Sabtu, 01 Januari 2011

PEMBAHASAN TENTANG MAQÂSHID AL-SYARÎ’AH

A. PENGERTIAN MAQÂSHID AL-SYARÎ’’AH.
Secara etimologis (Lugawi) maqâshid al-syarî’ah terdiri dari dua unsur kata, yaitu maqâshid ( مـقاصــد ) dan al-syarî’’ah. Kata " مقاصد" adalah jamak dari kata “مــقـصد “, yang berarti tujuan atau maksud. Sedangkan kata al-syarî’ah (الشـريعـة)berakar dari kata kerja Syara’a ( شــرع ) yang berarti undang-undang, aturan dan syari’at. Dengan demikian maqâshid al-syarî’ah ( مـقاصـد الـشـريـعة ) dapat diartikan dengan tujuan atau maksud penetapan hukum syara’.
Di kalangan ulama ushul terdapat perbedaan istilah antara satu dengan lainnya. Muhammad Abu Zahrah1, misalnya, menyebutnya dengan Maqâshid al-Ahkâm مــقاصـد الاحــكام ) ). Sementara itu Zaky al-Din Sya’ban dan Abdul Wahab Khalaf2 mengistilahkan dengan maqâshid al-tasyrî’ (مــقاصدالتـشريع). Sedangkan maqâshid al-syarî’ah merupakan istilah yang digunakan oleh Imam Abu Ishaq al-Syatibi3 dan Abdul Karim Zaidan4. Sekalipun terdapat perbedaan istilah di kalangan ulama ushul, tetapi mengandung pengertian sama.
Adapun secara terminologis (istilah), sebagaimana dikemukakan oleh Abu Ishaq al-Syatibi5, bahwa yang dimaksud dengan maqâshid al-syari’ah ialah ketentuan-ketentuan hukum yang disyari’atkan Allah untuk kemaslahatan manusia ;
) ان الا حـكام شـرعـت لـمـصالح لـعـبـاد)
Sementara itu, Zaky al-Din Sya’ban6 menyebutkan pengertian maqâshid al-Syari’ah sebagai berikut ;
ومن المـتـفـق عـليه بـيــن جـمـهـورالـعـلمـاءان الله سـبـحـانـه لـم يـشـرع احـكامـه الا لـمـقـاصد عـامـة وان هـذه الـمـقـاصد تـرجـع الى جـلب المنافع للــنـاس ود فـع الـمـفـا سـد عـنـهـم واخـلاء الـعـالـم مـن الـشـروروالاثـام.
Maksudnya : Sebagian besar Jumhur ulama telah sepakat bahwa Allah SWT tidak mensyari’atkan hukum-hukum-Nya kecuali untuk tujuan yang sifatnya menyeluruh dan tujuan tersebut adalah untuk mewujudkan dan meraih manfa’at (kemaslahatan) bagi umat manusia dan sekaligus menghindarkan mereka dari kerusakan serta membebaskan dunia dari kejahatan dan dosa.
Dalam hubungan ini, Abdul Karim Zaidan7 juga menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan maqâshid al-syarî’’ah itu ialah menyangkut upaya untuk mewujudkan kemaslahatan bagi manusia serta mempertahankan eksistensi kemaslahatan tersebut. Imam Abu Ishaq al-Syatibi8 menyebutkan bahwa tujuan Allah mensyari’atkan hukum ialah untuk kemaslahatan umat manusia, baik di dunia ini maupun di akhirat nanti. Kemaslahatan di sini adalah menyangkut kemaslahatan yang dihajatkan oleh manusia dalam segala aspek kehidupan mereka.
Sejalan dengan pandangan al-Syatibi di atas, Zaky al-Din Sya’ban9 menyebutkan bahwa Allah tidaklah mensyari’atkan hukum-hukum-Nya kecuali untuk kemaslahatan bagi seluruh umat manusia dan menghindarkan mereka dari kerusakan serta membebaskan dunia ini dari maksiat dan perbuatan dosa.
Satria Effendi M. Zein10 menjelaskan pula bahwa Maqâshid al-Syarî’ah berarti tujuan Allah dan rasul-Nya dalam merumuskan hukum-hukum Islam. Tujuan ini dapat ditelusuri dalam ayat-ayat al-Qur’an dan al-Sunnah sebagai alasan logis bagi rumusan suatu hukum yang berorientasi kepada kemaslahatan umat manusia.
