan telah mengerahkan segenap upaya rasional dalam menemukan dan memahami Kehendak Tuhan. Ketiga, kemenyeluruhan (comprehensiveness) wakil khusus itu dipastikan telah melakukan penyelidikan secara menyeluruh untuk memahami Kehendak Tuhan. Keempat, rasionalitas (reasonableness) wakil khusus dipastikan telah melakukan upaya penafsiran dan menganalisis perintah-perintah Tuhan secara rasional. Kelima, pengendalian diri (self-restraint) wakil khusus harus memiliki kerendahan hati dan pengendalian diri dalam menjelaskan Kehendak Tuhan. Seorang wakil harus memiliki kewaspadaan untuk menghindari penyimpangan atas peran Tuhan, berarti dia harus mengenal batasan peran yang menjadi haknya saja. Seorang wakil khusus jika tidak memiliki syarat di atas maka akan mudah melakukan pemahaman dan tindakan yang otoriter dengan mengatasnamakan Tuhan.10

Catatan kaki:
 1 Fahruddin Faiz, Hermeneutika Qur’ani, hal. 9
2 Sayyed Hossen Nasr, Knowledge and Sacred, p. 71
3 Fahruddin Faiz, Hermeneutika Qur’ani, hal. 13 atau Ibnu Taimiyyah, Muqaddimah fi  Usul al-Tafsir, hal. 81
4 Ibid, hal. 21-22
5 Ibid., hal. 42. Sebenarnya, jika dilihat dari arti terminologisnya, kata hermeneutic itu setara tidak saja
dengan kata “tafsir”, tetapi juga dengan kata ta’wil, syarh dan juga bayan. (Fahruddin Faiz, Hermeneutika Qur’ani, hal. 52)
6 Zainal Arifin, Hermeneutika dalam Hukum Islam Khaled M. Abou El-Fadl dalam Karya Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authority, and Women, hal. 1-2, dari http://images.derizzain.multiply.com/attachment/0/SUDj3AoKCpUAAEUGEs01/Hermeneutik%20dalam%20HUkum%20Islam.pdf?nmid=145882989
7 Abdurrahman Kasdi, Membangun Peradaban Umat, Perspektif Sosial, Politik dan Humanisme dalam Islam, hal. 18]  
8 Hujair Sanaky, Gagasan Khaled Abou El Fadl tentang Problem Otoritarianisme Tafsir Agama Pendekatan Hermeneutik dalam Studi Fatwa-Fatwa Keagamaan, hal. 2-3, dari http://www.sanaky.com/materi/Gagasan_Khaled.pdf  
9 http://gazali.wordpress.com/2008/01/01/khaled-abou-el-fadl-fikih-otoritatif-untuk-kemanusiaan/  
10 Disarikan dari dua tulisan: Chafid Wahyudi, KEGELISAHAN AKADEMIK (Konstruksi Otoritarianisme Khaled M. Abou El-Fadl) dan Mohamad Guntur Romli, Membongkar Otoritarianisme Hukum Islam, http://guntur.name/2007/12/04/membongkar-otoritarianisme-hukum-islam/
Penutup
Dari pemaparan di atas, dapat diambil simpulan bahwa hermeneutika al-Qur’an Abou El-Fadl dilatar belakangi oleh kegelisahannya terhadap otoritarianisme hukum islam yang berwajah otoriter dan otoritatif, sehingga dia harus berusaha merekonstruksi konsep otoritas dalam Islam—sebenarnya sudah diparaktekkan oleh ulama Islam terdahulu, namun sayang, terlupakan oleh generasi setelahnya. Dan berangkat dari konsep otoritas dalam Islam tersebut, hermeneutika al-Qur’annya terkonstruk.
Secara global konsep hermeneutika al-Qur’an Abou El-fadl tidah terlepas dari tiga hal berikut. Pertama, berkaitan dengan “kompetensi” (autentisitas). Kedua, berkaitan dengan “penetapan makna”. Ketiga, berkaitan dengan “perwakilan” yang sudah dijelaskan secara rinci di atas. Akhirnya, semoga tulisan ini bermanfaat bagi penulis dan pembaca, mohon maaf apabila ada kekurangan dan kesalahan.

Daftar Pustaka
Wahyudi, Chafid, Kegelisahan Akademik (Konstruksi Otoritarianisme Khaled M. Abou El-Fadl)
Faiz, Fahruddin. 2002. Hermeneutika Qur’ani. Yogyakarta: Penerbit Qalam.
Nasr, Sayyed Hossen. 1989. Knowledge and Sacred. New York State University Press.
Taimiyyah, Ibnu. 1971. Muqaddimah fi Usul al-Tafsir. Kuwait: Dar Al-Qur’an al-Karim.
Kasdi, Abdurrahman, 2001, Membangun Peradaban Umat, Perspektif Sosial, Politik dan Humanisme dalam Islam, Lakpesdam Mesir
Arifin, Zainal, Hermeneutika dalam Hukum Islam Khaled M. Abou El-Fadl dalam Karya Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authority, and Women, dari http://images.derizzain.multiply.com/attachment/0/SUDj3AoKCpUAAEUGEs01/Hermeneutik%20dalam%20HUkum%20Islam.pdf?nmid=145882989
Sanaky, Hujair, Gagasan Khaled Abou El Fadl tentang Problem Otoritarianisme Tafsir Agama Pendekatan Hermeneutik dalam Studi Fatwa-Fatwa Keagamaan, dari http://www.sanaky.com/materi/Gagasan_Khaled.pdf
http://gazali.wordpress.com/2008/01/01/khaled-abou-el-fadl-fikih-otoritatif-untuk-kemanusiaan/
Romli, Mohamad Guntur, Membongkar Otoritarianisme Hukum Islam, http://guntur.name/2007/12/04/membongkar-otoritarianisme-hukum-islam/
Referensi Studi Al-Qur’an:
1. Departemen agama RI, Al-Qur'an dan Terejemahnya.
2. Abdul Djalal H.A, Ulumul Qur'an (Dunia Ilmu: 2000).
3. M. Quraish Shihab, Mu`jizat al-Qur'an di Tinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah dan
pemberitaan Ghaib (Mizan, 1997
4. M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur'an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat (Mizan: 2001).
5. M. Quraish Shihab (ed.), Ensiklopedia Al-Qur'an,: Kajian Kosakata (Lentera Hati, 2007)
6. Ahmad Syukri Saleh, Metodologi Tafsir Al-Qur'an Kontemporer dalam Pandangan Fazlur
Rahman.
7. Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur'an,
8. Taufiq Adnal Amal, Tafsir Kontekstual Al-Qur'an.
9. Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembahasan: Metodologi Tafsir al-Qur'an menurut Hassan
Hanafi.
10. al-Zarkasyi, al-Burhan fi Ulum al-Qur'an (Dar al-fikr)
11. Muhammad Husain al-Zahabi, al-Tafsiir wa al-Mufassirun (Kairo: Maktabah wahbah,tth.),
12. Abd al-Hayyi al-Farmawi, Muqaddimah fi Tafsir al-Maudlui,
13. Muhammad Fu'ad Abd al-Baqi, al-Mu`jam al-Mufahras li Alfadh al-Qur'an.
14. al-Raghib al-Ashfahani, Mu`jam Mufradat Al- al-Qur'an
15. Ibnu Faris Ibnu Zakaria, Mu`jam Maqayis al-Lughah,
16. Ali Hasan al-Aridl, Sejarah dan metodologi Tafsir (Rajawali Press: 1992)
17. Mu¥ammad `Azzah Darwazah, al-Tafsir alHadits (al-Suwar Murattabat ¦asb al-Nuz-l (Kairo: `Isa
al-Bab al-Halabiy wa Syurakauhu, tth.),
18. Kitab-kitab Tafsir Manual maupun digital, baik dalam maktabah al-Tafsir maupun dalam maktabah
al-Syamilah.
Referensi Studi Al-Hadis:
1. M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah Ma`ni al-Hadits tentang
Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal (Bulan Bintang: 1984)
2. M. Syuhudi Ismail, Hadits Nabi Menurut pembela, Pengingkar dan Pemalsunya (Gema Insani
Press, 1995)
3. M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis (Bulan Bintang: 1988).
4. M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Bulan Bintang: 2007)
5. M. Syuhudi Ismail, Cara Praktis Mencari Hadis (Bulan Bintang, 1991)
6. T.M.Hasbi as-Shiddiqi, Pengantar Ilmu Hadis (Bulan Bintang, 1987)
7. Mushthafa as-Siba`i, as-Sunnah wa Makanatuha fi al-tasyri` al-Islami.
8. Shubhi al-shalih, Ulum al-Hadits Wa Musthalahu (Beirut, 1977)
9. Muhammad `Ajjaj Khathib, al-sunnah Qabl al-Tadwin.
10. Muhammad `Ajjaj Khathib, Ushul al-Hadits: Ulumuh wa Musthalahuh.
11. Kitab-kitab Hadis Manual maupun digital, baik dalam Kutub al-tis`ah, maktabah Al-fiyah maupun dalam maktabah al-Syamilah.
DAFTAR PUSTAKA
Memahami pesan Tuhan
Amal,Taufik Adnan dan Syamsu Rijal Panggabean. 1992. Tafsir Kontekstual al- Qur’an. Bandung: Mizan.
Baidowi, Ahmad. “Hermeneutika al-Qur’an Asghar Ali- Engineer,” al-Jami’ah: Journal of Islamic Studies, Vol. 41, No. 2, 2003
Faiz, Fakhruddin. 2003. Hermeneutika Qur’ani: Antara Teks, Konteks, dan Kontekstualisasi. Yogyakarta: Penerbit Qalam.
—–, Fakhruddin. 2005. Hermeneutika Al-Qur’an: Tema-tema Kontroversial. Yogyakarta: Elsaq Press.
Hidayat, Komaruddin. 2004. Menafsirkan Kehendak Tuhan. Jakarta: Teraju.
Sahidah, Ahmad , “Adil Terhadap Pembaruan Islam,” Republika (Jakarta), 12 Januari 2007
Shabuniy, Muhammad Ali al-.2003. al-Tibyan fi Ulum al-Qur’an. Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiyah.
Shahrur, Muhammad. 2004. Al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah Mu’asirah, terj. Yogyakarta: Elsaq Press.
Shihab, M. Quraish. 2006. Membumikan Al-Qur’an. Mizan: Bandung.
Sudarto. 1996. Metodologi Penelitian Filsafat.Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Sumayono,E.1999. Hermeneutika: Sebuah Metode Filsafat.Yogyakarta: Kanisius.
Syamsuddin, Sahiron, dkk. 2003. Hermeneutika Al-Qur’an Mazhab Yogya. Yogyakarta: Islamika.
Zarqaniy, Muhammad Abd al-Azhim, al-. 2001. Manahil al-Irfan fi Ulum al-Qur’an. Kairo: Dar al-Hadits.

Penistaan Al Quran Ala Doktor UIN Yogya
Pada 5 November 2009, saya mendapat undangan untuk berbicara dalam sebuah seminar di kota Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB). Seminar bertema ”Islam dan Tantangan Pemikiran Global” itu diselenggarakan oleh Ikatan Keluarga Pesantren Modern Gontor cabang Lombok. Seminar dibuka oleh Gubernur NTB, Tuan Guru Zainul Majdi. Turut memberikan sambutan adalah pimpinan Pondok Pesantren Gontor KH Abdullah Syukri Zarkasyi dan Tuan Guru Sofwan Hakim, ketua Forum Kerjasama Pesantren se-NTB. Seminar dihadiri sekitar 300 pimpinan dan guru-guru pesantren se- NTB. Tim pembicara dari INSISTS dipimpin oleh Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi.
Tampaknya, bagi para ulama dan tokoh Islam di NTB, isu liberalisasi Islam sudah cukup akrab dengan mereka. Mereka mengakui, sejumlah masalah yang dibahas dalam seminar sudah terjadi juga di daerah mereka, meskipun dalam skala yang belum masif seperti di sejumlah kota di Pulau Jawa. Salah satu masalah yang sudah mulai dilontarkan kaum liberal di NTB adalah soal ”Desakralisasi al-Quran.” Ada seorang tokoh yang mengaku sempat berdiskusi dengan seorang mahasiswa IAIN Mataram, yang bertanya kepadanya: ”Apakah al-Quran itu benar-benar suci atau dianggap suci?”
Mendengar pertanyaan itu saya menjawab dengan agak bercanda, ”Tanyakan pada si mahasiswa, apakah dia benar-benar manusia atau dianggap manusia?”
Dalam seminar di NTB, isu ”desakralisasi al-Quran” memang disinggung juga oleh KH Abdullah Syukri Zarkasyi. Gubernur NTB yang juga kandidat doktor ilmu Tafsir di Universitas al-Azhar Kairo, bahkan menguraikan cukup panjang sejarah serangan kaum orientalis terhadap Islam, termasuk terhadap al-Quran. Ia menunjukkan sejumlah contoh kesungguhan dan kesabaran para orientalis dalam menyerang Islam. ”Sehingga dalam pertarungan ini, siapa yang lebih sabar yang akan menang,” ujarnya seraya mengajak para peserta seminar untuk meningkatkan kesabaran dalam berjuang.
Proyek ”desakralisasi al-Quran” memang termasuk salah satu tema pokok dalam liberalisasi Islam. Mengikuti tradisi kajian al-Quran model orientalis, sejumlah pemikir liberal tampak berusaha keras meyakinkan kaum Muslim, bahwa al-Quran bukanlah sebuah kitab suci, tetapi kitab yang dianggap suci. Ada yang berusaha keras menulis artikel untuk membuat kaum Muslimin ragu-ragu terhadap kebenaran dan keotentikan al-Quran. Dia mencoba meyakinkan, bahwa al-Quran adalah kitab biasa-biasa saja, yang juga mengandung kesalahan secara tata bahasa. Tentu saja, pekerjaan semacam ini akan sia-sia saja. Meskipun si penulis mendapatkan imbalan tertentu di dunia.
Pikiran semacam ini tampaknya cukup luas merasuki pemikiran kalangan akademisi di lingkungan Perguruan Tinggi Islam saat ini. Tentu kita masih ingat, bagaimana seorang dosen IAIN Surabaya yang pada 5 Mei 2006, menerangkan posisi Al-Quran sebagai hasil budaya manusia. Dia katakan, “Sebagai budaya, posisi Al-Quran tidak berbeda dengan rumput. Sebagai budaya, Al-Quran tidak sakral. Yang sakral adalah kalamullah secara substantif.”
Sebuah jurnal yang diterbitkan di IAIN Semarang edisi 23 Th. XI/2003, menulis di sampul belakangnya: ”ADAKAH SEBUAH OBJEK KESUCIAN DAN KEBENARAN YANG BERLAKU UNIVERSAL? TIDAK ADA! SEKALI LAGI, TIDAK ADA! TUHAN SEKALIPUN!” Di pengantar redaksinya juga ditegaskan: ”Dan hanya orang yang mensakralkan Qur’anlah yang berhasil terperangkap siasat bangsa Quraisy tersebut.”
Mengapa kaum liberal giat dalam mengkampanyekan tema ”desakralisasi al-Quran”, bahwa al-Quran bukanlah kitab suci? Ternyata, jika kita cermati, tujuan mereka adalah ingin memberikan legitimasi terhadap masuknya berbagai metode penafsiran al-Quran, di luar ilmu Tafsir al-Quran. Dengan meletakkan posisi al-Quran sebagai teks biasa, teks sastra, teks budaya, atau teks sejarah, yang sama dengan teks-teks lain, maka dimungkinkan masuknya model pemahaman al-Quran yang baru, seperti hermeneutika.
Di NTB itulah, saya lebih berkesempatan membaca sebuah buku berjudul Arah Baru Studi Ulum al-Quran: Memburu Pesan Tuhan di Balik Fenomena Budaya karya seorang dosen STAIN di Jawa Timur, yang juga doktor lulusan UIN Yogyakarta. Sebut saja inisialnya ”AW”. Tesis master dosen ini juga sudah diterbitkan menjadi sebuah buku dengan judul Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan, yang juga menolak kesucian al-Quran. Buku Arah Baru Studi Ulum Al-Qur’an, semakin menegaskan, adanya kecenderungan dan gerakan penghancuran ulumul-Quran para ulama Islam, digantikan dengan teori-teori ilmu sosial para ilmuwan Barat. AW sangat getol dalam mempromosikan penggunaan hermeneutika untuk – katanya – memahami pesan Tuhan yang terperangkap dalam Mushaf Utsmani. Seperti biasa, para pengguna hermeneutika biasanya melakukan proses desekralisasi teks al-Quran. Itu pula yang dilakukan dosen STAIN ini. Simaklah pandangan penulis tentang al-Quran berikut ini:
”Dalam karya ini, saya membedakan antara wahyu, al-Qur’an, dan Mushaf Usmani. Ketiganya adalah tiga nama yang kendati mengacu pada satu substansi, tetapi kadar muatan ketiganya berbeda. Wahyu sebagai pesan otentiks Tuhan masih memuat keseluruhan pesan Tuhan; al-Qur’an sebagai wujud konkret pesan Tuhan dalam bentuk bahasa Arab oral memuat kira-kira sekitar 50 persen pesan Tuhan; dan Mushaf Usmani sebagai wujud konkret pesan Tuhan dalam bentuk bahasa Arab tulis hanya memuat kira-kira tiga puluh persen pesan Tuhan. Jika selama menjadi wahyu masih memuat keseluruhan pesan Tuhan, tidak demikian halnya ketika telah menjadi al-Quran dan Mushaf Usmani. Hal itu terjadi, bukan karena Tuhan tidak mampu menjamin keabadian pesan-Nya, melainkan karena keterbatasan Bahasa Arab yang dijadikan wadah pesan Tuhan yang tak terbatas itu.” (hal.vii).
Saya sangat prihatin dan sekaligus kasihan membaca berbagai uraian dalam buku ini. Sebab, buku ini ditulis oleh seorang dosen agama dan doktor lulusan UIN Yogya. Selain disebarkan melalui tulisan, dosen ini tentu juga mengajarkan pemikirannya kepada para mahasiswanya. Banyak sekali kekacauan dan kerancuan pemikirannya, yang tentu saja memerlukan terapi yang sangat serius. Marilah kita lihat contoh-contoh kekacauan berpikir dosen yang dinyatakan lulus doktornya di UIN Yogya dengan predikat cum laude ini. Dia menulis sebagai berikut:
”Ketika pesan Tuhan diwadahkan ke dalam bahasa Arab itu, maka Muhammad sebagai agen tunggal Tuhan yang juga sebagai masyarakat Arab memilih lafaz dan makna tertentu yang mampu memuat dua pesan, yakni pesan Tuhan dan pesan masyarakat Arab sebagai pemilik bahasa Arab. Implikasinya, teori interpretasi yang hanya mengacu kepada fenomena kebahasaan semacam tafsir, hanya mampu menemukan pesan masyarakat Arab sebagai pemilik bahasa Arab. Sedang pesan Tuhan yang ada di dalamnya belum tersentuh sedikit pun. Oleh karena itu, diperlukan sebuah teori interpretasi lain yang dinilai mampu menemani tafsir, sehingga yang terungkap bukan hanya pesan pemilik bahasa,tetapi juga pesan Tuhan. Hermeneutika tampaknya bisa menjadi mitra tafsir guna mengungkap pesan Tuhan di balik Bahasa Arab sebagai fenomena budaya.” (hal.viii).
Sekilas saja, kita bisa menilai, bahwa kata-kata si dosen STAIN itu sebenarnya asbun (asal bunyi). Tuduhan bahwa Ilmu Tafsir selama ini tidak mampu menangkap pesan Allah dalam al-Quran adalah suatu bentuk pernyataan asal-asalan. Tentu kita tidak bisa menyimpulkan si dosen ini ”sakit jiwa”, sebab bisa meraih gelar doktor dari UIN Yogya dengan predikat cum laude dan bisa menulis banyak buku. Tetapi, yang jelas, selama 1400 tahun lebih, umat Islam di seluruh dunia telah memahami al-Quran dengan menggunakan Ilmu Tafsir dan tidak menggunakan hermeneutika. Lalu, tiba-tiba di ”zaman edan” ini muncul ”pemikir luar biasa hebat” dari UIN Yogya yang dengan gagah berani menyimpulkan:
”teori interpretasi yang hanya mengacu kepada fenomena kebahasaan semacam tafsir, hanya mampu menemukan pesan masyarakat Arab sebagai pemilik bahasa Arab. Sedang pesan Tuhan yang ada di dalamnya belum tersentuh sedikit pun.”
Karena berlagak menjadi mujtahid besar itulah maka pengguna hermeneutika — seperti penulis buku ini — lalu bersikap sok hebat dan merendahkan martabat, keilmuan, dan keikhlasan Khalifah Usman bin Affan serta para ulama Islam terkemuka. Tapi, ironisnya, pada saat yang sama, kaum liberal juga sangat hormat dan bertaklid buta begitu saja kepada Mohammed Arkoun, Nasr Hamid Abu Zayd, Khaled Abou el-Fadl, Farid Essac, Paul Ricour, Fazlur Rahman, Hegel, dan sebagainya.
Simaklah sejumlah ungkapan AW tentang Mushaf Usmani berikut ini: ”Sejarah menunjukkan kepada kita bahwa proses pembukuan al-Quran diwarnai campur tangan Utsman dalam posisinya sebagai khalifah, yang oleh Abu Zayd disebut sebagai ”dekrit” khalifah.” (hal. 169)… ”Maka tidak bisa disalahkan kiranya jika diasumsikan bahwa di balik keputusan khalifah Utsman tersebut mengandung adanya unsur ideologis, terutama ideologi pemilik bahasa yang dipilih menjadi bahasa Mushaf Usmani.” (hal. 170)…”Lebih-lebih, Khalifah Utsman telah menghilangkan dan menyensor bahkan memusnahkan korpus kitab-kitab individu, seperti milik Ibnu Mas’ud dan Siti Hafsah. Ini jelas berimplikasi pada pemusatan pembacaan hanya pada Mushaf Usmani. Jika boleh memberi istilah, Mushaf Usmani ini telah menjadi ”penjara” bagi pesan rahasia Tuhan. Penjara yang dimaksud di sini adalah ideologi Quraisy yang melingkupinya, dan bahkan antara Quraisy dan al-Qur’an (Mushaf Usmani) merupakan dua anak kembar yang saling bersanding dan dua cabang yang berakar sama, yang dengannya mereka mencoba menancapkan hegemoninya.” (hal. 172).
Begitulah pandangan doktor UIN Yogya yang sangat merendahkan martabat Sayyidina Utsman bin Affan dan menistakan al-Quran. Sebenarnya, jika AW mau mengungkapkan berbagai penjelasan dalam kitab Ulumul Quran, maka dengan mudah ditemukan penjelasan seputar tindakan Khalifah Utsman r.a. yang sangat mulia dan luar biasa besar jasanya dalam kodifikasi Mushaf al-Quran. Tapi, dia lebih percaya kepada pendapat-pendapat orientalis yang memberikan berbagai tuduhan dan sangkaan terhadap Khalifah Utsman r.a., menantu Rasulullah saw, dan termasuk salah satu sahabat yang dijamin masuk sorga oleh Rasulullah saw.
Tindakan Sayyidina Utsman itu pun sudah mendapat pesertujuan dari semua sahabat, termasuk Abdullah bin Mas’ud dan Ali bin Abi Thalib. Tidak ada seorang sahabat Nabi pun yang menentang tindakan Utsman r.a., karena memang kodifikasi al-Quran itu bukan dilakukan untuk kepentingan politik atau kesukuan. Karena itulah, sepanjang sejarah Islam, meskipun terjadi berbagai konflik politik, tidak pernah terpikir suatu rezim untuk membuat al-Quran baru. Betapa pun kerasnya konflik antara Ali dan Mu’awiyah, keduanya tetap menjadikan Mushaf Utsmani sebagai pedoman. Setelah Abbasiyah berkuasa, mereka juga tidak mengganti Mushaf Utsmani dengan Mushaf baru. Maka, tuduhan-tuduhan keji terhadap Sayyidina Utsman r.a. dan Mushaf Utsmani sebenarnya sangat tidak ilmiah dan hanya berlandaskan kebodohan dan kebencian.
Kajian terakhir yang menyudutkan Mushaf Usmani, misalnya datang dari seorang orientalis Kristen Jerman (berasal dari Lebanon) yang menggunakan nama samaran Christoph Luxenberg. Sebagaimana para pendahulunya, Luxenberg juga menggugat al-Quran sebagai “wahyu” yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad saw. Ia mencoba menggugurkan keyakinan kaum Muslim bahwa al-Quran adalah “tanzil”, “suci”, bebas dari kesalahan, sebagaimana ditegaskan dalam al-Quran (QS 15:9). Menurut Luxenberg — dengan melakukan kajian semantic terhadap sejumlah kata dalam al-Quran Arab yang diambil dari perbendaharaan bahasa Syriac — Al Qur’an yang ada saat ini (Mushaf Utsmani) adalah salah salin (mistranscribed) dan berbeda dengan teks aslinya. Teks asli Al Qur’an, simpulnya, lebih mirip bahasa Aramaic, ketimbang Arab. Dan naskah asli itu telah dimusnahkan Khalifah Usman bin Affan. Dengan kata lain, al-Quran yang dipegang oleh kaum Muslim saat ini, bukanlah wahyu Allah SWT, melainkan akal-akalan Utsman bin Affan r.a.
Lunxenberg – seperti banyak orientalis lainnya – mempertanyakan motivasi Utsman bin Affan melakukan kodifikasi al-Quran. Ia menduga, teks al-Quran yang dimusnahkan Utsman bin Affan berbeda dengan teks Mushaf Utsmani yang sekarang ini. Tuduhan semacam ini sama sekali tidak beralasan, sebab proses kodifikasi al-Quran di zaman Utsman bin Affan sangat terbuka kerjanya, dan al-Quran selalu diingat oleh ratusan, ribuan – bahkan kini jutaan kaum Muslimin. Setiap kekeliruan akan selalu dikoreksi oleh kaum Muslim.
Tetapi, para orientalis memang tidak pernah berhenti untuk menyerang al-Quran dengan berbagai cara. Ironisnya, cara-cara orientalis semacam ini sekarang dilakukan oleh beberapa akademisi dari kalangan Perguruan Tinggi Islam sendiri. Bahkan, tuduhan-tuduhan tidak beradab terhadap Khalifah Utsman bin Affan radhiyallahu anhu seperti yang dilakukan doktor UIN Yogya itu juga kemudian dialamatkan kepada Imam al-Syafii rahimahullah. Dengan menjiplak begitu saja pendapat Nasr Hamid Abu Zayd, tanpa sikap kritis sedikit pun, AW menulis: ”Al-Quran versi bahasa Quraisy inilah yang diperjuangkan oleh Imam Syafi’i sebagai wahyu Tuhan yang layak dihormati hingga pada teks tulisannya, sebagai konsekuensi logis di mana dan dalam suku apa ia dilahirkan.” (hal. 170).
Tentu sangatlah tidak beradab memberikan tuduhan-tuduhan yang tidak berdasar kepada seorang ulama besar seperti Imam Syafii, yang begitu besar jasanya kepada umat Islam. Apalagi memberikan tuduhan dan prasangka negatif kepada sahabat-sahabat Rasulullah saw. Umat Islam sangat mencintai Nabi Muhammad saw, dan tentu, umat Islam juga sangat mencintai para sahabatnya dan juga pelanjut risalahnya, yaitu para ulama yang alim dan shalih. Adab seperti inilah yang seharusnya dijaga dalam dunia ilmiah di lingkungan Perguruan Tinggi Islam. Tindakan menghujat dan melecehkan al-Quran, sahabat, dan ulama, tidak patut dilakukan oleh seorang Muslim, meskipun dengan mengatasnamakan kebebasan ilmiah dan sikap kiritis.
Apalagi, faktanya, doktor UIN Yogya ini juga sama sekali tidak bersikap kritis ketika mengutip pendapat-pendapat para orientalis dan pemikir liberal. Ia menolak pemahaman bahwa lafaz dan makna al-Quran (Mushaf Utsmani) berasal dari Allah, sehingga bersifat sakral (suci), dan membacanya dalam bentuk tartil pun dinilai sebagai membaca wahyu Allah dan si pembaca mendapatkan pahala. Menurut sang doktor UIN Yogya tersebut, yang sakral dari Mushaf Utsmani hanyalah maknanya, sementara lafaznya tidak sakral. ”Namun demikian, lafadznya, sebagai wadah pesan Tuhan tetap harus dihormati. Karena itu, yang dianjurkan membaca di sini adalah dalam arti mengungkap pesan itu, bukan tartilnya. Karena pesan itu terdapat dalam bahasa yang profan, maka diperlukan alat apa saja yang secara metodologis absah digunakan dalam sebuah kajian ilmiah, termasuk hermeneutika.” (hal. 184).
Membaca pemikiran doktor cum laude dari UIN Yogya ini, tentu wajar jika selama ini kita mempertanyakan, mengapa penggunaan hermeneutika dalam studi al-Quran terus digalakkan di Perguruan Tinggi Islam. Tampak jelas, bagaimana pemikiran sang doktor ini dalam menistakan al-Quran, para sahabat Nabi Muhammad saw, dan para ulama Islam yang sangat kredibel. Kita bisa melihat bagaimana tendensiusnya kajian yang mempromosikan hermeneutika sebagai metode alternatif dalam penafsiran al-Quran. Kajian semacam ini jauh dari sikap ilmiah yang bermutu. Maka, adalah aneh, ketika seorang guru besar di UIN Yogya, Prof. Dr. Hamim Ilyas, membuat kriteria bahwa salah satu ciri kaum fundamentalis adalah menolak penggunaan hermeneutika dalam penafsiran al-Quran.
Mengapa muncul kegilaan pada hermeneutika dan penistaan Ilmu Tafsir pada sebagian akademisi di Perguruan Tinggi Islam? Kita menemukan jawabannya pada artikel Dr. Syamsuddin Arif di Harian Republika (30 September 2004), yang berjudul “Kisah Intelektual Nasr Hamid Abu Zayd”:
“Terus-terang saya tidak begitu tertarik oleh teori dan ide-idenya mengenai analisis wacana, kritik teks, apalagi hermeneutika. Sebabnya, saya melihat apa yang dia lontarkan kebanyakan — untuk tidak mengatakan seluruhnya — adalah gagasan-gagasan nyeleneh yang diimpor dari tradisi pemikiran dan pengalaman intelektual masyarakat Barat… Orang macam Abu Zayd ini cukup banyak. Ia jatuh ke dalam lubang rasionalisme yang digalinya sendiri. Ia seperti istri Aladdin, menukar lampu lama dengan lampu baru yang dijajakan oleh si tukang sihir.”
Dan memang faktanya, para pengguna hermeneutika dan pengecam Tafsir al-Quran, hingga kini tidak pernah mampu membuat satu Tafsir al-Quran pun. Sebab, tampaknya, ”maqam” mereka baru sampai pada tahap merusak dan hanya isapan jempol belaka, jika diangggap para hermeneut ini mampu menciptakan metode Tafsir al-Quran baru yang sanggup menandingi kehebatan Ilmu Tafsir, Ilmu Ushul Fiqih, dan sebagainya. Bahkan, tampak jelas, buku karya doktor UIN Yogya ini pun tidak menunjukkan contoh, bagaimana metode dan model Studi al-Quran yang baru dan hebat.Kita yakin, al-Quran ini
Kalamullah. Al-Quran adalah milik Allah. Dan pasti, Allah yang menjaganya dari berbagai upaya untuk merusaknya. Mudah-mudahan kita termasuk orang yang tahu diri! Tidak patut burung emprit berlagak seperti burung elang. Wallahu a’lam. (Malang, 7 November 2009).


PENDEKATAN HERMENEUTIK DALAM PENAFSIRAN AL-QUR’AN DAN HADITS

1.    PENDAHULUAN
Dalam wacana studi agama kontemporer, fenomena keberagaman manusia dapat dilihat dari berbagai sudut pendekatan. Ia tidak lagi hanya dapat dilihat dari sudut dan semata-mata terkait dengan normativitas ajaran wahyu –meskipun fenomena ini sampai kapanpun adalah ciri khas daripada agama-agama yang ada- tetapi ia juga dapat dilihat dari sudut dan terkait erat dengan historisitas pemahaman dan interpretasi orang perorang atau kelompok perkelompok terhadap norma-norma ajaran agama yang dipeluknya, serta model-model amalan dan praktek-praktek ajaran agama yang dilakukannya dalam kehidupan sehari-hari. Pada umumnya normativitas ajaran wahyu dibangun, diramu, dibakukan, dan ditelaah lewat pendekatan doktrinal-teologis, sedangkan historisitas keberagaman manusia ditelaah lewat berbagai sudut pendekatan keilmuan sosial-keagamaan yang bersifat multi dan inter disipliner, baik lewat pendekatan filosofis, historis, psikologis, sosiologis, kultural, antropologis, maupun hermeneutik.[i]
Perubahan kehidupan masyarakat modern era teknologi dan informasi yang begitu cepat mengandaikan perlunya pengkajian ulang terhadap proses pembakuan hadis, tanpa perlu harus menghilangkan otentisitas spiritualitas Islam yang bersumber dari Qur;an dan al-Sunnah. Dalam literatur Barat, kajian ini biasanya disebut dengan hermeneutik. Formula yang menyatakan bahwa ajaran Islam adalah “shalih li kulli zaman wa makan”, sebenarnya lebih menunjukkan fleksibilitas dan elastisitas ajaran, bukan ortodoksi yang ketat dan kaku. Suatu pandangan yang lebih menekankan pandangan ke depan (progresif) dan bukan ke belakang (regresif). Proses pembakuan ajaran Islam yang biasa disebut dinamisasi memang harus berjalan bersama-sama, seiring dengan derap perubahan masyarakat dengan barbagai tantangannya masing-masing.
Ajaran Islam bukan seperti patokan matematis yang kaku, ahistoris, dan kering. Dunia spiritualitas keagamaan menghendaki sikap yang lentur tapi kenyal. Namun, ungkapan terakhir ini tidak dapat dipahami dengan baik kalau kita tidak begitu peduli kepada sejarah gerakan pengumpulan, pembukuan, dan pembakuan hadis yang berjalan pada abad ke-2 dan ke-3 Hijriyah. Bersikap kritis dan mempelajari proses perkembangan dan pertumbuhan gerakan pengumpulan dan periwayatan hadis bukan sama sekali untuk melepaskan sendi-sendi keislaman, tapi justru untuk memberi ruang gerak yang lentur –dinamis, memberi ruang gerak yang lebih luas terhadap pertumbuhan Islam di masa yang akan datang, dimana tantangan zamannya akan semakin bertambah kompleks.[ii]

2.    PENDEKATAN HERMENEUTIK
Pemikiran keagamaan pada dataran low tradition, yakni pada dataran realitas historis yang kongkrit, sangat terkait dan langsung bersentuhan dengan berbagai bentuk pemikiran yang lain. Sebutlah pemikiran politik, pemikiran ekonomi, pemikiran sosial budaya, pemikiran strategi pertahanan dan keamanan, dan seterusnya. Pemikiran keagamaan pada wilayah high tradition, yakni pada dataran konsep, teori-teori, yang bersifat kognitif skematis, barangkali memang agak berbeda dari corak pemikiran – pemikiran manusia yang lain, semata-mata karena adanya kategori “sakralitas” yang dikatkan dengan keberadaan Kitab Suci.
Jika kita memahami pemikiran keislaman pada dataran low treadition –bukan pada dataran high tradition- maka sesungguhnya ia sama saja seperti corak pemikiran – pemikiran manusia yang lain. Ia tidak bisa terlepas sama sekali dari keterkaitannya dengan “bahasa” dan “sejarah”. Bahasa terkait dengan konvensi, kontrak sosial, adat istiadat dan akar budaya setempat yang secara berkesinambungan telah berjalan berabad-abad; sedangkan sejarah terkait dengan persoalan kapan, di mana, dan siapa (kapan terjadi, abad berapa, di mana terjadi, dalam situasi politik dan sosial yang seperti apa, standar ekonomi yang bagaimana, tingkat kemajuan ilmu dan teknologi sejauh mana, serta siapa para pelaku dan aktornya, dan seterusnya).[iii]
Pemikiran keagamaan dan keislaman khususnya –lebih-lebih pada dataran low tradition- ternyata tidak begitu saja jatuh dari langit dan tidak pula muncul dalam ruangan hampa kebudayaan dan kekosongan dari berbagai peristiwa sejarah yang melingkarinya. Pemikiran keagamaan pada umumnya dan pemikiran keislaman pada khususnya berkembang beserta pandangan dunia (nadhariyyah al-‘alam) yang hidup mengitarinya. Sedangkan pandangan dunia suatu komunitas atau suatu bangsa itu sendiri juga selalu terkait dengan gerak perubahan sejarah dan budaya (prahistoris, historis, agraris, industrial, dan post-industrial). Setiap tahapan perkembangan budaya ternyata berpengaruh pada corak pemikiran keagamaan dan pemikiran keislaman yang berkembang di suatu tempat tertentu. Sebagai produk sejarah manusia biasa, ia tidak terlepas dari gerak perubahan sejarah sosial budaya yang mengitarinya. Di sini lalu muncul persoalan relevansi yang selalu mengintip dari belakang tabir percaturan pemikiran keagamaan dan pemikiran keislaman kontemporer.[iv]
Dengan memahami sebaik dan secermat mungkin keterkaitan antara ketiga komponen eksistensi manusia, yakni keterpautan antara bahasa, pemikiran, dan sejarah, sekaligus dalam hubungannya dengan nilai-nilai etis yang hendak diraih, maka akan dimungkinkan pengembangan pemikiran Islam. Keterputusan hubungan antara ketiganya, yakni putusnya hubungan antara pemikiran (keislaman), budaya dan sejarah yang melatarbelakanginya (sejarah penetapan hukum-hukum agama, sejarah terbentuknya pranata sosial Islam, bahkan sejarah sosial-politik dan perkembangan kontemporer pemikiran Islam, dan sebagainya) hampir-hampir dapat dipastikan akan terbentuk proses pensakralan pemikiran keagamaan. Pemikiran keislaman yang terlepas dari historisitasnya menjadi tidak boleh diperdebatkan ulang, tidak boleh dirubah, atau diperbaiki.[v] Pendekatan model hermeneutik terkait dengan tiga aspek dari teks, yaitu konteks dimana teks itu ditulis, komposisi grammatikal (tata bahasa) dari teks, dan keseluruhan teks dan pandangan dunianya.[vi]
Meminjam teori Fazlur Rahman, penafsiran Al-Qur’an (teks keagamaan) terdiri dari dua gerakan ganda,dari situasi sekarang ke masa Al-Qur’an diturunkan, dan kembali lagi ke masa kini. Al-Qur’an adalah respon Ilahi melalui ingatan dan pikiran Nabi, kepada situasi moral-sosial Arab pada masa Nabi, khususnya kepada masalah-masalah masyarakat dagang makkah pada masanya. Yang pertama dari dua gerakan di atas terdiri dari dua langkah; pertama, orang harus memahami arti atau makna dari sesuatu pernyataan dengan mengkaji situasi atau problem historis dimana pernyataan Al-Qur’an tersebut merupakan jawabannya. Sebelum mengkaji ayat-ayat spesifik dalam sinaran situasi makro dalam batasan-batasan masyarakat, agama, adat-istiadat, lembaga-lembaga, bahkan kehidupan secara menyeluruh di Arabia pada saat kehadiran Islam dan khususnya di sekitar Makkah harus dilakukan. Kedua, adalah menggeneralisasikan jawaban-jawaban spesifik tersebut dan menyatakannya sebagai pernyataan-pernyataan yang memiliki tujuan-tujuan moral-sosial umum yang dapat disaring dari ayat-ayat spesifik dalam sinaran latar belakang sosio-historis dan rationes legis yang sering dinyatakan. Gerakan yang kedua, harus dilakukan dari pandangan umum ini ke pandangan spesifik yang harus dirumuskan dan direalisasi sekarang. Artinya ajaran-ajaran yang bersifat umum harus ditubuhkan (embodied) dalam konteks sosio-historis yang kongkrit di masa sekarang. Ini memerlukan kajian yang cermat atas situasi sekarang dan analisis berbagai unsur-unsur komponennya sehingga kita bisa menilai situasi sekarang dan mengubah kondisi sekarang sejauh yang diperlukan, dan menentukan prioritas-prioritas baru untuk bisa mngimplementasikan nilai-nilai Al-Qur’an secara baru pula.[vii]
Tugas pokok hermeneutik ialah bagaimana menafsirkan sebuah teks klasik atau teks yang asing sama sekali menjadi milik kita yang hidup di zaman dan tempat serta suasana kultural yang berbeda.[viii] Proses pemahaman dan penafsiran ini tidak dengan metode induksi dan tidak pula deduksi, melainkan dengan metode alternatif yang disebut abduksi, yaitu menjelaskan data berdasarkan asumsi dan analogi penalaran serta hipotesa-hipotesa yang memiliki berbagai kemungkinan kebenaran. Di sini, prakonsepsi dan pra disposisi seorang penafsir dalam memahami teks memiliki peran yang besar dalam membangun makna. Dalam tradisi hermeneutika, sebuah teks menawarkan berbagai kemungkinan untuk ditafsirkan berdasarkan sudut pandang serta teori yang hendak dipilihnya. Tujuan utamanya adalah untuk melakukan rekonstruksi makna seobyektif mungkin sebagaimana yang dikehendaki pengarang. Dengan kata lain, sebagaimana dalam metodologi ilmu pada umumnya, hermeneutika berusaha menemukan gambaran dari sebuah bangunan makna yang benar yang terjadi dalam sejarah yang dihadirkan kepada kita oleh teks.[ix]

3.    SISTEM PERIWAYATAN HADIS
Dalam periwayatan hadis Nabi, berlaku dua macam cara, yaitu periwayatan dengan lafal dan periwayatan dengan makna. Dalam prakteknya periwayatan hadis berdasarkan lafal jumlahnya relatif lebih kecil dibandingkan periwayatan hadis berdasarkan makna. Bahkan mayoritas hadis diriwayatkan berdasarkan makna dengan persyaratan harus memenuhi syarat-syarat tertentu, seperti pengetahuan mendalam tentang bahasa Arab dengan segala cabangnya, pengetahuan tentang tema dan konteks hadis yang diriwayatkan, dan tujuan Nabi bersabda serta pengetahuan tentang syari’at agama.[x]
Pada awalnya orang menerima hadis secara lisan, sehungga ketika mereka menyampaikan hadis itu, mereka hanya menyampaikan maknanya. Dalam rangkaian periwayatan hadis, redaksinya dapat berubah-ubah. Karena makna adalah masalah persepsi, masalah penafsiran, maka redaksi hadis berkembang sesuai penafsiran orang yang meriwayatkannya.
Sikap penerimaan ulama terhadap hadis berbeda-beda. Abu hanifah (81-150 H), seorang ulama yang berasal dari Kufah, mempergunakan hadis-hadis yang berstandar mursal dan munqathi’ karena menurutnya sedikit sekali hadis-hadis yang berstandar marfu’. Sedangkan hadis-hadis mursal dan munqthi’ banyak menggunakan akal dan qiyas dalam perumusannya.[xi] Sementara Imam Malik (94-179 H), ulama dari Madinah, mengembangkan periwayatan dan pemahaman hadis yang lain. Di kota Madinah berkumpul sahabat-sahabat Nabi seperti Abu Bakar dan tokoh-tokoh tabi’un yang lain. Hadis-hadis dari sahabat terdekat Nabi inilah yang dijadikan patokan berhujjah oleh Imam Malik. Karena tingkat kepercayaan merekalah, disamping tingkat kedekatannya kepada Nabi, maka Imam Malik hanya mau mengambil hadis dari mereka.[xii]
Imam Syafi’i (150-204 H) adalah ulama penerima dan pembela hadis mengenai hukum yang paling gigih sebagai suatu dasar hukum. Ia mencari hadis di Makkah dan Madinah, serta mempelajari kitab Muwattha’ Imam Malik. Untuk mengantisipasi perkembangan dan pemekaran pemikiran politik hukum dan kalam pada saat itu, dirasakan perlunya penyusunan pokok-pokok ajaran Islam yang standar dan seragam, yang dapat dijadikan pedoman oleh umat Islam pada saat itu dan untuk generasi berikutnya. Untuk menjaga integritas kaum muslimin secara keseluruhan –yang saat itu sudah terpecah-pecah menjadi Khawarij, Murji’ah, Jahmiyah dan lain-lain- langkah Imam Syafi’i untuk menyatukan ummat dengan bersandar pada otoritas hadis memang sangat diperlukan. Ajaran Ahl al-Sunnah wal Jama’ah yang semula hanya berorientasi kepada politik, akhirnya merembes dan menyebar merasuki wilayah hukum dan teologi.[xiii] Dari paparan di atas dapat dibuat rekonstruksi kembali mengapa muncul hadis-hadis yang cenderung membela aliran “tengah” yaitu Ahl al-Sunnah wal Jama’ah dan mengecilnya arti penting kelompok lain, seperti Mu’tazilah. Orang yang datang belakangan tidak sempat lagi bertanya apakah pernah ada kelompok Mu’tazilah, Syi’ah dan lain-lain kelompok pada saat Nabi Muhammad masih ada.[xiv]
Ulama di belakang hari lebih suka menerima hadis sebagai apa adanya, seperti yang tertulis dalam kitab induk hadis sebagai produk jadi. Hadis yang terumuskan dari sunnah yang hidup saat itu mempunyai harga mati yang tak dapat ditawar-tawar lagi. Pada gilirannya, orang sulit membedakan mana hadis-hadis yang bersifat mutlak –yang terbebas dari ikatan ruang dan waktu- yang berkaitan dengan akidah dan ibadah, dan hadis-hadis yang bersifat nisbi –yang terikat ruang dan waktu- yang menyangkut bidang muamalat, pergaulan hidup, adat kebiasaan, yang lebih mencerminkan suatu tradisi atau sunnah yang hidup pada suatu fase penggal sejarah tertentu.[xv]

4.    PEMAHAMAN HADIS
Secara garis besar, tipologi pemahaman ulama dan ummat Islam terhadap hadis diklasifikasikan menjadi dua bagian. Yang pertama adalah tipologi pemahaman yang mempercayai hadis sebagai sumber daripada ajaran Islam tanpa mempedulikan proses panjang sejarah pengumpulan hadis dan proses pembentukan ortodoksi. Barangkali tipe pemikirannya yang oleh ilmuwan sosial dikategorikan sebagai tipe pemikiran yang ahistoris (tidak mengenal sejarah tumbuhnya hadis dari sunnah yang hidup pada saat itu). Tipe ini biasa juga disebut tekstualis. Yang kedua adalah golongan yang mempercayai hadis sebagai sumber ajaran kedua daripada ajaran agama Islam, tetapi dengan kritis-historis melihat dan mempertimbangkan asal-usul (asbab al-wurud) hadis tersebut. Mereka memahami hadis secara kontekstual.[xvi] Tipe pemahaman yang kedua ini tidak begitu popular karena pemahaman ini tenggelam dalam pelukan kekuatan Ahl al-Sunnah wal jama’ah yang lebih suka memahami hadis secara tekstual. Pemahaman secara tekstual ini diperlukan oleh Ahl al-Sunnah wal jama’ah karena dorongan untuk menjaga dan mempertahankan ekuilibrium kekuatan ajaran ortodok.[xvii]
Para pemerhati sejarah agama Islam sangat memahami kedudukan sentral Nabi Muhammad sebagai makhluk historis (yamsyuna fi al-aswaq) (al-Furqan, 25 : 20) yang selalu berhadapan dengan beberapa pilihan tata nilai yang bersifat pluralistik. Bahkan jika ditilik secara lebih tajam, ayat-ayat al-Qur’an yang mengilhami manusia muslim untuk berperilaku dan bertindak di muka bumi, menurut Prof Arkoun, adalah bersifat zamkaniy (zaman dan makan), yakni selalu melibatkan dimensi historisitas ruang dan waktu.[xviii] Asbab wurud al-Hadis tidak lain dan tidak bukan adalah dimensi historis hadis, dimana fundamental values selalu ada di belakangnya. Demikian juga dengan Asbab al-nuzul al-Qur’an merupakan dimensi historisitas al-Qur’an. Untuk faktor keteladanan  yang bersifat historis-empiris dalam diskursus keberagamaan Islam pada khususnya memang lebih diutamakan daripada konsepsi teo-filosofis yang transendental.
Konsep Asbab al-nuzul dan asbab al-wurud mempunyai kaitan yang erat dengan konsep lain yang juga amat penting, yaitu nasikh mansukh, berkenaan dengan sumber-sumber pengambilan ajaran agama, baik al-Qur’an maupun al-sunnah. Dalam konsep Asbab al-nuzul, asbab al-wurud dan nasikh mansukh terkandung adanya kesadaran historis di kalangan ahli hukum Islam. Adalah kesadaran historis ini, menurut Hodgson, yang menjadi salah satu tumpuan harapan bahwa Islam akan mampu lebih baik dalam menjawab tantangan zaman di masa depan. Kata Hodgson :
“Tetapi barangkali modal potensial terbesar Islam yang paling hebat ialah kesadaran historisnya yang jelas, yang sejak dari semula mempunyai tempat begitu besar dalam dialognya. Sebab kesediaan mengikuti dengan sungguh-sungguh bahwa tradisi agama terbentuk dalam waktu, dan selalu mempunyai dimensi historis, membuat agama itu mampu menampung ilham baru apapun ke dalam realita dari warisan dan dari titik tolak mulanya yang sangat kreatif, yang dapat terjadi lewat penelitian ilmiah atau pengalaman rohani baru.”[xix]
Pendekatan historis ini tidaklah berarti relativisasi total ajaran agama dan sifat yang memandang sebagai tidak lebih daripada produk pengalaman sejarah belaka. Tetapi hendak mencari pemahaman yang benar atas sebuah teks yang hadir pada kita. Persoalannya adalah bagaimana menangkap makna / pesan inti yang universal itu, yang tidak tergantung kepada konteks, juga tidak kepada sebab khusus dari sebab al-nuzul / al-wurud munculnya suatu ajaran atau hukum.
Yang menjadi persoalan juga adalah bagaimana kita mempersepsi suatu ungkapan linguistik untuk dapat melakuklan generalisasi tinggi dari makna immediatenya ke makna universalnya. Berkaitan dengan ini, penting sekali memahami penegasan dalam kitab suci bahwa Allah tidak mengutus seorang rasulpun kecuali dengan bahasa kaumnya (Ibrahim, 14:4). Bahasa termasuk kategori historis, dan kesadaran kebahasaan akan dengan sendirinya menyangkut kesadaran historis.[xx] Masalah kebahasaan mungkin akan ternyata tidak terbatas hanya kepada segi linguistiknya semata, tetapi juga kulturalnya.

Catatan Kaki:

[i] M. Amin Abdullah, ‘Kata Pengantar’ buku Studi Agama, Normatitivas atau Historisitas, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1996, hal. V.
[ii] Ibid, hal. 310.
[iii] M. Amin Abdullah, Manhaj Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Keislaman, dalam Hamin Ilyas dan Muhammad Azhar (ed), Pengembangan Pemikiran Keislaman Muhammadiyah, Purifikasi dan Dinamisasi, Yogyakarta, LPPI, 2000, hal. 4-5.
[iv] Ibid., hal. 5.
[v] Ibid., hal. 6.
[vi] Amina Wadud Muhsin, Qur’an and Women, Kuala Lumpur, Penerbit fajar Bakti, 1992, hal. 3.
[vii] Fazlur rahman, Islam dan Modernitas Tentang Transformasi Intelektual, Bandung, Penerbit Pustaka, 1985, hal. 7-8.
[viii] Richard E. Palmer, ‘Hermeneutics’ dikutip dalam Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama Sebuah Kajian Hermeneutik, Jakarta, yayasan Paramadina, 1996, hal. 17.
[ix] Ibid., hal. 18.
[x] Muhammad Thahir al-Jawabi, Juhud al-Muhaddisin fi Naqd Matn al-Hadis al-Nabawi al-Syarif, tt, Muassasat al-Karim ibn Abdullah, 1986, hal. 226
[xi] M. Rasyid Ridla, Muqaddimah al-Kitab Miftah Kunuz al-Sunnah, Beirut, Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabiy, 1983, hal.10.
[xii] Ibid.
[xiii] Amin Abdullah, Studi Agama, Op. Cit., hal. 312
[xiv] Ibid., hal. 313.
[xv] Ibid., hal. 314-315.
[xvi] M. Quraish Shihab, ‘Kata pengantar’ dalam Muhammad Ghazali, Studi Kritis atas Hadis antara Pemahaman Tekstual dan kontekstual, Bandung, Penerbit Mizan, 1989, hal. 8-9.
[xvii] Amin Abdullah, Studi Agama, Op. Cit., hal. 315.
[xviii] M. Arkoun, “al-Fikr al-Islamiy Qira’atun Ilmiyatun” dikutip dalam Amin Abdullah, Studi Agama, Op. Cit., hal. 64.
[xix] Marshal GS. Hodgson, The Venture of Islam, dikutip dalam Nurcholish Madjid, Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta, yayasan Paramadina, 1994, hal. 35-36
[xx] Ibid., hal. 37.