Maka untuk memahami maqâshid al-syarî’ah dengan menelusuri ayat-ayat al-Qur’an dan al-Hadis Rasulullah bukanlah pekerjaan yang mudah. Para ulama ushul, baik pada masa lalu maupun sekarang telah berupaya untuk menyelami maqâshid al-syarî’ah ini lewat ijtihad dan istinbat hukum. Hal ini semua tidak lain agar apa yang menjadi tujuan pensyari’atan hukum dapat direalisir dalam kehidupan umat.
Atas dasar ini, maka dapat dipahami bahwa maqâshid al-syarî’ah -- yang bermuara pada kemaslahatan adalah merupakan capaian akhir dari pensyari’atan hukum Islam. Dengan kata lain, seperti dikatakan oleh Asafri Jaya Bakri11, bahwa kandungan maqâshid al-syarî’ah adalah kemaslahatan.
Sebetulnya, inti dari maqâshid al-syarî’ah ialah maslahat yang harus diwujudkan di satu pihak dan menghindarkan mafsadat dipihak lain. Secara etimologis, sebagaimana dijelaskan oleh Abdul Wahab Khalaf12 bahwa maslahat mengandung arti "طـلـب الا صلاح" yaitu mencari kebaikan. Sementara mafsadat mengandung arti kerusakan dan keburukan yang membawa kerugian bagi kehidupan umat manusia. Mafsadat sering juga disebut dengan Mudarat.
Secara terminologis, menurut Abdul Karim Zaidan13 Maslahat ialah meraih manfa’at dan menolak kerusakan atau kemudaratan.
المـصلحة هي جـلـب المـنـفـعـة ود فـع الـمـضـرة اي المفـسـدة.
Atas dasar ini, maka esesnsi maslahat dan mafsadat dapat dilihat dari dua sisi. Abdul karim Zaidan14 menjelaskan bahwa dilihat dari sisi kemestian adanya maslahat ( ايـجـابي ) maka ia disebut dengan " ايـجاد المـنـفـعـة " yaitu keharusan terwujudnya manfa’at yang mendatangkan kebaikan bagi kehidupan manusia. Bila dilihat dari sisi peniadaan kerusakan ( سـلـبي ), maka ia disebut dengan istilah "دفع المـفـسـدة" yaitu menghilangkan dan menghindarkan kerusakan yang menimbulkan kerugian bagi kehidupan umat manusia.
Dari sini dapat dipahami bahwa konsep maslahat dan mafsadat dalam hubungannya dengan maqâshid al-syarî’ah merupakan sutu cara dalam melihat nilai-nilai maslahat yang harus diperjuangkan dan dipertahankan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan manusia baik di dunia maupun di akhirat.

B. ESSENSI DAN EKSISTENSI MAQÂSHID AL-SYARÎ’AH
Imam al-Syaukani15, dalam kitab “Irsyâd al-Fuhûl “ menjelaskan bahwa essensi maslahat itu sesungguhnya memelihara tujuan syari’at yaitu mempertahankan eksistensi kebaikan atau manfa’at dan menolak terjadinya kerusakan dalam kehidupan umat manusia.
Dilihat dari segi maqâshid al-syarî’ah, maka eksistensi maslahat sebagaimana dijelaskan oleh Abdul Aziz bin Abdul Rahman al-Rubuiyah16 dapat dibedakan kepada tiga macam, seperti berikut ini ;
1. Disebut dengan مـا شــهـدالـشـرع بـاعـتـبـاره yaitu dijelaskan langsung oleh syara’ (nash) keberadaan dan wujudnya. Abu Zahrah17 menyebutnya dengan Maslahat hakiki. Sementara ulama ushul lainnya menyebutnya dengan maslahat mu’tabarah.
2. Disebut dengan " مـا شــهـد الـشـرع بالـغـاءها " yaitu Maslahat yang ditolak atau yang bertentangan dengan syara’. Artinya maslahat yang eksistensinya berlawanan dengan apa yang disebutkan oleh syara’ atau nash.
3. Disebut dengan " مـالم يـشـهـدلـهـاالشـرع بـاعـتـبـارهـا ولابـالـغـاءهـا " yaitu maslahat yang tidak disebutkan secara jelas baik yang mengakuinya maupun yang menolaknya, tetapi eksistensinya sejalan dengan tujuan syari’at serta sangat dihajatkan oleh umat. Maslahat jenis yang ketiga ini, sering pula disebut dengan maslahat mursalah.