Salah Paham Mengenai Hermeneutika
(Ruzbihan Hamazani)
Ada beberapa orang yang dengan menggebu-gebu melancarkan "perang salib" terhadap hermeneutika, dengan anggapan bahwa "ilmu" yang dianggap imporan ini akan merusak Islam dari dalam, memorakporandakan pendekatan yang sudah dikembangkan oleh sarjana Islam sendiri untuk memahami Qur'an. Orang-orang yang memakai hermeneutika untuk memahami Qur'an dianggap sebagai musuh Islam. Saat ini, di kalangan beberapa kelompok Islam, kata hermeneutika sudah masuk dalam daftar "kata kotor", menyusul sejumlah kata-kata yang lain: sekularisme, liberalisme, pluralisme, demokrasi, HAM, jender, dsb. Istilah hermeneutika terdengar "najis" seperti kata "PKI" pada zaman Orde Baru dulu.
Apa sebetulnya pengertian paling elementer dari hermeneutika? Betulkah ia mengancam Islam? Apakah hermeneutika benar-benar tak dikenal dalam Islam? Benarkah hermeneutika hanya cocok untuk memahami Injil, dan tak bisa diterapkan untuk Qur'an? Apa perbedaan dan kesamaan antara hermeneutika dan ta'wil?
Inilah sejumlah pertanyaan yang layak diajukan. Tujuan artikel ini adalah untuk meluruskan "syubuhat" atau salah paham mengenai istilah hermeneutika. Sejumlah artikel dan kolom yang ditulis di majalah, jurnal, atau situs-situs tertentu yang kemudian beredar di beberapa milis mengandung banyak informasi yang simpang-siur dan salah-paham yang harus diluruskan. Amat disayangkan bahwa sejumlah salah paham ini datang dari sejumlah kalangan yang sebetulnya memiliki pendidikan yang baik serta mendapat akses yang lumayan bagus pada bacaan yang luas. Beberapa dari mereka bahkan mendapat pendidikan di Barat.
Hermeneutika, Tafsir, Ta'wil
Sebagai sebuah istilah, hermeneutika kedengaran serius dan mungkin "angker". Istilah ini sebetulnya memiliki makna yang sederhana saja, yaitu menafsirkan, penafsiran, tafsir. Dalam The Brill Dictionary of Religion, disebutkan bahwa istilah ini "denotes the methods of interpretation of a text", menunjuk kepada cara-cara untuk menafsirkan sebuah teks. Istilah ini berasal dari kata Yunani, hermeneuein, yakni "to translate" (menerjemahkan) atau "to interpret" (menafsirkan).
Hermeneutika memang biasanya dikaitkan dengan konteks yang spesifik, yaitu menafsirkan teks-teks agama. Jadi, hermeneutika memang bukan sekedar menafsirkan teks secara umum. Meskipun demikian, hermeneutika kemudian berkembang sebagai salah satu cabang filsafat penafsiran yang berdiri sendiri yang tak berkaitan lagi secara spesifik dengan penafsiran teks agama.
Dengan demikian, istilah hermeneutika dalam pengertiannya yang elementer ini sama dengan istilah tafsir atau ta'wil. Secara kebahasaan, istilah tafsir berasal dari kata "al-fasr" yang berarti menerangkan atau mengungkap (al-bayan wa al-kashf) sebagaimana disebutkan oleh Imam Suyuti dalam Al-Itqan fi 'Ulum al-Qur'an.
Al-Suyuti mengutip sebuah pendapat yang menarik dari al-Raghib al-Asbahani, bahwa pengertian tafsir lebih bersifat umum ketimbang ta'wil. Sebab, yang pertama biasanya dipakai dalam konteks memahami "mufradat" atau kosa-kata, sementara ta'wil lebih sering dipakai dalam konteks memahami kalimat. Menurut al-Asbahani, ta'wil bisanya dipakai dalam konteks memahami kitab-kitab yang bersifat keilahian (al-kutub al-ilahiyyah), sementara tafsir bisa dipakai dalam konteks kitab-kitab suci ataupun yang lain; jadi lebih umum sifatnya.
Al-Suyuti mengutip pula pendapat dari Abu Talib al-Taghlabi: bahwa tafsir adalah menerangkan kedudukan dan pengertian sebuah kata, baik pengertiannya yang bersifat 'hakikat' yakni denotatif, atau metaforis/alegoris alias majaz; sementara ta'wil adalah menerangkan makna yang bersifat esoteris, atau makna batin. Dengan kata lain, tafsir berkaitan dengan makna lahiriah, dan ta'wil berkenaan dengan makna batiniah.
Ini semua adalah pengertian dasar dari istilah tafsir dan ta'wil. Di sini kita bisa melihat bahwa tafsir, ta'wil dan hermeneutika memiliki pengertian yang hampir paralel, yaitu interpretasi, terutama yang berkaitan dengan teks-teks agama, atau "al-kutub al-ilahiyyah", jika memakai istilah al-Asbahani. Sebagaimana kita lihat di sini pula, kata yang dipakai adalah bersifat umum, yaitu kitab-kitab keilahian, bukan semata-mata Qur'an. Jadi, kalau kita memakai pendapat al-Asbahani ini, istilah ta'wil bisa dipakai dalam konteks kitab-kitab suci secara lebih umum. Kita, secara teoretis, bisa mengatakan ta'wil untuk Bible, Veda atau Upanishad.
Pendapat al-Asbahani ini didukung oleh fakta berikut ini. Kalangan Yahudi yang tumbuh dalam tradisi dan peradaban Islam memakai istilah tafsir untuk menyebut komentar atas Torah. Encyclopaedia of Judaica, misalnya, memuat lema yang ditulis oleh Meira Polliack di mana disebutkan bahwa terjemahan Saadiah Gaon atas "pentateuch", yakni lima kitab pertama dalam Perjanjian Lama, sebagai tafsir. Saadiah Gaon adalah seorang rabi Yahudi yang sangat terkenal dari Mesir yang wafat pada 942 M.
Istilah tafsir dalam perkembangannya memang secara spesifik dikaitkan dengan penafsiran dan pemahaman Qur'an. Al-Suyuti mengutip pendapat al-Zarkashi, pengarang "Al-Burhan fi 'Ulum al-Qur'an", sebagai berikut: tafsir adalah ilmu untuk memahami kitab Tuhan yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, untuk menerangkan maknanya, serta mengeluarkan hukum-hukum dan kebijaksanaan dari dalamnya. Menurut al-Zarkashi, sumber-sumber tafsir bisa berasal dari leksikografi ('ilm al-lughah), nahw (tata bahasa Arab), morfologi (tashrif), semantik ('ilm al-bayan), ushul fiqh (teori hukum Islam), ilmu bacaan (qira'at).
Dengan kata lain, inti tafsir adalah menerangkan Kitab Suci. Sekali lagi, di sini ada kesejajaran antara hermeneutika dalam pengertiannya yang elementer dengan istilah-istilah yang sudah dikenal dalam Islam, yaitu tafsir dan ta'wil.
Adalah sama sekali keliru jika kita mengira bahwa antara tafsir, ta'wil dan hermeneutika tak ada kaitan apapun dari segi pengertian dasarnya. Secara sederhana kita bisa mengatakan bahwa ta'wil atau tafsir adalah istilah Arab untuk hermeneutika, sebagaimana al-daulah, misalnya, adalah istilah Arab untuk kata "state" (negara) dalam bahasa Inggris. Sudah tentu, ketiga kata itu memiliki sejarahnya masing-masing. Kata "al-daulah" tentu memiliki sejarahnya sendiri dalam bahasa Arab, begitu pula kata "state". Namun, itu bukan berarti bahwa kita tak bisa menerjemahkan kata "state" dalam bahasa Inggris dengan "al-daulah" dalam bahasa Arab hanya gara-gara kedua istilah itu memiliki sejarah masing-masing yang panjang. Ini berlaku pula untuk kata ta'wil dan hermeneutika.
Perkembangan Hermeneutika
Saya akan mecoba mengulas secara ringkas perkembangan pengertian hermeneutika dalam tradisi kesarjanaan Barat. Saya memakai sebuah buku pengantar berjudul The Hermeneutics Reader yang disunting oleh Kurt Mueller-Vollmer, terbit 2006. Mueller-Vollmer menulis pengantar yang sangat panjang dan cukup baik mengenai perkembangan hermeneutika dalam tradisi Barat.
Sebagaimana saya tunjukkan di atas, kata ini memiliki pengertian dasar "menafsirkan", to interpret. Istilah ini terkait dengan nama Hermes, seseorang yang dipercayai sebagai "utusan" tuhan dalam masyarakat Yunani. Nama Hermes dalam tradisi Islam juga dikaitkan dengan figur Nabi Idris. Tugas Hermes adalah membawa pesan dari tuhan kepada manusia. Untuk melaksanakan fungsi itu, Hermes harus memenuhi syarat pokok: memahami pesan tuhan serta tahu bagaimana menyampaikannya kepada manusia sesuai dengan bahasa mereka. Peran Hermes kira-kira sama dengan seorang penerjemah, interpreter, yang harus menguasai bahasa asal dan bahasa tujuan sekaligus. Dari nama Hermes inilah lahir istilah hermeneutika. Dengan demikian, hermeneutika kira-kira adalah ilmu atau cara untuk menafsirkan sesuatu.
Perkembangan penting dalam sejarah hermeneutika di Barat terjadi saat pecah Reformasi Protestan pada abad 16. Kaum pembaharu Protestan yang menentang gereja Vatikan mengembangkan doktrin yang menarik yang disebut dengan "perspicuitas", artinya bahwa Kitab Suci, yakni Bible, sudah cukup terang dan mencukupi-untuk-dirinya-sendiri untuk dipahami oleh seorang beriman, tanpa bantuan otoritas gereja Vatikan. Prinsip ini terkait dengan istilah lain yang sudah kita kenal selama ini, yaitu sola scriptura, bahwa Kitab Suci sudah cukup tanpa bantuan tradisi gereja Katolik.
Gerakan kaum reformis Protestan ini mengingatkan kita pada paham kaum pembaharu Islam yang dikenal sebagai kaum Salafi. Gerakan mereka disebut salafiyah. Gerakan ini dicirikan antara lain oleh semboyan: kembali kepada Qur'an dan hadis (al-ruju' ila al-kitab wa 'l-sunnah). Gerakan ini menganjurkan umat Islam untuk kembali langsung kepada Qur'an dan hadis, tanpa melewati tradisi mazhab empat yang dikenal selama ini di kalangan umat Islam "tradisional". Bagi mereka, Qur'an dan hadis sudah mencukupi, jelas dan terang. Ini hampir sejajar dengan prinsip perspicuitas yang dikembangkan oleh penggerak reformasi Protestan. Asumsi yang mendasari gerakan-gerakan reformasi ini adalah bahwa Kitab Suci tertutup oleh tradisi penafsiran yang berkembang cukup lama, sehingga untuk menghayati semangat asli Kitab Suci, umat harus "membuang" tradisi yang dianggap mengotori kesucian Kitab Suci tersebut. Dalam konteks Islam, yang dimaksud tradisi di sini biasanya adalah tradisi bermazhab.
Salah satu tokoh penting dalam tradisi hermeneutika semasa Reformasi Protestan adalah Matthias Flacius Illyricus yang menulis karya berbahasa Latin, Clavis Scripturae Sacrae, terbit pada 1567 M. Dalam buku ini, Flacius mengembangkan dua pokok argumen. Pertama, bahwa gereja tak boleh memaksakan suatu tafsir tertentu tentang Bible, dengan alasan bahwa Kitab Suci belum bisa dipahami dengan tepat oleh umat Kristen, dan karena itu bantuan gereja dibutuhkan. Dengan latihan dan pendidikan yang memadai, menurut Flacius, Kitab Suci dapat dipahami dengan baik oleh umat secara lebih luas, tidak dimonopoli oleh gereja. Kedua, bahwa Kitab Suci mengandung koherensi dan kontinuitas internal, sehingga siapapun, dengan menggunakan alat tertentu, bisa memahami Kitab Suci, tanpa bantuan gereja (Bdk. teori munasabah dalam sejarah tafsir Qur'an). Argumen kedua ini paralel dengan apa yang dikemukakan oleh Melanchthon dan Martin Luther, penggerak utama Reformasi Protestan. Dengan dua argumen ini, Flacius mengembangkan suatu tradisi hermeneutika atau penafsiran Bible yang independen dari otoritas gereja.
Lagi-lagi, di sini kita melihat kesejajaran antara semangat Reformasi Protestan dan Gerakan Salafiyah dalam Islam. Dalam gerakan Salafiyah, dikembangkan suatu tradisi penafsiran Qur'an yang kurang lebih independen dari tradisi mazhab. Inilah yang menjelaskan kenapa dalam keputusan-keputusan majlis tarjih Muhammadiyah, misalnya, rujukan kepada Kitab Kuning yang memuat khazanah tradisi bermazhab sama sekali kurang, atau malah tak ada sama sekali. Dengan kata lain, Muhammadiyah yang diilhami oleh gerakan Salafiyah Rashid Ridha di Mesir mengembangkan tradisi "hermeneutika" yang berbasis langsung pada Qur'an dan sunnah. Kalau sekarang ini intelektual Muhammadiyah yang penting seperti Dr. Amin Abdullah, rektor UIN Sunan Kalijaga Yogykarta, dengan bersemangat menyambut hermeneutika, maka hal itu sama sekali tak aneh. Semangat Muhammadiyah dari awal adalah paralel dengan gerakan Reformasi Protestan yang mendasarkan diri pada prinsip perspicuitas, kembali kepada Qur'an dan hadis, sola scriptura.
Ini adalah perkembangan awal hermeneutika dalam tradisi Barat pasca Reformasi. Di sana terlihat bahwa pertama-tama, hermeneutika dikembangkan sebagai alat untuk menantang otoritas gereja yang memonopli tafsir atas Bible, persis seperti gerakan Salafiyah yang memakai semboyan "kembali kepada Qur'an dan hadis" untuk menantang monopoli tradisi mazhab.
Tetapi, perkembangan berikutnya bergerak lebih jauh lagi. Hermeneutika sudah bukan lagi semata-mata sebagai cara untuk menafsirkan Bible, tetapi bidang filsafat tersendiri yang independen. Inilah yang disebut dengan hermeneutika modern. Ada tiga hal penting yang membentuk hermeneutika modern: perkembangan dalam filologi klasik, jurisprudensi (artinya tafsir atas hukum, atau teori tafsir hukum; dalam Islam disebut ushul fiqh), dan filsafat. Perkembangan filologi terkait dengan studi atas naskah-naskah kuno yang berasal dari Yunani. Bersamaan dengan Reformasi Protestan, Eropa menyaksikan kebangkitan kajian atas naskah-naskah kuno dari Yunani dan Romawi. Kajian ini menimbulkan suatu cabang ilmu baru, yakni ilmu untuk menafsirkan dan memahami teks-teks kuno. Itulah filologi.
Pada saat itu tumbuh pula minat yang besar untuk mengkaji hukum Romawi. Perkembangan ini juga sangat mempengaruhi tradisi hermeneutika modern. Salah satu buku penting yang lahir dari periode itu adalah karya Constantius Rogerius, Treatise Concerning the Interpretation of Law, terbit 1463 M. Usaha pokok Rogerius adalah untuk melakukan harmonisasi atau penyelarasan atas hukum warisan Kaisar Justinian. Usaha Rogerius ini kira-kira sejajar dengan usaha Ibn Rushd yang mensistematisasi mazhab Maliki, atau Maimonides yang mensistematisasi tradisi hukum rabi dalam agama Yahudi, rabbinical laws, atau halakhah.
Perkembangan dalam bidang filsafat juga berperan besar dalam terbentuknya tradisi hermeneutika modern. Bahkan perkembangan dalam sektor inilah dapat kita katakan memainkan peran yang paling penting. Ambisi para filsuf Eropa pada abad 17, 18 dan 19 adalah ingin mensistematisasikan ilmu-ilmu kemanusiaan secara koheren dan lengkap sebagai bidang yang berdiri sendiri.
Salah satu perkembangan penting dalam hermeneutika modern adalah terbitnya buku karya Chladenius (m. 1759 M), Introduction to the Correct Interpretation of Reasonable Discourses and Books (Pengantar untuk Interpretasi yang Tepat atas Ujaran Yang Masuk Akal dan Buku), terbit pada 1742 M. Apa yang dilakukan oleh Chladenius dalam buku ini bukan meletakkan landasan interpretasi yang berlaku untuk Bible, tetapi interpretasi yang berlaku secara umum. Chladenius menyebut istilah "Auslegekunst" (dalam bahasa Jerman) yang artinya adalah seni menafsir. Saya akan kutipkan baris yang penting dari Mueller-Vollmer sebagai berikut: Since "to be understood" was in the nature of an utterance, Chladenius defined hermeneutics as the art of attaining the perfect or complete understanding of utterances (vollstandiges Verstehen)*--whether they be speeches (Reden) or writings (Schriften). Artinya: Karena "untuk dapat dipahami" adalah watak dari segala ujaran, Chladenius mentakrifkan hermeneutika sebagai seni untuk memperoleh pemahaman yang sempurna dan lengkap mengenai ujaran-ujaran--baik ujaran lisan atau tulisan.
Salah satu prinsip terkenal yang diutarakan Chladenius dalam karyanya ini adalah apa yang disebut sebagai "Sehe-Punckt" atau teori sudut pandang. Menurut teori ini, jika ada dua laporan berbeda tentang fakta sejarah yang sama, maka hal itu bukan berarti ada kontradiksi antara keduanya. Perbedaan terjadi, menurut dia, karena adanya perbedaan sudut pandang. Setiap manusia, dalam pandangan dia, melihat peristiswa di sekelilingnya sesuai dengan sudut pandangnya sendiri.
Pandangan ini dipinjam oleh Chladenius dari karya filosof terkenal Yahudi, Leibniz, Optics. Ada kemungkinan pula, Chladenius dipengaruhi oleh karya Leibniz yang lain, Monadology. Dalam karya terakhir itu, Leibniz antara lain mengutarakan bahwa masing-masing monad, atau wujud dalam dunia ini, mempersepsi alam raya yang sama, tetapi dari sudut pandang yang berbeda-beda. Inilah yang belakangan antara lain melahirkan suatu teori mengenai perspektivalisme, yakni bahwa ada banyak kebenaran sesuai dengan masing-masing sudut pandang yang dimiliki oleh pihak yang berbeda-beda.
Demikianlah, hermeneutika terus berkembang dengan pesat, seturut dengan perkembangan paham-paham filsafat di Eropa. Sejumlah tokoh yang meninggalkan "sidik jari" yang menonjol adalah Friedrich Schleiermacher, Wilhelm von Humboldt, Johann Gustav Droysen, August Boeckh, Wilhelm Dilthey, Edmund Husserl, Roman Ingarden, Martin Heidegger, Hans-Georg Gadamer, dan terakhir Jurgen Habermas yang masih hidup hingga saat ini.
Nama Schleiermacher cukup penting diulas sedikit karena ia telah memberikan sumbangan yang sangat penting dalam tradisi hermeneutika modern. Sumbangan Schleiermacher merupakan "watershed" atau titik balik yang penting. Schleiermacher dikenal karena mengajukan konsep mengenai "pemahaman" atau Verstehen, sebelum Dilthey. Hermeneutika dalam pandangan Schleiermacher bukan sekedar menerangkan sesuatu yang samar dalam ujaran, atau al-kashf wa al-bayan dalam istilah al-Suyuti, tetapi, "above all concerned with illuminating the conditions for the possibility of understanding and its modes of interpretation." (Kutipan dari Mueller-Vollmer) Kalimat ini tak mudah dimengerti dengan sederhana kecuali bagi mereka yang terbiasa dalam studi filsafat. Kira-kira kalimat itu berarti: hermeneutika berkenaan dengan usaha menerangkan syarat-syarat kemungkinan untuk memahami, dan cara-cara untuk menafsirkannya. Dengan kata lain, obyek pokok hermeneutika bukan lagi sekedar menerangkan dan membuka rahasia kode-kode tekstual, tetapi pemahaman itu sendiri sebagai pengalaman manusia, bagaimana itu mungkin, serta bagaimana pula menafsirkannya.
Salah satu sumbangan penting Schleiermacher adalah bahwa pemahaman selalu terkait dengan aspek bahasa. Inilah yang disebut dengan "linguistikalitas" atau kemembahasaan dalam kegiatan pemahaman. Setiap aktivitas memahami tak bisa dipisahkan dari aspek bahasa. Tentu bukan tempatnya di sini saya mengulas seluruh teori yang dikembangkan oleh para filsuf yang memberikan kontribusi penting dalam pembentukan hermeneutika modern. Ini hanyalah sekedar "kelebatan" untuk memberikan isyarat kepada pembaca.
Kesimpulan yang penting adalah bahwa hermeneutika, meskipun berawal sebagai cara untuk menafsir Kitab Suci atau Bible, tetapi perkembangan belakangan memperlihatkan bahwa ia bergerak secara independen sebagai ilmu atau seni menafsir yang berlaku secara umum. Perkembangan hermeneutika saat ini lebih banyak dipengaruhi oleh teori-teori baru dalam filsafat ketimbang oleh kajian Bible. Yang terjadi justru sebalinya: perkembangan penafsiran atas Bible lebih banyak dipengaruhi oleh perkembangan dalam filsafat. Inilah yang menjelaskan kenapa saat ini muncul hermeneutika feminis atau penafsiran Bible berdasarkan perspektif perempuan, misalnya; disebut "feminist hermeneutics". Para penulis Muslim yang melakukan "perang salib" atas hermeneutika jelas keliru sama sekali ketika mengatakan bahwa menerapkan hermeneutika dalam studi Qur'an sama saja dengan menerapkan teori tafsir Bible terhadap Kitab Suci umat Islam itu. Sebagaimana kita lihat sendiri, hermeneutika sudah berdiri sendiri sebagai bidang yang otonom. Penafsiran Bible justru sekarang banyak dipengaruhi oleh hermeneutika yang berkembang di luar kajian Alkitab. Nama-nama besar dalam perkembangan hermeneutika modern, seperti Gadamer, Heidegger, Dilthey, dan Habermas sama sekali tak terkait dengan perkembangan kajian Alkitab.
Salah paham yang lain adalah bahwa hermeneutika oleh sebagian kalangan sarjana Muslim Indonesia diidentikkan dengan pendekatan dalam studi Bible yang dikenal sebagai biblical criticism, atau kajian atas bentuk-bentuk literer Bible untuk melacak kronologi penulisannya. Memang sejarah hermeneutika antara lain dibentuk melalui tradisi filologi yang menjadi dasar dari kritisisme biblikal. Tetapi, sebagaimana sudah saya tunjukkan di atas, perkembangan hermeneutika tidak semata-mata dibentuk oleh filologi, tetapi terutama oleh paham-paham dalam filsafat. Di benak para pengkritik hermeneutika itu terdapat pra-anggapan yang jelas keliru bahwa menerapkan hermeneutika akan berujung dengan penerapan metode yang dipakai John Wansbrough yang kontroversial itu dalam studi Qur'an. Ini jelas kesalahpamahan yang fatal. Dalam diskusi mengenai hermeneutika Qur'an saat ini, kajian Wanbrough justru sama sekali tidak diperhitungkan sebagai salah satu bentuk pelaksanaan dari hermeneutika.
Mungkinkah Meminjam Hermeneutika
Beberapa penulis Muslim menolak keras hermeneutika karena dianggap sebagai metode penafsiran yang tidak pas dengan Qur'an. Menurut mereka, sarjana Islam mengembangkan tradisi tafsir sendiri yang lebih sesuai dengan Qur'an. Memakai hermeneutika dalam memahami Qur'an akan merusak integritas Kitab Suci umat Islam itu. Bahkan ada sebagian yang berpandangan bahwa hermeneutika akan merusak Islam dari dalam.
Apakah betul pandangan seperti itu? Marilah kita periksa asumsi-asumsi yang dipakai oleh para pengkritik hermeneutika itu.
Asumsi pertama: tampak ada semacam pandangan bahwa antara hermeneutika dan tafsir/ta'wil sebagaimana dikenal dalam studi Qur'an sama sekali tak ada kemungkinan titik temu. Ini jelas salah sama sekali. Seperti kita lihat dalam penjelasan di atas, teori Schleiermacher tentang pentingnya aspek bahasa dalam penafsiran dan pemahaman suatu ujaran jelas bertemu dengan pandangan para penafsir Qur'an yang dengan tegas menekankan pentingnya "konvensi bahasa" (al-wadh' al-lughawi) dalam penafsiran. Tafsir tidak bisa bergerak bebas menabrak aturan-aturan kebahasaan. Tentu pada tingkat renik-renik bisa terjadi perbedaan, tetapi pada level teori besarnya, ada kesejajaran antara perspektif Schleiermacher mengenai kemembahasaan pemahaman dengan pandangan mufassir Islam.
Asumsi kedua: apa yang disebut sebagai metode tafsir atau ta'wil dalam memahami Qur'an seolah-olah monolitik atau tunggal. Para pengkritik hermeneutika sering mengatakan bahwa penafsiran Qur'an memiliki metodenya sendiri yang lebih "pribumi". Pernyataan yang sifatnya umum ini jelas mengandung generalisasi yang mengelabui pandangan para pembaca awam yang tak membaca dengan baik keragaman metode penafsiran Qur'an.
Sebagaimana kita ketahui, dalam penafsiran Qur'an terjadi pertengakaran yang tak kalah hebat antara para penafsir Qur'an. Sejumlah tafsir yang ditulis oleh ulama klasik dianggap "sesat" karena memakai pendekatan yang dianggap tidak-orotodoks. Contoh yang terkenal adalah tafsir Al-Kashshaf karya al-Zamakhshari yang meskipun dibaca luas tetapi selalu "dicurigai" karena dianggap membawa pandangan kaum Mu'tazilah. Tafsri kaum batiniyyah atau mereka yang memakai pendekatan esoteris juga sering dikritik sebagai penyimpangan.
Apa yang disebut sebagai "tafsir" dalam tradisi Islam dalam kenyataannya adalah wilayah yang lentur, fluid, cair, dan fleksibel. Tidak ada metode tafsir yang tunggal dalam Islam. Bahkan sejak awal, kegiatan penafsiran Qur'an sudah menjadi semacam "kuda troya" untuk menyelundupkan pandangan-pandangan teologis-filosofis para penafsirnya. Oleh karena itu, bukan rahasia lagi jika seorang penafsir memiliki kecenderungan Ash'ariyyah atau Maturidiyyah, maka dalam menafsirkan Qur'an ia akan memakai cara pandang Ash'ari dan Maturidi. Jika seorang penafsir memiliki kecenderungan mistik, ia akan memakai tasawwuf dalam memahami sejumlah ayat dalam Qur'an. Kalau dia seorang Shi'ah, tentu ia akan menafsirkan Qur'an dengan memakai sudut pandang sekte itu. Demikianlah seterusnya.
Begitu pula kita saksikan bahwa perkembangan corak tafsir akan makin beragam. Semakin jauh dari periode Nabi, semakin beragam pula corak tafsir yang berkembang. Ini hal yang lumrah saja. Karena ilmu berkembang terus, maka pendekatan tafsir juga berkembang. Sebab tafsir tak pernah mengenal metode yang baku. Ketika dalam masa-masa belakangan berkembang filsafat Islam yang dipengaruhi oleh ide-ide neo-platonisme, maka lahir pula corak tafsir yang dipengaruhi oleh filsafat itu, seperti dilakukan oleh Ibn Sina saat menafsirkan sebuah ayat dalam Surah al-Nur mengenai cahaya Tuhan (baca misalnya risalah dia, Risalah fi Ithbat al-Nubuwwat).
Saya hendak bertanya kepada para "pembenci" hermeneutika: bisakah anda menyebutkan kepada saya apa yang dimaksud dengan metode tafsir Qur'an? Apakah ada metode tafsir baku yang berlaku dari zaman klasik sampai kiamat? Apakah yang anda maksud dengan metode tafsir "Islami" adalah metode yang dipakai dalam tafsir bercorak kebahasaan (al-tafsir al-lughawi), atau tafsir fiqhi, kalami, shufi, balaghi? Apakah tafsir bi 'l-naql atau bi 'l-ra'y? Apakah tafsir ala ahl al-hadis atau kalam?
Sejujurnya, setiap kegiatan tafsir selalu "dikendalikan" oleh pandangan-pandangan yang dibawa penafsirnya. Di sini letak relevansi salah satu teori hermenetika, yaitu bahwa sudut pandang penafsir sangat mempengaruhi penafsiran. Jika seseorang memiliki pandangan keagamaan yang fundamentalistis, ia akan menafsirkan Qur'an sesuai dengan pandangannya itu, seperti kita lihat dalam tafsir karya Sayyid Qutb.
Penolakan atas hermeneutika sebetulnya bukan didorong oleh alasan yang secara formal dikatakan oleh para pengkritiknya itu. Misalnya, karena Qur'an memiliki metode penafsiran sendiri. Kalau mau jujur, sebetulnya mereka tahu sejak awal bahwa apa yang disebut dengan "metode tafsir Qur'an" itu tidak pernah jelas batas-batasnya. Seperti saya tunjukkan di atas, tafsir Qur'an selalu menjadi wahana untuk mengusung sejumlah ideologi dan doktrin yang berbeda-beda. Itu terjadi sejak dahulu kala. Tafsir Qur'an juga selalu berkembang dari waktu ke waktu.
Apa sebetulnya motif pokok mereka?
Mereka sebetulnya khawatir jika teori hermeneutika diterapkan, monopoli mereka terhadap penafsiran Qur'an akan tergerogoti. Mereka ingin "mengunci" Qur'an dalam tafsiran tertentu. Semangat yang mendasari para pengkritik hermeneutika ini persis dengan semangat gereja Vatikan dulu yang anti perubahan. Cara paling ampuh dan "cespleng" bagi kaum konservatif di mana-mana adalah dengan mengesankan seolah-olah Kitab Suci hanya memiliki satu "suara" saja, yaitu suara mereka sendiri. Jika ada yang menggugat suara mereka itu, langsung keluar tuduhan bahwa hal itu bertentangan dengan Qur'an.
Sebagaimana dikatakan oleh sahabat Ali, Qur'an adalah "hammalun dzu wujuh", kitab suci yang mengandung banyak kemungkinan tafsir. Para pengkritik hermeneutika biasanya akan mengatakan bahwa memang benar Qur'an mengandung keragaman tafsir. Tetapi keragaman itu harus dibatasi oleh kaidah dan batas-batas tertentu. Pertanyaan saya: batas-batas itu siapa yang menentukan? Dan apa yang disebut batas-batas penafsiran? Bukankah batas-batas itu sebetulnya alat saja di tangan kaum "ortodoks" untuk memonopoli tafsir?
Jadi, Apakah Hermeneutika Bisa Digunakan Dalam Memahami Qur'an?
Pertanyaan ini sebetulnya merupakan bagian dari pertanyaan yang lebih besar lagi: apakah metode penafsiran Qur'an bisa terus dikembangkan? Jawabannya tentu ya. Sejarah penafsiran Qur'an sendiri memperlihatkan perkembangan metode tafsir yang sangat kaya. Kalangan yang mengkritik hermeneutika sebetulnya menyukai metode tafsir baru yang tak ada dalam sejarah penafsiran klasik, yaitu al-tafsir al-'ilmi, atau tafsir saintifik yang biasanya berisi usaha mencocok-cocokkan ayat-ayat Qur'an dengan penemuan sains modern. Mereka tak pernah keberatan dengan metode "baru" ini, karena dengan demikian akan tampak bahwa Qur'an telah mendahului ilmu pengetahuan modern. Bagaimana mereka bisa menerima metode tafsir baru seperti ini seraya menolak metode baru lainnya, yaitu hermeneutika? Apakah kriteria yang mereka pakai untuk menerima yang satu dan menolak yang lain?
Kita menjumpai sejumlah inkonsistensi dalam cara berpikir para pengkritik hermeneutika itu. Sikap dasar mereka sebetulnya jelas: konservatisme dan ingin memonopoli Qur'an sebagai hak tunggal mereka. Qur'an harus dipahami dengan cara tertentu. Itulah motif pokok penolakan mereka.
Dengan kata lain, penolakan ini adalah bagian dari cara kerja ortodoksi Islam untuk melindungi kekuasan tafsirnya sendiri. Akibat praktis dari mindset seperti ini, seperti kita tahu, adalah gejala mudahnya kelompok ortodoks Islam menyesatkan paham atau golongan yang dianggap berlawanan dengan tafsiran mereka. Hermeneutika sebagai metode tafsir tidak seharusnya diperlawankan dengan tafsir. Tentu tidak semua hal dalam teori hermeneutika bisa diterapkan dalam Qur'an. Sebagaimana setiap bentuk "apropriasi" metode, selalu dibutuhkan usaha pempribumian, sebagaimana para filsuf Islam dulu melakukan pribumisasi atas filsafat Yunani. Semangat positif yang hendak dikumandangkan oleh hermeneutika adalah ajakan untuk menyambut keragaman tafsir dengan dada terbuka, bukan dengan muka yang bersungut-sungut dan cemberut.


B.     Geliat Ushuluddin UIN Jogja 2008

(Oleh Muhammad Geistijany)
Beberapa hari ini fakultas kita sedang disibukkan dengan masuknya mahasiswa baru. Kesibukan itu hampir berimbas pada semua civitas akademika, baik para dosen, mahasiswa lama, karyawan-karyawan TU, jajaran Dekanat dan sebagainya. Bagi para dosen, ada kesibukan tersendiri yang terkait dengan standart kurikulum tahun akademik 2008-2009. Di beberapa jurusan bahkan ada kurikulum-kurikulum baru yang dirancang supaya bangunan keilmuannya tidak ketinggalan jaman.
Dulu penulis tidak menjumpai ada mata kuliah Filsafat Islam tradisi Timur (Baghdad), tapi di tahun ini mahasiswa AF angkatan 2007 akan mempelajarinya, di bawah pengajaran Dr. Fatimah Husein. Penulis beranggapan, barangkali tidak saja jurusan AF yang melakukan penyesuaian dan perubahan pada tataran kurikulumnya. Jurusan lain tentunya demikian juga. Tak dapat dipungkiri, perubahan adalah keniscayaan, semacam tuntutan ketika segala hal di hadapkan pada situasi mutakhir saat ini.
Pluralisme dalam Al-Qur’an (Bag. 1)
Pendahuluan
Pada setiap zaman hanya terdapat satu agama yang benar. Pada setiap zaman datang seorang nabi yang membawa syariat Allah dan manusia diwajibkan untuk mengikuti dan mengamalkanya, hingga berakhir pada periode penutup para nabi. Di zaman Rasulullah saw. ini, jika seseorang ingin menemukan jalanya menuju Allah, maka orang tersebut harus mengikuti perintah-perintah agama yang dibawanya. (Murtadha Muthahari)
Saat ini terdapat enam agama dan lima kepercayaan besar di dunia yaitu, Hinduisme, Budhisme, kristianitas, Islam, Yahudi, Sikhisme, Konfusianisme, taoisme, Zoroastrianisme, Shintoisme, dan Kepercayaan Baaha’i, di luar kepercayaan lain yang dianut oleh ribuan suku bangsa di berbagai pelosok bumi.
Meskipun nilai-nilai yang ditawarkan kepada setiap umatnya adalah kebenaran, keselamatan dan kedamaian, baik dalam menjalani kehidupan di dunia maupun di akhirat, perbedaan dalam hidup beragama di masyarakat selalu memiliki potensi terjadinya konflik satu sama lain. Konflik antar umat beragama sering terjadi karena kurangnya pemahaman terhadap agama lain, selain yang dianutnya. Padahal sikap terbuka terhadap perbedaan atau kenyataan hidup beragama merupakan modal terciptanya perdamaian dunia. Untuk itulah paham pluralisme kemudian muncul sebagai jawaban agar konflik antar agama bisa terselesaikan. Namun apakah umat Islam mau menerima gagasan pluralisme?
Apakah hanya Islam agama yang diterima Allah? Dengan kata lain, apakah orang yang beragama selain Islam, sepeti Kristen, Hindu Budha akan memperoleh keselamatan  di sisi Allah? Apakah non-muslim juga menerima amal shalihnya? Lantas kenapa Tuhan menciptakan agama yang bermacam-macam? Kenapa Allah tidak menjadikan agama-agama itu satu saja? Apa tujuan penciptaan berbagai agama itu? Bagaimana seharusnya kita menyikapi perbedaan itu? (Jalaluddin Rakhmat)
Ada dua hal yang perlu diperhatikan yaitu pluralitas agama dan pluralisme agama. Pluralitas agama adalah kondisi dimana berbagai macam agama hadir secara bersamaan dalam suatu masyarakat atau negara. Sedangkan pluralisme agama adalah suatu paham yang menjadi tema penting dalam disiplin sosiologi, teologi dan filsafat agama yang berkembang di barat dan juga agenda penting globalisasi yang mendeklarasikan pembenaran semua agama. Pluralisme lahir dibarat dan orang Islam yang mendukung paham ini mencari-cari akarnya dari kondisi masyarakat Islam dan ajaran Islam yaitu al-Qur’an dan Hadits. Disinilah makna al-Qur’an direbutkan dan masing-masing pihak memaknainya secara berlainan.
Makna dan Sejarah Pluralisme
Kata pluralisme diadopsi dari bahasa inggris yaitu pluralism. Dalam kamus The Oxford English Dictionary, pluralism: the character of being plural; the condition of being a pluralist-1. the system or practice of more than one benefice being held at the same time by one person. 2. philos. a theory of system of thought wich recognize more than one ultimate principle: opposed to monism.[1]
Jalaludin Rahmat dalam wawancara dengan novriantoni yang dimuat dalam situs JIL menyatakan: “Isme itu adalah sebuah paham, pluralisme itu bisa berupa paham tapi bisa juga berupa orientasi keberagaman”.
Nurkholis Madjid mengatakan: “pluralisme tidak dapat dipahami hanya dengan mengatakan bahwa masyarakat kita majmuk, beraneka ragam, terdiri dari berbagai suku dan bangsa, yang justru malah menggambarkan kesan fragmentasi, bukan pluralisme. Pluralisme juga tidak bisa dipahami sebagai kebaikan negatif (negative good) hanya ditilik dari kegunaannya untuk menyingkirkan fanatisme (to keep fanatisme at bay). Pluralisme harus dipahami sebagai pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban (genuine engagement of diversities within the bond of civility). Bahkan pluralisme adalah suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia antara lain melalui mekanisme pengawasan dan perimbangan yang dihasilkannya.”[2]
Budhy Munawar Rahman dalam pengantar terhadap buku Islam, Pluralisme dan toleransi keagamaan mengutip Muhammad Fathi Usman tentang makna pluralisme: “Pluralisme adalah bentuk kelembagaan dimana penerimaan terhadap keragaman meliputi masyarakat tertentu dan dunia secara keseluruhan. Maknanya lebih dari sekedar toleransi moral atau koeksistensi pasif.[3]
Ada dua aliran yang berbeda mengenai paham pluralisme yang berkembang di Barat, yaitu paham teologi global (global theology) dan paham kesatuan transendental agama-agama. Menurut John Hirck, penggagas teologi global mengatakan bahwa yang menjadi motif penting dari pluralisme adalah karena tuntutan modernisasi dan globalisasi. Karena pentingnya agama di era global ini, maka hubungan antara agama dan globalisasi menjadi tema sentral yang banyak dibicarakan. Teologi global menawarkan konsep dunia tanpa batas generasi kultural, ideologis, teologis, kepercayaan dan sebagainya. Artinya, identitas kultural, kepercayaan dan agama harus dilebur atau disesuaikan dengan zaman modern. Kelompok ini yakin bahwa agama-agama itu berevolusi dan nanti akan saling mendekat yang pada akhirnya tidak ada lagi perbedaan antara satu agama dengan agama lainya. Agama-agama ini kemudian akan lebur menjadi satu. Itulah pluralisme agama yang menurut gagasan Hirck disebut sebagai global theology.
Menurut paham transcendent unity of religions yang digagas oleh Frithjof Schuon, bahwa pluralisme muncul karena pada dasarnya semua agama-agama itu pada tataran esoterisme akan kembali pada realitas yang sama yaitu Tuhan Yang Maha Tinggi. Singkatnya menurut paham ini bahwa semua agama pada dasarnya adalah sama dan berbeda hanya dalam bentuknya saja (eksoterisme)[4]. Ibarat roda, pusat roda itu adalah Tuhan dan jari-jarinya itu adalah jalan dari berbagai agama.
Menurut Adian Husaini, paham pluralisme berakar dari relativisme akal dan relativisme iman. Sedangkan di dalam Islam, paham pluralisme berasal dari proses libralisasi Islam. Secara umum ada tiga bidang penting dalam ajaran Islam yang menjadi sasaran libralisasi yaitu:[5]
1.    Liberalisasi aqidah dengan penyebaran paham pluralisme agama
2.    Liberalisasi syariah dengan melakukan perubahan metodologi ijtihad
3.    Liberalisasi konsep wahyu dengan melakukan dekonstruksi terhadap al-Qur’an
Pluralisme dalam al-qur’an
Menurut Gamal al-Banna, sumber rujukan yang paling otentik bagi pluralisme adalah al-qur’an. Dengan kata lain, al-Qur’an adalah pondasi bagi pluralisme dalam Islam.[6] Yahudi, Kristen dan eksistensi agama-agama lainya diakui dalam Islam. Al-Qur’an tidak pernah menghendaki manusia menjadi umat yang satu dan diatur oleh satu konvesi atau satu gagasan. Sikap Islam terhadap pluralitas agama berdiri di atas prinsip-prinsip kesejajaran, toleransi dan saling melengkapi. Menurut Gamal al-Bana, sikap ini ada di dalam Islam karena dua alasan: alasan sejarah dan alasan obyektif.
Agama adalah sebuah rumah besar yang di dalamnya terdapat , paling tidak, tiga agama besar: Islam, Kristen dan Yahudi. Ayah mereka satu dan ibu mereka banyak. Secara historis-geografis mereka terikat oleh satu tempat dan waktu yang tidak berjauhan sampai agama itu menyebar ke seluruh dunia.[7] agama-agama itu hadir untuk saling melengkapi, Yahudi dengan tauhidnya yang ekstrim, Kristen dengan cinta kasihnya dan Islam dengan keadilanya. Semuanya saling melengkapi menuju kesempurnaan yang ideal.[8]
Adapun alasan obyektif bagi penegasan Islam akan pluralitas agama adalah kembali kepada cara pandang Islam terhadap konsep Tuhan sebagai pencipta alam raya dan sumber bagi nilai-nilai ideal. Dialah yang menurunkan semua agama sejak Nabi Adam as. Hingga Nabi Muhammad saw. sesuai dengan kebutuhan dan zaman yang berbeda-beda. Singkatnya semua agama adalah ciptaan Allah. Salah dan benar tidak bisa menjadi bingkai agama-agama. Setiap agama mewakili berbagai kebutuhan manusia. Perbedaan masing-masing agama terjadi karena adanya perbedaan kebutuhan, era dan lingkungan.[9] Tujuanya agar kita berloba-lomba dalam berbuat kebaikan (QS Al-Maidah: 48). Al-Qur’an menggambarkan seluruh umat manusia akan kembali kepada Allah dan kelak Dialah yang akan menjelaskan mengapa ada berbagai perbedaan diantara manusia itu. Inilah dasar teologis untuk paham pluralisme yang sangat ditekankan oleh al-Qur’an.[10]
Catatan kaki
[1] The Oxford English Dictionary, pluralism, hal. 1026, Oxford: Claredon Press, 1978
[2] Nurkholis Madjid, “Masyarakat Madani dan Investasi Demokrasi: Tantangan dan Kemungkinan, Republika 10 Agustus 1999.
[3] Muhammad Fathi Usman, Islam, Pluralisme dan toleransi keagamaan (terj. The Children of Adam: an Islamic Perspective on Pluralism), hal. xii, Jakarta: PSIK Universitas Paramadina, 2006
[4] .Frithjof Schuon, Mencari titik temu agama-agama, terj. The Trancendent Unity Of Religions, (Jakarta:Pustaka firdaus, 1994), cet. Ii, hal. xi
[5] . Adian Husaini, Libralisasi Islam di Indonesia; Fakta Dan Data, (Jakarta: DDII, 2006), hal. 11
[6] . gamal Al-Banna, Doktrin Pluralisme Dalam al-Qur’an, (Jakarta: Menara, 2006), hal. 33
[7] . ibid.
[8] ibid
[9] . ibid. 36
[10] . George B. Grose (ed), Tiga Agama Satu Yuhan, (Bandung: Mizan,1998), hal. xxiv