Dari ketiga macam pembagian maslahat di atas terlihat bahwa ternyata ada maslahat yang didukung keberadaannya oleh nash tentang nilai kebaikan dan manfa’atnya yang dapat menjamin kebahagiaan bagi umat manusia. Demikian juga tentang jenis maslahat yang ditolak oleh nash serta ada maslahat yang tidak dijelaskan oleh nash baik dari segi penerimaan atau pengakuannya maupun dari segi penolakannya, namun keberadaannya sejalan dengan tujuan maqâshid al-syarî’ah serta memang dihajatkan oleh masyarakat. Dengan kata lain, jenis maslahat yang disebutkan terakhir ini merupakan maslahat yang didiamkan oleh syari’.
Abid bin Muhammad al-Sufyani18 dengan mengutip pendapat al-Gazali, menjelaskan bahwa seluruh yang menyangkut tujuan syari’at dan upaya untuk mewujudkannya adalah merupakan maslahat serta bila diabaikan akan menimbulkan kerusakan dan menolak kerusakan akan melahirkan kemaslahatan.
Dalam hubungan ini ada dua segi yang harus diperhatikan dalam melihat eksistensi maslahat yang merupakan inti dari muqâshid al-syarî’ah.
Pertama, muqâshid al-syarî’ah dilihat dari maksud syari’, yaitu pembuat hukum. Abu Ishaq al-Syatibi19 menjelaskan bahwa ditinjau dari segi maksud syari’, maka maqâshid al-syarî’ah tidak lain adalah bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan bagi seluruh umat manusia baik di dunia maupun di akhirat. Syatibi berbicara secara luas tentang ini. Namun demikian dapat diringkaskan atau disimpulkan kepada tiga tingkatan, yaitu darûriyat, Hâjjiyat dan tahsiniyat. Masing-masing tingkatan Maslahat ini menunjukan tingkat atau peringkat kepentingannya. Maslahat darûriyat الضـروريـة ) ) merupakan peringkat pertama atau menyangkut kepentingan primer atau pokok. Sebagimana dijelaskan oleh Quthb Mustafa Sanu20, bahwa maslahat darûriyat adalah menyangkut kepentingan dan kemaslahatan pokok yang tidak dapat tidak mesti ada, jika tidak akan menimbulkan kerusakan bagi kelangsungan hidup manusia.
Ada lima kepentingan pokok yang termasuk ke dalam maslahat daruriyat ini, yaitu; terpeliharanya agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.
Kemudian maslahat hajjiyat ialah menyangkut kepentingan atau maslahat yang sifatnya sekunder. Sekiranya aspek hajjiyi ini tidak/belum terwujud tidaklah membawa atau menimbulkan bencana atau kerusakan, tetapi dapat menimbulkan kesulitan bagi manusia. Misalnya dalam lapangan ibadah Allah memberikan jalan keluarnya, yaitu ada rukhshah. Seperti boleh tidak berpuasa jika sakit atau safar dalam jarak tertentu, dan boleh mengqasar shalat dalam perjalanan.
Selanjutya mengenai maslahat tahsiniyat adalah menyangkut kepentingan yang sifatnya pelengkap atau kesempurnaan saja. Sekiranya tidak terpenuhi tidaklah menimbulkan kesulitan dan tidak pula mengancam salah satu dari lima kepentingan pokok di atas. Syatibi menjelaskan bahwa kepentingan tahsiniyat ini hanya berkaitan dengan kepatutan dan kepantasan menurut adat kebiasaan ( محاسن العـادات ), keindahan yang sesuai dengan ketentuan akhlaq yang berlaku dalam kehidupan. Dalam lapang ibadat Islam menetapkan bersuci, berhias dan menggunakan harum-haruman.
Dalam perakteknya, ketiga tingkatan Maslahat di atas merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Pemahaman dan penerapan ketiga maslahat di atas tidaklah secara parsial. Menurut Asafri Jaya Bakri21 ketiga tingkatan di atas tidak dapat dipisahkan.
Kedua, maqâshid al-syari’ah ditinjau dari segi maksud Mukallaf. Menurut Abi Ishaq al-Syatibi22, bahwa maqâshid ditinjau dari segi maksud mukallaf terdapat empat hal penting yang harus diperhatikan.