C.     Epistemologi Teori Kritis

Pertama saya berbicara tentang seberapa individualkah seorang individu. Saya sudah diperingatkan untuk tidak terlalu berbicara filosofis padahal epistemologi adalah bagian dari diskusi filosofis. Untuk mendamaikan itu saya akan membuat beberapa contoh. Namun sebelum itu saya akan berbicara tentang latar belakang teori kritis dalam konstelasi teoritis yang berkembang di Eropa. Sejak awal zaman modern ketika munculnya ilmu pengetahuan dan munculnya teori kritis ini. Kalau kita perhatikan apa yang mendasari ilmu-ilmu sosial di Eropa, itu tak lain dari pada suatu sikap, pertama optimistis terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kedua sebuah sikap romantis, dalam arti kritis terhadap perkembangan ilmu alam itu sendiri. Nah, sikap yang pertama ini berkembang sampai pada puncaknya pada abad 18, yaitu zaman pencerahan.
Pencerahan di tiga wilayah, Jerman, Prancis dan Inggris itu mempunyai satu kesamaan di samping juga perbedaanya yaitu melawan metafisika. Termasuk di dalam metafisika, tahayul-tahayul, mitos-mitos, agama dan segala macam bentuk abstraksi yang tidak mempunyai dasar empiris. Perbedaannya kalau di Prancis amat didasari oleh John Locke yang sangat empiristis, begitu juga di Inggris, namun ia sebenarnya mengembangkan pencerahannya sendiri yakni pengembangan tentang mekanisme. Maka di Inggris lebih mengacu pada paham deisme. Suatu paham yang mengatakan bahwa Tuhan setelah menciptakan alam semesta ini, dia menganggur, membiarkan dunia bergerak menurut mekanismenya sendiri. Sedangkan di Jerman, motif pencerahan juga berbeda, ide yang tak pernah hilang dari filsafat Jerman adalah ide mentalitas. Oleh karena itu, menjadi mentalitas yang merasuki filsafat dan juga sastra di Jerman adalah bagaimana mengintegrasikan segala sesuatu. Dalam hal ini juga, ilmu, mitos, iman dan seterusnya. Bagaimana itu menjadi bangunan yang koheren dan utuh. Oleh karena itu, pencerahan di Jerman tidak mencabik-cabik agama, melainkan memberikan pendasaran yang kokoh, rasional tentang apa itu agama.
Nah tapi apa yang menang dalam pencerahan itu. Yang menang adalah, tendensi-tendensi yang kuat empiristis. Yang dimaksud menang itu adalah yang dominan. Dan malah juga cenderung nihilistis. Hal ini seperti yang ditampilkan oleh Nietzshe misalnya yang lahir pada abad ke 19 dan merupakan titik kulminasi dari abad modern itu sendiri. Dimana kalau orang mau konsekuan untuk menaklukan alam baik alam eksternal yaitu alam material yang kita lihat ini, maupun alam internal yaitu alam psikis manusia, bagian dalam dari diri manusia, pikirannya, instingnya, sikap batinnya, kepercayaannya, semua mau ditolakkan menurut mekanisme. Maka kalau itu semua bisa diketahui secara mekanistis, objektif, maka nilai pun diusir keluar. Karena nilai itu tidak obyektif. Ia masuk dalam lingkup kebebasan manusia. Seperti menafsirkan misalnya. Nah maka sebenarnya tendensi nihilistis boleh dikatakan jadi muara dari aufklarung.
Karl Marx tentu saja salah seorang yang cukup kritis terhadap aufklarung. Ia hidup pada abad ke 19. tetapi ia juga berdiri pada tradisi aufklarung. Kritis dalam arti apa. Ia melihat aufklarung itu terlalu memusatkan perhatiannya pada pencerahan individu yang universalistis tentu saja. Pengetahuan yang universal itu diraih secara individual. Dan apa yang secara invidual diraih secara mendalam itu merupakan sesuatu yang universal yang juga dipikirkan oleh individu-individu yang lain. Pencerahan ini adalah pencerahan borjuis. Seseorang bisa menjelaskan dengan teori ekonominya, teori sejarahnya, tapi ini semua berakar dari epistemologi Marxist itu sendiri yang sangat anti terhadap sebuah pemikiran epistemologis bahwa pengetahuan itu lepas dari konteks sejarah. Universalistis, transendental, yang dimaksud dengan transendental itu metahistoris, yang dimaksud metahisroris itu adalah, na ya kalau pada hari ini saya memberikan kepada anda semua mata Tuhan maka mata Tuhan itu kita-kira akan melihat akhir dunia dan awal dunia dalam satu keutuhan. Tidak dalam suatu dinamika melainkan dalam suatu keutuhan total. Nah itu adalah corak pengetahuan borjuasi. Epistemologi universalistis, individualistis yang dikritik oleh Marx. Orang yang mewakili cara pandang ini tentu saja Immanuel Kant, dengan pandangannya tentang rasio murni.
Lalu apa yang dilakukan oleh Marx. Yang dilakukan oleh Marx adalah sebagai anak zaman pencerahan juga yang kritis tentu saja. Ia ingin melakukan pencerahan jilid kedua. Yaitu memperlihatkan bahwa ada wilayah-wilayah kehidupan yang bisa dicerahkan bukan alam misalnya saja seperti yang dilakukan oleh kaum borjuasi. Seperti Kant misalnya, atau banyak juga orang borjuasi pada masa itu bahkan memandang manusia oleh Hobbes. Memandang manusia secara alamiah dengan segala kepentingannya.
Menurut Marx, wilayah lain yang harus dicerahkan adalah hubungan-hubungan sosial. Dan hubungan sosial ini tidak melulu bersifat alamiah. Itu terdapat di dalam Marx muda. Terjadi kemerosotan tentu saja setelah Marx semjadi matang. Dia condong tidak filosofis lagi, melainkan menjadi sangat ilmiah dan positivistis. Nah ia ingin menjelaskan proses hubungan antar manusia itu, sebagai proses-proses yang bisa dirumuskan menurut hukum-hukum alam.
Maka dari itu, mekanisme-mekanisme sosial yang bersifat struktural itu bekerja seperti pada misalnya biologi dan ilmu-ilmu alam lainnya bisa ditekan dan diprediksi. Katakanlah sebuah revolusi dapat diprediksi dengan ketepatan matematis. Kita dapat menganalisa tingkat kematangan kontradiksi pada basis ekonomi yang akan memuncak seperti air yang akan mendidih ada 100 derajat selsius dan kemudian akan menguap. Maka niscaya jika suhu itu dicapai akan mencapai pula titik orgastiknya. Nah ini seperti gerhana matahari yang bisa diramalkan oleh Tales misalnya. Persis terjadi sesuai dengan ramalan.
Dan itu menarik, Karl Marx yang semula humanis yang melihat manusia tidak sepenuhnya dapat dirumuskan, terakhir menjadi seorang ilmuan yang percaya akurasi dan objetivisme di dalam ilmunya. Dan akibatnya juga, ilmu yang disebut ilmu ekonomi politik dan marxisme ortodoks yang dianut oleh penganut-penganutnya itu tidak menghasilkan perubahan sosial karena pretensi hanya merumuskan hukum-hukum sosial. Padahal hukum sosial itu apa? Itu bukan hukum-hukum an sich yang ada di luar sana dan hanya tinggal ditemukan. Bukan, bukan seperti melainkan merupakan hasil rekonstruksi masyarakat. mungkin Marx menyadari itu pula bahwa itu merupakan hasil rekonstruksi masyarakat. Tetapi Marx melihat walaupun rekonstruksi individu di dalam suatu masyarakat tidak bisa lepas dari determinisme ekonomi misalnya.
Hal itu tampil misalnya di Bali. Dulu di Bali ketika turisme belum berkembang, ritus seperti barong, lalu keca itu kan murni ritual religius. Begitu pula sabung ayam yang diteliti oleh Clifford Geertz. Itu merupakan ritus murni juga sama seperti katarsis di dalam mekanisme pelepasan dari beban hidup manusia. Yang menurut Geertz kemudian ditafsirkan salah oleh pemerintahan orde lama karena dianggap judi. Yang sesat sebetulnya adalah polisi-polisi itu. Nah lalu terjadi perkembangan kapitalisme, turisme berkembang dan terjadi komersialisasi. Individu menjadi tidak berdaya dalam situasi seperti itu. Tidak ada kekuatan individu di dalamnya. Hendak protes bagaimana, itu hidup(eksis) kok! Lalu akhirnya agama Bali perlahan-lahan juga ditransformasikan menjadi sesuatu yang bersifat kapitalistis. Memang orang Bali masih patuh pada agamanya tetapi perlu dicek apakah di Kuta, Legian masih ada orang Bali yang cukup murni di dalam menghayati agamanya ketika mengadakan tari keca misalnya. Apakah performance murni ataukah yang sudah hilang nilai sakralitasnya. Nah itu bisa menjadi tema riset yang menarik melihat efek kapitalisasi pada agama.
Dan dalam konteks seperti itu, Marx sebenarnya telah memberikan sumbangan yang menarik, deterministis memang tertalu keras seperti hukum baja, seolah-olah yang sosial itu menentukan yang individual. Nah saudara-saudara kalau melihat konstelasi semacam ini lalu orang didorong oleh hukum Marx seperti Das Kapital, untuk menunggu revolusi. Tentu saja membuat tidak sadar orang-orang kritis. Yaitu di kalangan murid-murid Marx sendiri yang mengaguminya. Pengagum Marx itu ada dua, yang satu yang ortodoks yang justru memegang ajaran Marx yang deterministik tapi ada juga yang lebih moderat yang lebih kritis seperti di berbagai agama kan juga sering terjadi seperti itu. Seperti di katolik misalnya ada orang-orang seperti Opusdei misalnya di Roma, ultra-ortodoks, fundamentalistis, nah mereka itu memegang kitab suci itu tidak lebih. Tapi ada yang menafsirkan lebih supaya kehidupan beragama itu lebih enak dan cocok dengan situasi. Orang-orang ini juga kadang-kadang mencari buku-buku yang dilarang oleh vatikan misalnya. Seperti Injil Yudas, Injil Thomas. Sehingga orang menjadi kaya dengan penafsiran. Nah di kalangan marxisme ada tendensi ssperti itu. Buku yang menjadi tabu di kalangan marxisme yang semakin dominan yang dominasinya juga didorong oleh Marx sendiri untuk mempublikasikan Das Kapital dalam internasional kedua dan seterusnya. Yaitu buku dari manuskrip itu sendiri yang jarang disentuh sebetulnya. Ketika Marx masih muda, idealis dalam merumuskan pemikirannya.
Buku itu menjadi penemuan intelektual yang sangat berharga untuk kalangan marxisme kritis, maka muncul orang-orang seperti Gramschi, Lukacs dan akhirnya juga mazhab frakfurt ini, di sana Adorno dan Khorkheimer. Jadi intinya begini, orang-orang ini yang membaca manuskrip, apa yang mereka temukan disana. Yang mereka temukan disana adalah sebuah inspirasi yaitu bahwa apa yang disebut revolusi itu harus dibuat. Revolusi itu hasil dari suatu kehendak demikian juga apa yang disebut kesadaran kelas itu sangat penting, karena kalau tidak ada niscaya revolusi juga tidak terjadi. Justru orang-orang seperti Lukacs, Lukacs ini melihat permasalahan utama di dalam dunia perburuhan yang menjadi keprihatinan para penganut marxsisme adalah mengapa kaum buruh itu pasif, mereka tidak bertindak transformatif itu karena mereka mengalami reifikasi kesadaran. Katakan reifikasi itu semacam alienasi. Jadi sebetulnya, dasarnya juga dari Marx tentang pertisisme komoditas. Jadi bagaimana produk-produk itu juga menjadi berhala. Nah demikian juga pada buruh, kesadaran mereka itu bisa dipesonakan oleh sesuatu. Sedemikian rupa sehingga kesadaran itu tidak lagi kritis, tumpul. Nah hal ini tidak jauh berbeda dari Gramschi yang mengatakan bahwa ada sesuatu yang beroperasi dalam masyarakat. Yaitu suatu struktur kognitif tertentu yang membuat individu-individu di dalamnya merasa nyaman dengan struktur kognitif itu, struktur yang plausibel yang kita memang hidup dalam universum seperti itu. misalnnya ambil contoh seni, pementasan drama, kemudian juga hukum lalu juga media masa, cara berbahasa, semuanya. Semua ini kan memuat dimensi-dimensi kognitif. Nah dimensi-dimensi kognitif ini dianggap kebenaran oleh individu-individu. Itu sudah pasti benar, plausibel, di situ kita hidup dan di situ kita berenang. Tapi menurut Gramschi, tanpa disadari oleh individu-individu, bahkan mereka membelanya. Itu sebetulnya hasil reproduksi kognitif dari borjuasi itu sendiri yaitu kelas yang dominan dalam kelas suatu masyarakat. Sedimikian rupa sehingga kedudukan mereka justru didukung oleh orang-orang itu. Bukan hanya didukung, bahkan pola hidup mereka itu dikehendaki oleh yang lain.Maka tidak ada revolusi karenanya.
Hegemoni reifikasi lalu kemudian teori kritis masuk, sebetulnya hal yang tidak jauh berbeda. Orang-orang ini sebetulnya membalikkan epiatemologi marxis yang mengatakan bahwa basis menentukan suprastruktur. Marxisme kritis termasuk di dalamnya teori keritis itu memperlihatkan bahwa determinisme seperti jelas tidak memadai untuk mesyarakat. Yang terjadi pada masyarakat adalah korelasi antara basis dan suprastruktur, bahkan kadangkala peranan suprastruktur juga amat besar dalam memberi format pada basis, basis ekonomi.
Nah Adorno, Khorkheimer, Marcuse adalah tokoh-tokohnya. Masing-masing memiliki minat yang berbeda-beda tapi semua dilihat dalam satu kesatuan minat. Apakah itu, tidak lain dari pada ingin membangun sebuah teori dengan maksud praktis. Lantas apa yang dimaksud dengan praksis. Selama ini, bahkan di dalam marxisme sendiri seperti yang ada di dalam das Kapital, teori itu mau menjadi demi teori itu sendiri. Jadi teori untuk teori. Atau praksis tanpa teori, tetapi diam-diam ada ideologi di dalamnya. Itu tidak dikehendaki. Kalau mau mengubah masyarakat, kita harus menemukan sebuah konstruksi teoritis tertentu. Sungguh-sungguh ilmiah dalam arti mereka bukan ilmiah dalam arti posotivisme. Sedemikian rupa sehingga kalau seseorang memandang teori tersebut dengan analisisanalisisnya sehingga mencapai suatu insight kepada masyarakat. Nah inilah proyek mereka (teori kritis).
Proyek itu tidak selalu berhasil, misalnya apa yang dilakukan oleh Frans Neuman, dia memang terkenal di Indonesia ini. Bukunya De Hemot yang merupakan counter terhadap Leviathan. Dalam bukunya itu ia melukiskan bagaimana Nazi itu menurutnya bukanlah negara melainkan penindasan satu kelompok terhadap kelompok lain. Ia lukiskan semuanya dengan penuh analisa dan sangat ilmiah sampai pada kesimpulan yang cukup koheren. Kalau orang membaca itu semua, orang bisa tahu bahwa penulisnya bukan bersenang-senang dengan teorinya itu melainkan mempunyai sebuah keprihatinan yang besar dengan menantang sebuah rezim. Maka buku setebal ini De Hemot merupakan kritik terhadap Nazi yang hingga saat ini menjadi bahan diskusi untuk fasisme.
Apa sebetulnya fasisme. Wacana ini disumbangkan oleh buku semacam itu. dalam hal ini Hanna Arendt banyak dipengaruhi juga oleh Frans Neuman. Tesis-tesis Hanna Arendt banyak bertumpu pada Frans Neuman. Setelah membaca Neuman ia membaca Heidegger yang juga kekasihnya. Walaupun bangunan teorinya agak lain tetapi sikap keritisnya tetap sama. Atau buku yang dihasilkan oleh mazhab Frankfurt yang sangat teoritis tetapi sebetulnya juga sangat praksis. Dialektika der Aufklarung, suatu buku klasik yang cukup monumental di abad 20 ini. Ditulis oleh dua orang, Adorno dan Khorkheimer, hanya esai-esai sebenarnya. Ada macam-macam teks di sana. Dan ditampilkan kurang lebih dengan gaya sastra, ada cerita, narasi kemudian juga ada analisa. Orang juga perlu membaca mitos misalnya mitos Odisei untuk mengerti sedikit apa yang dibicarakan disana. Mitos itu menceritakan tentang Odisei dari Ulises yang pulang dari perang di Troya ke kampung halamannya Itaka. Dalam perjalanannya ia digoda oleh bermacam-macam mahluk, misalnya Sirena, Siklop. Terutama Sirena mahluk cantik berupa ikan yang suaranya merdu sekali. Kemudian Odesei ini minta diikat supaya tidak menoleh karena bila menoleh ia akan menjadi batu. Tetapi apakah yang dimaksud dari cerita ini, ini adalah cerita tentang subjektifitas modern. Jadi untuk mempraktekkan ilmu pengetahuan itu harus objektif, tidak ada perasaan sedikitpun. Dalam cerita tadi ada Sirena yang suaranya mendayu-dayu, maka ia tutup telinganya dengan lilin panas dan diikat. Dan praktek ilmu pengetahuan modern berasal dari situ.
Kalau anda ingin menjadi dokter yang mau membedah dan masih berpikir bahwa manusia yang dibedah adalah juga manusia seperti saya, maka ilmu dengan begitu tidak dapat berkembang. Semuanya dilihat sebagai alam objektif mekanisme. Dengan begitu ilmu pengetahuan berkembang. Bahkan dalam meneliti seksualitas, gairah seks jangan muncul. Karena bila muncul sangat berbahaya sekali. Itu terjadi ketika kemampuan orgasme diukur. Dengan menggunakan kabel-kabel dan ada monitornya. Diukur ketinggiannya, semakin tinggi temperaturnya maka denyut jantung pun semakin meninggi. Mereka melakukan seks secara sungguh-sungguh tapi cukup dingin. Prosesnya biasa, tapi diharapkan sungguh-sungguh agar nanti orgasme dapat dihasilkan. Nah ini dilakukan secara dingin, coba bila ada pemikiran bahwa ini porno, ini dehumanisasi saya tidak tega melakukannya. Maka dari sini dapat disimpulkan bahwa pada saat orgasme detak jantung sekian kali banyaknya. Suhu badan meningkat sekian, dan inisemua dijelaskan secara detail. Dan itu dilakukan tanpa rasa. Nah itu seperti Odises yang menahan diri dari subyektivitasnya. Tetapi, yang merupakan inti dari dialektika pencerahan, menahan diri semacam itu dia percaya pada mitos tertentu. Yaitu mitos tentang objektivitas, bahwa yang objektif itu yang benar. Sebagaimana dengan mitos yang lain tentu ada ritusnya.
Misalnya dapat kita lihat pada tulisan Khorkehimer dan Adorno, ketika ada orang yang berpikir matematis dan ada orang yang berpikir ritualistis. Yaitu mengulangi itu-itu terus, misalnya satu tambah satu hasilnya tidak bisa lain. Mengulangi lagi hanya repetisi, kemudian juga yang lain, misalnya partisipasi. Ini semua merupakan bagian dari mitos.n Bahkan bila kita bicara tentang aufklarung, maka itupun merupakan metafora mitologis. Dulu ada mitos tentang dua kekuatan, kekuatan terang dan kekuatan gelap. Nah sekarang yang menang adalah kekuatan gelap misalnya. Dan di akhir zaman akan dimenangkan oleh kekuatan terang. Sebetulnya aufklarung juga bergerak dalam skala mitologis semacam itu.
Nah sekarang tibalah aufklarung, ketika zaman terang mengalami kemenangan. Ketika banyak penemuan dan aufklarung masuk di dalamnya. Adorno dan Khorkheimer hidup dalam zaman kegelapan. Perang I dan II membuktikan bahwa aufklarung pencerahan tidak menghasilkan sesuatu yang positif. Malah akhirnya objektivisme itu akhirnya dipakai oleh Nazi untuk menguasai. Apa yang disebut nazisme itu tanpa ilmu dan positivisme sulit dibayangkan keberadaannya. Karena mereka berkuasa lewat ilmu. Kebudayaan barat itu baru bisa percaya kalau sudah diyakinkan oleh ilmu. Maka segalanya harus dilakukan dengan tehnik. Membunuh manusia (seperti yang dilakukan oleh Nazi) harus dikerjakan dengan cara tehnik dan industrial serta efisien. Penembakkan secara konvensional itu masih menimbulkan suara. Dan teriakannya masih menimbulkan perasaan tak tega. Itu sama seperti Odises yang merasa terganggu dengan suara. Maka karena itu untuk mengantisispasi segalanya kemudian ditemukanlah siklon B, suatu gas yang cukup efisien sekali. Orang-orang dimasukan ke dalam suatu ruangan, gas dimasukan, tidak ada teriakan, beribu-ribu orang sekaligus bisa mati. Lalu tidak ada orang yang tahu. Sehingga identitas orang Yahudi betul-betul hilang. Mayat pada umumnya memiliki jenazah bahkan mayat biasa yang dikremasi masih dikelilingi oleh keluarga kemudian diletakan dan lalu dilarung. Identitas hilang namun ingatan masih ada. Namun pada orang-orang Yahudi semuanya hilang karena sejak awal mereka hanya diberi nomor bukan nama. Dan semuanya digunduli sehingga tidak ada perbedaan satu sama lain. Tidak ada individualitas.
Dibuang, dibakar manjadi abu, hilang, hilang kenangan. Semuanya betul-betul hilang. Dan itu tehnik. Orang-orang seperti Marcuse itu bergerak lebih jauh lagi. Bukan hanya nazi yang totaliter, di sana juga ada Amerika dengan budaya massanya. Ini juga salah satu bentuk totaliarisme yang patut diwaspadai. Caranya lebih halus karena ada demokrasi, ada kebebasan berbicara, toleransi, tapi toleransi yang represif. Karena dengan memberikan toleransi kekuasaan mereka semakin kuat. Nah lalu mengkritik tentang tehnik, cara berpikir yang monodimensi. Ia juga cukup terkenal dengan freudianismenya, dengan memperlihatkan libido pada masyarakat. Di mana terjadi erotisasi di dalam masyarakat. Nah buku-buku semacam ini bukan sekedar ilmu untuk menjelaskan tentang masyarakat, melainkan di dalamnya ada semacam anjuran untuk mengubah masyarakat. Tapi anjurananjuran seperti ini masih kedengaran moralistis. Hendaknya begini dan begitu kalau mau.
Untuk masyarakat barat dan masyarakat ilmiah sulit menerima kalau anjuran itu bersifat moralistis. Hal seperti itu bukan bagian dari tugas seorang ilmuan melainkan seorang ulama, pastor, kyai dan seterusnya. Namun bagi seorang ilmuan apalagi ilmuan sosial yang harus dimiliki adalah ketajaman analisis.
Dan disitulah muncul Jurgen Habermas yang bertolak dari kemacetan teori kritis itu sendiri dengan dialektika pencerahan bahwa ternyata pencerahan itu adalah mitos. Menurut Habermas tidak seperti itu. pencerahan harus jalan terus. Masalahnya pada teori kritis yang lama, mereka juga terobsesi dengan paradigma positivistis. Yaitu bahwa rasio itu adalah penaklukan atas alam maka sebetulnya apa yang disebut ktitik oleh mazhab Frankfurt yang lama itu bahwa kritik itu sebetulnya adalah penaklukan atas yang dikritik tentu saja. Seperti di manakah tempat kritikus sosial dalam suatu masyarakat. kalau menurut Adorno dan Khorkheimer, dia adalah pemegang kebenaran karena dia adalah yang paling tahu. Inilah jalan yang benar. Kalau menurut Adorno, teruslah berpikir dialektis, negasi secara terbuka terus menerus. Dan itu namanya kritis. Apakah semua orang mau berpikir seperti itu belum tentu.
Orang-orang ini berpikir bahwa seorang kritikus adalah seorang pemegang kebenaran. Itukan mewarisi kesalahan orang yang dikritik juga yakni melakukan dominasi. Nah Habermas menunjukkan bahwa bukan hanya persoalan moralitas melainkan juga kedudukan kritikus itu. Haruslah ditemukan sebuah ilmu kritis menurut dia, kritikusnya tidak lebih penting dari pada yang dikritik. Dia berada dalam kedudukan yang sama dengan orang-orang yang dikritik. Jadi bagaimana mewujudkan kesamaan. Jadi semacan demokrasi. Caranya adalah dengan membedakan praksis menjadi dua. Yakni komunikasi dan kerja. Nah kalau praksis kerja itu disebut dominasi. Seorang pencangkul itukan mendominasi atas tanah. Kita tidak bisa mencangkul manusia yang lain. Dan komunikasi maksudnya adalah adanya saling pemahaman timbal-balik. Dalam komunikasi harus ada kesejajaran di mana kritikus itu hanya memberikan sumbangan pada momen komunikasi tertentu, agar komunikasi itu bisa berjalan secara terus-menerus. Sumbangan itu tentu bisa diterima juga bisa ditolak. Tentu saja pada permulaannya Habermas sempat terperosok di dalam gaya-gaya seperti pendahulunya. Kenapa proyek Knowledge and Human Interest tidak diteruskan, ia hanya diam. Dan itu menarik karena bila seorang teoritikus membungkam itu bisa ditafsirkan dengan beberapa kemungkinan. Misalnya bungkam karena merasa sudah benar, kemungkinan yang kedua karena terdapat kekeliruan di dalamnya. Dan saya melihat kebungkamannya dikarenakan ada yang keliru di dalamnya.
Kekeliruannya disini ketika Ia memakai paradigma psikoanalisis untuk teori kritis. Dan itu memang sudah dilakukan oleh mazhab Frankfurt sebelumnya. Apa itu psikoanalisis, orang sakit jiwa datang kepada seorang terapeutis dan menyatakan bahwa saya punya masalah semacam ini dan saya ingin sembuh. Nah keinginan untuk sembuh adalah kehendak emansipatoris dari penindasan, penindasan internal. Lalu terapeut melakukan dialogdialog sokratis. Yaitu pencerahan. Sekarang persoalannya adalah model semacam itu. Apakah hak seperti seorang terapeut itu dimiliki oleh seseorang di dalam masyarakat. Kalau dalam konteks klinis itu dimungkinkan, tapi bagaimana bila seorang kritikus sosial disamakan dengan seorang terapeut. Dan ini problematis karena konsekuansinya adalah bahwa kita semua adalah orang gila hanya terapeut yang sehat.
Ini adalah prioritas bagi seorang terapeut atau kritikus-kritikus. Maka menurut Habermas ini tidaklah konsekuen. Dalam buku pertamanya, Habermas masih cukup demokratis namun dalam buku keduanya kok dia masuk kesini. Ia terpukau oleh para pendahulunya. Nah setelah ini ia masuk dalam analisa bahasa, teori ekonomi dan juga hukum. Maka dari situ dia berada di jalan yang cukup simpatik. Disitu dia mengintegrasikan dari cara berpikir. Mungkin saja di dalam masyarakat ada yang disebut sakit. Tapi boleh ko berkomunikasi asal mau berkomunikasi. Kaum fundamentalis di dalam masyarakat dengan mengatakan bahwa inilah yang paling benar. Oh tapi tunggu dulu mari kita berkomunikasi.
Karena menghilangkan berkomunikasi sangat berbahaya bagi masyarakat. Nah lalu mereka berkomunikasi. Maka yang disebut ilmu kritis lama-kelamaan berkembang dari keinginan untuk membangun konstruksi teoritis dan konstruksi itu transformatif untuk berubah lamakelamaan berubah menjadi teori tentang diskursus. Jadi merumuskan bagaimana tipe tipe diskursus yang ada di dalam masyarakat dapat menentukan proses legitimasi institusi sosial masyarakat. Dan bagaimana dengan legitimasi semacam itu maka konstruksi total masyarakat dimungkinkan. Nah itu bermuara ke sana.
Dan kebetulan di tangan kita sudah ada contoh kasus-kasus yang saya buat. Pengantar teori kritis tadi mungkin ada gunanya untuk memberi tahu bahwa teori kritis itu sangat kompleks. Tetapi supaya kita tidak dipusingkan oleh hal itu, sekarang saya sodorkan sesuatu yang praksis. Ada tiga kasus di sini, kasus pertama sangat terkenal yakni kasus Pavlov dengan anjingnya yang dibuat lapar kemudian dimasukan di dalam kotak. Dipancing dengan makanan maka keluar air liur dari mulutnya dan dimediasi dengan lonceng. Dan ini dilakukan beberapa kali sehingga satu waktu lonceng dibunyikan tanpa makanan dan air liur tetap keluar. Kasus yang kedua adalah tentang riset seorang psikolog untuk meneliti bagaimana mekanisme pasar. Perilaku konsumen terhadap buku anak-anak. Bagaimana reaksi mereka, buku manakah yang lebih menarik, yang ada gambarnya atau yang tidak. Tentu saja yang ada gambarnya. Lalu divariasikan dengan bonus-bonus dan yang tidak, tentu saja mereka cenderung dengan yang ada gambar dan bonusnya. Nah menanjak lagi dengan variasi diadakan forum bersama mereka dan yang tidak maka mereka akan memilih yang plus forum. Oleh karena itu kesimpulan dari riset ini adalah bahwa buatlah model yang terakhir itu. Perhatikan baik-baik dalam dua kasus ini ada kesamaannya atau tidak? Nah pada kasus ini sebetulnya bertolak dari sebuah ide yakni mekanisme. Bahwa perilaku dari organisme dapat diprediksi. Lalu juga bisa ditingkatkan kira-kira reaksinya seperti apa. Tentu pada mediasi seperti bel yang terjadi pada anjing. Bel pada anjing, pada manusia dapat dimediasi dengan makna, gambar, interaksi dengan teman-teman yang lain lalu manisnya acara dalam forum itu. Jadi sebetulnya analisa pasar itu tidak mungkin bila manusia itu unpredictable. Manusia memiliki lapisan-lapisan yang dapat diduga, yaitu nalurinya, hasrat, kebutuhan. Ini nyaris mekanis dan oleh karena itu juga sukses. Karena kapitalisme dengan ilmu pengetahuan borjuasi itu adalah sebagai ide alam. Yakni menaklukan alam. Nah riset yang kedua ini adalah salah satu contoh bagaimana penaklukan alam internal itu dalam model kecil berhasil dan terjadi. Dan inilah yang disebut ilmiah. Tanyalah kepada profesor-profesor di Indonesia atau ahli pengajar bila kita menulis disertasi. Mereka kalau menulis tanpa statistik tapa angka atau determinasi lalu tidak ada kesimpulan yang bersuat objektif, impersonal maka karya ini bukan dianggap penelitian ilmiah. Karena dalam penelitian ilmiah jangan sekali-kali mengatakan “saya berpendapat”, itu merupakan pelecehan akademis.
Anda bisa bayangkan bila suskes-sukses dari kasus yang saya berikan itu diaplikasi dalam semua bidang kehidupan. Bagaimana bila diterapkan dalam bidang konsumsi, sosial, agama, tentu sangat mengerikan sekali. Kalau anda perhatikan kasus yang ketiga menimbulkan alergi bagi para profesor-profesor positivistis. Di sebuah negara bagian India ada sebuah perkampungan kumuh yang berdampingan dengan real estate. Anak-anak dari perkampungan ini berpenyakit dan angka kematian di daerah ini cukup tinggi. Orang-orang dewasa bersikap pasif dengan keadaan dan hanya tinggal menerima nasib. Sementara orang-orang kaya yang ada disampingnya ingin berbuat sesuatu. Maka kemudian dibuatlah sebuah riset objektif. Riset pertama menyimpulkan bahwa ini adalah masalah fasilitas. Maka kemudian diubah namun kemiskinan tetap tidak berubah. Meskipun orang diberi dana secara tetap. Nah sekarang muncul orang LSM. Membuat metode wawancara, agak terlibat dengan keprihatinan mereka sedikit, ada kepentingan juga untuk mendongkel partai politik tertentu. Tapi demi membebaskan situasi yang buruk dari masyarakat di sana. Maka disimpulkan bahwa masalah kemiskinan di sana adalah masalah weltanschauung, cara berpikir masyarakat yang ada di sana. Bukan hanya soal fasilitas, oke mungkin soal fasilitas juga benar. Tapi sikap fatalistik, dan taraf pendidikan yang sangat rendah juga faktor-faktor asing yang menyebabkan kemiskinan di kampung itu dan partai-partai politik di sana juga senang dengan kondisi seperti itu. Karena dengan begitu mereka tetap memperoleh suara. Hasilnya dipublikasikan dan ternyata menimbulkan kontroversi. Kalau ada riset seperti itu ia masuk dalam kategori ilmiah atau tidak.
Kalau hal ini dilihat dari metodologi yang tradisional (positivistis) maka riset ini tidak ilmiah. Dan ini patut dicurigai. Karena ada kepentingan di dalamnya. Jelas, tetapi riset yang kedua ini tentu juga sangat mencurigai riset yang pertama. Dengan mengatakan bahwa yang obyektif adalah seperti itu sebetulnya dia sedang melestarikan status quo. Berarti ada kepentingannya juga walaupun dia mengatakan bahwa tidak ada kepentingan di dalamnya. Kehendak untuk menghilangkan kepentingan adalah sebuah kepentingan demikian kata Fichte. Fichte adalah filusuf idealis yang mempengaruhi juga Jurgen Habermas dan Hegel. Oleh karena itu sulit untuk mengatakan sebuah riset ilmiah tanpa kepentingan. Lalu apakah sebuah riset harus dengan kepentingan atau membiarkan diri diseret dengan kepentingan-kepentingan, tentu saja tidak. Nah disinilah teori kritis masuk. Anda bisa lihat teks saya. Teks ini berbicara bahwa kalau anda hendak mengenal epistemologi dari teori kritis, epistemologinya itu begini, epistemologi klasik tradisional, yang disebut tradisional adalah positivisme, itu adalah pengetahuan yang dipeoleh secara kontemplatif, memandang, memotret kenyataan maka teori kebenaran yang ada di dalamnya adalah teori kebenaran sebagai korespondensi bahkan juga sebagai koherensi. Sedangkan teori kritis mempunyai epistemologi yang lain. Dia mengatakan kita tidak bisa mengetahui sesuatu kalau tidak menyadari kepentingan kita. Tidak mungkin kontemplasitanpa kepentingan. Kontemplasi mempunyai kepentingan. Tatapi untuk mencapai “objetivitas” ia tidak mau mengatakan ini namun inilah yang disebut keilmiahan, nyatakanlah sejujurnya kepentingan itu bahkan capailah kepentingan itu lewat konstruksi teoritisnya.
Nah kepentingan dalam riset sosial adalah kepentingan praksis untuk membebaskan masyarakat dari penindasan, ketidakadilan dan sebagainya. Sedangkan kepentingan dalam ilmu-ilmu alam, walaupun objektif ada kepentingannya yaitu menaklukan. Apa yang salah dilakukan oleh positivisme adalah (seperti behaviorisme) mencampur adukan bahkan mengganti kepentingan untuk saling memahami dengan kepentingan untuk menguasai. Jadi kepentingan untuk menguasai itu kan ada pada ilmuilmu alam sekarang dipakai secara metodologis di dalam ilmu-ilmu sosial. Akibatnya apa, ya rekayasa sosial. Ini sebetulnya adalah wilayah untuk kepentingan praksis untuk saling pamahaman, kok diganti dengan kepentingan untuk saling menguasai seperti yang dilakukan oleh ilmu-ilmu alam. Jadi dengan menerapkan metode ilmu-ilmu alam dalam ilmu sosial suatu kepentingan untuk menguasai itu luar biasa dahsyat dan efektifnya secara sangat tersembunyi merasuk dalam bentuk keilmiahan tertentu. Itulah positivisme dan bahayanya. Mungkin kita akan memperdalam lagi tentang epistemologi teori kritis di dalam diskusi.