1. Bahwa pensyari’atan dan pembebanan hukum ( تـكـلــيـف ) berpijak atas dasar kemampuan ( قـد رة ) untuk dilaksanakan oleh mukallaf. Sekiranya mukallaf tidak memiliki kemampuan maka secara sayr’i taklîf tidak dapat diberlakukan kepada mukallaf tersebut.
2. Bahwa taklîf tidaklah bermaksud menyulitkan manusia (Mukallaf), tetapi justeru akan melanggengkan kehidupan mereka di dunia dan di akherat. Banyak ayat-ayat al-Qur’an yang menyebutkan tentang ini, misalnya dalam surat al-Baqarah ayat 286, disebutkan :
23"لا يـكلـف الله نـفـسا الاّ وسـعها" Maksudnya, “Allah tidak akan memberikan beban (taklif) kecuali menurut kemampuannya”.
3. Bahwa Pensyari’atan hukum bagi mukallaf adalah untuk menghindarkan mereka dari godaan dan dorongan hawa nafsu yang dapat merusak citra dirinya dan dengan adanya taklîf, maka mukallaf dapat menjadi hamba yang ta’at -- sekalipun suatu ketika akan berhadapan dengan kesulitan dalam menjalankannya. Al-Syatibi menjelaskan bahwa manusia dicipta-kan hanya beribadah kepada Allah dan dilarang mempersekutukan-Nya. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa pensyari’atan hukum ditetap-kan tujuannya untuk memasukkan manusia (mukallaf) ke dalam kontrol hukum atau di bawah naungan hukum agar dapat menjalani hidup dengan tertib dan ta’at kepada Allah.
4. Bahwa pensyari’atan hukum bertujuan agar manusia mengerti dan memahami taklîf yang dibebankan kepadanya. Dengan memiliki pengetahuan dan memahami taklîf, manusia akan menjadi cerdas dan beradab.
Dari keempat aspek yang telah dikemukakan di atas dapat dipahami bahwa Maqâshid al-Syarî’ah bila dilihat dari segi maksud Mukallaf, adalah kepentingannya untuk Mukallaf itu sendiri dan keempat aspek tersebut di atas haruslah dipahami dan diaplikasikan secra kumulatif bukan alternatif. Artinya, pensyari’atan dan pembebanan hukum kepada mukallaf bukan saja dilihat dari segi kesanggupan untuk melaksanakannya, tetapi juga sekaligus akan melanggengkan kehidupannya, menjadikan mukallaf sebagai orang yang ta’at dan sekaligus mereka berada di bawah kontrol hukum. Dan tidak hanya itu, secara bersamaan juga agar mukallaf memiliki kecerdasan dan berilmu pengetahuan tentang taklîf yang akan dilaksanakannya.
Jadi jangkauan maqâshid al-syarî’ah yang pada akhirnya akan mendatangkan kemaslahatan itu harus diupayakan dan diperjuangkan secara sungguh-sungguh dan terus menerus agar apa yang menjadi tujuan maqâshid al-syarî’ah seperti yang diharapkan oleh syar’i itu, yaitu terciptanya kemaslahatan bagi manusia (hamba) dan terhindar dari kerusakan baik di dunia ini maupun di akhirat kelak dapat diwujudkan.
Persoalannya sekarang adalah bagaimana caranya, sehingga maqâshid al-syarî’ah itu dapat dipahami dengan baik sehingga pada akhirnya akan bisamenemukan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Untuk bisa memahami maqâshid al-yarî’ah ini, bukanlah merupakan pekerjaan yang mudah. Namun demikian tidak berarti tidak ada upaya untuk memahaminya. Karena dalam prakteknya sejak awal perkembangan pemikiran ushul, para ulama terutama para ushuliyun telah mengkaji maqâshid al-syarî’ah ini. Upaya ini tidak pernah berhenti, karena hingga sekarang para pakar hukum Islam terus mengkaji secara luas dan mendalam tentang maqashid al-syari’ah ini.
Menurut Satria Effendi M. Zen24 bahwa untuk mengetahui maqâshid al-syarî’ah dapat dilakukan dengan memperhatikan ketentuan hukum yang ditunjukkan oleh bunyi bahasa nash -- al-Qur’an dan as-Sunnah -- dan ruh Tasyri’. Secara ringkas dapat dikelompokkan sebagai berikut :
1. Dengan bahasa nash itu sendiri. Maksudnya ialah memahami lafal nash ini merupakan unsur yang sangat penting untuk melihat maqâshid al-syarî’ah yang dikandung oleh sesuatu ketentuan hukum. Muhammad Abu Zahrah25 telah mencoba memberikan penjelasan tentang ini dengan mengelompokkan bentuk-bentuk kepada apa yang disebut dengan lafal (teks) yang jelas (واضـح ) dan lafal nash yang tidak jelas akan dapat ditangkap dengan mudah pengertian dan petunjuk yang terkandung di dalamnya sesuai dengan kehendak syari’. Penggunaan lafal nash yang jelas ini dapat dijadikan perangkat atau metode untuk mengetahui maqâshid al-syarî’ah dari suatu ketentuan hukum syara’. Dalam hubungan ini Abu Zahrah26, menawarkan metode ta’wil.27 Metode ta’wil ini, tidak lain adalah mengalihkan arti zahir nash kepada arti yang lebih tepat dan mencari nilai-nilai maqâshid al-syarî’ah yang terkandung di dalamnya.
Dengan menggunakan ‘illat dan hikmah. Dalam pandangan ulama ushul, ‘illat merupakan alasan, sebab atau sesuatu yang melatarbelakangi pensyari’atan hukum syara’. Muhammad Abdul Kafi al-Subky (W. 576H)28 dalam kitabnya “al-Ibhâj Fî Syarh al-Minhâj menyebutkan bahwa ‘illat adalah suatu tanda dan petunjuk ( الـعـلا مـة والامارة ) adanya suatu hukum. Dengan menggunakan petunjuk ‘illat dan kaitannya dengan ketentuan hukum yang ditetapkan, maka maqâshid al-syarî’ah dapat dipahami. Mengenai hikmah sebetulnya terkait langsung dengan ‘illat. ‘Illat hukum, disamping berfungsi sebagai dasar atau alas an ditetapkannya tasyri, ia juga mencakup apa yang menjadi tujuan dari ketetapan hukum itu. Di kalangan ulama ushul apa yang disebut terakhir ini dikenal dengan hikmah29.
Substansi hikmah sesungguhnya tidak lain adalah kemaslahatan itu sendiri dan kemaslahatan tersebut adalah merupakan maqâshid al-syarî’ah. Diakui bahwa tidak semua ketetapan hukum dapat dipahami hikmahnya. Karena memang ada persoalan-persoalan tasyri’ yang tidak dapat dijangkau oleh nalar manusia ‘illat dan hikmah yang terkandung di dalamnya. Jika dihadapkan dengan hal-hal seperti demikian maka ia termasuk wilayah ta’abbudi.
3. Dengan cara menelusuri hal-hal yang didiamkan syâri’. Sesuatu yang didiamkan syâri’ (Allah dan rasul-Nya), dan tidak ada dalil secara khusus, baik yang melarang maupun yang menyuruh, tetapi substansinya sejalan dengan tujuan tasyrî’ secara umum, maka ia dapat dijadikan sebagai alasan untuk penetapan hukum. Satria Effendi M. Zein30 menyebutkan bahwa metode ini dikenal dengan maslahat mursalah. Dalam kajian ushul fiqh, apa yang dianggap maslahat bila sejalan dengan atau tidak bertentangan dengan petunjuk-petunjuk umum syari’at, dapat diakui sebagai landasan hukum.
Dari penjelasan yang telah dikemukakan di atas, baik yang terkait dengan pengertian, macam dan tingkatannya maupun cara memahaminya, maka maqâshid al-syarî’ah intinya tidak lain adalah menyangkut kemaslahatan yang menjadi tujuan dari ditetapkannya hukum syara’.

1 Muhammad Abu Zahrah, 1958, Ushul al-Fiqh, Mesir ; Dar al-Fikr al-Araby, halaman 364.
2 Lihat dalam Zaky al-Din Sya’ban, 1965, Ushul al-Fiqh al-Islami, Mesir, Matba’ah Dar al-Ta’lif, halaman 381. Lihat pula Abdul Wahab Khalaf, 1990, Ilmu Ushul Al-Fiqh, Kairo; Matba’ah al-Da’wah al-Islamiyah, Cet. VIII, halaman 197.