D.     Sejarah Islamisasi Sains

Al Islam ya’lu wa la yu la alayhi “ (Islam adalah unggul dan tidak terungguli oleh yang lain) Itulah adagium dalam bahasa arab yang selama berabad-abad umat muslim betul-betul memahami secara taken for granted. Artinya sejak lahirnya Islam ditanah arab pada abad ke delapan dengan kekuatan yang luar biasa serta menakutkan sehingga menyapu bersih kepercayaan sebelummya yang kemudian terbukti suprioritasnya sampai abad modern sebagai pemegang supremasi dunia. Peradapan Islam sebagai zaman keemasan Islam yang muncul ada abad kedua belas tumbuh menjadi peradapan yang tidak tertandingi dan menjadi pusat kesejahteraan yang luar biasa.
Peradaban ini ditandai dengan kemajuan di segala bidang pengetahuan dan tehnologi, sains, kesusastraan dan filsafat, seperti abu bakar ar razi yang didunia barat dikenal dengan razes menulis sebuah eksklopedia tentang ilmu medis dan sebuah buku tentang ilmu kimia yang kemudian diterjemahkan kedalam bahasa latin, atau Ibnu sina atau Avecina pengarang buku medis yang kemudian dikenal oleh dokter-dokter Eropa hingga abad ketujuh belas atau juga Abu Raihan al-Biruni selaku tokoh yang mengembangkan metode luar biasa dalam menentukan posisi matahari dan bahkan menyempurnakan dasar-dasar pengetahuan tentang garis bujur serta garis lintang jauh sebelum sebagian besar penduduk dunia mengetahuinya dan masih banyak hal lagi yang dilahirkan oleh Islam walaupun masih belum begitu dinikmati oleh umat Islam atau non Islam secara global. Namun hal ini sudah menjadi nilai tersendiri. sehingga umat Islam menyakini itulah adi kuasanya. Subtansiasi ini terutama bisa dilihat dalam sejarah keilmuan Islam
Namun kegemilangan peradaban umat Islam kemudian hanya menjadi artefak yang menyimpan sejuta nostalgia keindahan sejarah. Peradaban yang gilang gemilang dengan segala kecanggihan keilmuannya terlelap dalam ayunan sejarah. Faktor yang menjadi musabab susutnya peradaban umat Islam bagai dua bilah pisau yang menyayat kokohnya peradaban. Pertama, kekalahan umat Islam dalam perang salib III sehingga konsekwensi yang harus diterima adalah hancur (dibumi hanguskan) dan hilangnya (dirampas) ruh peradaban (misalkan karaya-karya keilmuan). Kedua, Umat Islam yang terpesona oleh anggunnya pemikiran para intelektual mutahir pada waktu itu yang menyebabkan mandegnya dilektika nalar.
Revolusi industri di Inggris dan revolusi sosial politik di perancis pada paruh kedua abad delapan belas itu merupakan awal lahirnya zaman “modern’ yang juga seringakali disebut sebagai masa renaisance (pencerahan). Yang diikuti secara kontradiktif dalam perdaban (umat) Islam yang mengalami kemunduran-kemunduran sistemik dalam alur peradabannya. Barat seakan berlari dengan cepat meninggalkan waktu, sedangkan umat Islam mundur tearatur dan larut dalam kegetiran sejarah yang tak lagi bersahabat. Barat mencapai sukses luar biasa dengan tekhnologi masa depannya. Sedangkan umat Islam hanya menjadi penonton bahkan “terbuai” oleh kenikmatan semu yang disuguhkan oleh Barat dengan kecanggihan tekhnologinya.
Sejarah gemilang peradaban Islam pada zaman pra modern (yang juga dianggap sebagai pembuka gerbang zaman modern) tidak mampu membangkitkan hasrat dikalangan umat Islam untuk meretas sejarah melawan angkuhnya peradaban modern (barat). Keterputusan “masa” juga menjelma menjadi keterputusan “spirit” keilmuan dikalangan umat Islam. Eloknya sejarah hanya menciptakan pemuasan hasrat dalam ruang imaji yang tak mampu tersalurkan, terepresi oleh mesin-mesin produksi pengetahuan modern yang mampu menciptakan fantasi-fantasi kecil dalam akar kognisi umat Islam. Fantasi yang hanya membuat umat Islam berejakulasi dini.
Barat dengan kuasa ilmu penegtahuanya mampu menjinakkan seluruh lapisan dunia dengan segala konteks peradaban yang menyertainya. Termasuk peradaban (umat) Islam. Umat islam hanya menjadi objek dari proyek moderinisasi. Dan naifnya umat Islam tidak sadar atau bisa dikatakan tertidur dalam menikmati kolonialisme itu. Hal ini akibat lemahnya pengetahuan dan pemahaman terhadap Islam sekaligus materialisme barat sehingga umat semakin tergantung pada barat. Mereka (baca umat Islam) mempelajari sains barat tanpa menyadari kaitan tali temali histories barat dan ilmu-ilmu barat, sehingga bangsa-bangsa Islam jatuh kedalam hegemoni barat dan proses ini mengakibatkan esensi peradapan Islam semain runtuh (tak berdaya). Imprealisme cultural barat berkembang menjadi apa yang disebut kolonialisme peradaban.
Kolonialisme merupakan kejahatan terbesar dalam sejarah kemanusiaan yang dilakukan barat pada non barat khusunyai Islam. Hal ini tidak bisa dibiarkan. Maka menurut Al Faruqi yang perlu dilakukan pertama adalah revitalisasi peradapan (pengetahuan) melalui Islamisasi pengetahuan (baca sains). Gagasan islamisasi pengetahuan akhirnya benar-benar lending dengan mendapatkan dukungan yang cukup luas dari kalangan intelektual Muslim seperti al-Attas, Sardar dan para intelektual Islam lainnya. Yang mana program Islamisasi pengetahuan ini dianggap mendapat tempat yang istimewa dalam gerakan kebangkitan Islam abad kelima belas Hijriyah.
Untuk mendukung proyek besar islamisasi pengetahuan, langkah awal yang dilakukan adalah dengan membentuk lembaga Pemikiran Islam (The International Institute of Islamic Thought or IIIT) yang berpusat di wangsington DC Amerika tahun 1981. Prof.Dr.Ismail Raji’ al-Faruq yang tak lain adalah direktur utama IIIT dimana dia adalah seorang yang berdimensi dua dunia. Barat dan timur. Ia mempunyai semangat Islam yang tinggi manakala ia mengamati dan membandingkan keadaan barat dengan masyarakat Islam. Bahkan ketika ia berdomisili di amerika akibat terusir dari Pakistan (ketika jatuh bangunnya perang salib) acapkali mengeluh amerika yang selalu berlaku tidak adil terhadap Islam, apalagi ketika ia melihat sifat sentimenya yang luar biasa dengan mengkampanyekan bahwa umat Islam adalah sekelompok makhluk liar yang hanya bisa melakukan kejahatan dan sebagai penghambat peradaban kristen, sedangkan orientalis menambahkan bahwa ajaran Islam tidak lain adalah serpihan-serpihan perjanjian lama. Sementara kondisi ilmu-ilmu sosial yang diajarkan di universitas hanya menjadikan dunia Islam sebagai obyek perencanaan kebijakan
Sebagai gebrakan awal setelah IIIT diresmikan pendiriannya pada tahun 1981, adalah dengan membuat pagelaran seminar tentang islamisasi penegtahuan bekerjasama dengan Universitas Islamabad Pakistan yang juga dikenal dengan The First International Conference Thought and Islamization of Knowle (1981). Forum tersebut dihadiri oleh kalangan intelektual muslim yang ada di berbagai penjuru dunia. Peserta seminar sepakat bahwa displin-displin ilmu penegtahuan modern pada prinsipnya berlandaskan pada pembawaan dan tabiat Barat. Ia berkembang dalam lingkungan kebudayaan barat dan ditujukan untuk memuaskan hasrat-hasrat, harapan, pikiran dan kehidupan barat. Dengan demikian pada dasarnya ilmu pengetahuan yang lahir di Barat bias idologis, tidak bebas nilai seperti yang diagung-agungkan.
Objektifitas, Universalitas dan Bebas nilai yang menjadi asas penegtauhan modern mengalami goncangan setelah sekian lama berada diatas singgasana kuasa pengetahuan. Positifistik yang menjadi satu-satunya oaradigma dalam ilmu pengetahuan mengalami krisis, tidak mampu lagi mempertahankan dominasi dalam jagat ilmu pengetahuan. Yang memunculkan berbagai paradigma yang saling bertarung dalam arena peperangan pardigma seperti yang digambarkan oleh Thomas Kuhn. Disinilah Islamisasi sains menggeliat untuk ikut berpartispasi dalam pertarungan paradigma. Tapi sayang masuknya islamisasi sains dalam arena perag paradigma hanya bersenjatakan romatisme sejarah masa lalu. Layaknya berjihad dengan bekal terikan “Allahu Akbar” sebagai simbol katauhidan.
Catatan Hitam Sejarah Sains dan Agama
Revolusi industri di Inggris dan revolusi sosila politik di Perancis sebagai momentum lahirnya zaman modern melahirkan babak baru dalam drama persinggungan antara agama dan pengetahuan (filsafat). Persinggungan yang cenderung dikotomik dan sulit untuk didamaikan dan selalu menampilkan kontradiksi-kontradiksi dalam menghadirkan nilai-nilai kebenaran dalam memahami kehidupan. Gereja yang sebelumnya merupakan otoritas yang fatwa-fatwanya tidak terbantahkan harus menghadapi pemberontakan-pemberontakan dari kalangan ilmuan seperti Copernicus dan Galileo yang merupakan ahli astronomi teori-teroinya menentang asumsi-asumsi tentang alam semesta yang dibuat oleh gereja yang didasarkan pada Alkitab. Dalam sebuah dialog yang paling terkenal menurut Wallace, antara Galileo dan Bellarmine dimulai bisasi-biasa saja pada tahuan 1615, tetapi berakhir dalam konflik pahit pada 1633, ketika Galileo dipaksa untuk menyerah pada Inkuisisi. Dengan teleskopnya yang baru disempurkan, Galileo menumukan hal-hal yang tampaknya bertentangan dengan Alkitab. Dan Galileo berucap “kebenaran tidak mungkin bertentangan dengan kebenaran untuk itulah tafsirkan kembali firman-firman dalam kitab suci sehingga sesuai dengan kitab suci”. Namun pada waktu itu sains yang diwakili Galileo harus menerima kekalahan dari agama, dan Galileopun diancam dengan siksaan dan hukuman mati.
Walupun Galileo mengalami kekalahan, bukan berarti menyurutkan nyali para ilmuwan untuk mengungkap segala misteri kehidupan. Dua ratus tahuan kemudian, Darwin menerbitkan The Origin of species pada tahuan 1859. Buku tersebut menguncang dunia ilmiah dan agama. Dalam buku tersebut Darwin menyatakan bahwa kehidupan berkembang tidak seperti yang diceritakan oleh para ruhaniawan di Gereja. Manusia bukan lagi keturunan nabi yang ditempatkan di surga. Ia tidak turun dari langit. Ia turun dari monyet. Walaupun Darwin ahirnya menjadi ateis dan tidak mau melakukan dialog terbuka dengan gereja, Huxley mewakilinya dan berhadapan dengan Wilberforce. Dialog tersebut membuat hadirin terkesima yang diwarnai dengan salah seorang perempuan terkemuka, Lady Browster yang jatuh pingsan. Sebagimana Galileo takluk di depan pengadilan gereja, Wilberforce tewas dihadapan pengadilan ilmiah. Sains menang dan agama kalah.
Sejak saat itu, sains dikenal sebagai pemberontak terhadap otoritas gereja. Berpikir bebas menjadi senjata ampuh untuk menolak berpikir apriori yang dikembangkan oleh gereja dengan Alkitab sebagai legitimasi otoritasnya. Perkembangan saians melaju cepat sehingga gerjapun tidak sanggup untuk menghentikannya. “Kebebasan berpikir” yang dikembangkan waktu itu melahirkan sejumlah filsafat sekuler. Yang mencapai puncaknya dengan lahirnya positfitik sebagai satu sistem filsafat ilmu yang melahirkan bangunan ilmu pengetahuan modern. Bahkan Comte memproklamasikan ilmu pengetahuan sebgai agama baru untuk menggantikan kedudukan gereja sebagai pemegang otoritas kebenaran. Yang disebutnya juga sebagai agama kemanusiaan dengan ilmuwan sebagai pendetanya.
Seiring dengan perjalanan waktu yang terus melaju dengan cepat, ilmu pengetahuan yang berpijak dari masa renaisance juga berkembang pesat. Kobaran api sekulerisasi menyebar tak terkendali ke seluruh dunia. Origin of Species-nya Darwin memberikan mekanisme keberadaan manusia tanpa sang Maha Pencipta. Psikoanlisinya Freud menghilangkan kredibilitas rasa keberagamaan, perasaan beragama hanya merupakan perasaan kenak-kanakan yang membutuhkan perlindungan dari seorang ayah. Marx yang dianggap ateis karena menbarkan statemen Tuhan adalah Candu. Serta banyak ilmuwan lainnya yang meragukan bahkan menolak Kuasa Tuhan (Agama) atas alam semesta. Positifisme dengan prinsip fisikalisme yang mencoba membersihkan semua rujukan kepada apapun yang tidak bersifat fisik dari kamus ilmu pengetahuan. Ahirnya ilmu pengetahuan benar-benar menyucikan diri dari agama yang dianggap tidak bisa dibuktikan secara rasional empirik.
Perkembangan pesat sain membuat masyrakat dunia terpesona dan tanap tersadari ilmu pengatahuan telah menjadi Tuhan baru bagi umat manusia. Dengan segala kecanggihan tekhnologinya sains mampu menampilkan pesona tersendiri dalam kehidupan masyarakat modern. Agama tradisonal yang dinaut berabad-abad oleh manusia hanya menjadi aksesoris dlam mesium kehidupan masyarakat modern. Agama tidak lagi menjadi satu-satunya otoritas dalam kehidupan. Bahakan tidak jarang juga agama dianggap sebgai penghalang atau hambatan kemajuan umat manusia.
Pertentangan-pertentangan antara agama dan ilmu penegtahuan dalam sejarah peradaban manusia telah melahirkan keprihatiana tersendiri, seperti yang dirasakan oleh kaum intelektual Islam. Sehingga digagsalah ide perpaduan agama dan sains yang kemudian dikenal dengan islamisasi sains. Dalam sejarah peradaban Islam (yang lebiah didominasi oleh peradaban Arab) perkembangan ilmu penegtahuan (filsafat) mencapai masa yang gilang gemilang dengan lahirnya sejumlah pemikir yang handal bahkan radikal. Perkembangan pemikiran dalam Islam tidak lepas dari perkawinan silang antara tradisi filsafat Yunani dengan tradisi pemikiran lokal. Hasil perkawainan silang tersebut mampu mereproduksi sistem pemikiran yang benar-benar orsinil sebagai sebuah karya agung yang juga dipercaya sebagai pembuka pintu gerbang pemikiran modern.
Layaknya sebuah sejarah pemikiran yang selalu menghadirkan aroma kontradiksi-kontradikasi yang tak pernah putus, dalam sejarah peradaban Islam juga terjadi pergolakan-pergolakan pemikiran yang melibatkan pemikiran (filsafat) dengan agama. Namun dalam pergolakan peikiran dalam peradaban Islam memiliki keberdaan dengan sejarah pemikiran yang muncul dibarat yang mengkerdilakan agama dalam sistem kehidupan. Para intelektual Islam, walaupun mampu menghasilkan pemikiran-pemikiran yang fenomenal dalam ranah keilmuan, tetapi tidak serta merta menolak agama. Bahkan dengan perangkat filsafat mereka mampu memodifikasi warisan ajaran keagamaan agar sesuai dengan perkembangan zaman yang juga diikuti oleh perkembangan nalar manusia yang bergerak dinamis.
Namun karena menggunakan metode filsafat dalam memahami ajaran agama, para ilmuwan (fiosof) tersebut mendapat tentangan-tentangan dari para ulama ortodoks. Bahkan mereka dinobatkan sebagai perusak akidah, bahkan kafir. Filsafat yang bersal dari Yunani dinaggap sebagai sistem pengetahuan yang menyesatkan dan bisa menjerumuskan umat islam pada kekafiran. Puncak penyingkiran pemikiran filsafat dalam masyarakat penetahuan Islam merupkan titik balik dari pesatnya perkembanga ilmu penegtahuan di dunia Islam pada wakt itu. Walupun tidak bisa dilihat secara semena-semena bahwa pelarangan terhadap filsafat merupakan satu-satunya penyebab kemunduran peradaban Islam. Namun pelarangan terhadap filsafat seakan menjadi konsensus bersama dikalangan ulama yang dominasinya yang hegemonik pada masyarakat Islam.
Setelah larut dalam keterpurukan peradaban yang begitu panjang, umat Islam (khusunya yang menobatkan/dinobatkan sebgai intelektual Islam) ingin membangun kembali reruntuhan peradaban yang salah satu idenya adalah islamisai pengetahuan. Tokoh-tokoh seprti al-Faruqi, Sardar dan masih banyak lagi, begitu antusias untuk untuk membangun kembali peradaban Islam dengan jalan mewujudkan islamisai sains sebagai pilarnya.
Maka dari sini bisa dikatakan bahwa gagasan ihkwal sains Islam mencoba untuk melihat sains dari versi Islam. Sehingga kita akan meletakkan posisi Islam dan melihat kinerjanya pada batas-batas Islam. Karena pada prinsipnya Islam dan semua agama menegaskan perlunya menafsirkan segenap aspek kehidupan selaras dengan keimanan. Tidak bisa orang membahas seakan-akan sains berdiri sendiri tanpa ada pertalian dengan agama. Artinya sains sekuler perlu disetarakan dengan agama, walaupun dari satu sisi bahwa sains bersifat berubah-ubah sedangkan agama ditafsirkan sebagai gudang kebenaran yang abadi. Begitu juga Al Attas menjelaskan seyogianya harus membersihkan unsur-unsur yang menyimpang, sehingga pengetahuan yang ada benar-benar Islami dengan kata lain perlu menghasilkan suatu sistem ilmu pengetahuan berbasis Islam
Isu yang dibangun dalam mewujudkan islamisasi pengetahuan adalah gerakan yang mereka kembangkan memiliki tujuan untuk menerapkan kembali semangat keislaman dalam ranah ilmu pengetahuan, yang memiliki orisinilitas dan mengakar pada teradisi Islam sendiri. Upaya ini diletakkan sebagai pra syarat menghadirkan kembali pada nilai-nilai dalam ilmu pengetahuan yang didasarkan pada al-Qur’an dan As Sunnah yang diyakini memilki kebenaran mutlak. Spirit islamisasi pengetahuan yang dibangun atas gemilangnya tradisi pemikiran Islam pada masa lalu yang juga sebenarnya dibangun diatas kontrdiksi-kontradiksi.
Diakui atau tidak dalam catatan secarah, yang seringkali disembunyikan, menggambarkan betapa sejarah pemikiran Islam seingkali tidak berpihak pada llmu pengetahuan. Persandingan filsafat dengan tradisi pemikiran lokal Umat Islam disngkirkan karena dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Islam. Padahal bangunan superioritas peradaban beridri diatas pengaruh filsafat dalam tradisi pemikiran Islam yang berhasil melahirkan para Intelektual Muslim yang disegani hasil kreasi nalarnya. Namun para intelektual yang telah berhail membangun pilar-pilar peradaban harus tesingkir dengan perlarangan-pelarangan yang dilakukan oleh sebagian intlektual yang hanya tahunya dalam bidang ilmu keagamaan. Naifmya, kalmi-klaim pemurtadan dan pengkafiran sampai saat ini masih mengakar pada umat Islam. Sehingga menutup diri terhadap pemikiran-pemikiran yang dianggap menyesatkan.

E.     KONTROVERSI ISLAMISASI SAINS

Diskursus Islamisasi Sains telah begitu lama menebarkan perdebatan penuh kontroversi dikalangan umat islam. Satu pihak menyambut antusias sebagai momentum revivalisme Islam, setelah sekian lama islam terkurung dalam kubangan peradaban modern. Pihak yang lain memandang pesimis dengan alasan hamparan islamisasi sains merupakan hamparan yang tidak memiliki dasaran ontologis dan epistemologis. Islamisasi sains adalah kicauan tak bernada.
Berawal dari argumentasi yang dilontarkan oleh Sayed Husein Nasr bahwa islamisasi sains adalah upaya menterjemahkan pengetahuan modern kedalam bahasa yang bisa dipahami masyarakat muslim dimana mereka tinggal. Kemudian Naquib al-Attas berujar bahwa islamisasi sain adalah upaya membebaskan ilmu pengetahuan dari makan, ideologi dan prinsip-prisnsip sekuler, sehingga terbentuk ilmu pengetahuan baru yang sesuai dengan fitrah islam. Pengertian lebih tekhnis diungkapkan oleh al-Faruqi yang menjelaskan bahwa islamisasi ilmu adalah mengislamkan disiplin-disiplin ilmu, atau tepatnya menghasilkan buku-buku pegangan di perguruan tinggi dengan menuangkan kembali disiplin-disiplin modern dalam wawasan Islam, setelah dilakukan kajian kritis terhadap dua sistem pengetahuan, Islam dan Barat.
Lain halnya dengan Sardar yang menolak asumsi diatas, yang menurutnya masih ada unsur pengaruh barat dalam pembentukan Islamisai Sains. Menurut Sardar isalmisasi sains tidak sekedar mempertemukan khazanah penegatahuan barat dan islam. Dalam hal ini Islamlah yang harus dikedepankan, pengetahuan barat (modern) yang harus direlevansikan dengan islam, karena Islam secara apriori bersumber dari wahyu Tuhan yang membawa kebenaran sepanjang masa sedangkan pengetahuan modern an sich hasil pemikiran manusia yang relatif yang jauh dari nilai-nilai islam alias sekuler.
Gagasan islam dengan sendirinya membuat lingkaran dalam ranah jagad pemikiran islam mutakhir. Tapi, tidak berarti semua umat Islam sepakat dengan ide isalmisai sains. Usep Fahrudin menolak islamisasi saian , karena menurutnya isalmisasi imu bukan termasuk kerja kreaif. Isalmisasi ilmu tidak berbeda dengan pembajakan atau pengakuan terhadap karya orang lain. Sampai pada tingkat tertentu, islamisasi tidak ubahnya kerja seorang tukang, jika ada seorang saintis berhasil menciptakan atau megambangkan suatu ilmu, maka seorang Islam menangkap dan mengislamkannya. Sedang menurut Fazlur Rahman tidak perlu ada islamisasi ilmu pengetahuan, karena semua ilmu telah Islam, tunduk dalam aturan sunnah Allah. Yang terpenting adalah menciptakan manusia yang tahu dan mengerti tentang nilai-nilai Islam dan kemanusiaan, sehingga mampu mengguanakan sains secara konstruktif dan posotif.
Terlepas adanya perbedaan dikalang umat islam sendiri dalam menyambut hadirnya islamisasi sains, namun dengan semangat revivalisme, islamisasi sains terus mencoba bertahan walupun harus dengan kegetiran-kegetiran diskursus yang dikembangkan. Bahwa alasan yang paling mendasar dari gerakan islamisasi sains adalah sebgaai bentuk perlawan terhadap hegemoni barat (orinetalisme) yang selama ini dianggap mengungkung dan mengucilkan peradaban islam. Islamisasi sains merupakan tawaran solusi untuk melawan sekulerisme dalam ilmu pengetahuan. Asumsi tersebut meniscayakan dua belahan sistem pengetahuan yang memiliki akar sejarah dan tradisinya masing-masing.
Lumpuhnya Dua Mitos Kebenaran
Dalam tradisi pengetahuan di Barat membentang tiga arus besar sistem pengetahuan. Pertama, Rasionalisme yang dikembangkan oleh Rene Descartes yang melanjutkan senandung pengetahuan apriori yang dinyayikan oleh plato. Rasionalisme dalam sistem pengetahuananya berpendirian bahwa sumber pengetahuan terletak pada rasio. Walaupun tidak mengingkari pengalaman, tapi rasionalisme menempatkan pengalaman sebagai stimulan rasio. Dalam teori innate-nya, Descartes percaya bahwa akal manusia sejak lahir sudah memiliki norma-norma atau standar yang dapat membimbingnya mencapai kebenaran. Dengan kata lain, dalam rasio terdapat ide-ide yang dengannya seseorang dapat menemukan kebenaran tanpa harus menghiraukan realitas diluar rasio. Dengan doktrinnya, rasionalime kemudian mengembangkan sistem berpikir dari yang umum ke yang khusus (deduksi)
Kedua, Empirisme yang bertentangan dengan rasioalisme, menempatkan pengalaman sebagai sumber dari pengetahuan. Melanjutkan pengetahuan aposteriori yang dengungkan oleh aristoles, empirisme berkeyakinan bahwa pengetahuan berasal dari pengalaman dengan indera sebagai perangkat intrumentalnya. Karena inderalah yang mampu menghubungkan kita dengan dunia diluar kita. John Locke (1704) sebagi salah satu tokoh utamanya mengatakan bahwa pada saat manusia dilahirkan, akal hanyalah merupakan tabula (a white papar). Di kertas putih itulah kemudian dicatat pengalama-pengalaman inderawi. “Pada akal tidak ada sesuatu sebelum sesuatu itu berada pada alat indera”. Bahkan Hume yang merupakan tokoh empirisme radikal mengatakan “Aku (cartesian) adalah khayalan”. Ia berkeyakinan bahwa pengalaman inderawilah yang jelas dan pasti. Empirisme kemudian mengembangkan sistem berpikir dari yang khusus ke yang umum (induksi).
Ketiga, kritisisme yang dikembangkan oleh Immanuel Kant dengan mensitesiskan pengetahuan apriori dan aposteriori. Menurut Kant dasar ilmu pengetahuan adalah umum dan mutlak serta memberi pengetahuan yang baru (sintesis apriori). Dengan kata lain, ilmu penegtahuan adalah pengalaman yang dihasilkan berdasarkan pengamatan inderawi yang kemudian disitematisir berdasarkan kategori-kategori yang dimiliki oleh akal. Oleh karena itu kerja akal adalah mengatur data-data indrawi dengan mengemukakan putusan-putusan sisntesis apriori yang merupakan wilayah kebenaran ilmu pengetahuan.
Tiga arus epistemogi dalam percaturan filsafat diatas membentang di sepanjang jalan sejarah pemikiran umat manusia. Namun dalam langkah sejarah yang terus bergerak tanpa lelah, terpatri keniscayaan pergulatan diskursus epistemologi yang menobatkan dominasi dan peminggiran epistemologi. Dan sejarahpun mencatat dominasi empirisme dalam pergulatan pemikiran dengan peran besar anak tunggalnya yang bernama positifisme. Bendera positifisme pertamakali dikibarkan oleh August Comte dengan mengenduskan doktrin bahwa pengetahuan yang benar-benar absah hanyalah pengetahuan yang observible, pengetahuan yang diperoleh melalui indera dengan metode observasi atau eksperimentasi. Dengan berdasar pada kemajuan dalam ilmu-ilmu alam yang pesat, Comte melakukan generalisasi dengan mereplikasi metode ilmu alam dalam seluruh wilayah ilmu pengetahuan terlebih ilmu-ilmu kemanusiaan (sosial).
Lahirnya positifisme sebagai raksasa mampu menapakkan otoritasnya dalam sistem pengetahuan modern. Untuk memperkokoh dominasinya, postifisme membuat prosedur-prosedur ilmiah dalam sistem pengetahuannya. Dalam asas epistemologi positifistik, pengetahuan haruslah objektif, bebas nilai dan universal. Asas pengetahuan positifistik tersebut kemudian menjadi topeng untuk melegitimasi kuasa pengetahuannya. Cengkraman kuasa positifistik membaptis dirinya menjadi Tuhan dalam jagat pengetahuan modern. Cengkaraman kuasa posoitifisme bagai terali besi yang mengurung ketat sistem kognisi dalam masyarakat pengetahuan modern, yang berimbas pada penyeragaman metodologis dalam praksis pengetahuan. Metodologi yang didasarkan pada satu perspektif yang diatur dengan prsedur-prosedur ilmiah yang dianggap dapat menghasilkan pengetahuan yang objektif dan bebas nilai serta universal.
Dalam penjelasan Budi Hadirman ada bebarapa pengandaian yang menjadi basis dalam sistem pengetahuana positifistik. Pertama, seorang ahli fisika, bilogi atau kimia mengamati benda jatuh, sel, atau larutan asam dalam laboratoriumnya dengan sikap berjarak, menghadapi proses-proses alamiah itu sebagai objek belaka. Peneliti ini mengambil sikap distansi penuh. Kedua, dengan distansi penuh, ia harus menghadapi objeknya itu sebafai “fakta netral”, yaitu data yang bersih dari unsur-unsur subjektifnya, seperti keinginan-keinginan, mimpi, nafsu, penilaian-penilaian moral dan seterusnya. Dengan jalan itu, ketiga, ia dapat memanipulasi objeknya dalam eksperimen untuk menemukan pengetahuan menurut model “sebab akibat”. Keempat, hasil manipulasi adalah sebuah pengetahuan tentang hukum-hukum yang niscaya.misalnya, jika asam dicampur, jadilah garam; jika air dipanaskan sampai 100 derajat Celcius, maka akan mendidih. Rumusan-rumusan lingustitis macam itu disebut sebagai rumusan deduktif-nomologis (bila....., maka.......).Kelima, teori dihasilkan merupakan sebuah pengetahuan yang bebas dari kepentingan (disinterested), dapat diterapakan secara instrumental, secara universal. Pengandaian-pengandaian tersebut kemudian menjadi prosedur-prosedur ketat dalam pengetahuan modern yang kemudian menjadi standart bagi sah dan tidaknya sebuah pemikiran untuk disebut sebagai ilmu pengetahuan.
Setelah dengan gagah positifisme mampu menancapkan hegemoninya dalam jagad pengetahuan, seiring roda sejarah terus berputar dan niscayanya takdir sejarah ilmu pengetahuan yang terus memunculkan dialektika pemikiran yang tak pernah lelah. Seperti yang dungkapkan oleh Thomas Kuhn dalam Revolusi paradigmanya, yang menyerang positifisme, bahwa ilmu yang berkembang secara evolusi atau komulatif, menurutnya adalah mitos yang harus dibuang. Perjalanan ilmu pengetahuan dalam liku-liku perjalanan sejarah pengatehuan manusia ditentukan oleh paradigma yang oleh Kuhn diebut sebagai landasan dalam produksi pengetahuan manusia. Dalam rentangan sejarah, positifsme ahirnya mencapai titik nadir sebagai satua-satunya paradigma dalam percaturan ilmu pengetahuan.
Sekitar abad 19, kritik dan reaksi terhadap positifisme mulai bertebaran yang disebabkan oleh ketidakpuasan terahadap dominasi positifisme yang naturalistik dan deterministik. Diawali Nietzsche dengan sabda Zarahustranya “Tuhan telah mati” yang menjungkirbalikkan jagat pemikiran umat manusia mampu memperlihatkan ketimpangan-ketimpangan dalam anggapan “kebenaran mutlak” yang diyakini orang sebelumnya, telebih asas dan nilai-nilai positifisme yang menjadi ruh dalam ilmu pengetahuan modern. Dan disusul munculnya Neo Kantian, seperti Schleiermacher (1768-1834), Windelband (1848-1915), Heindrich Ricket (1862-1936), Wilhem Diltey (1833-1911), yang mempersoalkan metodologi positifisme yang reduktif dalam ilmu pengetahuan, yang hanya terbatas pada fenomena yang (dianggap) alamih. Mereka menolak sifat naturalistik pada ilmu pengetahuan dengan memberikan dasaran pada metode intropeksi dan refleksi.
Ilmu pengetahuan yang diyakini bebas nilai (kepentingan) diperlihatkan oleh Habermas, bahwa semua proses dalam penelitian ilmiah didorong oleh suatu kepentinga kognitif tertentu yang disebutnya “kepentingan tekhnis. Dengan kepentingan tekhnis penelitian bertujuan untuk mengontrol proses-proses alamiah demi kelangsungan hidup manusia sebagai spesies. Dalam proses ini, seorang ilmuwan tidak bisa tidak melakukan tindakan-tindakan tertentu yang sangat spesifik untuk penelitian, yakni tindakan-tindakan instrumental. Tindakan ini bersifat kontrol dan manipulatif dan dilakukan bukan hanya dengan kepala dingin tapi juga dengan berdarah dingin. Orientasinya adalah mencapai sukses dalam mengantispasi, mengarahkan, meramalkan, mengoperasikan proses-proses alamiah itu secara tekhnis. Tindakan instrumental ini merupakan sebuah praksis, yang disebut praksis kerja.
Kesahihan yang bersifat universal yang mejadi metananarasi dalam ilmu pengetahuan dalam pandnagan Lyotard telah kehilangan legimasinta. Universaliats tidak lain adalah kisah-kisah agung yang hanya ada dalam ruang imaji. Hal ini dalam pandangan Lyotard merupakan ketidak percayaan terhadap metanarasi, yakni tidak adanya metanarasi yang layak digunakan untuk menilai segala kebenaran universal. Bagi Lyotard, kita harus melawan teror meyeluruh terhadap dogma esmacam itu untuk kemudian merayakan perbedaan-perbedaan dari dalam rezim penegtahuan tertentu. Pandangan tersebut hampir sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Focoult, pertama, bahwa pengetahuan tidak bersifat metafisis, transendental ataupun universal. Ia bersifat spesifik pada ruang dan waktu tertentu. Kedua, pengetahuan bersifat perspektitival. Tidak mungkin ada pengetahuan total yang mampu memahamikarakter objektif dunia ini. Namun, kita memiliki dan memerlukan berbagai sudut pandang atau kebenaran yang kita gunakan untuk menginterpetasikan eksistensi heterogen manusia yangkompleks. Ketiga, pengetahuan tidak dipandang sebagai suatu cara memahami yang netral atau murni, ia terlibat dalam rezim kekuasaan.
Seperti halnya sejarah pemikiran di Barat, dalam tradisi pemikiran Islam juga dipenuhi oleh perseteruan-persetaruan yang mnelibatkan beberapa perspektif.Dalam tradisi pengetahuan (nalar) Islam ada tiga kategori epistemologi,yang mewarnai tradisi dan sejarah dalam pergulatan umat Islam seperti yang dijelaskan oleh al-Jabiri dalam proyek Krtik Nalar Arabnya. Pertama, Bayani yakni sistem pengetahuan yang didasarkan pada teks-teks suci. Walaupun pada perkembangan dalam epistemologi bayani memunculkan prosedur-prosedur yang beragam, namun pada penerapannya tidak dapat lepas dari frame teks-teks suci, karena teks-teks sucilah yang yang mempunyai otoritas penuh untuk memberikan arah dan arti kebenaran dan rasio hanya berfungsi sebagai penyangga dari kemapanan otoritas teks suci tersebut. Syafi’i yang merupakan salah satu tokoh bayani sekaligus dikenal sebagai peletak dasar yurespendensi Islam, menegaskan bahwa bayani merupakan sistem pengetahuan yang mencakup makna-makna yang mengandung persoalan ushul (pokok) yakni al-Qu’an, Sunnah dan Qiyas, serta perkembangan makna-makna yag kemudian disebut furu’ (cabang) yakni ijma’.
Kedua, Irfani yaitu sistem pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman langsung atas realiatas pengalaman keberagamaan. Khudhori Sholeh dalam bukunya “Wacana Baru Filsafat Islam” menjelskan lebih lanjut bahwa irfani secara terminologis diartikan sebagai pengungkapan atas pengetahuan yang diperoleh lewat penyinaran hakekat oleh Tuhan kepada hamba-Nya (kasyf) setelah adanya olah nurani (riyadlah) yang dilakukan atas dasar cinta. Berkebalikan dari epistemologi bayani yang eksoteris, sasaran bidik irfani adalah aspek esoterik, yakni apa yang ada dibalik teks. Pengungkapan makna teks pada sistem penegtahuan irfani juag tidak didasArkan pada analisa teks atau keruntutan logika, tetapi dengan olah rohani ,dimana dengan kesucian hati, Tuhan akan melimpahkan pengetahuan langsung kepadanya. Perkembangan sitem pengetahuan irfani kemudian melahirkan ajaran tasawwuf dalam sejarah perkembanagn Islam.
Ketiga, Burhani yang menyandarkan diri pada kekuatan rasio dengan logika sebagai instrumennya. Secara sederhan burhani (demonstratif), bisa diartikan sebgai suatu aktifitas berpikir untuk menetapkan kebenaran proposisi melalui pendekatan deduktif dengan mengaitkan proposisi yang satu dengan proposisi yang lain yang telah terbukti kebenarannya secara aksiomatik. Al-jabiri menjelaskan bahwa pada dasarnya prisnsip-prinsip burhani pertamakali dibangun oleh Aristoteles yang dikenal dengan metode analitik, yakni suatu cara berpikir yang didasarkan atas proposisi tertentu, proposisi kategori (hamliyah) atau proposisi hipotetis (syartiyah) dengan mengambil 10 kategori, sebagai objek kajiannya; kuantitas, kualitas, ruang atau tempat, waktu dan seterusnya.
Seperti halnya perjalanan sistem pengetahuan dibarat, tradisi pemikiran di Arab juga mengalami pergolakan yang tidak jarang menjadi perang paradigma dari berbagai bagunan epistemologi yang ada, khsusnya antara epistemologi bayani dan burhani. Pada awal-awal sejarah perkembangan Islam konstruk pengetahuan dalam Islam masih didominasi oleh sitem pengetahuan bayani, epistemologi bayani menjadi aktor utama dalam panggung sejarah pengetahuan Islam. Walaupun pemikiran-pemikiran rasionalis mulai bermunculan, terutama yang berkaitan dengan teologi dan hukum. Misalnya teologi rasional Mu’tazilah yang dibangun oleh Washil ibn Atha’ (699-748 M) Pemikiran-pemikiran rasional itulah yang kemudian mendukung diterimanya filsafat dari Yunani. Masuknya Filsafat Yunani yang dilakukan dengan perjemahan secara besar-besaran karya-karya agung para filosof Yunani membuka ruang pada sistem pengetahuan burhani untuk tidak hanya berperan sebagai aktor figuran dalam pentas pengetahuan Islam.
Masuknya pemikiran Yuani dalam ranah kognisi peradaban Islam telah melahirkan kaum intelektual progresif pada waktu itu. Lahirlah al-Kindi, yang dalam catatan sejarah merupakan filosof muslim pertama. Kemudian ar-Razi yang juga dikenal dengan nama razes di Barat, yang berhasil menulis eksiklopedia ilmu medis dan juga sebuah buku tentang ilmu kimia yang diterjemahkan ke bahasa latin dikemudian hari, Ibnu Syina yang di Barat dikenal Avicenna, yang berhasil menulis buku-buku kedokteran Dan yang tak kalah pentingnya adalah al-Farabi yang dikenal sebagai penerjemah ajaran filsafat aristoteles dalam dunia Islam. Sehingga jika Aristoteles dikenal sebagai guru pertama, maka al-Farabi dikenal sebagai guru kedua. Dan Ibnu Rusyd, yang dikenal dibarat dengan nama Averros, seakan menjadi penutup dari sistem pemikiran buryani sebelum sistem pengetahuan bayani kembali dominan, bahkan lebih hegemonik daripada sebelumnya. Serta tokoh-tokoh intelektual lainnya yang mampu membawa peradaban Islam mencapai superioritasnya.
Namun kecanggihan para inetelektual (filosof) muslim tersebut tidak hanya berhenti disitu, mereka juga memandang agama dengan mensintesakan filsafat Yunani dengan tardisi pemikiran Islam. Sehingga memperkaya pandangan keberagamaan (Islam) pada waktu itu. Perkembangan pemikiran kegamaan yang mendasarkan rasio sebagai instrumennya mulai mendapatkan penetangan dari para pemikir Islam ortodoks. Ibn Hanbal (780-855), salah seorang mazhab fiqh beserta yang sejalan dengannya, menunjukkan sikap tidak kenal kompromi terhadap ilmu-ilmu Yunani. Penentangan-penentangan kalanga ortodoks tersebut disebabkan, salah satunya adalah adanya ketakutan dikalangan ortodoks (fiqh) bahwa ilmu-ilmu Yunani akan menyebabkan berkurangnya rasa hormat pada umat Islam terhadap Tuhan. Ini mengandaikan bahwa mereka adalah orang-orang yang memiliki rasa hormat kepada Tuhan melebihi yang lain. Dan ajaran-ajaran merekalah yang paling sesuai dengan jalur-jalur yang ditetapkan Tuhan dengan al-Qur’an dan Sunnah Rasul sebagai otoritasnnya.
Serangan demi serangan secara beruntun, dan puncaknya yang dilakukan oleh al-Ghaali yang juga dinobatkan sebagai “Guru Utama” (al-Syaikh al-Rais). Meski pada prinsipnya al-Ghazali tidak menolak filsafat, tulisannya Tahfut al-Falasifah yang diperkuat dalam al-Munqid min al-Dlalal, al-Ghazali masih mengakui pentingnya logika dalam pemahaman dan penjabaran ajaran agama. Namun al-Ghazali juga menyerang para filosof muslim, seperti Ibnu Sina dan al-Farabi yang pemikirannya dianggap menyimpang dari ajaran-ajaran agama bahkan menjurus pada kekafiran. Dan dengan melihat suasana historis masyarakat muslim pada waktu itu, menurut penilaian Nur Kholis madjid, bahwa argumentasi al-Ghazali merupakan penyelesaian yang begitu hebat, sehingga memukau dunia intelektual Islam dan membuatnya seolah-olah terbius tak sadarkan diri. Karena dilihat dari kemampuan dan penguasaan filsafat dan teologi, al-Ghazali diasumsikan memiliki kemampuan diatas rata-rata masyrakat muslim pada waktu itu.
Kontribusi agung al-Ghazali dalam sejarah pemikiran Islam, melahirkan dogma yang hegemonik dengan megkafirkan para para pemikir yang berbeda dengannya, telah meninabobokkan umat Islam, seakan-akan apa yang diajarkan al-Ghazali adalah final. Umat muslim sakan-akan tidak lagi membutuhkan pemikiran-pemikiran baru dalam keberagamaan. Al-Ghazali kemudian menjadi corong bangkitnya kembali nalar bayani, dan menjadi mesin pembunuh bagi sistem pengetahuan burhani. Walaupun pada masa itu masih memiliki Ibn Rusyd yang mampu memberikan wacana tandingan terhadap wacana dominan yang dimotori al-Ghazali. Namun taqdir sejarah selalu menampilkan relasi timbal balik antara kekuasaan dan pengetahuan. Sejak saat itulah bayani mendapatkan kembali dominasinya dalam tradisi pemikiran Islam (Arab).
Dominasi nalar bayani dengan proedur-prosedur dogmatiknya mampu menutup ruang bagi lahirnya pemikiran-pemikiran baru dalam keberagamaan, pintu ijtihat ditutup rapat-rapat. Prosedur-prosedur dalam menetapkan hukum diperketat. Kalupun ada permasalah baru dikemudian hari yang tidak ada sebelumnya, dalam penetapan hukumnya hanya diqiyaskan (analogi) dengan hukum tentang persoalan yang ada sebelumnya, yang pada dasarnya berbeda sama sekali, baik objek (persoalan) maupun konteks yang melingkupinya. Realitas (konteks) yang selalu bergerak dinamis harus disesuaikan dengan teks yang stabil.Dominannya nalar bayani tidak hanya membekukan sistem nalar yang lain dalam melihat ralitas keberagamaan. Dengan pelarangan-pelarangan pemikiran filsafat yang lahir tidak di dunia islam, benar-benar membekukan olah pikir mayoritas umat Islam. Dan ini menegaskan bahwa sistem pengetahuan bayani adalah model pengetahuan yang memiliki kebenaran tunggal yang memiliki kesahihan universal.
Nalar bayani yang menjadi satu-satunya kebenaran dalam sistem pengetahuan islam, mulai mengalami resistensi, seperti yang dilakukan oleh Arkoun yang melihat “akal Islam” yang didominasi oleh akal bayani. Dalam pandangan Arkoun, dalam khazanah tafsil Islam dengan segala macam madzhab serta lairannya, sesungguhnya al-Qur’an hanya merupakan alat untuk membangun teks-teks laian yang dapat memnui kebutuhan dan selera suatu masa tertentu setelah masa turunnya al-Qur’an itu sendiri. Semua tafsir al-Qur’an ada dengan sendirinya, dan untuk dirinya sendiri. Tafsir-tafsir tersebut merupakan karya intelektual dan produk budaya yang lebih terikat dengan konteks kultural yang melatarbelakanginya. Karena seluruh literatur tafsir tersebut siproduksi oleh akal manusia, maka harus dilakukan analisis terhadap mekanisme dan struktur akal tersebut.
Hassan Hanafi yang juga merupakan salah satu tokoh yang menggugat sistem nalar Islam mengatakan bahwa sistem pengetahuan dalam Islam (khusunya teologi) tidak ilmiah dan membumi. Berangkat dari kecenderungan pemahaman umat Islam yang selama ini cenderung tekstual dalam memahami agama, Hanafi mengusulkan agar pemahaman tersebut tidak sekedar sebagai dogma keagamaan yang kosong. Melainkan menjelma sebagai ilmu tentang perjuangan sosial, menjadikan keimanan berfungsi secara aktual sebagai landasan etik dan motifasi tindakan manusia.
Sedangakan al-Jabiri melihat bahwa sistem pengetahuan Islam yang lebih didominasi oleh nalar bayani ,yang dimotori oleh al-ghazali merupakan penyebab awal dari kemunduran dalam sistem nalar Islam (Arab).
Islamisai Sains : Mengail Ikan di Laut Mati Kapal besar positifsitik Oleng dalam samudera pengetahuan postmodern dan sistem pengetahuan bayani ortodoks terhuyung-huyung diterpa badai kritik nalar Islam (Arab) dan sejenisnya. Dua dogma yang mengklaim dirinya masing-masing sebagai jalan menuju gelapnya goa kebenaran dengan narasi agungnya, luluh oleh pemberontakan yang dilakukan oleh para penganutnya masing-masing. Dua jalan kebenaran yang paradoks dengan kamapanan prosedurnya masing-masing retak dalam bentangan sejarah yang semakin erotis meliukkan zaman. Namun dalam ungkapan Feyerebend ada kecenderungan dalam epistemologi, dimana epistemologi yang mapan berusaha bertahan dalam kemapanannya sedang yang lain berusaha untuk menyingkirkan kemapanan tersebut. Nalar positifistik yang menjadi basis nalar dalam ilmu pengetahuan modern yang dengan sisa-sisa tenaga terus-menerus berusaha bertahan secara sporadis dalam kancah pertarungan pengetahuan, walaupun secara substansif sudah kehilangan daya magis epistemologinya, begitu juga dengan sistem pengetahuan islam yang coba terus menggeliat ditengah arus globalisasi sistem pemikiran memunculkan sepihan-serpihan paradoksal dalam pemikiran islam sendiri.
Salah satu serpihan yang muncul dalam tradisi pemikiran Islam kontemporer adalah terhembusnya isu Islamisasi Sains. Dengan logika yang hampir seragam bahwa kemunculan isalamisasi sains sebagai usaha untuk kebangkitan peradaban Islam dari hegemoni peradaban barat. Dengan alasan yang lebih bersifat ideologis tersebut sebagian umat (intelektual) Islam berusaha menunjukkan kepada dunia bahwa ilmu pengetahuan dalam Islam bisa eksis dengan berkaca pada romantisme kemajuan peradaban islam tempo dulu.

Apa yang ditampilkan dalam teks-teks yang berbau spirit revivalisme dengan islmisasi saian sebagai perangkatnya dengan melihat sejarah kegemilangan peradaban islam menampakkan inkonsitensi pada sejarah itu sendiri. Retakan-retakan sejarah yang ditampilkan hanyalah potongan-potongan dari agungnya sejarah yang dibanggakan. Sejarah yang ditampilkan demi mengusung islamisasi sains penuh dengan kontradiksi-kontradiksi. Kemajuan pemikiran intelektual Islam terdahulu dibangun diatas beragam paradigma yang saling berdialektika. Tidak pada satu paradigma tunggal yang melahirkan satu razim kebenaran dalam ilmu pengetahuan. Sedangkan cita-cita islamisasi sain mengahadirkan impian untuk membangun imperium baru dalam ranah ilmu pengetahuan dengan membentuk rezim kebenaran yang didasarkan pada satu paradigma yang didasakan pada otoritas teks-teks suci yang diyakini memiliki kebenaran universal.
Serentetan usaha untuk mencapai impian isalmisasi sains pun digelar. Seperti similirisasi atau ayatisasi terhadap apa yang telah ditemukan dalam ilmu pengetahuan. Landasan logikanya, bahwa islam tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan begitu juga dengan ilmu penegtahuan juga pada dasarnya tidak pernah bertentangan dengan Islam. Dengan model ayatisasi ini, Islam kemudian tidak berkepentingan untuk “ngoyo” menemukan sesuatu yang baru dalam ranah pengetahuan manusia, namun Islam hanya memberikan nilai-nilai etis terhadap apa yang telah ditemukan oleh ilmu pengetahuan, bagaimana produk dari ilmu pengetahuan hanya dicocokkan dengan ayat-ayat al-Qur’an., bahkan jika tidak cocok sekalipun harus dipaksakan untuk cocok. Model tersebut menjadi modus operandi dari pembajakan pengetahuan, seperti yang dikatakan oleh Usep Fakhrudin.
Usaha yang lain adalah dengan membentuk padangan hidup (world vew) yang didasarkan pada nilai-nilai islam. Seperti yang dilantunkan oleh Sardar bahwa untuk mewujudkan agenda islamisasi sains yang harus dibangun pertamakali adalah Islamic worldview, yang didukung oleh pendapat Hamid Fahmi Zakarsyi dalam majalah Islamiya (Th 11 No.5/April-Juni 2005), bahwa worldview Islam tidak bisa dilepaskan dari kandungan al-Qu’an dan penjelasan dari Nabi. Bahwa didalam islam memiliki pandangan hidup sendiri yang berbeda dengan pandangan hidup barat tempat lahirnya sains.
Pentingnya membentuk wordview sendiri didasarkan pada struktur pengetahuan yang tidak bisa dilepaskan pada struktur worldview tertentu yang dipengaruhi oleh srtruktur budaya dimana worldview itu lahir. Dengan melihat sejarah perkembangan ilmu pengetahuan modern yang dipengaruhi oleh worldview sekulerisme, maka worlview Islam memiliki urgensi dalam mengembangkan islamisasi saian. akan mustahil Islamisasi Sains akan terwujud jika tidak dimulai dengan pembangunan worldview Islam. lebih lanjut, Zakarsyi menjelaskan bahwa asas Islam yang didasarkan pada Al-Qur’an dan Penjelasan Nabi mampu melahirkan berbagai disiplin Ilmu. Karena asas Islam tersebut diyakini memiliki universalitas yang dapat diterapkan dimanapun dan kapanpun. Artikulasi dari Universalitas adalah Islam sebagai agama yang sudah sempurna dan sesuai dengan segala zaman yang terus berubah dengan cepat serta sesuai dengan segala kondisi budaya diseluruh tempat dimuka bumi dengan sedikit penafsiran yang tidak keluar dari teks-teks suci yang sudah ada. Sehingga tidak perlu lagi adanya peninjauan ulang kembali terhadap teks-teks tersebut walaupun teks itu lahir di masa lalu yang sudah jauh ditinggal oleh sejarah serta teks-teks itu juga lahir disuatu tempat dan kondisi budaya tertentu (Arab) yang memiliki ciri khas budaya sendiri diantara keberbedaan dan keragaman budaya yang ada dimuka bumi.
Konstruk worldview terebut menjadi asas dalam bagunan ilmu pengetahuan Islam yang diderevasikan dalam struktur epistemologi Islam. Rumusan epistemologi dilandaskan pada Tauhid yang telah digariskan dalam teks-teks al-Qur’an dan Sunnah Rasul serta pendapat Ulama terdahulu yang dianggap sudah sempurna. Islamisasi sains menolak bangunan epistemologi barat yang (dianggap) jelas-jelas sekuler. Konsepsi tersebut mengandaikan bahwa sistem pengetahuan Islam yang diwarisi dari para pendahulu sudah sempurna dengan bukti bahwa hasil pemikiran intelektual masa lalu telah membawa dunia Islam menjadi pusat berkembangnya ilmu pengetahuan yang sangat pesat dan menjadi peradaban yang paling tinggi pada zamannya. Menurut Dr. Syamsudin Arif (Isalamiya, Th 11 no.5/April-Juni 2005) menjelaskan dengan berangkat dari formulasi diskursus filsafat, yakni How to knowleg posible? Menurut beliau, jawabnya adalah dengan proses akal sehat (rasionalisasi dan pengalaman inderawi), melalu informasi yang benar dan proses intusi hati. Titik tekan dari ketiga instrumen untuk mengetahui tersebut adalah melalui informasi yang benar (khabar shadiq). Hal ini dijelaskan dengan dalil-dalil (informasi ) yang berasal dari al-Qu’an sebagai legitimasi dari ketiganya. Dan al-Qur’an adalah yang utama dan puncak dari hirarki khabar shadiq, setelah itu penjelasan Nabi (Hadits) dan kesepakatan ulama (ijma’).
Khabar shadiq menjadi narasi agung yang didalamnya terdapat kebenaran-kebenaran yang validitasnya tidak tersanggahkan dengan mensyaratkan prosedur-prosedur ketat yang telah dibakukan dengan ijma’. Dan sistem pengetahuan khabar shadiq yang prosedural tersebut tidak lain merupakan sistem pengetahuan yang dilandaskan pada sistem pengetahuan bayani, sistem pengetahuan yang dominan dalam pemikiran tradisioanal islam. Yang dianggap sebagian intelektual muslim kontemporer sebagai salah satu sebab terjadinya stagnasi dalam perkembangan pemikiran Islam.
Pencanangan worldview Islam yang menjadi tiang penyangga dalam sistem pengetahuan Islam yang digadang-gadangkan, membentuk limit antara pengetahuan barat dan Islam. Islam adalah “kita” sedang barat adalah “mereka”. Dari limit ini memanifestasikan sikap yang mencitrakan sistem pengetahuan Islam lebih unggul dari pengetahuan barat. Dengan landasan argumentasi bahwa kebenaran agama mendahului kebenaran ilmu penegtahuan. Untuk itulah dalam islamisais sains, bukan agama yang mengikuti sains namun sainlah yang harus mengikuti agama. Hal ini dengan melihat realitas perkembangan ilmu pengetahuan yang acapkali dianggap tidak bermoral dan jauh dari nilai-nilai relegisius dan terlalu materialistis. Jika worldview yang diingini diderivasikan dengan model epistemologi bayani, yang dalam rentangan sejarahnya hanya menghasilkan pengetahuan yang bersifat dogmatik. Praksis metodologi Khabar Shodiq yang dijadikan sumber pengetahaun hanya akan bersifat referensial (qiyasi), yang seringkali tidak relevan dengan realitas. Hal ini terjadi jika penafsiran-penafsiran yang ada, dan sudah merupakan ijma’ dianggap final dengan metode penafsiran yang seragam seragam sesuai dengan prosedur-prosedur ketat yang dimapankan.
Sedangkan pada sisi yang lain, ilmu pengetahuan yang selama ini berbasiskan nalar positifistik yang dogmatik telah mengalami resistensi dari pengikunya sendiri. Asumsi-asumsi kebenarannya kabur oleh kesangsian akan kebenaran yang diciptakannya sendiri. Ilmu pengetahuan bukan dogma yang tidak akan pernah mencapai kebenaran yang final. Kebenaran tentang ilmu pengetahuan hanyalah asumsi-asumsi sementara, yang setiap saat bisa digugat. Jika islamisai pengetahuan bertujuan untuk membangun ilmu pengetahuan yang didasarkan pada islamic worldview dengan al-Qur’an dan sunnah Rasul sebagai landasannya, yang dianggap memiliki kebenaran mutlak. Maka akan meunculkan bererapa asumsi. Pertama, islamisasi sains akan menyeret kembali diskursus ilmu pengetahuan menjadi dogmatik. Islamisasi sains akan melahirkan ilmu pengetahuan yang tertutup karena al-Qur’an dan Sunnah Rasul dinaggap memiliki kebenaran yang mutlak dan sudah final. Dan ini bertolak belakang dengan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan yang selalu membuka ruang dialektika, asumsi kebenarannya adalah temporal. Konsekwensi dari islamisasi sains hanya akan membuat alur mundur dari perkembangan ilmu pengetahuan kekinian, asumsi-asumsi dogmatisnya akan mengembalikan spirit nalar positifstik-yang sudah usang ditelan sejarahnya sendiri- dalam rumusan islamisasi sains.
Kedua, islamisasi sains dengan islamic worldview-nya yang menjadikan al-Qur’an dan Hadits dan sumber-sumber yang lainnya sebagai sumber utamanya, maka al-Qur’an dan Hadits atau sumber yang lain harus disejajarkan dengan kitab pengetahuan yang lain, yang keabsahannya atau kebenarannya bisa saja gugur. Dan ini mau tidak mau akan meunculkan asumsi bahwa islam manjadi sub dari ilmu pengetahuan, bukan sebalikanya ilmu pengetahuan yang menjadi sub dari islam. Dan hal tersebut pada dasarnya akan kembali menjadi pure saintisme, pembahasaannya tidak lagi “islamisasi sain”, tapi akan menjadi seperti yang disebut kuntowijoyo sebagai “ilmuisasi islam”. Islam tidak dilihat sebagai agama yang dogmatik, akan tetapi islam harus menerima kenyataan sebagai bagian dari ilmu pengetahuan yang relatif.