3 Abu Ishaq al-Syatibi, t.t, al-Muwafaqat Fi Ushul al-Syari’ah, Jilid II, Mesir ; Dar al-Fikr al-Arabi, halaman 268.
4 Abdul Karim Zaidan, Loc.Cit.
5 Abu Ishaq al-Syatibi, op.cit, halaman 5.
6 Zaky al-Din Sya’ban, Loc.Cit.
7 Abdul Karim Zaidan, 1977, Al-Wajiz Fi Ushul al-Fiqh, Bagdad; Dar al-Arabiyah Lit-Tiba’ah, Cet. VI, halaman 384
8 Imam Abu Ishaq al-Syatibi, al-Muwafaqat Fi ushul al-Syari’ah, Jilid II, Mesir ; Dar al-Fikr, t.t. halaman 2681.
9 Lihat Zaky al-Din Sya’ban, Ushul Fiqh al-Islam, Mesir, Matba’ah Dar al-Ta’lif, 1965, halaman 381.
10 Satria Effendi M. Zein, 1997, Ushul Fiqh (Materi Kuliah Program Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana, Jakarta, tidak diterbitkan, halaman 94.
11 Asafri Jaya Bakri, 1996, Konsep Maqâshid Syari’ah Menurut al-Syatibi, Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada, Cet. I, halaman 65.
12 Abdul Wahab Khalaf, 1972, Mashadir al-Tasyri’ al-Islami Fima La Nashsha Fih, Kuwet; Dar al-Qalam, Cet. III, halaman 85-86.
13 Abdul Karim Zaidan, Op.Cit, halaman 236.
14 Ibid.
15 Muhammad Al-Syaukani, t.t, Irsyad al-Fuhul, Beirut, Dar al-Ma’arif, halaman 239.
16 Abdul Aziz bin Abdul Rahman Ali bin Al-Rubuiyah, 1979, Al-Adillat al-Tasyri’ al-Mukhtalaf Fi al-Ihtiqat Biha, Beirut ; Muassasa al-Risalah, Cet. I, halaman 191-194
17 Muhammad Abu Zahrah, op.cit, halaman 278
18 Abid bin Muhammad al-Sufyani, 1988, Ma’alim Thariqat al-Slaf Fi Ushul al-Fiqh, Makkah al-Mukarramah, Maktabah al-Munarah, Cet. I. halaman 414.
19 Abu Ishaq al-Syatibi, t.t, Al-Muwafaqat, Jilid II, Beirut; Dar al-Fikr al-Arabiyah, halaman 342.
20 Quthb Mustafa Sanu, 2000, Mu’jam Mustalahat Ushul al-Fiqh, Beirut- Libanon, Darul al-Fikr, Cet. I, halamana 413.
21 Asafri Jaya Bakri, Op.Cit., hal. 72.
22 Abu Ishaq al-Syatibi, t.t, Al-Muwafaqat, Jilid II, Beirut- Lobanon; Dar al- Fikr al-Arabiyah, halaman 72-225.
23 Q. Surat Al-Baqarah/5 ayat 286.

24 Satria Effendi M. Zen, Loc.Cit.
25 Muhammad Abu zahrah, 1958, Ushul al-Fiqh, Kairo; dar al-Fikr al-Araby, halaman 115-135.
26 Ibid
27 Yang dimaksud dengan ta’wil ialah mengalihkan arti atau pengertian zahir kepada arti yang lebih tepat karena ada alasan untuk itu. Dengan kata lain mengalikan arti hakiki kepada arti Majazi karena ada qarinah (petunjuk alasan) yang mengharuskan untuk hal demikian. Lihat dalam Quth Mustafa Sanu, op.cit. halaman 116.
28 Muhammad Abdul Kafi al-Subky, 1984, al-Ibhaj Fi Syark al-Minhaj, Juz III, Beirut-Libanon; Dar al-Kutub al-Arabiyah, Cet. I, halaman 18-20.
29 Abdul Karim Zaidan, 1977, al-Wajiz Fi Ushul al-Fiqh, Bagdad ; Dar al-arabiyah, Cet. VI, halaman 204
30 Satria Effendi M. Zen, 1997, “Ushul Fiqh”, Diktat Mata Kuliah Program Magister Ilmu Hukum Pascasarjana. Jakarta: tidak diterbitkan, halaman 97

Tidak ada komentar:

Posting Komentar