F.      PENCARIAN KEADILAN TUHAN VERSI KAUM HOMO SEKSUAL

Setiap 20.000 kelahiran pada laki-laki, satu diantara akan terindikasi menglami prilaku homoseksual. Lantas jika penduduk dunia saat ini berjumlah 6 Miliar berapa jumlah homoseksualnya dan yang lebih penting lagi bagaimana cara memperlakukannya. (INOVASI edisi:XXI)
Absrtaksi
Belanda adalah negara di dunia yang pertama kali melegalkan hubungan sesama jenis dan perkawinannya, hal itu juga di atur secara rinci dalam konstitusi kenegaraan, oleh karenanya bagi kamu homoseksual belanda merupakan sorga kehidupan hingga tak menutup kemungkinan para kaum homosek di negara lain berbondong untuk mecari legalitas identitasnya yang tidak didapati dinegara asalnya. Terobosan yang dilakukan Belanda kemudian disusul oleh swedia, dan di Asia diwakili oleh Taiwan walaupun masih dalam tahap pembahasan pemerintah.
Bagi masyarakat Indonesia legalitas homoseksual dalam konstitusi negara kemungkinan besar tidak akan pernah terwujudkan, mengingat cara pandang masyarakat saat ini hanya mengkategorikan realitas sosial dalam dua kategroi sederhana, jika ada baik maka ada buruk, jika ada wanita jelasnya akan ada laki-laki, dan jika ada normal lawannya tentu saja abnormal. Terkait dengan fenomea homoseksual tentunya streotif yang akan muncul terhadap prilaku ataupun komunitas ini termasuk pada kategori prilaku seksual menyimpang (abnormalitas seksual) stigma ini dilandaskan pada nilai norma sosial yang menganggap prilaku seksual yang normal adalah prilaku seks terhadap lawan jenis diluar itu tanpa bisa ditolerir adalah sesuatu yang dilarang.
Telaah prilaku homoseksual sendiri dalam dunia psikologi, prilaku tersebut termasuk dalam kategori prilaku seksual menyimpang pada jenis orientasinya walaupun dalam perkembangannya prilaku ini sudah menjadi prilaku normal. Karena secara fungsional fisiologis-psikologis tetap sesuai. Disamping itu alasan lainnya adalah faktor penyebab homoseksual sendiri yang menurut banyak tokoh dipengaruhi dua hal utama: 1) Hereditas 2) Lingkungan. Pada pengaruh lingkungan prilaku homosek ada kemungkinan untuk dirubah, namun pada aspek yang pertama ketika dalam diri seseorang terdapat kelebihan hormon Androgen pada laki-laki yang senestinya dimilki oleh perempuan dan Tertosteron pada perempuan yang merupakan hormon pria, para ahli medis sampai saat ini masih spekulatif dalam menyikapinya.
Bertolak dari beberapa argument di atas bagaimanakah agama dalam hal ini Islam memandang prilaku homoseksual, sebab yang menjadi permasalahan kasus-kasus homosekual tanpa bermaksud apologi seringkali banyak ditemukan di pondok pesantren. Tidakkah pondok pesantren telah menjadi sarang awal munculnya prilaku homoseksual.
Benarkah Agama melarang perilaku Homosek
Mencari pembenaran terhadap hubungan sejenis dalam teks-teks agama hampir tidak mungkin jika yang kita pahami teks agama disini adalah apa yang tersurat dalam kitab suci dan berbagai karya ulama yang selama ini menjadi referensi dalam kehidupan keagamaan umat. Islam dan Kristen, dua agama besar dunia, tegas-tegas mengutuk hubungan seks sejenis sebagai perilaku yang terlaknat dengan menyandarkan pada pelaknatan Tuhan atas Kaum Luth (Kisah Sodom-Gomorah).
Akan tetapi, pertanyaan awal yang bisa diajukan di sini adalah apakah agama, hanya karena sifat ketuhanannya, merupakan fenomena yang hadir di luar sejarah ataukah ia juga merupakan fenomena historis yang bisa dibaca dari perspektif kesejarahan? Terkait dengan ini, bagaimana kita membaca teks-eks keagamaan, baik kitab suci maupun karya-karya ulama?
Penelaahan kitab suci yang dimiliki agama-agama besar akan melahirkan satu kesan kuat bahwa manusia yang menjadi objek seruan Tuhan selalu berjenis kelamin laki-laki atau perempuan. Seruan ini bisa kita lacak pada berbagai aturan keagamaan yang hanya mengatur dua jenis kelamin tersebut mulai peribadatan (ritual) sampai pada aturan-aturan kehidupan, termasuk hubungan seksual. Dengan catatan jenis kelamin yang kedua selalu menempati posisi subordinat. Wilayah antara, atau berbagai varian di antara spektrum laki-laki dan perempuan hampir merupakan wilayah vakum yang ditinggalkan oleh teks suci resmi.
Keadaan ini bisa memunculkan berbagai tafsir. Satu perspektif bisa memaknai ini sebagai tidak diakuinya berbagai varian seks dan gender di luar laki-laki dan perempuan. Perspektif ini memunculkan jenis tafsir keagamaan yang menafikan dan menegasikan berbagai orientasi seks dan gender di luar laki-laki (maskulin) dan perempuasn (feminin). Sementara, perspektif lain memaknai fenonmena vakum ini sebagai suatu wilayah bebas di mana manusia memiliki kebebasan penuh untuk mengkreasi dan mengkonstruksinya.
Di wilayah antara ini, lahir beberapa wacana keagamaan yang bisa digugat dan dipertanyakan ulang. Di dalam fiqh, misalnya, kita akan menemukan istilah khuntsa, yang kurang lebih merujuk pada manusia yang “berjenis kelamin antara”, baik bermakna memiliki kelamin ganda (hermaprodit) maupun keantaraan yang hanya ditandai oleh performance fisik luar (orang yang memiliki penis tapi berdandan seperti perempuan). Pengaturan terhadap khuntsa jelas-jelas merupakan kreasi bebas ulama karena tidak ditemukan di dalam kitab suci. Dalam arti bahwa aturan ritual sampai hubungan seksual tidak ditemukan dalam kitab suci, tapi merupakan kreasi ulma pada satu masa dan tempat tertentu dengan selalu melakukan analogi terhadap aturan-aturan hukm yang dikenakan pada jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Ini memperlihatkan bahwa sebuah teks keagamaan yang sangat menentukan dalam kehidupan umat diproduksi leh suatu cara pandang tertentu tentang seks, gender dan seksualitas.
Sebagai wilayah abu-abu, maka teks-teks keagamaan yang diproduksi dari wilayah itu juga bersifat ambigu. Ambiguitas ini ditandai dengan beragamanya pendapat, bahkan oleh satu ulama. Imam Syafi’i, misalnya, salah satu tokoh terkemuka dalam aliran fiqh Islam, memiliki tiga pendapat tentang hukum orang yang melakukan hubungan sesama jenis, yaitu dihukum mati dengan cara dibakar, dihukumi seperti pezina, atau cukup diberi sanksi. Sementara dalam aturan peribadatan, hukumnya mengikuti secara analog kepada laki-laki atau perempuan. Dalam arti bahwa jika ia memiliki kecenderungan laki-laki, maka ia dihukumi seperti laki-laki, begitu juga sebaliknya.
Semakin terlihat di sini bahwa setiap paham keagamaan bersifat perspektifis. Dalam arti bahwa seluruh paham keagamaan dikonstruksi berdasarkan perspektif tertentu, dan itu berarti bersifat historis. Karena itu, maka tidak ada satu pun doktrin agama, termasuk kitab suci, yang berada di luar sejarah. Asghar Ali Engineer, seorang teolog pembebasan Muslim dari India, menyatakan bahwa seilahi apapun sebuh doktrin, ia tetap harus memijakkan kakinya di atas realitas kemanusiaan yang nyata jika ia ingin misi ketuhanannya (kemanusiaannya) berhasil. Begitu juga dengan berbagai tafsir atasnya. Konstruksi makna teks selalu dihasilkan dari berbagai lintasan kepentingan.
Dengan pemikiran ini jugalah kita bisa mengerti mengapa sekalipun di dalam al-Qur’an ada pengutukan terhadap Kaum Nabi Luth, tapi di berbagai pesantren ditemukan hubungan sejenis dengan istilah mairil. Mairil adalah hubungan antara laki-laki dengan laki-laki, di mana yang menjadi subjek dalam hubungan sejenis ini biasanya adalah santri senior dan yang menjadi objek adalah santri laki-laki muda yang berusia sekitar 15 tahun.
Mungkin sementara orang mengira bahwa perilaku mairil di pesantren semata-mata karena pesantren merupakan asrama yang hanya dihuni satu jenis kelamin sehingga sangat rentan terjadi hubungan sejenis, sebagaimana asrama-asrama lain. Memang benar bahwa banyaknya hubungan sejenis yang ditemukan di pesantren karena pesantren merupakan asrama yang hanya dihuni oleh satu jenis kelmin. Dalam pengertian ini, maka mairil sesungguhnya bukan tipikal pesantren, tapi bisa ditemkan di semua komunitas sejenis yang hidup besama dalam jangka waktu yang lama. Akan tetapi, pertanyaannya adalah kalau memang hubungan sejenis secara tegas dilarang bahkan dikutuk oleh Tuhan, mengapa di pesantren yang merupakan lembaga pendidikan Islam terkesan permisif terhadap praktek seperti itu? Tidak ada jawaban jelas. Tapi lacakan kepada teks-teks keislaman akan segera memberi jawaban yang mengejutkan karena ancaman Tuhan di dalam al-Qur’an bisa sangat mudah “disiasati”.
Kalau praktek mairil dianggap sebagai zina, maka definisi zina yang ada dalam teks-teks keislaman tidak bisa menjerat praktek mairil. Di dalam teks-teks keislaman, zina selalu didefinisikan sebagai hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan di luar ikatan pernikah yang syah menurut hukum Islam (ata al-mar’ata bi ghoyri aqdin syar’iyin). Dari definisis zina ini, maka praktek mairil tidak bisa dihukumi zina karena definisi zina berkarakter heteroseksual, sementara mairil jelas-jelas homoseksual. Kalau merujuk pada praktek kaum Nabi Luth, maka di dalam kitab fiqh hal itu merujuk pada praktek hubungan sejenis secara anal yang diistilah dengan liwath. Sehingga, pelaknatan Tuhan terhadap kaum Nabi Luth tidak bisa digunakan untuk menjerat praktek mairil karena secara umum praktek mairil dilakukan dengan memanfaatkan pangkal paha (penis dijepit di antara pangkal paha yang sudah dilumuri dengan pelembab, biasanya memakai ludah).
Dari sini, akan muncul banyak pertanyaan dan kesadaran baru. Betapa teks-teks keagamaan tidak seperti yang diperkirakan selama ini, berada di luar sejarah dan berbagai relasi kepentingan, tapi sebaliknya, ia lahir di dalam sejarah. Mengapa, misalnya, zina selalau didefinisikan secara heterosekusialis sehingga hubungan sejenis tidak masuk di dalamnya, dan mengapa kisah homoseksualitas Kaum Luth dimaknai semata-mata analseks, sehingga teknik hubungan seksual sejenis di luar anal tidak masuk kriteria pelaknatan? Pertama, kebanyakan penyusun kitab-kitab agama adalah kaum laki-laki dengan orientasi seksual heteroseks sehingga rumusan-rumusan yang muncul berspektif laki-laki dan heteroseksual. Kalau kaum homoseksual diuntungkan karena wilayahnya tidak tersentuh, mungkin karena sang ulama yang hetero tersebut lupa atau tidak menyadari tentang kemungknan adanya hubungan seksual sejenis, maka kaum perempuan banyak dirugikan dalam hal ini karena hampir rumusan-rumusan keagamaan selalau menempatkan perempuan menjadi objek seksual laki-laki. Dan, kalau sang ulama menyadari bahwa hubungan sejenis (laki-laki dengan laki-laki) tidak hanya anal seks, tapi bisa mengeksplorasi seluruh bagian tubuh, maka bisa jadi devinisi liwath tidak sesempit dan seteknis itu.
Terlepas dari lemahnya definisi-definisi tersebut, ini menyadarkan bahwa teks agama diproduksi oleh kepentingan dan sudut pandang tertentu. Tidak ada satu teks pun, sekalipun ia disebut sacred text, yang pemaknaannya melintasi batasan ruang dan waktu. Karena itu, sangat terbuka kemungkinan untuk memaknai ulang teks-teks agama sesuai dengan tingkat peradaban manusia.
Setiap agama selalu mengklaim bahwa relevansinya melintasi ruang dan waktu. Di Islam juga ada adagium yang sangat terkenal menyangkut relevansi Islam ini, al-Islam sholih likulli zaman wa al-makan (ajaran Islam sesuai untuk setiap masa dan tempat). Akan tetapi, apa makna relenvansi tersebut jika agama tidak sanggup menyelesaikan persoalan manusia dengan tetap menjunjung tinggi harkat dan derajat manusia.
Agama bukanlah sebuah patung batu yang sekali pahat selesai. Agama, sebagai fenomena kemanusiaan yang lain, harus terus bergulat mengiringi peradaban manusia yang terus berjalan. Oleh karena itu, agama tidak bisa dimaknai seperti sekumpulan naskah di dalam museum, di mana realitas hendak diukur dan diadili sesuai dengan kekunoan teks-teks tersebut. Keabadian agama terletak pada kesanggupannya untuk tetap mendorong kebaikan dan penghormatannya terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
Di titik ini juga patut kita renungkan sebuah pertanyaan, untuk siapakah agama itu, untuk Tuhan ataukah untuk manusia? Jika memang agama diturunkan Tuhan untuk manusia, maka agama harus merelakan dirinya diukur dari kaca mata manusia. Jika sebuah agama dengan meneriakkan kata-kata Tuhan menebar teror kemanusiaan, maka sesungguhnya ia telah kehilangan alasan keberadaannya.
Dengan mempertimbangkan pandangan Engineer di atas, kita bisa “menyoal ulang” pelaknatan Tuhan terhadap kaum Nabi Luth. Dengan memandang bahwa setiap doktrin agama memiliki konteks kesejarahannya masing-masing, maka pertanyaan penting yang layak diajukan adalah apa maksud pelaknatan Tuhan terhadap praktek hubungan sejenis yang dilakukan oleh kaum Nabi Luth. Jawabannya tentu saja harus dilihat di dalam konteks sosial yang terjadi saat itu.
Kita bisa membaca pelaknatan Tuhan terhadap kaum Nabi Luth seperti Sebagaimana pelaknatan Tuhan (di dalam al-Qur’an) terhadap tindakan nusyuz (pembangkangan istri terhadap suami dengan tidak mau melakukan hubungan seksual). Alasan hukum pelarangan nusyuz sesungguhnya ada pada masalah reproduksi. Tuhan melarang nusyuz karena ketika istri tidak mau melakukan hubungan seksual dengan suami, maka yang terjadi adalah mandegnya reproduksi dan regenerasi yang saat iu sangat dibutuhkan ketika jumlah orang Muslim sangat sedikit. Maka, ketika komunitas Muslim tidak lagi kekurangan dalam hal kuantitas, maka pelaknatan nusyuz harus dimaknai ulang. Pembangkangan istri terhadap suami bahkan memiliki nilai positif jika itu digunakan untuk menghentikan kekuasaan mutlak laki-laki (suami) terhadap perempuan (istri). Alasan hukum kemudian berubah, tidak lagi tentang reproduksi, tapi tentang relasi yang adil antara laki-laki dan perempuan. Tafsir yang sama juga bisa diberlakukan kepada pelaknatan hubungan sejenis. Perjuangan Nabi Luth tentu saja membutuhkan banyaknya pengkikut yang itu berarti fungsi reproduksi perempuan harus dimaksimalkan. Hubungan sejenis dianggap mengganggu dalam hal reproduksi ini. Namun ketika dunia sudah berada di ambang batas kemampuannya untuk menampung jumlah manusia, maka pelarangan hubungan sejenis bisa berubah. Logika ini persis dengan pembolehan dan bahkan sokongan para tokoh agama (Islam) terhadap program keluarga berencana sekalipun jelas-jelas ada sebuah hadits Nabi yang menyuruh untuk memperbanyak anak.
Tentu saja bahwa tafsir ini pun bisa dibantah. Akan tetapi, ini semakin menunjukkan bahwa sebuah ayat tidak bersifat satu suara (monovoice), tapi selalu mengandung banyak tafsir (multiintepretable). Yang perlu dilakukan adalah membuka berbagai realitas kemanusiaan, termasuk fakta tentang hubungan sejenis dengan berbagai variannya, untuk didialogkan dengan komunitas berbasis iman. Bisa jadi, yang ada selama ini adalah mandegnya dialog yang memungkinkan adanya upaya-upaya kreatif untuk melahirkan jenis tafsir keagamaan yang lebih humanis dan emansipatoris.
Dialog juga bisa mengerem ambisi agama untuk menjadi penguasa tunggal. Tidak bisa diungkiri, bahwa ketika agama sudah melembaga, misalnya Islam dan Kristen, ia selalu berambisi untuk menjadi penguasa tunggal. Dia selalu berkeinginan untuk mengadili komunitas lain. Relasi we-other ini juga menjadi penyakit yang menghinggapi agama-agama besar yang terlembaga (the big organized religion). Penyakit inilah yang seringkali memunculkan ketidakrahaman agama terhadap berbagai tradisi dan kearifan lokal dengan tuduhan menyimpang dan sesat. Ironisnya, negara yang semestinya menjadi ruang di mana keragaman mendapatkan pengakuan yang setara, seringkali bersekutu dengan agama-agama besar untuk menindas dan menyingkirkan komunitas-komunitas pinggiran yang dianggap menyimpang ini.
Tidak ada salahnya bagi kita untuk bersekutu dengan komunitas berbasis iman dalam memperjuangkan pengakuan atas keberadaan dan hak-hak komunitas LGBT (whatever with the terms). Paling tidak, ada dua keuntungan yang bisa dipetik. Pertama, membuka kebekuan pandangan kalangan agamawan terhadap komunitas lesbi, gay, waria, dsb. sehingga akan melahirkan teks-teks keagamaan yang tidak lagi hanya berisi tuduhan dan hujatan terhadap komunitas ini. Kedua, adanya tokoh-tokoh yang sensitif terhadap peminggiran komunitas LGBT. Keberadan tkoh-tokoh ini akan memudahkan bagi perjuangan berikutnya, baik ketika berhadapan dengan agama maupun negara. Kurang lebih, inilah cara yang selama ini dilakukan oleh teman-teman gerakan perempuan di Indonesia. Sekalipun sampai saat ini masih sangat mudah ditemukan teks-teks keagamaan dan reglasi-regulai negara yang diskriminitatif terhadap perempuan, namun sudah ada perubahan yang sangat signifikan dalam menyelesaikan problem perempuan. Saat ini juga bisa sangat mudah ditemukan kiyai-kiyai (kebanyakan muda) yang membela hak-hak perempuan. Tentu saja kita bisa berharap (semoga tidak hanya mimpi) kelak kita akan menemukan kiyai-kiayi atau pastor dan pendeta yang membela hak-hak komunitas “ambang pintu” ini, baik dalam menghadapai rekan sejawatnya maupun keangkuhan birokrasi negara.

DAFTAR PUSTAKA
Barker, Chris. 2000. Cultural Studies: Theory and Practice. London: Sage Publication. Tej. Kreasi wacana, 2004. Jakarta: Kreasi Wacana.
Butler, J. 1990. Gender Trouble. New York and London: Routledge.
Clarke, J. 1976. “Style”. dalam S. Hall dan T. Jefferson (eds.). Resistance Through Rituals: Youth Subcultures in Post-War Britain. London: Hutchinson.
Danandjaja, James. 2003. “Homoseksual atawa Heteroseksual?” Srinthil. Oktober 2003. Depok: Kajian Perempuan DESANTARA
Kendrik, Karmen, 1999. Counterpleasures The Suni Series And Postmodern Culture. Terj. Sudarmaji, 2002. Counterpleasures Risalah Kenikmatan dan kekerasan seksual. Yogyakarta: Qalam.
Majalah Desantara, 2004. Seksualitas Multi Tafsir, Jakarta: Desantara.
Psiko Media, 2004 Psikologi orang-orang tertinndas Balerung Yogyakarta.
Sulistyowati,. 2003. “Psikologi Abnormalitas.”. Oktober 2003. UIN Malang
INOVASI, Edisi 21, 2004. “Realitas Gay di Kota Malang”.

PENUTUP
Pada dasarnya prinsip-prinsip dasar hermeneutika secara operasional telah diterapkan dalam tradisi klasik Ulum al-Qur’an seperti yang diperkenalkan kepada kita tentang metode tafsir dan ta’wil. Namun, secara definitif metodologi hermeneutik baru dimunculkan pada abad modern ini seiring dengan munculnya penafsiran-penafsiran kontemporer terhadap teks al-Qur’an.
Keberadaan hermeneutika dengan metodologinya sendiri membawa nuansa baru dalam penafsiran al-Qur’an. Dengan metodenya ini al-Qur’an tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang sakral, karena dalam kacamata hermeneutika ketika teks turun dan berada ditengah-tengah realitas kehidupan manusia maka ia sepenuhnya menjadi milik manusia dan berhak untuk diinterpretasikan, dihayati, dan dipahami seperti apa pun keinginannya. Semua yang tertuang dalam teks, bagi hermeneutika, dapat ditafsirkan dan dipahami maknanya dengan jelas. Dan inilah yang membedakannya secara fundamental dengan terma tafsir dalam diskursus Ulum al-Qur’an.
Akhirnya apa yang ditawarkan oleh hermeneutik dalam menafsirkan teks, linguistik, sejarah, agama, dan disiplin ilmu yang lainnya adalah suatu kreasi, karya, dan bikinan manusia. Karena itu, ia mempunyai kelemahan yang tidak bisa ditutupi, lebih-lebih jika ia berdiri sendiri tanpa dialog dengan
Daftar isi

G.     SEMIOTIKA AL QUR’AN

PROBLEMATIKA HERMENEUTIKA DALAM TAFSIR AL-QUR’AN

Hermeneutika al-Qur'an dan al-Hadis

Hermeneutika Tak Bisa Menggantikan Tafsir Al-Qur'an
Hermeneutika sebuah tawaran

Apakah Al-Qur'an Memerlukan Hermeneutika

(MUCHIB AMAN ALY )

 'Ulumul Qur'an dan Kredibilitas Mufassir
Tafsir Al-Qur’an Atau “Hermeneutika Al-Qur’an”
PENDEKATAN HERMENEUTIK DALAM PENAFSIRAN AL-QUR’AN DAN HADITS
Salah Paham Mengenai Hermeneutika
Hermeneutika, Tafsir, Ta'wil
Perkembangan Hermeneutika
Mungkinkah Meminjam Hermeneutika
Jadi, Apakah Hermeneutika Bisa Digunakan Dalam Memahami Qur'an?



[1]  Fahruddin Faiz, Hermeneutika Qur’ani, hal. 9  
[2]  Sayyed Hossen Nasr, Knowledge and Sacred, p. 71  
[3]  Fahruddin Faiz, Hermeneutika Qur’ani, hal. 13 atau Ibnu Taimiyyah, Muqaddimah fi  Usul al-Tafsir, hal. 81  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar